Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi
bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis
bencana. Kondisi alam terseut serta adanya keanekaragaman penduduk
dan budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya risiko terjadinya
bencana alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan kompleks,
meskipun disisi lain juga kaya akan sumber daya alam.
Kelompok rentan adalah sekelompok orang yang membutuhkan
penanganan khusus dalam pemenuhan kebutuhan dasar seperti bayi, balita,
ibu hamil, ibu menyusui dan lanjut usia baik dengan fisik normal maupun
cacat. Bencana alam bisa menimbulkan korban jiwa yang tinggi pada kelompok
rentan, salah satunya penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan
fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan
hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Ketika terjadi
suatu bencana akan timbul beberapa kejadian atau situasi baik psikologis
maupun mental yang dialami oleh korban, termasuk juga penyandang cacat
mental seperti kepanikan yang luar biasa sehingga gangguan mental yang
sering muncul pada lansia setelah bencana adalah depresi dan gangguan
fungsi kognitif.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana mengaplikasikan pengelolahan pada penanggulangan bencana?
2. Apakah perawatan untuk psikososial dan spiritual pada korban bencana?

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 1


3. Apakah perawatn untuk populasi rentan (lansia, wanita hamil, anak-
anak, orang dengan penyakit kronis, disabilitas, dan sakit mental)?
4. Bagaimana perlindungan dan perawatan bagi petugas dan caregiver?

C. Tujuan Penulis
1. Untuk mengetahui pengaplikasian pengelolahan pada penanggulang
bencana.
2. Untuk mengetahui perawatan untuk psikososial dan spiritual pada korban
bencana.
3. Untuk mengetahui perawatn untuk populasi rentan (lansia, wanita hamil,
anak-anak, orang dengan penyakit kronis, disabilitas, dan sakit mental).
4. Untuk mengetahui perlindungan dan perawatan bagi petugas dan caregiver.

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 2


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kondisi Pada Saat Bencana Terjadi


Saat peristiwa bencana alam terjadi gambaran situasinya juga tidak jauh
berbeda dengan situasi perang. Kekacauan, kerusakan, kepanikan, korban
bergelimpangan, dan orang-orang berteriak, berlarian dan berupaya
menyelamatkan diri. Pada kondisi bencana yang terjadinya tidak mendadak,
masyarakat masih dapat mempersiapkan diri, namun suasana kegelisahan,
kesemrawutan dan kepanikan tetap nampak dengan jelas.
Bencana alam yang banyak terjadi di belahan dunia akan menyebabkan
banyak kerusakan, kehancuran dan korban jiwa, sehingga perjuangan untuk
memberikan bantuan dari para relawan, masyarakat maupun pemerintah tidak
pernah berhenti, silih berganti terjadi di mana-mana. Kondisi darurat (emergency)
yang sangat gawat, bukan hanya menyelamatkan nyawa korban, tetapi juga
mempertaruhkan hidup para relawan. Suasana yang mencekam di area bencana
merupakan area perjuangan baik bagi para relawan maupun para korban untuk
berjauang tetap hidup atau mati.

B. Manajemen Risiko Bencana


Menurut Syarief dan Kondoatie (2006) mengutip Carter (2001), Manajemen
Risiko Bencana adalah pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu pengetahuan
terapan (aplikatif) yang mencari, dengan melakukan observasi secara sistematis
dan analisis bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan (measures), terkait
dengan pencegahan (preventif), pengurangan (mitigasi), persiapan, respon darurat
dan pemulihan. Manajemen dalam bantuan bencana merupakan hal-hal yang
penting bagi Manajemen puncak yang meliputi perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), kepemimpinan (directing), pengorganisasian
(coordinating) dan pengendalian (controlling).

