Anda di halaman 1dari 30

TUGAS MAKALAH

TEKNOLOGI INFORMASI

Dosen Pengampu : Ns. Jupri Kartono .,M.Kep.,Sp.Kep.An

OLEH:
Alviah Nur Rizki
(1926009)

DIII KEPERAWATANSTIKES PANCA BHAKTI


BANDAR LAMPUNG
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah teknologi infromasi ini bisa
selesai dengan pada waktunya

Terimakasih juga kami ucapkan kepada yang telah berkontribusi dengan


memberikan pembelajaran sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan
benar.

Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan, namun terlepas
dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
sehingga saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun
demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan................................................................................2
1.3 Ruang Lingkup...................................................................................3
1.4 Metode Penulisan................................................................................3

BAB II TINJAUAN TEORI........................................................................5

2.1 Konsep Dasar Penyakit.......................................................................5

2.2 Konsep Model...................................................................................15

2.3 Konsep Asuhan Keperawatan...........................................................18

BAB III PENUTUP.....................................................................................22

3.1 Kesimpulan.......................................................................................22
3.2 Saran.................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................23

ii
iii
BAB I

PENNDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia bereaksi secara keseluruhan, secara holistik, atau dapat dikatakan juga

secara Somato-Psiko-Sosial. Dalam mencari penyebab gangguan jiwa, maka

ketiga unsur ini harus diperhatikan. Gangguan jiwa adalah gejala-gejala patologik

dominan berasal dari unsur psikis. Hal ini tidak berarti bahwa unsur yang lain

tidak terganggu sekali lagi, yang sakit dan menderita ialah manusia seutuhnya dan

bukan hanya badannya, jiwanya atau lingkungannya (Yosep, 2011).

Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat

adanya distorsi emosi sehingga di temukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku.

Hal ini terjadi karena menurunnya fungsi kejiwaan (Nasir, 2011).

Diperkirakan bahwa 2-3 % dari jumlah penduduk Indonesia penderita gangguan

jiwa berat. Bila separuh dari mereka memerlukan perawatan di rumah sakit dan

jika penduduk Indonesia berjumlah 120 juta maka ini berarti bahwa 120 ribu

orang dengan gangguan jiwa berat memerlukan perawatan di rumah sakit (Yosep,

2011).

Menurut undang-undang No.3 Tahun 1996, tentang Kesehatan Jiwa, kesehatan

jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual

dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras

dengan keadaan orang lain (Suliswati, 2005).

1
Pada era globalisasi dengan teknologi, perawat jiwa sebagai pemberi asuhan

keperawatan jiwa kepada klien merupakan bagian total pelayanan di rumah

sakit. Oleh karna itu, perawat di tuntut mampu memberikan asuhan keperawatan

yang propesional dan dapat mempertanggung jawabkan asuhan yang di berikan

secara alamiah (Kusumawati, 2010).

Di perkirakan penduduk indonesia yang menderita gangguan jiwa sebesar 2-3%

jiwa. Zaman dahulu penanganan pasien gangguan jiwa adalah dengan di pasung,

dirantai, atau diikat, lalu di tempatkan tersendiri di rumah atau di hutan jika

gangguan jiwa nya berat. Bila tidak berbahaya, di biarkan berkeliaran di desa,

sambil mencari makan dan menjadi tontonan masyarakat(Kusumawati, 2010).

Data yang penulis dapat dari rumah sakit jiwa provinsi Lampung di ruang

Kutilang terhitung Maret 2014

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Penulis mampu menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif

meliputi biopsikososialspiritual pada klien dengan Gangguan Sensori Persepsi:

Halusinasi Pendengaran dengan pendekatan proses keperawatan.

1.2.2 Tujuan Khusus

Penulis mampu menggambarkan:

1.2.2.1 Konsep teori penyakit dan asuhan keperawatan pada klien dengan

Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi Pendengaran .

