BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak oleh berbagai macam mikroorganisme (Hassan, 1997).
Pada encephalitis terjadi peradangan jaringan otak yang dapat mengenai selaput pembungkus
otak dan medula spinalis.
Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikro
organisme lain yang non purulent.
Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai system saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh virus
atau mikroorganisme lain yang nonpurulen. Penyebab tersering dari ensefalitis adalah virus
kemudian herpes simpleks, arbovirus, dan jarang disebabkan oleh enterovarius, mumps, dan
adenovirus. Ensefalitis bias juga terjadi pascainfeksi campak, influenza, varicella, dan
pascavaksinasi pertusis.
Klasifikasi ensefalitis didasarkan pada factor penyebabnya. Ensefalitis suparatif akut dengan
bakteri penyebab ensefalitis adalah Staphylococcus
aureus, Streptococus, E.Colli, Mycobacterium, dan T.Pallidium. Sedangkan ensefalitis virus
penyebab adalah virus RNA (Virus Parotitis), virusmorbili, virus rabies, virus Rubela, virus
dengue, virus polio, cockscakie A dan B, herpes zoster, herpes simpleks, dan varicella.
2.2 Etiologi
a. Virus
b. Bakteri
c. Jamur
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan Ensefalitis, misalnya bakteria,
protozoa, cacing, jamur, spirochaeta, dan virus. Bakteri penyebab Ensefalitis adalah
Staphylococcus aureus, streptokok, E. Coli, M. Tuberculosa dan T. Pallidum. Encephalitis
bakterial akut sering disebut encephalitis supuratif akut (Mansjoer, 2000). Penyebab lain adalah
keracunan arsenik dan reaksi toksin dari thypoid fever, campak dan chicken pox/cacar air.
Penyebab encephalitis yang terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus
langsung menyerang otak, atau reaksi radang akut infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu.
Klasifikasi encephalitis berdasar jenis virus serta epidemiologinya ialah:
· Infeksi virus yang bersifat endemik
1. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
2. Golongan virus Arbo : Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis, Eastern equine
encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer encephalitis, Murray valley
encephalitis.
Infeksi virus yang bersiat sporadik : rabies, Herpes simpleks, Herpes zoster, Limfogranuloma,
Mumps, Lymphocytic choriomeningitis, dan jenis lain yang dianggap disebabkan oleh virus
tetapi belum jelas.
Encephalitis pasca-infeksi : pasca-morbili, pasca-varisela, pasca-rubela, pasca-vaksinia,
pasca-mononukleosis infeksius, dan jenis-jenis lain yang mengikuti infeksi traktus respiratorius
yang tidak spesifik.(Robin cit. Hassan, 1997)
2.3 Tanda dan Gejala
1. Suhu yang mendadak naik, seringkali ditemukan hiperpireksia
2. Kesadaran dengan cepat menurun
3. Muntah
4. Kejang-kejang, yang dapat bersifat umum, fokal atau twitching saja (kejang-kejang di muka)
5. Gejala-gejala serebrum lain, yang dapat timbul sendiri-sendiri atau bersama-sama, misal paresis
atau paralisis, afasia, dan sebagainya (Hassan, 1997
6. Perubahan perilaku
7. Gelisah
Inti dari sindrom Ensefalitis adalah adanya demam akut, dengan kombinasi tanda dan gejala :
kejang, delirium, bingung, stupor atau koma, aphasia, hemiparesis dengan asimetri refleks
tendon dan tanda Babinski, gerakan involunter, ataxia, nystagmus, kelemahan otot-otot wajah.
2.4 Patofisiologi
Virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran npas, dan saluran cerna. Setelah masuk ke
dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara :
Lokal : virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ tertentu.
Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah, kemudian menyebar ke organ dan
berkembang biak di organ tersebut.
Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di perukaan selaput lender dan
menyebar melalui system persarafan.
Setelah terjadi penyebaran ke otak terjadi manifestasi klinis ensefalitis. Masa prodromal
berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah nyeri tenggorokan,
malais, nyeri ekstremitas, dan pucat. Suhu badan meningkat, fotofobia, sakit kepala, muntah-
muntah, letargi, kadang disertai kakukuduk apabila infeksi mengenai meningen. Pada anak,
tampak gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku. Dapat disertai gangguan penglihatan,
pendengaran, bicara, serta kejang. Gejala lain berupa gelisah, rewel, perubahan perilaku,
gangguan kesaadaran, kejang. Kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afassia,
hemiparesis, hemiplagia, ataksia, dan paralisis saraf otak.