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 3


Tujuan dari Manajemen Risiko Bencana di antaranya:
1. Mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun jiwa
yang dialami oleh perorangan atau masyarakat dan negara.
2. Mengurangi penderitaan korban bencana.
3. Mempercepat pemulihan.
4. Memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang
kehilangan tempat ketika kehidupannya terancam.
Menurut Agus Rahmat (2006:12) Manajemen Risiko Bencana merupakan
seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana,
pada sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai siklus
Manajemen Risiko Bencana yang bertujuan antara lain:
1. Mencegah kehilangan jiwa seseorang
2. Mengurangi penderitaan manusia.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat dan juga kepada pihak yang
berwenang mengenai risiko.
4. Mengurangi kerusakan insfrastruktur utama, harta benda dan kehilangan
sumber ekonomis lainnya.
C. Tahapan-tahapan Bantuan Bencana
Tahapan-tahapan atau fase-fase dalam bantuan bencana dikenal dengan
istilah siklus penanganan bencana (disaster management cycle). Siklus
manajemen bencana menggambarkan proses pengelolaan bencana yang pada
intinya merupakan tindakan pra bencana, menjelang bencana, saat bencana dan
pasca bencana, seperti terlihat pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Tahapan Bantuan Bencana
Nama Peneliti Tahapan yang direkomendasikan
Wolenksy (1990)  Sebelum bencana (mitigation and preparedness)
 Tanggap darurat (immediate pre and post impact)
 Pemulihan jangka dekat (dua tahun)
 Pemulihan jangka panjang (sepuluh tahun).

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 4


Waugh (2000)  Peringatan (prevention)
 Perencanaan dan persiapan (planning and preparedness)
 Tanggap (response)
 Pemulihan (recovery)

Helsloot and  Peringatan (Preparedness)


 Emergensi (emergency)
Ruitenberg
 Pemulihan (recovery)
(2004)

Memahami setiap tahapan dalam manajemen risiko bencana adalah hal


yang sangat penting. Efektifitas manajemen risiko bencana tidak hanya aktivitas
pada saat penanganan bantuan bencana saja, namun meliputi seluruh aktivitas
seperti dalam model 4 (empat) fase manajemen risiko bencana sebagai berikut:
1. Tahap Preparedness pemerintah perlu menekankan pada keselamatan jiwa
masyarakat di lingkungan wilayah bencana. Praktek manajemen risiko
bencana secara terpadu dan komprehensif mutlak diperlukan. Pada sisi lain,
pemahaman bencana pada masyarakat merupakan bagian penting pada fase
ini. Dalam hal ini masyarakat perlu memahami response dan tindakan mereka
dalam peristiwa bencana tersebut.
2. Tahap mitigation manajemen risiko bencana bahwa kegiatan emergency
memfokuskan pada pengurangan akibat negatif bencana. Kunci response
selama masa mitigasi meliputi keputusan tentang pengembangan ekonomi,
kebijakan pemanfaatan lahan, perencanaan infrastruktur seperti jalan dan
fasilitas umum dan identifikasi penemuan sumber daya guna mendukung
investasi.
3. Tahap response sangat diperlukan koordinasi yang baik dari berbagai pihak.
Koordinasi memungkinkan pemberian bantuan kepada masyarakat yang
terkena bencana dapat diberikan secara cepat, tepat dan efektif.

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 5


4. Tahap recovery merupakan fase aktivitas penilaian dan rehabilitasi
kehancuran akibat bencana. Pada fase ini ditekankan pada proses
pendistribusian bantuan. Proses tersebut meliputi penentuan dan monitoring
bantuan pada masyarakat yang terkena bencana.

