Anda di halaman 1dari 32

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)


Berat badan merupakan salah satu indikator kesehatan bayi baru lahir.
Rerata berat bayi normal adalah 3200 gram (usia gestasi 37 s.d. 41
minggu). Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang dilahirkan
dengan berat lahir < 2500 gram tanpa memandang masa gestasi. Berat
lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam pertama setelah
lahir (Fanaroff 2002; IDAI 2004; Stoll & Adams-Chapman 2007; Damanik
2008).
Hubungan antara umur kehamilan dengan berat lahir mencerminkan
kecukupan pertumbuhan intrauterin. Penentuan hubungan ini akan
mempermudah antisipasi morbiditas dan mortalitas selanjutnya.
Penentuan umur kehamilan bisa dilakukan mulai dari antenatal sampai
setelah persalinan. Pada masa antenatal ditentukan dengan cara
sederhana yaitu dengan menghitung Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT).
Setelah persalinan, penentuan umur kehamilan dilakukan dengan
pemeriksaan. Bagian dari pemeriksaan ini didasarkan pada kriteria
perkembangan saraf yang spesifik serta berbagai sifat fisik luar yang
terus-menerus berubah seiring dengan berlanjutnya kehamilan.
Menurut hubungan berat lahir/umur kehamilan, berat bayi baru lahir
dapat dikelompokkan menjadi (Damanik 2008):
a. Sesuai Masa Kehamilan (SMK)
b. Kecil Masa Kehamilan (KMK)/Small for Gestational Age (SGA)
c. Besar Masa Kehamilan (BMK)
Berdasarkan umur kehamilan, bayi dapat digolongkan menjadi
(Damanik 2008):
a. Bayi Kurang Bulan (BKB) yaitu bayi yang dilahirkan dengan masa
gestasi < 37 minggu (< 259 hari).

Universitas Sumatera Utara


b. Bayi Cukup Bulan (BCB) yaitu bayi yang dilahirkan dengan masa
gestasi antara 37-42 minggu (259-293 hari).
c. Bayi Lebih Bulan (BLB) yaitu bayi yang dilahirkan dengan masa
gestasi >42 minggu (294 hari).
Bayi berat lahir rendah mungkin disebabkan oleh (Stoll & Adams-
Chapman 2007):
a. Kurang bulan (usia kehamilan/ masa gestasi kurang dari 37
minggu/preterm)
b. Gangguan pertumbuhan intrauterin/ intrauterine growth restriction
(IUGR)
c. Keduanya
Klasifikasi Bayi
a. Klasfikasi Bayi Berat Lahir Rendah:
1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat
lahir antara 1500 gram sampai dengan 2500 gram.
2. Bayi Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR) adalah bayi
dengan berat lahir antara 1000 gram sampai kurang dari
1500 gram.
3. Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah (BBLASR) adalah
bayi dengan berat badan lahir kurang dari 1000 gram (Hay
2002; Mulyawan 2009).
b. Umur kehamilan atau masa gestasi adalah masa sejak terjadinya
konsepsi sampai dengan saat kelahiran, dihitung dari hari pertama
haid terakhir (Damanik 2008), dikelompokkan menjadi:
1. Preterm infant atau bayi prematur adalah bayi yang lahir
pada umur kehamilan tidak mencapai 37 minggu.
2. Term infant atau bayi cukup bulan (mature atau aterm)
adalah bayi yang lahir pada umur kehamilan 37-42
minggu.

Universitas Sumatera Utara


3. Postterm infant atau bayi lebih bulan adalah bayi yang
lahir pada umur kehamilan sesudah 42 minggu (Wilkinson
et al. 2002; Purnami 2010).
Penyebab terjadinya kelahiran bayi dengan BBLR, yaitu:
a. Faktor ibu: hipertensi dan penyakit ginjal yang kronik,
perokok, penderita diabetes melitus yang berat, pre-
eklampsia, eklampsia, hipoksia ibu, hemoglobinopati,
penyakit paru kronik, gizi buruk, drug abuse, peminum
alkohol.
b. Faktor uterus dan plasenta: kelainan pembuluh darah
(haemangioma), insersi tali pusat yang tidak normal, infark
plasenta, kehamilan ganda, pelepasan plasenta sebagian,
plasenta kecil, gangguan sirkulasi ibu dan janin.
c. Faktor janin: kehamilan ganda, kelainan kromosom, cacat
bawaan, infeksi dalam kandungan (toksoplasmosis, rubella,
sitomegalovirus, herpes, sifilis, TORCH)
d. Faktor penyebab lain yaitu keadaan sosial ekonomi yang
rendah dan tidak diketahui (Budhi & Rujito 2007; Suwoyo,
Antono & Triagusanik 2011).

2.2. Gangguan Pendengaran Pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)


Bayi berat lahir rendah (BBLR) disebut bayi beresiko tinggi dengan
adanya patofisiologi yang menyertai, prognosis BBLR akan lebih buruk
terutama pada periode awal setelah lahir dibandingkan dengan bayi
normal. Komplikasi langsung dapat terjadi pada BBLR, berbagai masalah
jangka panjang mungkin timbul antara lain gangguan perkembangan,
gangguan pertumbuhan, retinopati, gangguan pendengaran, penyakit paru
kronis, dan kelainan bawaan (Suwoyo, Antono & Triagusanik 2011).
Hubungan antara BBLR dengan gangguan pendengaran kurang
diketahui, walaupun pengetahuan dasar mengenai penyebab gangguan
pendengaran telah berkembang namun sulit untuk mengetahui secara

Universitas Sumatera Utara


menyeluruh mengenai mekanisme yang menyebabkan gangguan
pendengaran pada BBLR (Cristobal & Oghalai 2008).
Pemeriksaan audiometri dan radiologi juga tidak memberikan perincian
yang jelas mengenai perubahan pada sistem auditori. Proses
pendengaran pada manusia normal memerlukan fungsi telinga luar,
telinga tengah, telinga dalam (koklea) dan jaras batang otak yang baik
(Cristobal & Oghalai 2008).
Saat ini, terdapat dua metode skrining pendengaran neonatus, yaitu
OAE dan ABR. Yang paling sering dipakai adalah OAE karena murah dan
mudah dioperasikan pada skrining massal. Mesin OAE mendeteksi bunyi
yang dihasilkan oleh proses biokemikal yang berasal dari sel rambut luar
koklea. Hal ini menyebabkan OAE sangat sensitif untuk mendeteksi
disfungsi sel rambut luar. Evaluasi dengan OAE tidak dapat mendeteksi
disfungsi neural (saraf ke delapan atau jaras batang otak). Penggunaan
OAE dalam skrining pendengaran pada populasi yang banyak menderita
tuli sensorineural dapat menyebabkan tidak terdeteksinya gangguan
pendengaran. Namun beberapa peneliti melaporkan bahwa OAE dapat
mendeteksi tuli sensorineural, karena OAEs merupakan respon akustik
yang berhubungan dengan proses pendengaran normal dan OAEs tidak
ada bila terdapat gangguan pendengaran lebih dari 30 dBHL. Bila
pemeriksaan telah selesai, hasilnya akan tertampil pada layar dengan
“pass” bila terdapat respon dan “refer” bila tidak ada respon terhadap
stimulus (Boo, Rohani & Asma 2008).
Pemeriksaan dengan ABR merefleksikan aktivitas koklea, saraf auditori
dan auditory brainstem pathway, sehingga ABR dapat mendeteksi
neuropati auditori atau gangguan konduksi neural (Boo, Rohani & Asma
2008). Hasil pemeriksaan dianggap normal bila terdapat respon bilateral
pada 35 dB dan terganggu bila tidak ada respon pada 35 dB minimal pada
satu telinga (Taghdiri et al. 2008).
Sensitivitas OAE sebesar 100% dan spesifisitasnya 82-87%,
sedangkan sensitivitas ABR 100% dan spesifisitasnya 97-98%. Bila OAE