2
1.2.2.2 Melakukan pengkajian status kesehatan pada klien dengan Gangguan

Sensori Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.2.2.3 Merumuskan masalah keperawatan pada klien dengan Gangguan Sensori

Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.2.2.4 Menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan Gangguan Sensori

Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.2.2.5 Menentukan rencana asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan

Sensori Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.2.2.6 Melakukan tindakan keperawatan pada klien dengan Gangguan Sensori

Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.2.2.7 Melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan Gangguan

Sensori Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.2.2.8 Melakukan pendokumentasian tindakan keperawatan pada klien dengan

Gangguan Sensori Persepsi: Halusinasi Pendengaran.

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penulisan studi kasus ini adalah asuhan keperawatan yang

meliputi asuhan keperawatan pada Tn. S dengan Gangguan Sensori Persepsi:

Halusinasi Pendengaran yang dilakukan dari tanggal 26-27 mei 2014 di ruang

Kutilang Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Lampung.

1.4 Metode Penulisan

1.4.1 Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan laporan ini adalah

deskriptif yaitu memberi gambaran masalah tentang Gangguan Sensori Persepsi:

3
Halusinasi Pendengaran dengan melakukan pendekatan proses asuhan

keperawatan.

1.4.2 Teknik pengambilan data pada kasus yaitu:

1.4.2.1 Observasi / Pengamatan

Adalah suatu cara pengumpulan data dengan pengamatan langsung.

1.4.2.2 Wawancara

Adalah suatu jenis pengumpulan data dilakukan dengan cara komunikasi langsung

dengan klien maupun keluarga klien, sebagai alat pencatatan data digunakan

format pengkajian dengan tujuan agar pencatatan lebih sistematis dan objektif.

1.4.2.3 Pemeriksaan fisik

Adalah pengumpulan dengan memeriksa keadaan fisik klien

1.4.2.4. Dokumentasi/ Catatan perawat

Adalah pengumpulan data yang di lakukan dengan cara mempelajari catatan

medik dan perawat pada buku status klien di ruang Kutilang Rumah Sakit Jiwa

Propinsi Lampung.

1.4.2.4 Studi Kepustakaan

Adalah pengumpulan data dengan pengambilan materi beberapa buku sumber

keperawatan dan kesehatan mental psikiatri sebagai referensi.

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 KONSEP DASAR PENYAKIT

2.1.1 Pengertian

Halusinasi adalah suatu gejala gangguan jiwa pada individu yang di tandai dengan

perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,

pengecapan, perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang

sebenarnya tidak ada (Keliat, 2009)

Sejalan dengan kedua pendapat di atas menurut Varcarolis dalam Yosep, (2011),

menyatakan halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori

seseorang, dimana tidak terdapat stimulus. Tipe halusinasi yang paling sering

adalah halusinasi pendengaran (Auditory-hearing voices or sounds), penglihatan

(Visual-seeing persons or things), penciuman (Olfactory-smelling odors),

pengecapan (Gustatory-experiencing tastes).

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien mengalami

perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,

pengecapan, perabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang

sebetulnya tidak ada (Damaiyanti, 2008)

2.1.2 Klasifikasi Halusinasi

5
Menurut Kusumawati (2010), pada klien gangguan jiwa ada beberapa jenis

halusinasi dengan karakteristik tertentu diantaranya:

2.1.2.1 Halusinasi Pendengaran (Auditorius)

Mendengar suara atau kebisingan yang kurang jelas, dimana terkadang suara-

suara tersebut seperti mengajak bicara klien dan kadang memerintah klien untuk

melakukan sesuatu.

2.1.2.2 Halusinasi Penglihatan (Visual)

Stimulus visual dalam bentuk kilatan, gambar atau cahaya, gambar atau bayangan

yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan..

2.1.2.3 Halusinasi Penghidu (Olfaktorius)

Membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urine, feses, parfum, atau bau yang

lain.

2.1.2.4 Halusinasi Pengecapan (Gustatorius)

Merasa mengecap rasa seperti darah, urine, feses, atau yang lainnya.

2.1.2.5 Halusinasi Perabaan (Taktil)

Merasa mengalami nyeri, rasa tersetrum atau ketidaknyamanan tanpa stimulus

yang jelas.

6
2.1.2.6 Halusinasi cenesthetic

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan

makanan atau pembekuan urine.