D. Perawatan Psikososial dan Spiritual Pada Korban Bencana


a. Perawatan Psikososial Pada Korban Bencana
Dukungan psikososial yang diberikan:
1. Tahap tanggap darurat: Pasca dampak langsung
a. Menyediakan pelayanan intervebsi krisis untuk pekerjaan bantuan,
misalnya defusing dan debrefing untuk mencegah secondy trauma.
b. Memberikan pertolongan emosional pertama, misalnya berbagai
macam teknik relaksasi dan terapi praktis.
c. Berusahalah untuk menyatukan kembali keluarga dan masyarakat.
d. Menyediakan informasi, kenyamanan, dan bantuan praktis.
2. Tahapan Pemulihan: Bulan pertama
Lanjutan tahapan darurat.
a. Mendidik profesional lokal, relawan, dan masyarakat sehubungan
dengan efek trauma.
b. Memberikan bantuan praktis jangka pendek dan dukungan kepada
penyintas.
c. Menghidupkan kembali aktivitas sosial ritual masyarakat.
3. Tahapan Pemulihan akhir: Bulan kedua
Lanjutan tugas tanggap bencana.
a. Memberikan pendidikan dan pelatihan masyarakat reseliensi atau
ketangguan.
b. Mengembangkan jangkauan layanan untuk mengidentifikasi mereka
yang masih membutuhkan pertolongan psikososial.
c. Menyadiakan “debriefing” dan layanan lainnya untuk penyintas
bencana yang membutuhakan.
d. Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan komunitas
lainnya berbasis lembaga.

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 6


4. Fase Rekonstruksi
a. Melanjutkan memberikan layanan psikologis dan pembekalan bagi
pekerja kemanusian dan penyintas bencana.
b. Petahankan program “hot line” atau cara lain dimana penyintas bisa
menghubungi konselor jika mereka membutuhkannya.
c. Melanjutkan program reseliensi untuk antisipasi datangnya bencana.
d. Memberikan pelatihanbagi profesional dan relawan lokal tentang
pendampingan psikososial agar mereka mampu mandiri.
b. Perawatan Spiritual Pada Korban Bencana
a. Kondisi Spiritual Korban Bencana
Kejadian bencana dapat merubah pola spiritualitas seseorang. Ada yang
bertambah meningkatkan aspek spiritualitas ada pula yang sebaliknya.
Bagi yang meningkatkan aspek spiritualitasnya ada berarti mereka
meyakini bahwa apa yang terjadi merupakan kehendak dan kuasa sang
pencipta yang tidak mampu di tandingi oleh siapapun. Mereka mendekat
dengan cara mendekatkan spiritualitasnya supaya mendapatkan kekuatan
dan pertolongan dalam menghadapi bencana atau musibah yang
dialaminya. Sedangkan bagi yabg menjauh umumnya karena dasar
keimanan atau keyakinan terhadap sang pencipta.
b. Intervensi Spiritual Yang Dibutuhkan
Perawat dapat menggunakan empat alat/instrumen spiritual untuk
membantu perawat dalam melaksanakan spiritual care yaitu perawat perlu
mendengarkan pasien , perawat perlu hadir setiap saat untuk pasien,
kemampuan perawat untuk menerima apa yang disampaikan pasien, dan
menyikapi dengan bijaksana keterbukaan pasien pada perawat.

E. Perawatan Untuk Populasi Rentan


a. Perawatan Untuk Populasi Rentan Pada Lansia
a. Definisi
Lansia merupakan salah saat kelompok yang rentan secara fisik,
mental dan ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 7


karena penurunan kemampuan mobilitas fisik dan atau karena
mengalami masalah kesehatan kronis (Klynman et al,2007).
b. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia
a. Pra bencana
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum
bencana yakni:
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan
setelah itu pun berjalan secara sistematis.Sebagai hasilnya,
dilaporkan bahwa orang lansia dan penyandang cacat yang disebut
kelompok rentan pada bencana tidak pernah diabaikan, sehingga
mereka bisa hidup di pengungsian dengan tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan
pelatihan praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan
yang realistis dan bermanfaat akan tercapai. (Farida, Ida. 2013).
b. Saat bencana
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah
1) Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan
orang lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh
informasi karena penuruman daya pendengaran dan penurunan
komunikasi dengan luar
2) Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada
tanah dan ruma sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun
berkecenderungan terlambat dibandingkan dengan generasi yang
lain.
3) Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera
orang lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 8


menua, maka skala rangsangan luar untuk memunculkan respon
pun mengalami peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena
mati rasa.
c. Pasca Bencana
1) Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas
dengan lansia dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya:
(1) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-
kegiatan sosial bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan
interaksi orang muda dan lansia (community awareness).
(2) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam
kegiatan bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency
perlindungan anak di posko perlindunga korban bencana.
2) Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan
sosial yang sehat di lokasi penampungan korban bencana.
3) Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan
skill lansia.
4) Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara
mandiri
5) Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan
kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada
lansia setelah bencana adalah
1) Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai
ketidakcocokan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh
fungsi fisik yang dibawa oleh setiap individu sebelum bencana dan
perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian.Kedua hal ini
saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan fungsi
fisik orang lansia yang lebih parah lagi.