Universitas Sumatera Utara


dilanjutkan dengan AABR dalam 2 tahapan skrining sensitivitasnya
menjadi 100% dan spesifisitas 99% (Rundjan et al. 2005).
Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL
menyusun kebijakan penyediaan fasilitas skrining pendengaran pada bayi.
Tujuan skrining pendengaran adalah menemukan gangguan pendengaran
sedini mungkin pada bayi baru lahir agar dapat segera dilakukan habilitasi
pendegaran yang optimal. Departemen Kesehatan RI telah menetapkan
alur skrining pendengaran bayi baru lahir di Indonesia seperti yang terlihat
pada gambar 2.1. (HTA Indonesia 2010).
Faktor yang merusak pada bayi baru lahir meliputi paparan terhadap
toksin, infeksi serebral, iskemia, ketidakseimbangan hormonal yang dapat
menyebabkan keterlambatan proses mielinisasi, yang diekspresikan
sebagai immaturitas atau disfungsi (Psarommatis et al. 2010).
BBLR tiga kali lebih sering mengalami komplikasi neurodevelopmental
dan abnormalitas kongenital. BBLR preterm (<32 minggu) kebanyakan
mengalami komplikasi yang disebabkan imaturitas anatomik dan
fisiologikal. BBLR berisiko mengalami komplikasi yang dapat
meninggalkan sekuele permanen (Singh, Chouhan & Sidhu 2009).
Gangguan pendengaran pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh
karena kegagalan perkembangan satu atau lebih dari bagian sistem
auditori atau terhentinya proses perkembangan pada tahap tertentu.
Selain itu, terdapat juga beberapa faktor yang dapat menyebabkan
degenerasi mekanisme perkembangan pendengaran (Arpino et al. 2010).
Tahap perkembangan otak yang berkesinambungan merupakan faktor
yang sangat penting. Otak bayi yang cukup bulan sangat berbeda dengan
otak bayi preterm dimana maturasi otak terhenti pada tahap kritis
perkembangan sarafnya. Kelahiran premature menyebabkan bayi
kemungkinan mengalami dampak gangguan perkembangan otak yang
selanjutnya mengganggu fungsi psikologikal selama hidup (Arpino et al.
2010).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1. Alur skrining pendengaran bayi baru lahir di Indonesia (HTA
Indonesia 2010).

Lebih dari 3% bayi yang lahir <28 minggu umur kehamilan


menunjukkan gangguan pendengaran yang bervariasi antara tuli konduktif
dan tuli sensorineural. Gangguan pendengaran tersebut 25 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan prevalensi gangguan pendengaran yang didapat

Universitas Sumatera Utara


pada populasi pediatrik. Suatu penelitian nested case-control
menunjukkan pada umur kehamilan 20-23 minggu terdapat prevalensi
gangguan pedengaran sebesar 1,435%, 0,63% pada 24-28 minggu,
0,19% pada 29-32 minggu dan 0,1% pada 33-36 minggu (Arpino et al.
2010).
Faktor perinatal dapat menyebabkan persalinan preterm dan
komplikasi perinatal/neonatal dapat merusak fungsi auditori dan
perkembangan dininya. Faktor yang meningkatkan risiko gangguan
pendengaran pada bayi sangat bervariasi, seperti hipoksia,
hiperbilirubinemia, penggunaan inkubator yang bising, dan paparan
antibiotik yang potensial ototoksik untuk pengobatan infeksi yang
mengancam jiwa (Arpino et al. 2010).
Hipoksia/iskemia dan infeksi/inflamasi membran plasenta pada bayi
preterm tampaknya memegang peran utama terhadap gangguan
neurologikal yang terjadi, disamping adanya faktor prenatal, perinatal dan
postnatal (Arpino et al. 2010).
Seiring dengan kurangnya umur kehamilan, didapati peningkatan
risiko kerusakan otak (kerusakan white matter, perdarahan intraventrikular
dan kerusakan kortikal dan deep gray matter), sehingga akan
mengakibatkan gangguan klinis selanjutnya. Persalinan dini mengganggu
perkembangan otak dan waktu proses neurobiologikal. Proses ini meliputi
migrasi neuronal dan differensiasi, sprouting akson dan dendrit, formasi
sinaps, myelination, programmed cell death dan struktur transien yang
persisten. Proporsi pertumbuhan otak yang signifikan, perkembangan dan
networking ditemui kira-kira dalam 6 minggu terakhir masa gestasi
(Arpino et al. 2010).
Spektrum gangguan klinis pada anak yang preterm meliputi cerebral
palsy (CP), developmental coordination disorder (DCD), gangguan
neurosensoris, termasuk pendengaran perifer dan sentral, gangguan
visual dan gangguan psikiatri (Arpino et al. 2010).

Universitas Sumatera Utara


Seiring dengan tingkat imaturitas dan rendahnya berat badan lahir,
maka lebih besar pula defisit intelektual dan neurologis yang akan terjadi,
sebanyak 50% bayi dengan berat 500-750 gram mengalami gangguan
perkembangan neurologis yaitu kebutaan, tuli, retardasi mental dan
cerebral palsy (Stoll & Adams-Chapman 2007).
Lebih kurang 50% kasus gangguan pendengaran pada neonatus
diperkirakan disebabkan defek genetik. Aminoglikosida dan loop diuretik
telah lama diketahui memiliki efek ototoksik sehingga penggunaannya
harus sesuai standar, faktor risiko lain adalah paparan bising, infeksi
cytomegalovirus, hipoksia dan hiperbilirubinemia (Cristobal & Oghalai
2008; Herwanto 2012).
Anak dengan berat lahir rendah berisiko tinggi menderita gangguan
pendengaran sensorineural. Kemungkinan penyebabnya adalah bahwa
telinga tidak sepenuhnya berkembang jika janin tumbuh lebih lambat dari
normal dalam rahim (Folkehelseinstituttet 2008).
Prematuritas dan BBLR berhubungan dengan peningkatan risiko tuli
sensorineural. Lebih dari 27% bayi prematur dengan berat lahir sangat
rendah diketahui mengalami peningkatan latensi ABR dan interval pada
umur aterm (cukup bulan), yang menunjukkan gangguan pendengaran
perifer dan/atau sentral (Reiman et al. 2009). Pada tuli sensorineural
terdapat pemanjangan latensi gelombang V terhadap stimulus click
intensitas rendah (Donohoe 1988).
ABR merupakan metode yang efektif untuk mendeteksi defisit kecil
dalam konduksi impuls jaras auditori. Sebagai contoh, keterlambatan pada
mielinasi tidak harus menyebabkan gangguan pendengaran secara klinis,
tetapi masih dapat menyebabkan perlambatan konduksi impuls yang
terlihat sebagai prolongasi latensi ABR dan interpeak intervals. Pada bayi
dengan ambang pedengaran normal, perlambatan latensi gelombang V
dan interval I–III dan I–V pada rekaman ABR berhubungan dengan
besarnya variasi komplikasi perinatal, seperti perdarahan intraventrikular
derajat III sampai IV, periventrikular leukomalasia, severe