2.5 Manifestasi Klinis
Masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari, ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing
muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremitas, dan pucat. Kemudian di ikuti tanda
ensefalitis yang berat ringannya tergantung dari ditribusi dan luas lesi pada neuron. Gejala
tersebut berupa :
1. Gelisah
2. Iritabel
3. Streming attack
4. Perubahan perilaku
5. Gangguan kesadaran
6. Kejang
Kadang disertai tanda neurologis fokal berupa :
1) Afasia
2) Hemiparesia
3) Hemiplagia
4) Ataksia
5) Paralisis saraf otak
Tanda rangsangan meningela dapat terjadi bila peradangan mencapai meningen. Ruam
kulitkadang di dapatkan pada beberapa tipe ensefalitis misalnyapada enterovirus dan varisela
zoster
2.6 Komplikasi
Komplikasi pada ensefalitis berupa :
1. Retardasi mental
2. Iritabel
3. Gangguan motorik
4. Epilepsi
5. Emosi tidak stabil
6. Sulit tidur
7. Halusinasi
8. Enuresis
9. Anak menjadi perusak dan melakukan tindakan asosial lain.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
A. Lumbal pungsi (pemeriksaan CSS)
1) Cairan warna jernih d. Glukosa normal
2) Leukosit meningkat e. Tekanan Intra Kranial meningkat
2. Protein agak meningkat
3. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urin
1) Sukar oleh karena uremia berlangsung singkat
2) Dapat membantu mengidentifikasikan daerah pusat infeksi dan penyebab infeksi
4. CT Scan/ MRI
1) Membantu melokalisasi lesi, melihat ukuran/ letak ventrikel, hematom, daerah cerebral,
hemoragic, atau tumor
5. EEG
1) Terlihat aktivitas listrik (gelombang) yang menurun, sosial dengan tingkat kesadaran yang
menurun
2) Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difu (aktivitas lambat bilateral)
2.8 Penatalaksanaan
1. Isolasi Isolasi bertujuan mengurangi stimuli/rangsangan dari luar dan sebagai tindakan
pencegahan.
2. Terapi antimikroba, sesuai hasil kultur Obat yang mungkin dianjurkan oleh dokter :
Ampicillin : 200 mg/kgBB/24 jam, dibagi 4 dosis
Kemicetin : 100 mg/kgBB/24 jam, dibagi 4 dosis
Bila encephalitis disebabkan oleh virus (HSV), agen antiviral acyclovir secara signifikan dapat
menurunkan mortalitas dan morbiditas HSV encephalitis. Acyclovir diberikan secara intravena
dengan dosis 30 mg/kgBB per hari dan dilanjutkan selama 10-14 hari untuk mencegah
kekambuhan (Victor, 2001).
Untuk kemungkinan infeksi sekunder diberikan antibiotika secara polifragmasi.
3. Mengurangi meningkatnya tekanan intracranial, manajemen edema otak
Mempertahankan hidrasi, monitor balans cairan; jenis dan jumlah cairan yang diberikan
tergantung keadaan anak.
Glukosa 20%, 10 ml intravena beberapa kali sehari disuntikkan dalam pipa giving set untuk
menghilangkan edema otak.
Kortikosteroid intramuscular atau intravena dapat juga digunakan untuk menghilangkan edema
otak.
4. Mengontrol kejang Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Obat yang
diberikan ialah valium dan atau luminal.
Valium dapat diberikan dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
Bila 15 menit belum teratasi/kejang lagi bia diulang dengan dosis yang sama
Jika sudah diberikan 2 kali dan 15 menit lagi masih kejang, berikan valium drip dengan dosis 5
mg/kgBB/24 jam.
5. Mempertahankan ventilasi Bebaskan jalan nafas, berikan O2 sesuai kebutuhan (2-3l/menit).
6. Penatalaksanaan shock septik
7. Mengontrol perubahan suhu lingkungan
8. Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan kompres pada permukaan tubuh yang mempunyai
pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan leher, ketiak, selangkangan, daerah proksimal
betis dan di atas kepala. Sebagai hibernasi dapat diberikan largaktil 2 mg/kgBB/hari dan
phenergan 4 mg/kgBB/hari secara intravena atau intramuscular dibagi dalam 3 kali pemberian.
Dapat juga diberikan antipiretikum seperti asetosal atau parasetamol bila keadaan telah
memungkinkan pemberian obat per oral.(Hassan, 1997)
2.9 Pathway
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Biodata
Umur : Penyakit ensefalitis dapat menyerang semua usia, insiden tertinggi terjadi pada anak-
anak
Jenis kelamin : Penyakit ensefalitis bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan
Bangsa : Umumnya untuk penyakit ensefalitis tidak mengenal suku bangsa, ras
2. Keluhan utama
a. Demam
b. Kejang
3. Riwayat kesehatan sekarang
Demam, kejang, sakit kepala, pusing, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremitas, pucat,
gelisah, perubahan perilaku, dan gangguan kesadaran.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah menderita penyakit
Herpes, penyakit infeksi pada hidung,telinga dan tenggorokan.
5. Riwayat penyakit keluarga
Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh : Herpes dll.
Bakteri contoh : Staphylococcus Aureus,Streptococcus , E , Coli ,dll.
