Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Produk-produk elektronik dituntut oleh pasar untuk dapat selalu meningkatkan
kemampuan serta efisiensi dari komponen elektronik pembentuknya. Keadaan ini
mengakibatkan kebutuhan suatu rakitan elektronik yang memiliki kepadatan
komponen yang lebih tinggi serta miniaturisasi dari komponen pembentuknya
menjadi hal yang perlu selalu ditingkatkan. Oleh karena itu, para produsen
komponen elektronik dituntut untuk selalu memaksimalkan kemampuan produk
komponennya dengan berbagai cara. Selain dengan meningkatkan kemampuan
material pembentuk dari komponen tersebut, produsen juga dihadapkan kepada
pilihan untuk mengorbankan kemampuan struktural dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan kemampuan dari komponen tersebut, sehingga kerentanan komponen
elektronik terhadap kondisi lingkungan operasionalnya serta perlakuan ketika
proses perakitan menjadi hal yang lebih kritis dalam mempertahankan kehandalan
produk tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, Surface Mount Technology (SMT) telah


berkembang pesat dan memberikan opsi lain kepada industri elektronik untuk
memilih penerapan teknologi yang akan digunakan. Menurut Lee (2001), SMT
merupakan metode untuk memproduksi sirkuit elektronik dengan komponen
dipasang atau ditempatkan langsung ke permukaan Printed Circuit Board (PCB)
tanpa adanya pin yang ditancapkan di permukaan PCB tersebut. Berikut merupakan
proses umum yang dilakukan pada metode SMT.

1
Gambar I. 1 Proses umum Surface Mount Technology (Lee, 2001)

Berdasarkan Gambar I.1, proses perakitan komponen SMT terdiri dari empat
langkah utama: 1) pencetakan pasta solder; 2) penempatan komponen; 3) proses
reflow soldering; dan 4) pemeriksaan. Pada langkah pertama, seluruh peralatan dan
komponen dipersiapkan. Selanjutnya, proses perakitan komponen bisa dilakukan.
Terdapat sub proses di dalam proses perakitan komponen SMT. Sub proses yang
pertama adalah pencetakan pasta solder, dalam hal ini lapisan pasta solder dicetak
pada permukaan PCB. Pada sub proses yang kedua, setiap komponen diposisikan
di permukaan PCB sesuai kebutuhan. Pada sub proses yang ketiga, proses reflow
soldering dilakukan dengan tujuan membentuk sambungan solder. Kemudian sub
proses terakhir di dalam proses perakitan komponen adalah proses pemeriksaan,
yang bertujuan untuk memastikan produk hasil proses perakitan sudah sesuai yang
diharapkan. Proses pembersihan dilakukan setelah proses perakitan komponen
selesai dengan tujuan membersihkan komponen perakitan dari kontaminasi partikel
lain. Langkah terakhir yaitu pemeriksaan untuk memastikan produk yang
dihasilkan pada proses ini dalam keadaan baik, apabila produk mengalami defect
maka perlu dilakukan perbaikan dan pengerjaan ulang (rework). Dari sekian banyak
perlakuan pada proses perakitan, ketahanan komponen elektronik terhadap
perlakuan panas ketika proses reflow soldering merupakan hal yang wajib untuk
dilalui.

2
Reflow soldering merupakan proses yang wajib dilalui oleh setiap komponen
elektronik untuk melewati fase perakitan pada teknologi SMT. Di dalam proses
reflow soldering terdapat proses untuk menempatkan pasta solder, memposisikan
perangkat dan menjalankan proses penyolderan pada sebuah reflow oven (Lee,
2001). Pada proses tersebut, koneksi permanen terbentuk antara komponen dengan
transmission line pada PCB dalam bentuk sambungan solder. Dalam hal ini, panas
yang diberikan membuat pasta solder meleleh dan membentuk sambungan solder
ketika melewati fase pendinginan/cooling, sehingga penentuan profil dari suhu
pada proses reflow akan ditentukan oleh karakteristik dan sifat kimia dari tipe
solder yang digunakan.

