Kondisi Sosio-Budaya Zaman Madya
Kondisi Sosio-Budaya Zaman Madya
NIM : 190030174
Kode Kelas : BF193
Zaman Madya menurut periodisasi zaman di nusantara dimulai sejak dari datangnya agama
dan pengaruh Islam menjelang akhir zaman Majapahit sampai akhir abad ke-19.
Zaman dahulu Indonesia dikenal sebagai daerah terkenal akan hasil rempah-rempahnya,
sehingga banyak sekali para pedagang dan saudagar dari seluruh dunia datang ke kapulauan
Indonesia untuk berdagang.
Hal tersebut juga menarik pedagang asal Arab, Gujarat, dan juga Persia. Sambil
berdagang para pedagang Muslim sembari berdakwah untuk mengenalkan ajaran Islam
kepada para penduduk. Menurut para sejarawan, pada abad ke-13 M Islam sudah masuk ke
nusantara yang dibawa oleh para pedagang Muslim. Agama Islam masuk ke Indonesia
dengan melalui jalur damai perdagangan dan kebudayaan. Pada sekitar abad ke-16 hampir
sebagian besar masyarakat Indonesia telah memeluk agama Islam. Mereka melaksankan
ajaran Islam secara menyeluruh. Faktor penyebab mudah berkembangnya agama Islam di
Indonesia, yaitu sebagai berikut:
a) Agama Islam di sebarkan dengan cara damai.
b) Tidak adanya sistem kasta dalam Islam.
c) Upacara dalam Islam sangat Sederhana.
d) Syarat seseorang masuk Islam sangat mudah.
e) Penyebaran Islam menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya yang telah ada.
Agama Islam tumbuh dan berkembang di Indonesia karena peran para pedagang, mubalig,
dan ahli tasawuf. Nilai-nilai ajaran Islam itu di sampaikan melalui saluran perdagangan,
perkawinan, tasawuf, pendidikan, dan kesenian.
Indonesia yang dikenal oleh bangsa-bangsa Eropa sebagai negeri yang subur dan penghasil
rempah-rempah yang ternama menarik datangnya kolonialisme barat ke Indonesia.
Kedatangan mereka sama sekali bukan seperti yang mereka katakan merupakan suatu
kewajiban dari bangsa kulit putih untuk memajukan bangsa kulit putih, melainkan semata-
mata mengeruk keuntungan dari Indonesia. Secara kronologis dapat diuraikan datangnya
kolonialisme barat sebagai berikut.
(1) Portugis masuk ke Ambon dan Ternate (1512) serta menyisihkan Spanyol dan
Indonesia melalui perjanjian Saragosa (1529), di mana Indonesia adalah untuk
Portugis dan Filipina untuk Spanyol. Mereka membagi daerah jajahan dengan
seenaknya.
(2) Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) berdiri tahun 1602 dan dapat mengusir
Portugis. VOC merupakan kongsi dagang, tetapi didukung dengan kekuatan pasukan
untuk mencapai tujuannya. VOC menikmati berbagai keuntungan politis dan
ekonomis seperti : monopoli perdagangan khususnya rempah-rempah; membangun
banteng-benteng pertahanan untuk memperkuat kekuasaannya; mengadakan
pemusnahan tanah rempah-rempah jika harganya turun (hak ekstirpasi); mengadakan
sistem contingenten (pajak in natura) Contingenten Pajak hasil atas tanah pertanian
harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni) . Petani harus menyerahkan
sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun .;
mengadakan “apanage stelsel”, yaitu raja memberikan kekuasaan kepada pegawai
tinggi bawahannya untuk mengambil penghasilan di dalam wilayah kekuasaannya.
Hal inilah yang menyebabkan beban rakyat di desa menjadi amat berat karena
kewajiban penyerahan hasil yang berlapis-lapis ke atas (VOC, raja, bangsawan
kerajaan, kepala wilayah). Bahkan tanah dan penduduknya dengan ikatan feudal bisa
dijual kepada swasta. VOC sebagai kongsi dagang swasta melakukan kegiatan politik
dan militer untuk menguasai dan menjajah Indonesia. Kegiatan ini merupakan alat
untuk menjamin keuntungan ekonominya.
(3) Terjadilah perlawanan terhadap VOC yang dilakukan oleh para raja, tetapi bersifat
lokal, karena kekuasaannya dirongong, seperti Sultan Agung, Hasanuddin, Iskandar
Muda, Untung Surapati, dll.
(4) VOC dibubarkan (31-12-1799), terutama berdasarkan pertimbangan politis. Belanda
berada di bawah kekuasaan Prancis (1975) dan dibentuklah Republik Bataaf. Menurut
pertimbangan Prancis, VOC tidak mampu menghadapi serangan Inggris oleh karena
itu kekuasannya diambilalih oleh Republik Bataaf.
(5) Inggris menggantikan kekuasaan Belanda di Indonesia (1811-1816) di bawah Thomas
Sir Raffles. Ia memberlakukan sistem pajak atas tanah (landrent), yang kemudian
menjadi pajak atas tanah dan bangunan atau PBB. Terjadi perlawanan dari raja-raja
seperti Badaruddin (Palembang), Hamengku Buwono II (Yogyakarta), Paku Buwono
IV (Surakarta), dll.
(6) Konvensi London (1814) mengembalikan Indonesia kepada Belanda dengan alasan :
secara ekonomis menjajah Indonesia tidak menguntungkan bagi Inggris, secara politis
Inggris membutuhkan Belanda sebagai kawan dalam menghadapi Prancis. Dari sini
juga terlihat begitu mudahnya para penjajah membagi wilayah kekuasaannya.
(7) Pemerintahan Belanda yang baru disebut Netherlandsch Indie atau Hindia-Belanda
(1816-1942). Penderitaan rakyat secara psikologis, politis, dan ekonomis bertambah
berat. Terjadi perlawanan dari para raja seperti Diponogoro (1825-1830), Imam
Bonjol (1821-1837), Teuku Umar dkk (1871-1904), Jelantik di Bali (1850), dll.
(8) Sistem Tanam Paksa (Culture Stelsel) (1830-1870)
Rakyat diwajibkan menanam dan memelihara tanaman sesuai dengan kehendak
pemerintah colonial, yaitu tanaman yang dihasilkan laku di Eropa, dan hasil tanaman
itu harus diserahkan kepada pemerintah. Jenis tanaman yang diwajibkan adalah tebu,
nila, tembakau, kayu manis, merica, cat dan lak.
(9) Reaksi terhadap Tanam Paksa buatan Johannes van den Bosch
a. Perlawanan rakyat, raja, dan ulama,
b. Kaum humanis Belanda (Edward Douwes Dekker dan Baron van Hoevel),
c. Kaum kapitalis Belanda (Sisten Tanam Paksa menutup peluang bagi kaum
kapitalis untuk menanamkan modalnya di Indonesia).
(10) Hasil perlawanan terhadap Tanam Paksa
a. Gubernur Jendral tidak boleh menjual tanah, hanya boleh menyewakan tanah
menurut undang-undang.
b. Semua tanah yang tidak dapat dibuktikan milik pribadi adalah milik negara.
c. Politik pintu terbuka untuk investasi di bidang pertanian, perkebunan,
perdagangan, dan perbankan.
d. Politis etis, yaitu irigasi, tansmigrasi, dan edukasi dari van Deventer, yang menulis
dalam majalah de Gide dengan judul “Utang Budi”.