Saraf I. Fungsi penciuman biasanya tidak ada klainan pada klien ensefalitis
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papiledema mungkin
didapatkan terutma pada ensefalitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural yang
menyebabkan terjadinya peningkatan TIK.
Saraf III, IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien ensefalitis yang tidak
disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut ensefalitis yang telah
mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan.
Dengan alas an yang tidak diketahui, klien ensefalitis mengeluh mengalami fotofobia atau
sensitive yang berlebihan terhadap cahaya.
Saraf V. Pada klien ensefalitis didapatkan paralisis pada otot sehingga mengganggu proses
mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis
unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli kondungtif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi
via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya usaha dari klien
untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecap normal.
Sistem Motorik
Kekuatan otot menurun, kntrol keseimbangan dan koordinasi pada ensefalitis tahap lanjut
mengalami perubahan.
Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflex dala, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat
reflex pada respons normal. Reflex patologis akan didapatkan pada klien ensefalitis dengan
tingkat kesadaran koma.
Gerakan Involunter
Tidak ditemukan adanya teremor, Tic, dan distonia. Pada keaddaan tertentu klien biasanya
mengalami kejang umum, terutama pada anak ddengan ensefalitis disertai peningkatan suhu
tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan ensefalitis. Kejang
terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
Sistem Sensorik
Pemeriksaan sonsorik pada ensefalitis biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan
nyeri normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di eprmukaan tubuh, perasaan
diskriminatif normal.
Peradangan pada selaput otak mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali pada
ensefalitis. Tanda tersebut adalah kaku kuduk, yaitu ketika adanya upaya untuk fleksi kepala
mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistemperkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume keluaran
urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan
nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan adanya kejang.
B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien
secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu orang lain.
3.5 Implementasi
Diagnosa Keperawatan I.
Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan tubuh terhadap infeksi turun
Tujuan:
- tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil:
- Masa penyembuhan tepat waktu tanpa bukti penyebaran infeksi endogen
Intervensi
1. Pertahanan teknik aseptic dan teknik cuci tangan yang tepat baik petugas atau pengunmjung.
Pantau dan batasi pengunjung.
R/. menurunkan resiko px terkena infeksi sekunder . mengontrol penyebaran Sumber infeksi,
mencegah pemajaran pada individu yang mengalami nfeksi saluran nafas atas.
2. Abs. suhu secara teratur dan tanda-tanda klinis dari infeksi.
R/. Deteksi dini tanda-tanda infeksi merupakan indikasi perkembangan Meningkosamia .
3. Berikan antibiotika sesuai indikasi
R/. Obat yang dipilih tergantung tipe infeksi dan sensitivitas individu.
DIAGNOSA KEPERAWATAN II
Resiko tinggi terhadap trauma b/d aktivitas kejang umum
Tujuan :
- Tidak terjadi trauma
Kriteria hasil :
- Tidak mengalami kejang / penyerta cedera lain
Intervensi :
1. Berikan pengamanan pada pasien dengan memberi bantalan,penghalang tempat tidur tetapn
terpasang dan berikan pengganjal pada mulut, jalan nafas tetap bebas.
R/. Melindungi px jika terjadi kejang , pengganjal mulut agak lidah tidak tergigit.
Catatan: memasukkan pengganjal mulut hanya saat mulut relaksasi.
2. Pertahankan tirah baring dalam fase akut.
R/. Menurunkan resiko terjatuh / trauma saat terjadi vertigo.
3. Kolaborasi.
Berikan obat sesuai indikasi seperti delantin, valum dsb.
R/. Merupakan indikasi untuk penanganan dan pencegahan kejang.
4. Abservasi tanda-tanda vital
R/. Deteksi diri terjadi kejang agak dapat dilakukan tindakan lanjutan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN III
Resiko terjadi kontraktur b/d kejang spastik berulang
Tujuan :
- Tidak terjadi kontraktur
Ktiteria hasil :
- Tidak terjadi kekakuan sendi
- Dapat menggerakkan anggota tubuh
Intervensi
1. Berikan penjelasan pada ibu klien tentang penyebab terjadinya spastik , terjadi kekacauan
sendi.
R/ . Dengan diberi penjelasan diharapkan keluarga mengerti dan mau membantu program
perawatan .
2. Lakukan latihan pasif mulai ujung ruas jari secara bertahap
R/ Melatih melemaskan otot-otot, mencegah kontraktor.
3. Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam
R/ Dengan melakukan perubahan posisi diharapkan peR/usi ke jaringan lancar, meningkatkan
daya pertahanan tubuh .
4. Observasi gejala kaerdinal setiap 3 jam
R/ Dengan melakukan observasi dapat melakukan deteksi dini bila ada kelainan dapat dilakukan
inteR/ensi segera
5. Kolaborasi untuk pemberian pengobatan spastik dilantin / valium sesuai Indikasi
R/ Diberi dilantin / valium ,bila terjadi kejang spastik ulang