Universitas Sumatera Utara


hyperbilirubinaemia, meningitis bakterial, severe respiratory distress
syndrome dan pneumonia (Reiman et al. 2009).
Pada bayi prematur, gangguan pendengaran berhubungan dengan lesi
otak dan volume batang otak yang kecil. Selain itu, abnormalitas dalam
migrasi dan mielinisasi yang telihat pada MRI konvensional telah
dihubungkan dengan tuli sensorineural. Perubahan kecil pada struktur
white-matter otak dapat dicitrakan dengan menggunakan diffusion tensor
imaging (DTI), dimana ditemui white-matter pada neonatus membesar
seiring dengan pertambahan umur dan pada bayi preterm meningkat
sesuai dengan umur kehamilan. Sebagai tambahan, kurangnya white-
matter telah dihubungkan dengan perinatal white-matter injury. Pada
penelitian yang menggunakan DTI terhadap pasien dengan gangguan
pendengaran sensorineural didapati kolikulus inferior yang merupakan
lokasi utama pada konvergensi bypassing tracts, adalah area yang sangat
sensitif terhadap kerusakan neuronal pada jaras auditori (Reiman et al.
2009).
Mekanisme patofisiologi dari gangguan pendengaran sensorineural
yang reversibel belum diketahui. Maturasi Susunan Saraf Pusat yang
berkembang lambat dan dalam periode yang lama dapat dikatakan
bertanggung jawab terhadap membaiknya hasil ABR (Psarommatis et al.
2010).

2.3. Fisiologi Pendengaran


Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke
telinga dalam melalui footplate dari stapes, menimbulkan suatu
gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan
menggerakkan membran basilaris dan organ corti. Puncak gelombang
yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm
tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat
melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi
sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf

Universitas Sumatera Utara


pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis
diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui
saraf kranialis ke-8 (Mills, Khariwala & Weber 2006; MØller 2006; Gacek
2009).
Serabut-serabut serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis
dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah
dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian
serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada inti
lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras
pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks
pendengaran pada lobus temporalis (Gacek, 2009).

2.4. Perkembangan Respon Neonatal


Perkembangan pendengaran dimulai saat masih dalam kandungan,
bayi dipersiapkan untuk merespon suara pada saat lahir. Proses yang
kompleks meliputi mengenali suara ibunya dan membedakan suara dan
bunyi dapat kita lihat pada bayi baru lahir. Respon inisial bayi terhadap
suara adalah bersifat refleks (behavioral responses) seperti refleks
auropalpebral (mengejapkan mata), denyut jantung meningkat, eye
widening (melebarkan mata), cessation (berhenti menyusu) dan grimacing
atau mengerutkan wajah (Carlson & Reeh 2006; HTA Indonesia 2010).
Respon-respon ini tidak terjadi dengan suara yang tenang dan
intensitas suara yang rendah. Nada murni antara 500-4000 Hz dengan
intensitas 85 – 95 dB dapat menimbulkan refleks ini pada neonatus
sampai umur 2 minggu. Adanya suatu respon sangat tergantung pada
keadaan psikofisiologikal anak. Untuk alasan ini maka tidak mungkin
untuk menilai ambang pendengaran neonatal secara akurat dengan teknik
perilaku (Bellman & Vanniasegaram 1997; Feldman & Grimes 1997).

Universitas Sumatera Utara


2.5. Emisi Otoakustik
Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang
diproduksi oleh sel rambut luar koklea dan direkam pada meatus
akustikus eksternus. Suara yang dihasilkan oleh koklea sangat kecil
berkisar pada 30 dB, namun berpotensi untuk didengar. Emisi otoakustik
timbul secara spontan karena suara yang sudah ada di koklea secara
terus menerus bersirkulasi, tetapi pada umumnya emisi otoakustik
didahului adanya stimulasi. Emisi otoakustik dihasilkan hanya bila organ
korti dalam keadaan mendekati normal, dan telinga tengah berfungsi
dengan baik (Kemp 2002; Donovalova 2006; Hall & Antonelli 2006).
Emisi otoakustik ini pertama sekali ditemukan oleh Gold pada tahun
1948 dan diperkenalkan oleh David Kemp pada tahun 1978 (Prieve &
Fitzgerald 2002). Pada pemeriksaan emisi otoakustik stimulus bunyi
tertentu diberikan melalui loudspeaker mini yang terletak dalam sumbat
telinga (insert probe) yang bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip).
Mikrofon digunakan untuk mendeteksi emisi otoakustik, kemudian diubah
menjadi elektrik agar mudah diproses (Kemp 2002; Hall & Antonelli 2006).
Emisi otoakustik dihasilkan oleh adanya gerakan membran timpani
yang ditransmisikan dari koklea menuju telinga tengah secara spontan
ataupun menggunakan stimulus. Untuk merekam emisi otoakustik
diperlukan kondisi telinga tengah yang sehat dengan konduksi suara yang
baik. Koklea tidak secara signifikan memancarkan suara ke udara di
kavum timpani. Agar pergerakan membran timpani efisien, lebih padat dan
sedikit udara yang bisa keluar masuk liang telinga, maka liang telinga
harus ditutup ( Kemp 2002; Hall & Antonelli 2006).
Getaran yang dihasilkan dari mekanisme koklea yang unik dikenal
sebagai “cochlear amplifier” yang menyebabkan adanya suatu gerakan
sel-sel rambut luar di telinga bagian dalam. Gerakan-gerakan ini dapat
terjadi baik secara spontan maupun oleh rangsangan bunyi dari luar dan
dihasilkan oleh mekanisme sel yang aktif (Gelfand 2010).

Universitas Sumatera Utara


Pergerakan sel rambut luar dapat dicetuskan oleh bunyi click dengan
intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai dari dua tone, kemudian
terjadi biomekanik dari membran basilaris sehingga menghasilkan
amplifikasi energi intrakoklea dan tuning koklea. Pergerakan sel rambut
luar menimbulkan energi mekanis dalam koklea yang diperbanyak keluar
melalui sistem telinga tengah dan membran timpani menuju liang telinga
(Prieve & Fitzgerald 2002; Gelfand 2010).
Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan kriteria
pass (lulus) atau refer (tidak lulus). Hasil pass menunjukkan keadaan
koklea baik; sedangkan hasil refer artinya adanya gangguan koklea
(Abdullah et al. 2006).

