Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperbilirubinemia (penyakit kuning) merupakan salah satu fenomena klinis

yang paling sering ditemukan pada neonatus/bayi baru lahir (BBL), sehingga

memerlukan perhatian medis yang cukup serius. Hiperbilirubinemia didefinisikan

sebagai kadar bilirubin serum total ≥5 mg/dL (86 μmol/L). Ikterus atau jaundice

adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan

bilirubin tak terkonjugasi pada jaringan. Hiperbilirubinemia atau ikterus

patologis yaitu ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama, dengan peningkatan

bilirubin serum >5 mg/dL/24 jam, kadar bilirubin terkonjugasi >2 mg/dL, dan

Ikterus yang menetap >2 minggu (IDAI, 2011). Pada sebagian besar neonatus,

penyakit kuning tidak tekonjugasi mencerminkan fenomena transisi normal.

Namun, pada beberapa neonatus, tingkat serum bilirubin akan naik, sehingga

memerlukan perhatian serius. Sebab, bilirubin tidak terkonjugasi merupakan

neurotoksik dan bisa menyebabkan kematian pada bayi baru lahir dan gejala sisa

neurologis seumur hidup pada anak yang bertahan hidup yang dikarenakan kern

ikterus. Mengingat begitu besarnya dampak yang diakibatkan olehnya, maka

penyakit kuning neonatus seringkali memerlukan kecermatan evaluasi diagnostik

(Fida dan Maya, 2012).

Hiperbilirubin merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering

ditemukan pada bayi baru lahir dalam minggu pertama dalam kehidupannya.

Insiden hiperbilirubinemia di Amerika 65%, Malaysia 75%, Indonesia 51,47%

(Siska, 2017: 1). Di Propinsi Jawa Timur tahun 2018, bayi baru lahir

terkena ikterus sebanyak (26,75%) atau 268/1000 kelahiran bayi baru lahir

1
2

(Dinkes Jatim, 2019). Berdasarkan data RSIA Fatma Bojonegoro, pada tahun

2018 angka kejadian neonatus dengan ikterus patologis sebanyak 81 neonatus

(6,12%) dari jumlah 1.323 neonatus. Sedangkan pada tahun 2019 sebanyak 90

neonatus (7,52%) dari jumlah 1.196 neonatus. Hal ini menunjukkan prevalensi

neonatus dengan ikterus patologis terjadi peningkatan sebesar 1,4%.

Salah satu masalah yang sering timbul pada bayi baru lahir adalah ikterus

neonatorum yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab

yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat

inkompabilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini

juga dapat timbul akibat perdarahan tertutup (hematom cefal, perdarahan

subaponeurotik) atau inkompabilitas darah Rh, infeksi juga memegang peranan

penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaan ini terutama terjadi pada

penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain adalah hipoksia/anoksia,

dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia, dan polisitemia (Ngastiyah, 2005). Ikterus

patologis merupakan ikterus yang mempunyai dasar patologis. Kadar bilirubinnya

mencapai nilai hiperbilirubinemia yang mempunyai potensi untuk menimbulkan

kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik. Dan salah satu penyebab

mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai

kern ikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum

yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat

menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan

displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup (Fida dan Maya, 2012).

Penatalaksanaan awal ikterus yaitu mulai dengan terapi sinar bila ikterus

diklasifikasikan sebagai ikterus dini atau kemungkinan ikterus berat. Ambil

sampel darah bayi dan periksa kadar bilirubin, bila memungkinkan tentukan

apakah bayi memiliki salah satu faktor risiko (berat lahir <2500 gram atau
3

kehamilan <37 minggu, hemolysis atau sepsis) (Wahyuni, 2013). Penatalaksanaan

ikterus patologis yaitu melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi dan

transfusi tukar darah. Pada penatalaksanaan transfusi tukar darah, dilakukan

dengan indikasi: pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≥ 20 mg/dL,

kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1 mg/dL per jam, anemia

berat pada bayi baru lahir dengan gejala gagal jantung, kadar HB tali pusat < 14

mg/dL dan uji Coombs direk positif (Saifuddin AB, 2010).

Fototerapi merupakan terapi menggunakan sinar yang dapat dilihat secara

kasat mata untuk pengobatan hiperbilirubinemia. Tujuannya adalah membatasi

peningkatan serum bilirubin dan mencegah penumpukan di dalam otak yang dapat

menyebabkan komplikasi neurologis permanen yang serius (kern icterus).

Pengaruh fototerapi berhubungan dengan kadar bilirubin di kulit dan intensitas

sinar. Intensitas sinar sendiri dipengaruhi oleh keadaan jarak sinar dengan pasien,

luas permukaan tubuh, jenis dan panjang gelombang sinar, serta penggunaan

media atau tirai putih pemantul sinar (Tokowski, 2011).

Sekitar 60% bayi yang lahir normal menjadi ikterik pada minggu pertama

kelahiran. Hiperbilirubinemia (indirect) yang tak terkonjugasi terjadi sebagai hasil

dari pembentukan bilirubin yang berlebihan karena hati neonatus belum dapat

membersihkan bilirubin cukup cepat dalam darah. Walaupun sebagian besar bayi

lahir dengan ikterik normal, tapi mereka butuh monitoring karena bilirubin

memiliki potensi meracuni sistem saraf pusat (Maisels, et al, 2008).