Dengan adanya kewajiban secara hukum untuk mengaplikasikan lead-free solder


atau solder bebas timbal, mengakibatkan peak temperature (suhu puncak) dari
proses reflow soldering menjadi meningkat (Lau, Abdullah, & Che Ani, 2012).
Dengan meningkatnya suhu pada proses reflow soldering, tegangan yang
diakibatkan oleh suhu tinggi (thermal stress) yang dialami oleh komponen
diprediksi akan menjadi lebih tinggi pula. Oleh karena itu, menjadi suatu tantangan
kepada seorang perancang komponen untuk mampu menghasilkan komponen yang
mampu bertahan dari thermal stress ketika proses reflow soldering.

Secara spesifik, tuntutan ini juga berlaku pada proses pengembangan komponen
induktor, terutama tipe Chip Choke Coil (CCC). Desain umum suatu CCC terdiri
dari drum core, kumparan (coil) dan termination (Cai et al., 2011). Drum core
dibentuk dari material softmagnetic sebagai penghasil utama kemampuan magnetis
induktor tersebut. Desain kumparan (coil) dimaksimalkan untuk menghasilkan
stimulus medan magnet sehingga induktansi yang diharapkan dapat tercapai.
Sedangkan termination difungsikan sebagai penghubung antara induktor dengan
PCB menggunakan sambungan solder hasil dari proses reflow soldering.

3
Gambar I. 2 Contoh produk induktor CCC

Mayoritas hasil rancangan yang ditempuh oleh para perancang untuk meningkatkan
kemampuan dan efisiensi dari CCC adalah dengan memberikan suatu adhesive
(campuran antara polymeric binder + softmagnetic partikel) pada rongga antara top
flange dan lower flange (Nowosielski, 2007). Dengan adanya adhesive ini, nilai
induktansi dari induktor tersebut akan meningkat sehingga jumlah lilitan pada
kumparan dapat dikurangi. Gambar I.2 menunjukkan contoh produk induktor CCC.
Pengurangan ini berakibat kepada peningkatan efisiensi dari induktor dengan
turunnya nilai resistansi dari kumparan yang digunakan. Gong (2007) dalam
studinya menyebutkan bahwa perbedaan nilai Coefficient of Thermal Expansion
(CTE) yang signifikan menjadi penyebab timbulnya pemuaian pada bagian
adhesive saat proses reflow soldering.

Gambar I. 3 Ilustrasi komponen Chip Choke Coil (CCC)

4
Dalam hal ini adhesive memuai ke segala arah sesuai dengan karakteristiknya yang
bersifat isotropik, yaitu semua sifat yang dimiliki sama ketika material ditarik atau
ditekan ke segala arah sehingga pada pemuaian tersebut mengakibatkan drum core
khususnya bagian top flange akan terdorong ke atas yang berpeluang menyebabkan
keretakan pada bagian drum core. Keretakan yang terjadi cenderung diakibatkan
oleh perbedaan pada nilai Coefficient of Thermal Expansion (CTE) yang mencolok
antara adhesive dan drum core. Nilai CTE merupakan faktor yang menentukan
besarnya mekanisme pemuaian pada suatu jenis zat (Budiharti et al., 2016). CTE
dari adhesive yang difabrikasi menggunakan material polimer nilainya lebih besar
dibandingkan dengan nilai CTE drum core yang difabrikasi menggunakan material
keramik. Ketika adanya peningkatan suhu saat proses reflow soldering berlangsung,
adhesive yang memiliki nilai ekspansi lebih besar dibandingkan drum core akan
memuai lebih cepat sesuai dengan karakteristiknya sehingga berdasarkan hal
tersebut akan dihasilkan gaya yang mendorong dan akan menimbulkan tegangan
(stress) pada beberapa bagian dari drum core. Gambar I. 4 menunjukkan contoh
model keretakan pada komponen induktor akibat stress yang ditimbulkan dari
pemuaian filler/adhesive.