Anatomi dan fisiologi dasar emisi otoakustik


Suara yang digunakan untuk memperoleh emisi ditransmisikan melalui
telinga luar, pada saat rangsang auditori dirubah dari sinyal akustik
menjadi sinyal mekanik di membran timpani dan ditransmisikan melalui
tulang-tulang pendengaran pada telinga tengah; footplate dari tulang
stapes akan bergerak pada foramen ovale yang akan menyebabkan
pergerakan gelombang cairan pada koklea. Pergerakan gelombang cairan
tersebut menggetarkan membran basilaris dimana setiap bagian dari
membran basilaris sensitif terhadap frekuensi yang terbatas dalam
rentang tertentu (Kemp 2002; Campbell 2006).
Bagian yang paling dekat dengan foramen ovale lebih sensitif terhadap
rangsang suara dengan frekuensi tinggi, sementara bagian yang jauh dari
foramen ovale lebih sensitif terhadap rangsang suara dengan frekuensi
rendah. Pada emisi otoakustik, respon pertama yang kembali dan direkam
menggunakan mikrofon berasal dari bagian koklea dengan frekuensi
paling tinggi (Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell 2006).
Saat membran basilaris bergetar, sel-sel rambut turut bergerak dan
respon elektromekanik terjadi, pada saat yang bersamaan sinyal aferen
ditransmisikan dan sinyal eferen diemisikan. Sinyal eferen ditransmisikan

Universitas Sumatera Utara


kembali melalui jalur auditori dan sinyal tersebut diukur pada liang telinga
(Campbell 2006; Møller 2006).
Dasar-dasar dari timbulnya keaktifan emisi ini adalah kemampuan
telinga dalam untuk mengadakan kompresi dinamis sinyal bunyi. Dengan
kompresi ini tekanan dinamik suara dapat diteruskan telinga bagian dalam
kira-kira sebesar 0,7% ke sistem saraf yang mempunyai kapasitas
dinamis yang jauh lebih kecil. Kompresi ini merupakan kemampuan sel-sel
rambut yang tidak linear. Sel-sel rambut dalam yang sebenarnya adalah
bagian aferen untuk sistem pendengaran, baru terangsang pada tekanan
bunyi yang lebih kecil, sel-sel rambut luar secara serentak menambah
energi kepada sel-sel rambut dalam dengan cara gerakan mekanis.
Proses gerakan inilah yang diperkirakan merupakan sumber aktifitas emisi
telinga bagian dalam (Møller 2006).

Tujuan pemeriksaan Emisi Otoakustik


Tujuan utama pemeriksaan emisi otoakustik adalah untuk menilai
keadaan koklea, khususnya fungsi sel rambut luar telinga dalam. Hasil
pemeriksaan dapat berguna untuk (Campbell 2006) :
a. Skrining pendengaran (khususnya pada neonatus, bayi atau individu
dengan gangguan perkembangan).
b. Memperkirakan sensitivitas pendengaran dalam rentang tertentu.
c. Membedakan gangguan sensori dan neural pada gangguan
pendengaran sensorineural.
d. Pemeriksaan pada gangguan pendengaran fungsional (berpura-pura).

Pemeriksaan dapat dilakukan pada pasien yang sedang tidur, bahkan


pada keadaan koma, karena hasil pemeriksaan tidak memerlukan respon
tingkah laku.
Syarat-syarat menghasilkan otoacoustic emission (Campbell 2006):
a. Liang telinga luar tidak obstruksi
b. Liang telinga dengan ditutup rapat dengan probe.

Universitas Sumatera Utara


c. Posisi optimal dari probe
d. Tidak ada penyakit telinga tengah
e. Sel rambut luar masih berfungsi
f. Pasien kooperatif
g. Lingkungan sekitar tenang.
Emisi otoakustik hanya dapat menilai sistem auditori perifer, meliputi
telinga luar, telinga tengah dan koklea. Respon memang berasal dari
koklea, tetapi telinga luar dan telinga tengah harus dapat mentransmisikan
kembali emisi suara sehingga dapat direkam oleh mikrofon. Emisi
otoakustik tidak dapat digunakan untuk menentukan ambang dengar
individu (Campbell 2006).
Emisi otoakustik dapat terjadi spontan sebesar 40-60% pada telinga
normal, tetapi secara klinis yang memberikan respon baik adalah evoked
otoacoustic emissions (Mainley, Ray & Propper 2008).
Emisi otoakustik dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu:
a. Spontaneous otoacoustic emissions (SOAEs), merupakan emisi suara
tanpa adanya rangsangan bunyi ( secara spontan).
b. Transient otoacoustic emission (TOAEs) atau Transient evoked
otoacoustic emissions (TEOAEs), merupakan emisi suara yang
dihasilkan oleh rangsangan bunyi menggunakan durasi yang sangat
pendek, biasanya bunyi click, tetapi dapat juga tone-bursts.
c. Distortion product otoacoustic emissions (DPOAEs), merupakan emisi
suara sebagai respon dari dua rangsang yang berbeda frekuensi.
d. Sustained-frequncy otoacoustic emissions (SFOAEs), merupakan
emisi suara sebagai respon dari nada yang berkesinambungan
/kontinyu (Campbell 2006; Mainley, Ray & Propper 2008).

Distortion Product Otoacoustic Emissions (DPOAEs)


Jenis ini menggunakan 2 stimulus terdiri dari dua bunyi nada murni
pada dua frekuensi (contoh: f1, f2; ( f2 > f1)) dan dua level intensitas
(contoh: L1, L2) yang diberikan sekaligus. Pada DPOAEs spektrum

Universitas Sumatera Utara


frekuensi yang diperiksa lebih luas dibandingkan dengan TEOAEs, dapat
mencapat frekuensi tinggi (10.000 Hz). DPOAEs merupakan hasil distorsi
intermodulasi yang ditransduksi balik ke telinga tengah yang diubah
menjadi energi akustik yang di ukur di liang telinga.
Hubungan antara L1-L2 dan f1-f2 menunjukkan respon frekuensi.
Untuk menghasilkan respon optimal, instensitasnya diatur sehingga L1
menyamai atau melebihi L2. Merendahkan intensitas absolut dari stimulus
yang dibuat, DPOAEs menjadi lebih sensitif terhadap abnormalitas.
Setting 65/55 dB L1-L2 adalah yang sering digunakan. Respon biasanya
lebih bagus atau kuat dan direkam pada frekuensi yang dipancarkan dari
f1-f2, hal tersebut dibuat dalam bentuk grafik sesuai dengan f2, karena
kawasan tersebut memperkirakan regio frekuensi koklea yang
menghasilkan respon (Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell 2006).