2.1.2.7 Halusinasi Kinestetika

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

2.1.3 Tahapan Halusinasi

Menurut Kusumawati (2010), terdapat empat tahapan halusinasi dengan

karakteristik dan perilaku yang ditimbulkan sebagai berikut :

2.1.3.1 Tahap I: Menyenangkan (Ansietas tingkat sedang)

Secara umum halusinasi bersifat menyenangkan

 Karakteristik Klien:

Klien mengalami stres, cemas, perasaan perpisahan, rasa bersalah, kesepian yang

memuncak, dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan

hal-hal yang menyenangkan, cara ini hanya menolong sementara.

 Perilaku Klien

Klien tersenyum dan tertawa sendiri , menggerakkan bibir tanpa suara, pergerakan

mata yang cepat, respon verbal yang lambat, diam dan berkonsentrasi.

2.1.3.2 Tahap II: Menyalahkan ( Ancietas tingkat berat )

Secara umum halusinasi menyebabkan rasa antipati.

 Karakteristik Klien

7
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan, kecemasan meningkat,

melamun, dan berpikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang

tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu dan ia tetap dapat mengontrolnya.

 Perilaku Klien

Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah,

penyimpangan kemampuan konsentrasi, konsentrasi terhadap pengalaman sensori

kerja, kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas.

2.1.3.2 Tahap III: Mengendalikan (Ansietas tingkat berat)

Pengalaman halusinassi tidak dapat ditolak lagi.

 Karakteristik Klien

Bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien.

Klien jadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya.

 Perilaku Klien

Perintah halusinasi di taati, sulit berhubungan dengan orang lain, perhatian

terhadap lingkungan berkurang, hanya beberapa detik, tidak mampu mengikuti

perintah dari perawat, tremor dan berkeringat.

2.1.3.3Tahap IV: Menaklukkan (Ansietas tingkat panik)

Secara umum halusinasi menjadi lebih rumit dan saling terkait dengan delusi.

 Karakteristik Klien

8
Halusinasinya berubah menjadi mengancam, memerintah, dan memarahi klien.

Klien jadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol, dan tidak dapat berhubungan

secara nyata dengan orang lain di lingkungan.

 Perilaku Klien

Prilaku panik, beresiko tinggi menciderai diri sendiri dan orang lain, kegiatan fisik

yang merefleksikan seperti amuk, agitasi dan menarik diri.

2.1.4 Etiologi

Menurut Yosep (2011), perubahan sensori persepsi di sebabkan oleh beberapa

factor antara lain:

2.1.4.1 Factor Predisposisi

2.1.4.1.1 Factor perkembangan

Tugas perkembangan klien yang terganggu misalnya rendahnya kontrol dan

kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah

frustasi, hilang percaya diri, dan lebih rentan terhadap stress.

2.1.4.1.2 Factor sosiokultural

Seseorang yang merasa tidak di terima di lingkungannya sejak bayi (unwanted

child) akan merasa di singkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada

lingkungannya.

2.1.4.1.3 Factor Biokimia

Mempunyai pengaruhterhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang

berlebihan di alami oleh seseorang maka di dalam tubuh akan di hasilkan suatu

zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan

9
Dimetytranferase (DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan

teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan

acetycholin dan dopamin.

2.1.4.1.4 Factor Psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada

penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada ketidak mampuan klien

dalam mengambil keputusan yang tepat di masa depannya. Klien lebih memilih

kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.

2.1.4.1.5 Factor genetik dan pola asuh

Penelitian menunjukan bahwa anak sehat yang di asuh oleh orangtua skizofrenia

cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukan bahwa factor keluarga

menunjukan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

2.1.4.2 Factor Presipitasi

2.1.4.2.1 Prilaku

Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak

aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu

mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak

nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah

halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seseorang individu sebagai

mahluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga

halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu:

2.1.4.2.1.1 Dimensi Fisik

10
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang

luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol

dan kesulitan untuk tidur dalam waktu lama.

2.1.4.2.1.2 Dimensi Emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi

merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari Halusinasi dapat berupa

perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah

tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan

tersebut.