b. Perawatan Untuk Populasi Rentan Wanita Hamil

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 9


Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam
kondisi kita harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas
harus ingat bahwa dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan
menolong janinnya sehingga meningkatkan kondisi fisik dan mental
wanita hamil dapat melindungi dua kehidupan, ibu hamil dan janinnya.
Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti peningkatan sirkulasi darah,
peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga lebih rentan saat
bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013). Menurut Ida Farida
(2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan ibu hamil,
diantaranya:
1) Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu.Tubuh ibu hamil
yang mengalami keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk
membantu menyelamatkan nyawanya sendiri daripada nyawa si
janin dengan mengurangi volume perdarahan pada uterus.
2) Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi
yang jelas dan terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan
adalah keamanannya. Hal yang perlu dipersiapkan adalah air
bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan obat-obatan, yang perlu
diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat perawatan selanjutnya
yang lebih memadai.

a. Pra bencana

1) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan


penanganan bencana.
2) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok
rentan.
3) Membuat disaster plans dirumah yang di sosialisasikan kepada
seluruh anggota keluarga.
4) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam
mitigasi bencana.
b. Saat bencana

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 10


1) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak
meningkatkan risiko kerentanan bumil dan busui.
2) Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan
transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu
hamil.
3) Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi.
4) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong
korban bumil dan busui.
c. Pasca bencana
1) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat,
cairan dan emosional.
2) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah
penampungan korban bencana untuk menyediakan jasa
konseling dan pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil dan
menyusui.
3) Melibatkan petugas petugas konseling untuk mencegah,
mengidentifikasi, mengurangi risiko kejadian depresi pasca
bencana.

c. Perawatan Untuk Populasi Bayi dan Anak-Anak


a. Definisi
Anak-anak adalah orang yang memerlukan kegembiraan,kasih
sayang perlakuan yang santun dan asupan gizi seimbang untuk
memastikan potensi-potensi dalam dirinya bisa tumbuh dengan baik.
bencana atau ancaman bencana akan bisa merampas ini semua,sehingga
kebijakan berkaitan kebencanaan harus memastikan bisa menjamin dan
melindungi mereka. Kelompok yang paling rentan ketika terjadi
bencana adalah anak.
b. Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan
a. Pra Bencana

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 11


1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan
kesiagsiagaan bencana misalnya dalam simulasi bencana
kebakaran atau gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan
anak pada saat bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi
petugas kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok
berisiko
b. Saat Bencana
1) Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase
standar yang digunakan saat bencana
2) Lakukan pertolongan kegawat daruratan kepada bayi dan anak
sesuai dengan tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan
mempertimbangkan aspek tumbuh kembangnya, misalnya
menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan tidak
disamakan dengan orang dewasa
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam
pemberian pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan
anak dari orang tua, keluarga atau wali mereka
c. Pasca Bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera
mungkin contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur,
tidur, bermain dan sekolah
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
4) Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan
emosional
5) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di
lokasi evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah,
mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian depresi pada anak
pasca bencana.