Bilirubin serum dapat naik ke tingkat berbahaya yang menimbulkan

ancaman langsung dari kerusakan otak. Akut ensefalopati bilirubin gangguan

yang mungkin jarang terjadi, namun sering dapat berkembang menjadi kernikterus

yaitu suatu kondisi yang dapat melumpuhkan dan menimbulkan kerusakan kronis

yang ditandai oleh tetrad klinis cerebral palsy choreoathetoid, kehilangan


4

pendengaran saraf pusat, saraf penglihatan vertikal, dan hypoplasia enamel gigi

sebagai hasilnya keracunan bilirubin (Wathcko, et al, 2006).

Fototerapi di rumah sakit merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah

kadar bilirubin tak terkonjugasi yang tinggi atau hiperbilirubinemia. Uji klinis

telah divalidasi kemanjuran fototerapi dalam mengurangi hiperbilirubinemia tak

terkonjugasi yang berlebihan, dan implementasinya telah secara drastis membatasi

penggunaan transfusi tukar (Bhutani, 2011). Penelitian menunjukkan bahwa

ketika fototerapi belum dilakukan, 36% bayi dengan berat kelahiran kurang dari

1500 gram memerlukan transfusi tukar (Newman, et al , 2009).

Dari beberapa uraian masalah tersebut di atas, penulis tertarik untuk

melakukan penelitian tentang “Pengaruh fototerapi terhadap penurunan kadar

bilirubin total pada bayi di RSIA Fatma Bojonegoro”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah

penelitian ini adalah:

“Bagaimanakah pengaruh fototerapi terhadap penurunan kadar bilirubin

total pada bayi di RSIA Fatma Bojonegoro?”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh fototerapi terhadap penurunan kadar bilirubin

total pada bayi di RSIA Fatma Bojonegoro.

1.3.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahui karakteristik pada bayi dengan hiperbilirubinimia di RSIA Fatma

Bojonegoro
5

2) Mengukur kadar bilirubin total pada bayi sebelum dilakukan fototerapi

di RSIA Fatma Bojonegoro.

3) Mengukur kadar bilirubin total pada bayi sesudah dilakukan fototerapi

di RSIA Fatma Bojonegoro.

4) Menganalisis pengaruh fototerapi terhadap penurunan kadar bilirubin total

pada bayi di RSIA Fatma Bojonegoro.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan lebih luas untuk hasil

pelaksanaan penelitian lebih lanjut dan menambah kepustakaan agar dapat

dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat meningkatkan informasi tentang

penatalaksanaan fototerapi pada bayi yang mengalami ikterik, sebagai referensi

dalam kegiatan proses belajar mengajar bagi mahasiswa, dan dapat dipakai

sebagai bahan bacaan bagi institusi pendidikan dalam kegiatan penelitian

berikutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Bagi orang tua

Orang tua mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang penyakit

ikterus (penyakit kuning) sehingga dapat memutuskan dengan segera

terhadap keputusan terapi pengobatan yang diberikan oleh dokter dan tentang

perawatan lanjutan pada neonatus dengan ikterus.

2) Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

Digunakan sebagai masukan fasilitas pelayanan dan untuk

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada bayi baru lahir dengan


6

ikterus serta sebagai masukan dalam menentukan kebijakan operasional dan

strategi yang efisien sebagai upaya menurunkan angka kesakitan dan angka

kematian pada bayi.

1.5 Keaslian /Originalitas Penelitian

Tabel 1.1 Originalitas Penelitian

No. Nama peneliti dan tahun Judul Hasil


1. Ira Silvia (2013) Pengaruh posisi Hasil penelitian terjadi
bayi terhadap penurunan kadar serum bilirubin
kadar bilirubin signifikan pada masing-masing
pada fototerapi kelompok posisi telentang
konvensional dengan mengubah posisi setiap 3
jam setelah 24 jam fototerapi.
2. Rina Triasih (2003) Kadar Bilirubin 24 Hasil penelitian terdapat
jam sebagai Faktor hubungan antara kadar bilirubin
Prediksi total 24 jam pertama dengan hari
Hiperbilirubinemia kelima yang dapat digunakan
pada Bayi Cukup untuk memprediksi terjadinya
Bulan hiperbilirubunemia pada bayi
cukup bulan pada minggu
pertama kehidupan.

Berdasarkan data originalitas di atas maka dapat dilihat penelitian yang

dilakukan :

1) Ira Silvia (2013) dengan jenis penelitian studi randomized controlled trial

dilakukan pada bulan Juli 2012 sampai Oktober 2012 di unit Perinatologi

RS.H. Adam Malik Medan dan RS. Dr. Pirngadi Medan. Sampel dipilih secara

randomisasi sederhana dengan menggunakan amplop tertutup yaitu neonatus

hiperbilirubinemia fisiologis, usia kehamilan ≥ 32 minggu ≤ 42 minggu yang

memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi diikut sertakan dalam penelitian.

2) Rina Triasih (2003), dengan jenis penelitian analitik dengan melakukan uji

korelasi, jumlah sampel 84 bayi cukup bulan yang mendapat persetujuan

orang tuanya untuk dilakukan pemeriksaan kadar bilirubinnya.

Anda mungkin juga menyukai