2.1.4.2.1.3 Dimensi Intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi

akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego.

2.1.4.2.1.4 Dimensi Sosial

Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien

menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan.

2.1.4.2.1.5 Dimensi Spiritual

Secara spiritual klien halusinasi mulai dengan kehampan hidup, rutinitas tidak

bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk

menyucikan diri.

2.1.5 Tanda dan Gejala

11
Menurut Damaiyanti (2012), tanda dan gejala halusinasi yaitu:

2.1.5.1 Bicara sendiri.

2.1.5.2 Senyum sendiri.

2.1.5.3 Ketawa sendiri.

2.1.5.4 Menggerakan bibir tanpa suara.

2.1.5.5 Pergerakan mata yang cepat.

2.1.5.6 Respon verbal yang lambat.

2.1.5.7 Menarik diri dari orang lain.

2.1.5.8 Berusaha untuk mengindari orang lain.

2.1.5.9 Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.

2.1.5.10 Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah.

2.1.5.11 Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa

detik.

2.1.5.12 Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.

2.1.5.13 Sulit berhubungan dengan orang lain.

2.1.5.14 Ekspresi muka tegang.

2.1.5.15 Mudah tersinggung, jengkel dan marah.

2.1.5.16 Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.

2.1.5.17 Tampak tremor dan berkringat.

2.1.5.18 Prilaku panik.

2.1.5.19 Curiga dan bermusuhan.

2.1.5.20 Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.

2.1.5.21 Ketakutan.

12
2.1.5.22 Tidak dapat mengurus diri.

2.1.5.23 Biasa terdapat disorentasi waktu, tempat dan orang lain.

Rentang Respon Neurobiologis menurut Stuart (2006).

Skema 2.1 Rentang Respon Marah

Respon Adaptif Psikososial Respon Maladaptive

Pikiran Logis Pikiran menyimpang Kelainan pikiran/delusi

Persepsi akurat Ilusi Halusinasi

Emosi kansisten dengan Reaksiemosional berlebihan/ Ketidak mampuan untuk


pengalaman kurang mengalami emosi

Prilaku sesuai Prilaku ganjil/ tak lama Ketidak teraturan

Hubungan sosial yang Menarik diri isolasi social


harmonis

2.1.6 Dampak Halusinasi Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Dasar

Menurut Stuart (2006), dampak halusinasi terhadap pemenuhan kebutuhan dasar

adalah:

2.1.6.1 Nutrisi

Individu dengan halusinasi biasanya asyik dengan dunianya sendiri, sehingga

klien kurang memperhatikan terhadap dirinya dan akhirnya keinginan individu

untuk makan tidak ada. Selain itu, bila ada halusinasi mengancam atau menyuruh

individu maka dia akan menolak dan menghindari makan sehingga terjadi

gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi.

13
2.1.6.2 Istirahat dan tidur

Suara yang didengar secara terus menrus membuat individu asyik dengan

dunianya sendiri sehingga individu kehilangan waktu untuk beristrirahat atau tidur

tenang.

2.1.6.3 Personal hygiene

Individu dengan halusinasi kadang merasa cemas, takut sehingga

menimbulkan perasaan tidak nyaman dan curiga sehingga menurunkan minat

individu untuk mengurus dirinya sendiri. Selain itu, halusinasi dapat membuat

individu asyik dengan pikirannya dan motivasi terhadap perawatan dirinya

sendiri.

2.1.6.4 Kebutuhan rasa aman

Jika halusinasi mengancam maka individu cenderung merasa takut gelisa dan

merasa tidak aman sehingga timbul gangguan terhadap rasa aman.

2.1.6.5 Komunikasi

Individu dengan halusinasi cenderung berkomunikasi sendiri seolah-olah sedang

bercakap-cakap dengan seseorang, kadang sulit untuk memulai percakapan

sehingga timbul gangguan komunikasi.

2.1.6.6 Sosialisasi

Individu dengan halusinasi cenderung asyik dengan dirinya sendiri dan bersikap

masa bodoh terhadap lingkungannya sehingga individu menarik din dan interaksi

sosial terganggu.