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 12


6) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan
penjaga yang terpercaya serta lingkungan yang aman untuk
mereka.

d. Perawatan Untuk Populasi Orang Dengan Penyakit Kronis


a. Definisi
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit
kronis akan memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan
bagi orang-orang dengan penyakit kronik.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya
penyakit kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi
orang-orang yang memiliki resiko penyakit kronis, perubahan
kehidupan yang disebabkan oleh bencana akan menjadi pemicu
meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes mellitus dangan gguan
pernapasan.
a. Pra bencana
1) Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat
dan berpenyakit kronis.
2) Sediakan informasi bencana yang bisa di akses oleh orang-orang
dengan keterbatasan fisik seperti: tuna rungu, tuna netra, dll.
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawat
daruratan bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk
menanganni korban dengan kebutuhan khusus (cacat dan
penyakit kronis).
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase
persiapan sebelum bencana bagi korban dengan penyakit kronik:
1) Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama
pasien, alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang
merawat.
2) Membantu pasien membiasakan diri untuk mencatat mengenai
isi dari obat yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga.

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 13


3) Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai
penanganan bencana sejak masa normal.
b. Saat bencana
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk
orang cacat dan berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit
infeksi lainnya), alat bantu berjalan untuk korban dengan
kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll.
2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal
(universal precaution) untuk petugas dalam melakukan
tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada penyakit
kronis saat bencana adalah
1) Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal
yang paling penting adalah berkeliling antara orang-orang
untuk menemukan masalah kesehatan mereka dengan cepat
dan mencegah penyakit mereka memburuk. Perawat harus
mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan dari orang-
orang yang berada di tempat dengan mendengarkan secara
seksama dan memahami penyakit mereka yang sedang dalam
proses pengobatan, sebagai contoh diabetes dan gangguan
pernapasan.
2) Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien
untuk memastikan apakah mereka diperiksa dokter dan minum
obat dengan teratur. Karena banyak obat-obatan komersial
akan didistribusikan ketempat pengungsian, maka muncullah
resiko bagi pasien penyakit kronis yang mengkonsumsi
beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan kecocokan
kombinasi antara obat tersebut dan obat yang diberikan di
rumahsakit.
c. Pasca bencana
1) Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapat
mengembalikan kemandirian individu dengan keterbatasan

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 14


fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya: kursi roda,
tongkat, dll.
2) Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan
individu-individu dengan keterbatasan fisik dan penyakit
kronis.
3) Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan
kebutuhannya.

e. Perawatan Untuk Populasi Rentan Pada Disabilitas


a. Definisi
Penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara
selayaknya, yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang
disabilitas mental serta penyandang disabilitas fisik dan mental
(Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang
Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas).
b. Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang
dengan kecacatan/disabilitas
a. Pra bencana
1. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang
dengan keterbatasan informasi fisik seperti: tunarungu, tuna netra,
dll.
2. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan
kegawatdaruratan bencana bagi petugas kesehatan khusus untuk
menangani korban dengan kebutuhan khusus (cacat)

b. Saat bencana
1) Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk
orang cacat, alat bantu berjalan untuk korban dengan kecacatan,
alat-alat BHD sekali pakai, dll

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 15


2) Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal
(universal precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada
penyandang cacat yakni:
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang
lama untuk mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat
dalam mengambil keputusan untuk melakukan evakuasi, maka
informasi persiapan evakuasi dan lain-lain perlu diberitahukan
kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi.
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet
(email, sms, dll) dan siaran televisi untuk tuna rungu; handphone
yang dapat membaca pesan masuk untuk tuna netra; HP yag
dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa dan
sebagainya.
Pertolongan pada penyandang cacat
1) Tunadaksa
Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak
stabil dan mudah jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan
dalam perpindahan atau pemakai kursi roda yang tidak dapat
melangkah sendirian ketika berada di tempat yang jalannya tidak
rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap kursi roda seperti
satu bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus
mengecek keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga.
2) Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena
menyadari suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan
tentang kondisi sekitar rumah dan tempat aman untuk lari dan
bantuan untuk pindah di tempat yang tidak familiar. Pada waktu