Gambar 2.2. Peralatan dan prosedur pemeriksaan DPOAEs (Hall &


Antonelli 2006)

DPOAEs dapat memperoleh frekuensi yang spesifik dan dapat


digunakan untuk merekam frekuensi yang lebih tinggi daripada TEOAEs.
DPOAEs dapat digunakan untuk mendeteksi kerusakan koklea akibat
obat-obat ototoksik dan akibat bising (Prieve & Fitzgerald 2002; Campbell
2006).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1. Data DPOAEs Normal* (Vivosonic 2011)
Frequency
750 1000 1500 2000 3000 4000 6000 8000
95th
5.95 7.65 3.83 -0.9 -2.3 0.18 -2.08 -9.97
(Impaired)
90th
Percentile

2.4 4.4 0.43 -3.5 -5.55 -4.42 -6.88 -12.85


(Impaired)
10th
-10.4 -8.1 -6.73 -9.85 -11.5 -5.93 -7.84 -22.2
(Normal)
5th
-13.6 -12.05 -9.8 -13.9 -16.25 -9.23 -11 -26
(Normal)
*Data dikumpulkan dengan parameter pengukuran berikut:

L1= 65 dBSPL
L2= 55 dB SPL
F2/F1 Ratio= 1.22

2.6. Brainstem Evoked Response Audiometry


Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) adalah suatu teknik
pengukuran aktivitas atau respon saraf terhadap rangsangan bunyi.
Pemeriksaan BERA pertama sekali dilaporkan oleh Sohmer dan
Feinmesswer pada tahun 1967, yang kemudian dijelaskan lebih detail oleh
Jewett dan Wilson pada tahun 1971. BERA merupakan tes
elektrofisiologik yang menimbulkan potensial listrik pada berbagai level
dari sistem pendengaran mulai dari koklea sampai korteks. BERA
ditimbulkan oleh rangsangan akustik (bunyi klik atau bip) yang dikirim
oleh suatu transduser akustik dalam bentuk earphone atau headphone
(Hall & Antonelli 2006).
BERA dapat direkam pada bayi prematur umur 28-30 minggu. Kadang-
kadang BERA tidak timbul pada bayi normal yang dilahirkan pada umur
kehamilan ibu 30-34 minggu, kecuali bila digunakan intensitas 90-110 dB
BERA dapat direkam setelah umur 30 minggu (Resor 1988).
Respon yang diperoleh dari pemeriksaan ini adalah dalam bentuk
gelombang yang diukur dengan menggunakan elektroda permukaan yang

Universitas Sumatera Utara


dilekatkan pada kulit kepala atau dahi dan prosesus mastoid atau pada
lobulus telinga. Cara pemeriksaan ini mudah, tidak invasif dan bersifat
objektif (Bhattcharrya 2006; Hall & Antonelli 2006).
Pemeriksaan BERA terdiri dari tujuh gelombang yang terjadi dalam
waktu 10 msec setelah onset rangsangan pada intensitas yang tinggi (70-
90 dBnHL). Bentuk puncak gelombang yang tercatat diberi nama dan
angka Romawi, yaitu gelombang I-VII (Bhattcharrya 2006).
Komponen Gelombang:
a. Gelombang I: merupakan representasi dari potensial aksi saraf
pada daerah distal saraf kranial ke VIII. Respon tersebut berasal
dari aktivitas afferen dari serabut saraf VIII.
b. Gelombang II: dihasilkan oleh bagian proksimal saraf VIII.
c. Gelombang III: berasal dari nukleus koklearis.
d. Gelombang IV: berasal dari kompleks olivaris superior.
e. Gelombang V: berasal dari kolikulus inferior dan lemniskus lateral.
Gelombang ini paling sering dianalisa dalam aplikasi klinis BERA.
f. Gelombang VI dan VII: diduga berasal dari Thalamus (Medial
geniculated body), tetapi lokasi pastinya masih belum jelas.

Mekanisme pemeriksaan BERA


Rangsangan bunyi diberikan melalui headphone yang telah diatur pada
→ nukleus
level kontrol akan menempuh perjalanan melalui koklea
koklearis →nukleus olivarius superior→ lemniskus lateral→ kolikulus
inferior→korteks auditorius di lobus temporal otak. Respon yang diberikan
akan diterima oleh elektroda-elektroda yang ditempelkan pada kulit dan
diteruskan ke komputer sehingga hasilnya dapat dilihat di layar komputer.
Penilaian BERA (Arnold 2000; Bhattcharrya 2006; Hall & Antonelli
2006)
a. Masa laten absolut gelombang I, III, V.
Masa laten absolut gelombang I,III,V adalah waktu yang diperlukan
dari pemberian stimulus sampai timbulnya gelombang I, III, V.

Universitas Sumatera Utara


b. Interwave latency I-V, I-III, I-V.
Merupakan waktu yang diperlukan dari gelombang I ke gelombang
III, dari gelombang III ke gelombang V dan dari gelombang I ke
gelombang V.
c. Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri (interaural latency)
yaitu perbedaan masa laten gelombang V antara telinga kanan
dengan telinga kiri, yang kadang-kadang juga pada gelombang III.
Rata-rata perbedaan bervariasi antara 0,2 ms - 0,6 ms.
d. Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity
function)
Dalam menilai sensitivitas dari pendengaran yaitu dengan menilai
gelombang V BERA, oleh karena gelombang V berhubungan
dengan ambang audiometri behavioral. Hal ini dapat lengkap
terlihat dengan memakai intensitas stimulus `klik`. Semakin kecil
intensitas yang diberikan, maka gelombang BERA akan
menghilang kecuali gelombang V yang dapat terlihat sampai pada
level 5-20 dB.
e. Rasio amplitudo gelombang V/I.
Pengukuran rasio amplitudo gelombang V/I adalah untuk menilai
integritas batang otak. Amplitudo gelombang I dan V diukur
kemudian dibandingkan. Pada kondisi normal orang dewasa
gelombang V harus lebih besar dari gelombang I dengan
hasil > 1,0. Pada kasus kelainan retrokoklea, ratio amplitudo
gelombang V/I akan menurun yaitu <1,0.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2. Data Latensi ABR Normal (Vivosonic 2011)
Age in 25 dB 35 dB 45 dB 55 dB 65 dB 75 dB
weeks
Newborn Mean 8.92 8.53 8.05 7.76 7.5 7.24
SD 0.58 0.68 0.63 0.51 0.5 0.47
2 wk Mean 8.5 8.05 7.7 7.37 7.1 6.89
SD 0.51 0.42 0.4 0.34 0.37 0.36
4 wk Mean 8.41 7.98 7.6 7.32 7.07 6.87
SD 0.45 0.38 0.35 0.35 0.35 0.35
6 wk Mean 8.25 7.8 7.46 7.18 6.93 6.73
SD 0.32 0.32 0.3 0.31 0.28 0.28
9 wk Mean 8.13 7.69 7.32 7.04 6.78 6.61
SD 0.4 0.34 0.32 0.31 0.28 0.26
12 wk Mean 8.04 7.63 7.24 6.96 6.76 6.59
SD 0.36 0.3 0.29 0.29 0.26 0.24
26 wk Mean 7.8 7.44 7.1 6.83 6.58 6.38
SD 0.37 0.46 0.42 0.38 0.31 0.29
Adult Mean 7.32 6.82 6.46 6.1 5.89 5.75
SD 0.4 0.3 0.25 0.23 0.23 0.23

2.7. Embriologi Telinga


Perkembangan struktur kepala dan leher dari mamalia merupakan
hasil diferensiasi jaringan lunak dari embrio mamalia, dimana struktur
kepala dan leher berasal dari jaringan lunak di daerah Pharyngeal
Apparatus dari embrio (Choo & Richter 2009).
Perkembangan dari pharyngeal apparatus embrio membentuk 3
komponen yaitu lengkung brankial (faringeal), kantong brankial dan celah
brankial, dimana lengkung brankial merupakan unsur pokok tempat
berkembangnya struktur-struktur dari lapisan mesoderm embrio seperti
jaringan otot, elemen pembuluh darah dan sel-sel neural crest yang
nantinya akan membentuk jaringan tulang dan jaringan syaraf. Oleh
karena itu apabila terjadi gangguan perkembangan pada lengkung