2.1.6.7 Kebutuhan spiritual

14
Halusinasi sering dirasakan sebagai suara hantu, syetan atau kekuatan sehingga

individu tidak menyadari keberadaannya dan kehilangan control hidupnya.

Akibatnya individu terputus dengan sesama atau dengan tuhan sebagai sumber

kehidupan, harapan dan kepercayaan dampaknya adalah spiritual terganggu.

2.1.6.8 Aktualisasi diri

Individu dengan kecemasan semakin meingkat dan halusinasi berlanjut cenderung

bersikap masa bodoh terhadap lingkungan dan dirinya sendiri serta individu

tersebut tidak mampu mengambil keputusan yang logis dalam menggunakan

pencapaian dalam aktualisasi diri.

2.1.7 Penatalaksanan

Menurut Stuart (2006), penatalaksanaan pada pasien dengan gangguan sensori

persepsi: Halusinasi adalah:

2.1.7.1 Medik

Obat-obat antipsikotik kovensional (seperti klorpomazin, flufenazin, haloperidol,

loksapin, perpenazin, trifluoperazin, tioteksen, dan tioridazin) terbukti

mengurangi gejala positif skizoprenia dan secara signifikan menurunkan resiko

relaps simtomatik dan dirawat inap ulang. Namun efek samping neurology yang

serius menyebabkan obat ini sulit ditoleransi oleh banyak pasien skizofrenia.

Sedangkan kelompok obat-obat antipsikotik “atipikal” terbaru (seperti, olanzapin,

klozapin, risperidon, quetiapin, zipresidon) untuk mengatasi gejala skizofrenia

15
yang secara signifikan menurunkan resiko gangguan neurology yang merugikan.

Obat-obat ini terutama efektif dalam mengatasi gejala negatif skizofrenia.

2.1.8 Mekanisme Koping

Menurut Stuart (2006), Prilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien

dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologis

maladaptif, meliputi:

2.1.8.1 Regresi, berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk

mengatasi ansietas, yang menyisakan sedikit energi untuk aktivitas hidup

sehari-hari.

2.1.8.2 Proyeksi, sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi

2.1.8.3 Menarik diri, sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus

internal.

2.1.9 Sumber Koping

Menurut Stuart (2006), sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman

tentang pengaruh gangguan otak pada prilaku. Kekuatan dapat meliputi model,

seperti intelegensi atau kreatifitas yang tinggi. Orang tua harus secara aktif

mendidik anak-anak dan dewasa muda tentang keterampilan koping karena

mereka biasanya tidak hanya belajar dari pengamatan.

2.1.10 Penilaian Stresor

Menurut Stuart (2006), tidak terdapat riset ilmiah yang menunjukan bahwa stress

menyebebkan Skizofrenia. Namun studi mengenai relaps dan eksaserbasi

gejala membuktikan bahwa stress, penilaian individu terhadap stressor dan

16
masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan gejala.

Model diatesis stress menjelaskan bahwa gejala skizofrenia muncul

berdasarkan hubungan antara beratnya stress yang dialami individu dan ambang

toleransi terhadap stress internal.

2.2 KONSEP MODEL

Menurut Stuart (2006), model adalah suatu cara mengorganisasi kumpulan

pengetahuan yang kompleks seperti konsep yang berhubungan dengan prilaku

manusia, dan juga model ini mengintegrasikan komponen biologi, psikologi dan

sosial budaya dari asuhan keperawatan. Model yang utuh menggabungkan

landasan teoritis, komponen-komponen bio-psikososial, rentang respon koping.

Model adalah suatu cara mengorganisasikan kumpulan pengetahuan yang

kompleks seperti konsep yang berhubungan dengan prilaku manusia. Penggunaan

model ini membantu klinisi mengembangkan dasar untuk melakukan pengkajian

dan intervensi, juga memberikan cara untuk mengevaluasi keefektifan terapi.

Perawat jiwa dapat berkerja lebih efektif jika tindakan mereka didasarkan pada

suatu model yang mengenali adanya sehat atau sakit, sebagai hasil dari berbagai

karakteristik individu yang berinteraksi dengan faktor lingkungan.