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 16


menolong mereka untuk pindah, peganglah siku dan pundak, atau
genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan
dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di
depannya.
3) Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketikaberkunjung ke rumahnya karena
tidak dapat menerima informasi suara. Sebagai metode
komunikasi, ada bahasa tulis, bahasa isyarat, bahasa membaca
gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum tentu semuanya
dapat menggunakan bahasa isyarat.
4) Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya
karena kurang mampu untuk bertanya dan mengungkapkan
pendapatnya sendiri dan seringkali mudah menjadi panik. Pada
saat mereka mengulangi ucapan dan pertanyaan yang sama
dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa mereka belum
mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah
dimengerti (Farida, Ida. 2013).
c. Pasca bencana
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada
penyandang cacat:
1) Kebutuhan rumah tangga.
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK
(mandi, cuci, kakus), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut,
dan tempat tidur, pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan
adat.
2) Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum – seperti perlengkapan medis (obat-
obatan, perban, dll), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan
kejiwaan.
3) Tempat ibadah sementara.
4) Keamanan wilayah.

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 17


5) Kebutuhan air.
6) Kebutuhan sarana dan prasarana
Kebutuhan saranan dan prasarana yang mendesak – seperti air
bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi bencana, alat
komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar, penerangan/listrik,
sekolah sementara, alat angkut/transport, gudang penyimpanan
persediaan, tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan
bahan-bahan.
f. Perawatan Untuk Populasi Rentan Pada Sakit Mental
a. Definisi
Sakit Mental atau Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2010)
adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan adanya
gangguan pada fungsi jiwa yang menimbulkan penderitaan pada
individu dan hambatan dalam melaksanakan peran social. Sedangkan
menurut (Maramis, 2010), gangguan jiwa adalah gangguan alam: cara
berpikir (cognitive), kemauan (volition), emosi (affective), tindakan
(psychomotor). Dimana para pengidap gangguan jwa merupakan
penyandang disabilitas atau cacat mental.
b. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada Pengidap
Gangguan Jiwa
a. Pra Bencana
1) Bantuan Evakuasi : Saat bencana terjadi, penyandang cacat
membutuhkan waktu yang lama untuk mengevakuasi diri
sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil keputusan
untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi
dan lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan
penolong evakuasi.
2) Mengikutsertakan dalam PRB : partisipasi penyandang dalam
pendidikan pengurangan risiko bencana (PRB).
3) Memberikan penyandang gangguan mental terhadap materi
ajar/belajar PRB.
b. Saat Bencana

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 18


1) Melakukan evakuasi bagi penyandang disabilitas untuk menjauh
dari lokasi bencana.
2) Mengevakuasi penyandang gangguan mental yang ditinggal oleh
keluarganya saat terjadi bencana.
3) Menampung di pengungsian.
4) Membawa korban ke rumahsakit.
5) Melakukan pendataan dan penilaian.
6) Memberikan konseling.
7) Memberikan terapi.
c. Pasca Bencana
1) Konseling bagi penyandang disabilitas untuk meminimalisir
trauma.
2) Kebutuhan Rumah Tangga : Air minum, makanan, susu bayi,
sanitasi, air bersih dan sabun untuk MCK (mandi, cuci,
kakus/jamban), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut dan
tempat tidur, dan permukiman sementara.
3) Kebutuhan Kesehatan : Kebutuhan kesehatan umum – seperti
perlengkapan medis (obat-obatan, perban, dll), tenaga medis, pos
kesehatan dan perawatan kejiwaan.
4) Kemanan Wilayah : Kebutuhan ketentraman dan stabilitas –
seperti keamanan wilayah.
5) Kebutuhan Air : Kebutuhan sanitasi – air dan tempat pengelolaan
limbah dan sampah.
6) Sarana dan Prasarana : Kebutuhan sarana dan prasarana yang
mendesak – seperti air bersih, MCK untuk umum, jalan ke lokasi
bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan pihak luar,
penerangan /listrik, sekolah sementara, alat angkut/transport,
gudang penyimpanan persediaan, tempat permukiman sementara,
pos kesehatan, alat dan bahan-bahan.

F. Perlindungan dan Perawatan Bagi Petugas dan Caregiver

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 19


Caregiver adalah individu yang memberikan bantuan kepada orang lain
yang mengalami disabilitas atau ketidak mampuan dan memerlukan bantuan
dikarenakan penyakit dan keterbatasannya yang meliputi keterbatasan fisik
dan lingkungan (Widiastuti,2009).
Istilah perlindungan hukum yaitu perlindungan hukum bisa berarti
perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan berbeda
dan tidak dicederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti
perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu. Secara umum
perlindungan hukum diberikan kepada subjek hukum ketika subjek hukum
yang bersangkutan bersinggungan dengan peristiwa hukum.
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukumyakni keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum. Dalam penelitian ditulis oleh M.Fakih,S.H, di fakultas
hukum UGM, yang berjudul “Aspek keperdataan dalam pelaksanaan tugas
tenaga keperawatan dibidang pelayanan kesehatan di provins Lampung”.
Dalam pernyataannya menyebutkan bahwa“ mengingat perawat sebagai
tenaga kesehatan terdepan dalam pelayanan kesehatan di masyarakat ,
pemerintah menerbitkan peraturan menteri kesehatan (Permenkes)
HK.02/Menkes/148/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik perawat.
Pasal 8 ayat (3) Permenkes menyebutka praktik keperawatan meliputi
asuhan keperawatan, pelaksaan upaya promotif, perventif, pemulihan, dan
pasal terdebut menunjukkan aktivitas perawat dilaksanakan secara mandiri
(indenpenden) berdasarkan ilmu dan asuhan keperawatn, ditugas utama
adalah merawat (care) dengan cara memberikan asuhan keperawatan untuk
memuaskan kebutuhan fisiologi dan psikologi.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 20


Berdasarkan makalah diatas kami dapat menyimpulkan bahwa
bencana alam yang banyak terjadi di belahan dunia akan menyebabkan banyak
kerusakan, kehancuran dan korban jiwa, sehingga perjuangan untuk
memberikan bantuan dari para relawan, masyarakat maupun pemerintah tidak
pernah berhenti, silih berganti terjadi di mana-mana.
Perawatan Populasi Rentan pada Ibu Hamil, Anak dan Penyakit Kronis
diatur dalam UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi
bencana adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat
diakibatkan adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada
saat bencana terjadi menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan
anak-anak; ibu yang sedang mengandung/menyusui; penyandang cacat
(disabilitas); dan orang lanjut usia.
Bencana juga berdampak pada penyakit kronis yang akan memberi
pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan
penyakit kronik.Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak
terluka sekalipun manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga
kemungkinan besar penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi
ketika hidup di pengungsian atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.

B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Kami akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka
dari itu kami mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah
diatas.

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 21


DAFTAR PUSTAKA

Dewa.(2017).perawatan pada kelompok rentan saat bencana. Diakses di


http://id.scribd.com/document/340027590/perawatan-pada-kelompok-
rentan-saat-bencana
Ratih Probosiwi, 2016. KETERLIBATAN PENYANDANG DISABILITAS
DALAM PENANGGULANGAN BENCANA DI YOGYAKARTA.
Journal of Health Education
http://repository.ung.ac.id/get/singa/1/1222/Pemberdayaan-Masyarakat-Melalui-
Upaya-Penerapan-Mitigasi-dan-Adaptasi-untuk-Mewujudkan-Desa-
Tanggap-Bencana.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/83165-ID-disabilitas-dan-bencana-
studi-tentang-ag.pdf
Farida, Ida. 2014. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar II:
Keperawatan Bencana pada Anak. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan

Herman Ade, wulan Susilo. (2018). penanggulangan bencana. Vol. 9, No. 2


Tahun 2018 Hal.102-115
Nurhidayati, I,. Ema R. 2017. Kesiapsiagaan Keluarga Dengan Penyakit Kronis
Menghadapi Becana Gunung Berapi Di Desa Sidorejo Kec. Kemalang
Klaten. Jurnal Ilmiah keperawatan Indonesia. Vol 1, No 1. Klaten

STIKES BAHRUL ULUM JOMBANG | 22

Anda mungkin juga menyukai