Universitas Sumatera Utara


brankial akan menyebabkan kelainan kongenital pada struktur kepala dan
leher (Wareing, Lalwani & Jackler 2006; Choo & Richter 2009).
Periode yang penting untuk perkembangan telinga adalah pada
minggu ke-3 setelah fertilisasi, dimana telinga dalam terlebih dahulu
dibentuk. Telinga luar, tengah dan dalam berasal dari embriologi yang
berbeda dan perkembangannya dapat terganggu pada tingkatan manapun
sehingga dapat menimbulkan abnormalitas yang sangat bervariasi mulai
dari yang ringan sampai yang berat (Wright 1997; Wareing , Lalwani &
Jackler 2006; Choo & Richter 2009).
Perkembangan auditori berhubungan erat dengan perkembangan
otak. Neuron di bagian korteks mengalami pematangan dalam waktu 3
tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi
perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan hal tersebut, maka
upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran sampai habilitasi
dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung (HTA
Indonesia 2010).
Jaringan pada kepala dan leher berasal dari 3 lapisan embrio yaitu
endoderm, mesoderm, dan ektoderm (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).
Perkembangan prenatal dibagi menjadi beberapa periode yang terpisah.
Periode pertama dimulai dari saat implantasi blastosis ke dalam dinding
uterus hingga sirkulasi intraembrionik mulai terbentuk, selama periode
singkat ini - sekitar 21 hari – ketiga lapisan embrio yaitu endoderm,
mesoderm, dan ektoderm berkembang membentuk lempengan yang datar
dan memanjang yang mengandung notochord. Struktur seperti batang ini
berasal dari lapisan ektoderm dan memanjang sepanjang embrionic disc
(potongan embrio) mulai dari membran buccopharyngeal sampai ke
membran cloacal, dimana lapisan ektoderm dan lapisan endoderm
bertemu. Periode kedua yang berlangsung selama 35 hari (akhir minggu
ke-8) yang dinamakan periode embrionik, selama periode ini terjadi
pertumbuhan yang cepat dan diferensiasi tingkat seluler sehingga pada

Universitas Sumatera Utara


saat hari ke-56 semua sistem utama dan organ telah terbentuk, dan
embrio memiliki bentuk yang dapat dinyatakan sebagai manusia.
Waktu yang tersisa yaitu 7 bulan masa gestasi disebut periode fetal,
dimana pertumbuhan yang cepat hanya ditandai dengan perubahan
bentuk serta perubahan posisi antara struktur yang satu dengan yang lain
dan tidak ditemukannya diferensiasi sel baru seperti yang terjadi pada
periode embrionik (Kenna 1990; Anson, Davies & Duckert 1991; Wright
1997).

2.7.1. Perkembangan telinga dalam


Struktur telinga dalam terdiri dari labirin bagian membran berisi cairan
yang dibentuk dari lapisan ektoderm dan labirin bagian tulang (otic
capsule) yang dibentuk dari lapisan mesoderm dan neural crest (Choo &
Richter 2009).
a. Labirin bagian membran
Telinga bagian dalam merupakan bagian yang pertama kali dibentuk
dan berkembang dibandingkan dengan bagian telinga yang lain. Pada
akhir minggu ke-3 masa gestasi (hari ke-22) atau disebut juga periode 7
somit, lapisan ektoderm yang berada di depan occipital somite mengalami
penebalan pada masing-masing sisi dari neural groove yang masih
terbuka dimana penebalan ini disebut dengan otic placode. Lapisan
mesoderm yang berada disekitar otic placode berproliferasi sehingga
perlahan-lahan membuat lapisan ektoderm yang membentuk otic placode
makin lama makin menyempit dan membentuk otic pit dimana pada
akhirnya otic placode akan lenyap dari permukaan luar dan membentuk
otocyst (otic vesicle), yang akan menjadi cikal bakal pembentukan labirin
bagian membran (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).
Otocyst terletak diantara lengkung brankial kedua dan lengkung
brankial ketiga yang akan mengalami perkembangan dan perubahan
bentuk secara dramatis sehingga mencapai bentuk dewasa pada minggu

Universitas Sumatera Utara


ke-10 dan mencapai ukuran dewasa pada minggu ke-20 (Wareing,
Lalwani & Jackler 2006).
Dalam perkembangannya, otocyst lebih berkembang ke arah panjang
daripada lebar, hal ini menyebabkan otocyst dapat dibagi menjadi tiga
daerah dan terlihat jelas pada minggu ke-5 masa gestasi, yaitu daerah
kranial yang akan berkembang menjadi saluran endolimfatik
(endolympatic duct), daerah kaudal yang akan berkembang menjadi
saluran kohlea (cochlear duct), dan daerah tengah atau daerah
utrikulosakular (utriculosaccular area) yang akan berkembang menjadi
sistem vestibular.

Gambar 2.3. Perkembangan dini dari telinga dalam pada minggu ke-3
dan ke-4 masa gestasi, pembentukan otocyst dari otic placode (Wareing,
Lalwani & Jackler 2006).

Daerah utrikulosakular terus berkembang sehingga pada bagian


utrikulo muncul 3 buah kantong yaitu di bagian superior, posterior dan
lateral yang akan membentuk kanalis semisirkularis superior, posterior

Universitas Sumatera Utara


dan lateral dimana kanalis semisirkularis superior terlebih dahulu
terbentuk secara lengkap pada minggu ke-6 kemudian diikuti oleh kanalis
semisirkularis posterior dan yang terakhir dibentuk adalah kanalis
semisirkularis lateral. Saluran kohlea (cochlear duct) juga mulai
mengalami perkembangan secara cepat sehingga membentuk 1,5 putaran
pada minggu ke-8 serta telah mencapai putaran penuh yaitu 2,5 putaran
pada minggu ke-10 masa gestasi, walaupun belum mencapai panjang
keseluruhan, yang baru akan dicapai pada minggu ke-20 masa gestasi
(Wareing, Lalwani & Jackler 2006).
Epitel sensoris, 3 buah krista, 2 buah makula, dan organ korti dari
kohlea dibentuk dari lapisan ektoderm otocyst. Makula berkembang pada
minggu ke-7 masa gestasi yang berasal dari sekitar daerah tempat
masuknya serabut saraf ke dalam utrikulus dan sakulus. Membrana
otokonial mulai terbentuk pada minggu ke-12 masa gestasi (Wareing,
Lalwani & Jackler 2006).
Epitel sensoris dari kohlea mulai berkembang pada minggu ke-7,
bersamaan dengan itu saluran kohlea juga mulai berkembang dan
membentuk putaran, pada dinding medial kohlea lapisan dari epitel
sensoris ini mengalami perubahan menjadi bentuk seperti spiral sebanyak
2 lapisan sepanjang kohlea. Bagian spiral yang sebelah dalam dan
mempunyai ukuran lebih besar akan berkembang menjadi sel rambut
dalam (inner hair cell) dan membran tektorial, sedangkan bagian spiral
yang lebih kecil yaitu pada bagian luar akan berkembang menjadi sel
rambut luar (outer hair cell). Sel-sel rambut ini dapat dikenali secara jelas
pada minggu ke-11 masa gestasi (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).
Organ korti berasal dan berkembang dari bagian dinding posterior
saluran kohlea (cochlear duct), pada saat saluran kohlea terus bertambah
panjang dan apabila pada waktu yang bersamaan dilakukan potongan
lintang maka terlihat bahwa struktur dalam dari saluran kohlea berubah
bentuk, yang awalnya berbentuk lingkaran kemudian berubah menjadi
oval dan akhirnya berubah menjadi triangular. Bagian dinding posterior