Sterss di awali dengan adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber

daya yang dimiliki individu, semakin tinggi kesenjangan terjadi semakin tinggi

pula tingkat stress yang di alami individu dan akan merasa terancam.

17
Kecemasan (anciety) dan depresi (depression) merupakan dua jenis gangguan

kejiwaan yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Seseorang yang mengalami

depresi sering kali ada komponen ansietasnya, demikian pula sebaliknya.

Model ini terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut:

Skema 2.2 Model adaptasi stres

Faktor predisposisi

Biologis Psikologis Sosiokulltural

Stressor presipitasi

Sifat Asal Waktu Jumlah

Penilaian terhadap stresor

Kognitif Afektif Fisiologis Prilaku Sosial

Sumber koping

Kemampuan Dukungan sosial Aset materi Keyakinan positif


personal

Mekanisme koping

Konstruktif Destruktif

Rentang respon koping

18
Respon adaftif Respon maladaftif
Diagnosis keperawatan

2.2.1 Faktor Predisposisi

Faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat

dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.

2.2.2 Faktor Presipitasi

Stimulasi yang dipresitasi oleh individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan

yang memerlukan energi ekstra untuk koping.

2.2.3 Penilaian terhadap stressor

Suatu evaluasi tentang makna stressor bagi kesejahteraan seseorang dimana

stressor mempunyai arti, intesitas dan kepentingannya.

2.2.4 Sumber Koping

Sumber koping individual harus dikaji dengan pemahaman tentang pengaruh

gangguan otak pada prilaku. Orang tua harus secara aktif mendidik anak-anak dan

dewasa muda tentang keterampilan koping karena mereka biasanya tidak hanya

belajar dari pengamatan. Sumber keluarga dapat berupa pengetahuan tentang

penyakit, finansial yang cukup, ketersediaan waktu dan tenaga, dan kemapuan

untuk memberi dukungan secara berkesinambungan.

2.2.5 Mekanisme Koping

Tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress, termasuk upaya

penyesuaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan

untuk melindungi diri.

19
2.2.6 Rentang Respon Koping

Suatu kisaran manusia yang adaptif ke maladaptif.

2.2.7 Aktivitas tahap pengobatan

Kisaran fungsi perawatan yang berhubungan dengan tujuan pengobatan,

pengkajian keperawatan, intervensi keperewatan dengan hasil yang

diharapkan.

2.3 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Untuk mendapat data yang di perlukan umumnya di kembangkan format

pengkajian dan petunjuk teknis pengkajian adar memudahkan dalam pengkajian,

meliputi : identitas klien, keluhan utama atau alasan masuk, factor predisposisi,

aspek fisik dan biologis, aspek psikososial, status mental, kebutuhan persiapan

pulang, mekanisme koping, masalah psikososial, pengetahuan dan aspek medik.

2.3.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan.

Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau

masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psiko, sosial dan

spiritual.

Proses pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan

pemeriksaan (Keliat, 2009).

Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor

presdisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping dan

kemampuan koping yang dimiliki klien (Stuart, 2006)

20
Tanda-tanda pada klien dengan halusinasi pendengaran :

2.3.1.1 Bicara, tersenyum dan tertawa sendiri

2.3.1.2 Klien mengatakan mendengankan sesuatu

2.3.1.3 Merusak diri sendiri dan lingkungan

2.3.1.4 Menarik diri dan menghindar dari orang lain

2.3.1.5 Tidak mampu melaksanakan diri sendiri seperti mandi, sikat gigi dan

berhias yang rapih.

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

Menurut Stuart (2006), diagnosa yang muncul pada halusinasi :

2.3.2.1 Ansietas

2.3.2.2 Defisit perawatan diri

2.3.2.3 Resiko bunuh diri

2.3.2.4 Gangguan konsep diri : harga diri rendah

2.3.2.5 Gangguan sensori persepsi : halusinasi pendengaran

2.3.2.6 Koping keluarga tidak efektif

2.3.2.7 Koping individu tidak efektif

2.3.2.8 Resiko perilaku kekerasan

2.3.2.9 Isolasi social

2.3.2.10Gangguan proses piker

2.3.2.11Gangguan Komunikasi Verbal

21
2.3.3 Rencana Keperawatan

Menurut Damaiyanti (2012), pada perencanaan ini berisikan tujuan umum dan

tujuan khusus :

2.3.3.1 Tujuan umum: berfokus pada penyelesaian permasalahan dari diagnosis

tertentu.

2.3.3.2 Tujuan khusus pada klien:

2.3.3.2.1 Klien dapat membina hubungan saling percaya.

2.3.3.2.2 Klien dapat menganal halusinasinya.

2.3.3.2.2.1 Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap

2.3.3.2.2.2 Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya

2.3.3.2.2.3 Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi

halusinasi dan beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.

2.3.3.2.2.4 Diskusikan dengan klien apa yang dilakukan untuk mengatasi perasaan

tersebut

2.3.3.2.2.5 Diskusikan tempat yang akan dialaminya bila klien menikmati

haluisinasinya.

2.3.3.2.2.6 Jika klien tidak sedang berhalusinasi klarifikasi isi tentang adanya

pengalaman halusinasi.

2.3.3.2.2.7 Diskusikan dengan klien isi, waktu dan frekuensi terjadinya

halusinasi dan kondisi atau situasi yang menimbulkan halusinasi.

2.3.3.2.3 Klien dapat mengontrol halusinasi

22
2.3.3.2.3.1 Identifikasi bersama klien cara atau tindakan yang dilakukan jika

terjadi halusinasi

2.3.3.2.3.2 Diskusikan cara yang digunakan klien

2.3.3.2.3.3 Diskusikan cara baru untuk memutuskan atau mengontrol

halusinsinya

2.3.3.2.3.4 Bantu klien memilih cara yang sudah dianjurkan dan latih untuk

mencobanya

2.3.3.2.3.5 Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dipilih dan dilatih

2.3.3.2.3.6 Pantau pelaksanaan yang dipilih dan dilatih jika berhasil beri pujian

2.3.3.2.3.7 Anjurkan klien mengikuti aktivitas kelompok, orentasi realita, stimulus

persepsi

2.3.3.2.4 Klien dapat memanfaatkan obat secara benar.

2.3.3.2.4.1 Diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugian tidak minum

obat, nama, warna, dosis, cara, efek terapi dan efek samping

penggunaan obat

2.3.3.2.4.2 Pantau klien saat penggunaan obat

2.3.3.2.4.3 Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dokter atau

perawat

2.3.3.2.4.4 Jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan

23
2.3.4 Evaluasi

Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan

keperawatan pada klien. Evaluasi dapat dibagi dua, yaitu evaluasi proses atau

formatif yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan dan evaluasi hasil

atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan respon klien pada tujuan

khusus dan umum yang telah ditentukan (Keliat, 2009).

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Halusinasi adalah suatu gejala gangguan jiwa pada individu yang di tandai dengan

perubahan sensori persepsi; merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,

pengecapan, perabaan atau penghiduan. Pasien merasakan stimulus yang

sebenarnya tidak ada (Keliat, 2009)

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien mengalami

perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,

pengecapan, perabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang

sebetulnya tidak ada (Damaiyanti, 2008)

Tipe halusinasi yang paling sering adalah halusinasi pendengaran (Auditory-


hearing voices or sounds), penglihatan (Visual-seeing persons or things),
penciuman (Olfactory-smelling odors), pengecapan (Gustatory-experiencing
tastes). Dan tahapan halusinasi terbagi menjadi 4 di antaranya : menyenangkan,
menyalahkan, mengendalikan dan menahlukkan.

3.2 Saran
Halusinasi ialah termasuk gangguan dari kejiwaan seseorang dan disebabkan oleh

beberapa sebab.Selain itu perawat juga harus mampu memotivasi pasien agar

melakukan kegiatan yang dapat mengontrol halusinasi serta sesering mungkin

menemani pasien saat pasien terlihat menyendiri.

25
DAFTAR PUSTAKA

26

Anda mungkin juga menyukai