Gambar I. 4 Contoh model keretakan pada komponen induktor (Sjafrizal, 2018)

Suatu proses reflow soldering mempunyai variabel yang bisa diukur yaitu suhu dan
waktu, sehingga dalam hal ini sebuah profil reflow soldering yang menggambarkan
suhu dengan rentang waktu akan terbentuk (Tsai, 2012). Berdasarkan hal tersebut,
profil dari reflow soldering dapat dikategorikan menjadi beberapa zona berdasarkan

5
suhu. Profil tersebut memiliki 4 zona pemanasan (heating zone) yang bisa dikontrol
secara independen pada proses reflow soldering yaitu zona pemanasan awal
(preheating), zona tersebut menggambarkan fase awal pemanasan yang harus
dilalui pada saat proses reflow soldering berlangsung, zona soaking (berada di
antara zona pemanasan awal dan pemanasan utama), zona pemanasan utama
(heating) yang merupakan fase utama dari proses reflow soldering di mana
pembentukan solder joint akan dimulai dalam fase ini. Pada zona heating, akan
tercapai suhu tertinggi pada proses reflow soldering yang disebut peak temperature,
sehingga diperlukan perhatian khusus oleh para perancang komponen mengenai
kemampuan komponen melewati zona pemanasan utama (heating) ini. Zona
terakhir yang berada pada proses reflow soldering adalah zona pendinginan
(cooling), pada fase ini solder joint secara bertahap akan membentuk padatan
sebagai hasil akhir dari rangkaian proses reflow soldering. Keempat zona tersebut
memiliki gradien suhu yang menyesuaikan kepada kebutuhan masing-masing sub-
proses reflow soldering. Gambar I. 5 memperlihatkan tipikal temperature profile
dari proses reflow soldering.

Gambar I. 5 Tipikal profil reflow soldering

Dalam studinya, Cai (2011) menyebutkan bahwa keretakan akibat stress yang
ditimbulkan oleh perubahan suhu merupakan mekanisme kegagalan yang sangat

6
kritis untuk komponen induktor. Tujuan dari studi tersebut adalah untuk
menginvestigasi efek dari reflow soldering profile terhadap kemungkinan keretakan
pada suatu induktor. Hasil dari studi tersebut memperlihatkan bahwa fase
reflow/heating merupakan tahapan yang kritis terkait keretakan komponen akibat
dari perubahan suhu yang terlalu cepat (thermal shock). Dalam hal ini juga
dijelaskan bahwa mekanisme keretakan yang diakibatkan oleh pemuaian pada
proses reflow, dapat dikurangi dengan melakukan penyesuaian pada parameter
radius dalam dari drum core. Selain itu, terdapat faktor berupa reflow rate yang bisa
dikontrol dan berpeluang dapat mengurangi potensi munculnya keretakan (Takyi,
2015). Dari studi-studi tersebut disimpulkan bahwa, penyesuaian desain drum core
berdasarkan karakteristik profil suhu reflow merupakan tindakan yang perlu
diperhatikan.

Potensi munculnya produk yang cacat setelah proses reflow soldering


menyebabkan berkurangnya produktivitas sekitar 30-50% dari total produksi (Tsai,
2012). Dengan besarnya potensi kerugian ini, kemampuan seorang perancang
induktor untuk menekan kecacatan dengan melakukan penyesuaian pada desain
produknya perlu menjadi perhatian khusus dikarenakan nilai fungsional suatu
produk dapat timbul dari keandalan dan ketahanan produk tersebut pada suatu
kondisi, oleh karena itu nilai funsgional dapat menentukan pertimbangan pelanggan
untuk memilih produk yang layak (Hapsari, Sjafrizal, & Anugraha 2017). Simulasi
dengan pendekatan finite element modeling dengan menggunakan perangkat lunak
diyakini dapat menjadi alat untuk mendeteksi kemungkinan kecatatan pada fase
perancangan produk. Pemaparan mengenai kemampuan Finite Element Method
(FEM) dalam menganalisis respon akibat thermal shock telah dilakukan oleh
beberapa studi sebelumnya. Dalam studi yang dilakukan oleh Lau et al. (2012),
dirancang sebuah model FEM dengan berdasarkan kombinasi Taguchi untuk
mengetahui respon yang dihasilkan berupa nilai stress pada komponen packaging
Ball Grid Array (BGA). Dengan objek yang sama, Gong (2007) juga merancang
sebuah model FEM untuk menyelesaikan suatu problem dengan cara membagi
obyek analisa menjadi bagian-bagian kecil yang terhingga dengan tujuan
mengetahui distribusi suhu pada komponen BGA.

7
Dalam studi ini, metode numeris akan diimplementasikan untuk menginvestigasi
respon stress pada komponen CCC akibat pemuaian adhesive saat proses reflow
soldering melewati fase heating/reflow. Hasil dari kajian ini diharapkan dapat
menjadi referensi kepada para perancang induktor sehingga keretakan pada proses
reflow soldering dapat dihindari.

I.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka didapatkan
rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana parameter desain komponen Chip Choke Coil (CCC) untuk
menghasilkan nilai stress minimum yang diakibatkan oleh proses reflow
soldering?

I.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan dari studi ini adalah
sebagai berikut.
1. Mengetahui parameter desain komponen Chip Choke Coil (CCC) untuk
menghasilkan nilai stress minimum yang diakibatkan oleh proses reflow
soldering.

I.4 Batasan Penelitian


Studi ini memiliki beberapa batasan masalah sehingga diharapkan studi ini menjadi
lebih fokus sesuai dengan tujuan. Adapun batasan-batasan tersebut adalah sebagi
berikut.
1. Dengan keterbatasan bahan, alat dan waktu, validasi hasil simulasi tidak
dapat dilakukan dengan cara pengumpulan data secara empiris.
2. Proses eksperimen dilakukan hanya sebatas simulasi aliran udara dan static
structural menggunakan software ANSYS 18.1 tanpa memerhatikan
pengujian lain.

8
I.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang didapatkan dari pelaksanaan studi ini adalah sebagai berikut.
1. Menghasilkan referensi parameter desain yang optimum pada komponen
Chip Choke Coil (CCC) dalam rangka memastikan produk yang dihasilkan
aman dari keretakan.

I.6 Sistematika Penulisan


Penyusunan laporan studi ini terdiri atas beberapa bab yang masing-masing berisi
uraian dan penjelasan segala aktivitas dan kegiatan yang dilakukan selama studi ini
berlangsung. Hal tersebut dilakukan agar pembahasan masalah lebih sistematis dan
spesifik sesuai dengan topik yang dikaji. Laporan ini terdiri dari 6 bab, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi uraian latar belakang mengenai penerapan
metode reflow soldering pada Surface Mount Technology (SMT)
yang berpeluang mengakibatkan crack atau keretakan pada
komponen Chip Choke Coil (CCC) dan metode yang digunakan
untuk mengoptimasi parameter desain komponen CCC untuk
meminimasi peluang terjadinya crack akibat stress. Selain itu
terdapat rumusan masalah, tujuan studi, batasan studi, manfaat studi
dan sistematika studi.

BAB II LANDASAN TEORI


Pada bab ini berisi literatur terkait dan dasar teori yang digunakan
sebagai referensi studi. Tujuan dari bab ini adalah merancang pola
pemikiran pada studi yang dilaksanakan dalam mengoptimasikan
parameter desain komponen CCC untuk meminimasi peluang
terjadinya crack menggunakan metode Taguchi. Beberapa metode
dan teori pendukung yang terkait dengan pelaksanaan studi ini juga
akan dicantumkan pada bab ini.

9
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab metode studi berisi penjelasan mengenai struktur
masalah secara konseptual dan sistematika penyelesaiannya
menggunakan metode yang digunakan, yaitu Metode Taguchi.
Metode pemecahan masalah disusun berdasarkan parameter-
parameter pendukung dan masalah yang akan diselesaikan.

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA


Pada bab ini dilakukan pengolahan data berdasarkan data yang
diperoleh mengenai parameter apa saja yang memengaruhi
keretakan akibat pemuaian adhesive pada Chip Choke Coil (CCC)
dengan menggunakan Metode taguchi yang selanjutnya hasil
pengolahan data akan dianalisis pada bab selanjutnya.

BAB V ANALISIS
Dalam bab analisis dilakukan proses analisis mengenai parameter
dengan hasil pengolahan data yang optimum dan memberikan
usulan berdasarkan hasil optimum dari pengolahan data.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


Dalam bab kesimpulan dan saran dilakukan penarikan kesimpulan
dari hasil studi dan memberikan saran untuk studi selanjutnya yang
akan membahas pada lingkup yang sama.

10

Anda mungkin juga menyukai