Universitas Sumatera Utara


saluran kohlea berkembang menjadi organ korti, dinding anterior
berkembang menjadi sebagian dari membran Reissner dan dinding lateral
berkembang menjadi stria vaskularis (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

b. Labirin bagian tulang


Lapisan mesoderm yang berada disekitar labirin bagian membran
mengalami perubahan-perubahan yang berkelanjutan sehingga
menghasilkan 2 macam formasi bentuk yaitu tulang rawan otic capsule
dan ruang perilimfatik (perilymphatic space) yang mengandung cairan
perilimfe pada minggu ke-8 masa gestasi. Di dalam kohlea ruang
perilimfatik ini berkembang menjadi 2 bagian yaitu skala timpani dan skala
vestibuli dimana skala timpani dibentuk terlebih dahulu. Proses osifikasi
(penulangan) dari tulang rawan otik kapsul baru dimulai ketika labirin
bagian membran mencapai ukuran dewasa, proses penulangan dimulai
sekitar minggu ke-15 masa gestasi dan berakhir pada minggu ke-21
(Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Gambar 2.4. Diagram yang menunjukkan perkembangan labirin bagian


tulang. Potongan lintang kohlea yang menggambarkan perkembangan
organ korti, labirin tulang, dan ruang perilympatik pada minggu ke-8
sampai minggu ke-12 masa gestasi (Choo & Richter 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.7.2. Gangguan perkembangan telinga dalam
Secara klinis gangguan perkembangan telinga dalam dibagi menjadi 2
bagian yaitu:
1. Gangguan perkembangan pada labirin tulang dan labirin membran
2. Gangguan perkembangan pada labirin membran.
Abnormalitas dari telinga bagian dalam dapat disebabkan oleh
perkembangan yang terhambat ataupun perkembangan yang
menyimpang dimana faktor-faktor yang terlibat dan dapat menimbulkan
hal ini sangat bervariasi berupa faktor genetik, maupun faktor teratogenik
(Wareing, Lalwani & Jackler 2006).
Gambaran histopatologis yang sering dijumpai pada tuli kongenital
adalah kohleasakular displasia yang diakibatkan oleh terhambatnya
perkembangan bagian kaudal dari otocyst, sehingga sebagian atau
seluruh bagian dari organ korti tidak terbentuk, yang pertama kali
digambarkan oleh Scheibe pada tahun 1892. Saluran kohlea dan sakulus
mengalami kolaps, dan stria vaskularis mengalami degenerasi sedangkan
utrikulus dan kanalis semisirkularis normal (Wareing, Lalwani & Jackler
2006).
Gangguan perkembangan pada labirin tulang dan labirin membran
kebanyakan disebabkan oleh perkembangan yang terhambat pada
minggu ke-4 dan minggu ke-8 pada masa gestasi. Labirin aplasia
menyeluruh (Michel malformation) merupakan abnormalitas yang sangat
berat dan sangat jarang terjadi dimana diduga akibat dari kegagalan
otocyst untuk berkembang. Kohlea aplasia, hipoplasia, dan pemisahan
saluran kohlea (cochlear duct) yang tidak sempurna merupakan kelainan-
kelainan atau abnormalitas akibat dari perkembangan kohlea yang
terhambat pada minggu ke-5, 6, dan 7 pada masa gestasi. Displasia dari
kanalis semisirkularis disebabkan oleh kegagalan penyatuan epitel sentral
dimana kanalis semisirkularis lateral yang paling sering terkena dimana
hal ini disebabkan karena kanalis semisirkularis lateral merupakan yang
terakhir berkembang (Wareing, Lalwani & Jackler 2006).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.3. Perkembangan Embriologi Telinga (Wareing, Lalwani & Jackler
2006)

Umur Telinga Luar Telinga Tengah Telinga Dalam


Fetus
(minggu)
3 Otic placode dan
Ganglia
vestibulokohlear
terbentuk.
4 Liang telinga luar Tubotympanic Otocyst terbentuk
mulai recess terlihat
berkembang
5 Hillocks mulai Tulang-tulang Otocyst mulai terbagi
terlihat. pendengaran mulai menjadi vestibular
berkondensasi and kohlear.
pada mesenkim. Kanalis semisirkularis
mulai terbentuk;
Ganglia
vestbulokohlearis
mulai terpisah
6 Semua hillocks Malleus dan Inkus Kanalis semisirkularis
menjadi terpisah. mulai terlihat. superior terbentuk
sempurna. Utrikulus
dan sakulus
terbentuk; Saluran
kohlea mulai
terbentuk.
7 Makula terbentuk;
Epitel sensoris pada
kohlea mulai
terbentuk
8 Daun telinga Sendi Duktus reuniens
mulai terlihat Inkudomaleolar dan mulai terlihat; Kohlea
sebagai bentuk inkudostapedial membentuk 1½
dewasa terbentuk. putaran; Krista
vaskularis terbentuk.
Otic capsules
terbentuk.
9 Membrana timpani Serabut saraf
membentuk 3 memasuki epitel
lapisan. sensoris ; oval
window terbentuk

Universitas Sumatera Utara


10 Stapes berbentuk Kohlea membentuk
sanggurdi; Saraf 21/ 2 putaran
fasialis memasuki
telinga tengah.
11 Sel rambut (hair
cells) terbentuk di
kohlea.
12 Cincin timpani mulai Membran otokonial
mengalami mulai terbentuk;
penulangan. Saluran kohlea mulai
membentuk triangular
16 Malleus, inkus, and Penulangan pada otic
stapes mulai capsule
mengalami
penulangan.
18 Daun telinga
menjadi bentuk
dewasa.
20 Meatal plug Kavum timpani Kohlea mencapai
mulai terpisah. mulai terbuka. panjang yang penuh;
Labirin bagian
membran mencapai
ukuran dewasa
22 Antrum mulai Duktus kohlearis
berkembang. mulai sempurna.
23 Proses penulangan
Otic capsule telah
selesai.
24 Ruang perilimfatik
telah selesai
26 Saraf fasialis
membentuk
belokan kedua.
28 Liang telinga
luar terbuka
sempurna
30 Malleus dan inkus
mulai proses
penulangan
34 Tulang
pendengaran
mengambil tempat
pada telinga
tengah.
Mastoid air cells
mulai berkembang

Universitas Sumatera Utara


2.8. Anatomi Telinga
2.8.1. Anatomi telinga dalam
Telinga dalam atau labirin terdiri dari labirin bagian tulang dan labirin
bagian membran. Labirin bagian tulang terdiri dari kanalis semisirkularis,
vestibulum dan koklea, sedangkan labirin bagian membran terletak di
dalam labirin bagian tulang terdiri dari kanalis semisirkularis, utrikulus,
sakulus dan koklea (Dhingra 2007).
Koklea merupakan putaran dengan panjang sekitar 35 mm, terbagi
menjadi skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala vestibuli dan
timpani mengandung perilimfe yang menyerupai cairan ekstraseluler
dengan konsentrasi Kalium 4 mEq/L dan Natrium 139 mEq/L. Skala
media dibatasi oleh membran Reissner, membran basilaris, lamina spiralis
osseous dan dinding lateral. Skala media mengandung endolimfe yang
menyerupai cairan intraselular dengan konsentrasi Kalium 144 mEq/L
dan Natrium 13 mEq/L. Skala media memiliki potensial istirahat sekitar 80
mV yang menurun dari basis ke apeks. Potensial endokoklear ini
dihasilkan stria vaskularis di dinding lateral koklea (Mills, Khariwala &
Weber 2006; Gacek 2009).
Organ korti terletak di atas membran basilaris yang mengandung
organ penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran, terdiri dari tiga
bagian utama, yaitu sel penunjang, sel-sel rambut dan suatu lapisan
gelatin penghubung membran tektoria. Di dalam organ korti terdapat kira-
kira 15.500 sel-sel rambut yang terdiri dari 3.500 sel-sel rambut dalam
dan 12.000 sel-sel rambut luar (Gacek 2009).

2.8.2. Sistem saraf pendengaran sentral


Daerah sentral dari sistem pendengaran meliputi seluruh struktur
pendengaran yang letaknya setelah saraf kohlearis, yaitu:
a. Kompleks nukleus kohlearis
Kompleks nukleus kohlearis terdiri dari 3 inti, yaitu nukleus kohlearis
anteroventralis, nukleus kohlearis posteroventralis, dan nukleus kohlearis

Universitas Sumatera Utara


dorsalis. Serabut afferen yang berjalan menuju kompleks nukleus
kohlearis dibagi menjadi dua cabang, yaitu cabang ascending menuju ke
nukleus kohlearis anteroventralis dan cabang descending menuju ke
nukleus kohlearis posteroventralis dan dorsalis.
Akson-akson yang terdapat pada nukleus kohlearis dorsalis akan
membentuk stria akustikus dorsalis (stria Monakow) yang kemudian
bergabung dengan lemniskus lateralis kontralateral dan berakhir pada
kolikulus inferior. Akson-akson dari nukleus kohlearis posteroventralis
membentuk stria akustikus intermedius (stria Held).
Akson tersebut membentuk kompleks olivaris superior bilateral dan
menuju nukleus lemniskus lateralis. Beberapa akson berjalan menuju stria
ventralis (corpus trapezoideus) dan membentuk kolikulus inferior
kontralateral. Akson-akson dari nukleus kohlearis anteroventralis
membentuk stria ventralis dan akson tersebut membentuk nukleus
lateralis ipsilateral dari kompleks olivaris superior disebut juga olivaris
superior lateralis dan pada ipsilateral dan kontralateral terdapat nukleus
medial dari kompleks olivaris superior yang disebut dengan olivaris
superior medialis, serta kontralateral dari nukleus corpus trapezoideus
yang membentuk bagian ipsilateral dari kompleks olivaris superior.
Nada frekuensi rendah pada kompleks nukleus kohlearis terdapat
pada daerah kontralateral dan nada frekuensi tinggi pada dorsomedialis
(Rappaport & Provencal 2002).
b. Kompleks olivaris superior
Kompleks olivaris superior meliputi olivaris superior lateralis, medialis
dan nukleus corpus trapezoideus medialis dan nukleus preolivaris dan
periolivaris yang merupakan bagian dari sistem pendengaran descending
(Rappaport & Provencal 2002; Møller 2006).
c. Lemniskus lateralis
Terdiri dari sel-sel akson yang terletak pada kompleks nukleus
kohlearis, kompleks olivaris lateralis dan lemniskus lateralis. Lemniskus
lateralis mempunyai tiga nukleus yaitu nukleus dorsalis, ventralis dan

Universitas Sumatera Utara


intermedius yang letaknya pada rons rostral. Nukleus dorsalis kanan dan
kiri dipertemukan oleh komissura Probst. Akson-akson dari nukleus
dorsalis berakhir pada kolikulus inferior ipsilateral atau kontralateral via
komissura Probst. Pada nukleus dorsalis dan ventralis, terletak nada
frekuensi rendah dan frekuensi rendah pada ventralis.
d. Kolikulus inferior
Terdiri dari daerah sentral atau kolikulus inferior sentral yang dikelilingi
oleh belt area. Kolikulus inferior sentral kanan dan kiri dihubungkan
dengan suatu komissura. Kolikulus inferior sentral ini menerima proyeksi
kontralateral dari masing-masing subdivisi kompleks nukleus kohlearis.
Pada bilateral dari olivaris superior lateralis dan dari nukleus dorsalis dan
intermedius lemniskus lateralis serta pada ipsilateral dari olivaris superior
medius, nukleus korpus trapezoideus medius dan nukleus lemniskus
lateralis ventralis.
Belt area menerima proyeksi dari nukleus lemniskus lateralis dorsalis
dan ventralis dan dari nukleus kohlearis ventralis dan dorsalis. Akson-
akson dari kolikulus juga membentuk kolikulus inferior brakialis. Pada
kolikulus inferior sentralis, nada frekuensi rendah terletak pada daerah
dorsalis dan frekuensi tinggi pada ventrolateralis (Luxon & Cohen 1997;
Rappaport & Provencal 2002).
e. Korpus genikulatum medialis
Terletak pada thalamus dan dibagi dalam 3 nukleus yaitu nukleus
ventralis, dorsalis dan medialis. Korpus ini akan mengirimkan sinyal ke
korteks auditorius. Nada frekuensi rendah terletak pada bagian lateralis
dari nukleus ventralis dan frekuensi tinggi pada daerah medialis
(Rappaport & Provencal 2002; Mills, Khariwala & Weber 2006).
f. Korteks auditorius
Terdiri dari daerah primer (gyrus Heschl), yang terletak pada bagian
atas gyrus temporalis yang dikelilingi oleh Belt area. Belt area meliputi
temporal, gyrus temporalis posterosuperior (area Broadmann 22), gyrus

Universitas Sumatera Utara


angularis (area Broadmann 40) dan insula. Hantaran suara pada korteks
auditorius yaitu pada daerah primer dan area Broadmann 22.
Kolikulus inferior sentralis, korpus genikulatum medialis ventralis dan
korteks auditorius primer merupakan jalur pendengaran yang utama.

2.9. Kerangka Teori

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)

Abnormalitas migrasi Kegagalan atau terhentinya


dan mielinisasi saraf VIII perkembangan otak dan
sistem auditori

Gangguan
pada Koklea
dan Batang
Otak

Gangguan
Pendengaran

Gambar 2.5. Kerangka Teori

Universitas Sumatera Utara


2.10. Kerangka Konsep

-Jenis Kelamin

-Berat Lahir

Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) -Umur Bayi

-Umur Kehamilan Ibu

-Telinga yang Terlibat


-DPOAEs

-ABR

Gangguan Pendengaran

=Variabel penelitian

Gambar 2.6. Kerangka Konsep

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai