Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

Terapi Anti Histamin Pada Penyakit Kulit dan


Kelamin

Pembimbing:

dr. H. Dindin Budhi Rahayu, Sp.KK

Oleh:

Andhika Idam Radiktyo

2016730115

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM SAYANG CIANJUR

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat merampungkan tugas Referat dengan judul
“Terapi Anti Histamin Pada Penyakit Kulit dan Kelamin”.

Makalah ini membahas mengenai pengobatan atau terapi untuk


mengoreksi berbagai kelainan kulit. Tujuan dibuatnya makalah ini untuk
memenuhi tugas kepaniteraan di stase Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Saya sadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

Terakhir saya ucapkan kepada semua pihak yang terlah berperan dalam
penyusunan makalah ini. Semoga Allah membalas segala kebaikan kita dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Khususnya bagi penulis.

Wassalamualaiku Wr. Wb.

Jakarta, April 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Antihistamin merupakan obat yang sering dipakai dibidang dermatologi,


terutama untuk kelainan kronik dan rekuren. Antihistamin adalah zat yang dapat
mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan
memblok reseptor histamin. Antihistamin dan histamin berlomba untuk
menempati reseptor yang sama. Ada empat tipe reseptor histamin, yaitu H1, H2,
H3, dan H4 yang keempatnya memiliki fungsi dan distribusi yang berbeda. Pada
kulit manusia hanya reseptor H1 dan H2 yang berperan utama. Blokade reseptor
oleh antagonis H1 menghambat terikatnya histamin pada reseptor sehingga
menghambat dampak akibat histamin misalnya kontraksi otot polos, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan vasodilatasi pembuluh darah.
Histamin memiliki peranan yang penting dalam patofisiologi penyakit
alergi. Histamin adalah amina dasar yang dibentuk dari histidin oleh histidine
dekarboksilase. Histamin ditemukan pada semua jaringan, tetapi memiliki
konsentrasi yang tinggi pada jaringan yang berkontak dengan dunia luar, seperti
paru-paru, kulit, dan saluran pencernaan. Urtikaria dan rhinitis alergi merupakan
dua penyakit alergi yang sering menyebabkan gangguan pola tidur dan
mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Pada kondisi yang berat, kelainan ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup seseorang, mulai dari gangguan fisik, gangguan
emosional, gangguan aktivitas seksual, terbatasnya aktivitas sosial, dan
mempengaruhi pekerjaan. Angka kejadian urtikaria kronis diperkirakan 0,1-3%
dari keseluruhan populasi di Eropa dan Amerika. Di dunia prevalensinya
diperkirakan sekitar 0,5% dan angka ini tidak berbeda secara signifikan pada
komunitas yang berbeda. Di seluruh dunia diperkirakan 12% sampai 22% orang
pernah mengalami gejala urtikaria sekurang-kurangnya satu kali selama hidup.
Salah satu golongan obat yang selalu dipakai dalam penanganan urtikaria adalah
antihistamin. Difendramin merupakan obat yang pertama kali digunakan, yang
efektif pada urtikaria kronis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Antihistamin
1. Definisi
Antihistamin (antagonis histamin adalah zat yang dapat
mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan
memblokir reseptor histamin. Histamin merupakan derivat amin dengan
berat molekul rendah yang diproduksi dari L-histidine. Ada empat jenis
reseptor histamin, namun yang dikenal secara luas hanya reseptor histamin
H1 dan H2. Reseptor H1 ditemukan pada neuron, otot polos, epitel dan
endotelium. Reseptor H2 ditemukan pada sel parietal mukosa lambung,
otot polos, epitelium, endotelium, dan jantung. Kedua jenis antihistamin
ini bekerja secara kompetitif yaitu dengan menghambat interaksi histamin
dan reseptor histamin H1 atau H2. Setelah itu, terdapat banyak usaha
untuk menemukan obat baru yang mampu menghambat kedua reseptor
dengan berbagai kekuatan dan spesifitasnya.
Histamin didistribusi secara luas diseluruh tubuh, dengan
konsentrasi yang tinggi terdapat pada paru-paru, kulit dan saluran
pencernaan. Histamin merupakan salah satu mediator utama yang dilepas
dari sel mast dan basofil), berperan terhadap patofisiologi penyakit alergi,
diantaranya rhinitis, urtikaria, asma dan anafilaksis. Reseptor H1 terdapat
pada saraf, epitel dan endotel, dan tipe sel yang lain yang multipel.
Reseptor H2 berlokasi pada sel parietal mukosa lambung, epitel dan
endotel, hati dan tipe sel lainnya. Reseptor H3 dan H4 memiliki ekpresi
yang terbatas. Antihistamin bekerja secara kompetitif, yaitu menghambat
interaksi histamin dengan reseptor histamin H1, H2, H3. Antihistamin
sangat penting untuk terapi berbagai penyakit alergi. Antihistamin juga
menjadi faktor yang penting dalam terapi urtikaria dan dermatitis atopik.
Histamin menyebabkan kontraksi otot polos antara lain pada
bronkus dan usus, tetapi menyebabkan relaksasi kuat pada otot polos
pembuluh darah kecil, sehingga permeabilitasnya meningkat dan timbul
pruritus. Selain itu, histamin merupakan perangsang kuat sekresi asam
lambung dan kelenjar eksokrin lainnya misalnya kelenjar mukosa saluran
nafas. Akibat vasodilatasi pada pembuluh darah kecil maka timbul
kemerahan dan rasa panas di daerah wajah, resistensi perifer menurun
sehingga tekanan darah menurun (hipotensi). Permeabilitas kapilar
meningkat sehingga protein dan cairan plasma keluar ke ruangan
ekstraselular dan menimbulkan edema. Efek bronkokonstriksi dan
kontraksi usus karena histamin dapat dihambat oleh AH1. Efek histamin
terhadap sekresi asam lambung dapat dihambat oleh AH2, misalnya
simetidin dan ranitidin. AH1 berguna untuk pengobatan simtomatik
berbagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk perjalanan.
Secara klinis alergi terdapat pada penyakit rinitis alergika, urtikaria dan
angioedema.
2. Penggolongan Antihistamin
a. Antagonis Histamin H1
b. Antagonis Histamin H2
c. Antagonis Histamin H3
d. Antagonis Histamin H4
3. Antagonis Reseptor Histamin H1
Antihistamin merupakan salah satu diantara banyaknya obat yang
sering digunakan untuk pasien pediatrik. Menurut data yang diperoleh dari
studi Alergologica pada tahun 2005 bahwa sebesar 56,4% dari seluruh
pasien pediatrik (dibawah usia 14 tahun) diberikan antihistamin dari ahli
alergi. Dan sebanyak 22% menggunakan antihistamin generasi pertama,
selebihnya anti histamin generasi kedua.
Pada dewasa, AH1 menunjukan efikasinya dalam mengurangi
gejala urtikaria, namun tidak terdapat data maupun studi metodoogikal
pada anak dengan urtikaria yang diberikan AH1.
Klasisikasi Antihistamin H1
Tabel 1. Klasifikasi Antihistamin H1

Kelas Fungsional
Kelas Kimia
Generasi pertama Generasi Kedua

Brofeniramin, Klofeniramin,
Dimethinden, Femiramin,
Alkilamin Acrivastin.
Triprolidin, Phiramin,
Pyrorobutamin, Triprolidin.

Buclizin, Cyclizin,
Piperazin Hidroksizin, Meclizin, Cetirizin, Levocetirizin.
Oxatomid.

Astemizol, Desloratadin,
Ebastin, Fexofemadin,
Azatadin, Kriptoheptadin,
Piperidin Levocabastin, Loratadin,
Difenilpiralin, Ketotifen.
Mizolastin, Olopatadin,
Terfenadin.

Carbinoxamin, Clemestin,
Dimenhydrinat,
Ethanolamin -
Difenhydramin, Doxylamin,
Feniltoloxamin.

Antazolin, Pyrilamin,
Ethyendiamin -
Tripelenamin.

Methdilazin, Promethazin,
Phenotiazin -
Trimeprazin.

Lain Doxepin. Azelastin, Emdastin,


Epinastin.

Tabel II. Perbedaan Karakteristik Antihistamin H1 generasi pertama dan


kedua.

Generasi Pertama Generasi Kedua

Biasanya diminum dalam dosis 3-4


Biasanya diminum 1-2 kali per hari.
kali perhari.

Melintasi sawar darah-otak Tidak melintasi sawar darah-otak


(lipofilik, berat molekul rendah, (lipofilik, berat molekul tinggi,
tidak dikenal oleh P-glycoprotein dikenal oleh P-glycoprotein efflux
efflux pump). pump).

Berpotensi menyebabkan efek Tidak menyebabkan efek samping


samping (sedasi/ hiperaktivitas/ revelan (sedasi/ lemas/
insomnia/ konvulsi). hiperaktivitas/ konvlusi).

Tidak terdapat studi acak, double- Terdapat beberapa studi acak,


blind, placebo-control trial pada double-blind, placebo-control trial
anak-anak. pada anak-anak.

Banyak laporan kasus adanya Tidak ada laporan akan toksisitas


toksisitas serius

Dosis letal diidentifikasi pada bayi


Tidak berakibat fatas pada overdosis.
dan anak.
Mekanisme Kerja

Menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan

bermacam-macam otot polos. Selain itu AH1 bermanfaat untuk mengobati

reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai pengelepasan

histamin endogen berlebihan.

Farmakokinetik

Setelah pemberian oral atau parenteral, AH1 diabsorpsi secara

baik. Efeknya timbul 15-30 menit dan minimal 1-2 jam. Lama kerja AH1

setelah pemberian dosis tunggal kira-kira 4-6jam. Untuk gol. klorsiklizir

8-12 jam, Difenhidramin yang diberikan secara oral akan mencapai kadar

maksimal dalam darah setelah 2 jam berikutnya. Kadar tertinggi terdapat

pada paru-paru. Tempat utama biotransformasi AH1 adalah hati, tetapi

dapat juga pada paru-paru dan ginjal. AH1 diekskresi melalui urin setelah

24 jam, terutama dalam bentuk metabolitnya.

Farmakodinamik

Memblock reseptor H1,dengan efek terhadap penciutan bronchi,

usus, dan rahim, terhadap ujung saraf (vasodilatasi, naiknya

permeabilitas).

Interaksi

Diphenhydramine menghalangi CYTOCHROME P450

ISOENZYME CYP2D6 yang bertanggung jawab untuk metabolisme

beberapa beta blockers termasuk metoprolol dan antidepressant

venlafaxine.
Efek Toksik

Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini sering

terdapat sebagai obat persediaan rumah tangga. Pada anak, keracunan

terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha

bunuh diri. Dosis 20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak.

Efek sentral AH1 merupakan efek yang berbahaya. Pada anak kecil

efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi,

eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-

kadang disertai tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik

yang sukar dikontrol. Gejala lain mirip gejala keracunan atropin misalnya

midriasis, kemerahan dimuka dan sering timbul demam. Akhirnya terjadi

koma dalam dengan kolaps kardiorespiratoar yang disusul kematian dalam

2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi keracunan biasanya berupa

depresi pada pemulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya depresi SSP lebih

lanjut.

Tabel III. Penggolongan anthistamin (AH1), dengan masa kerja, bentuk

sediaan dan dosisnya.


4. Antagonis Reseptor Histamin H2 (Penghambat Asma)

Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin terhadap

sekresi cairan lambung, perangsangan jantung serta relaksasi uterus tikus

dan bronkus domba. Beberapa jaringan seperti otot polos, pembuluh darah

mempuntai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.

Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran potensial

H2 cemitidine untuk penyakit kulit. Pada tahun 1983, ranitidine ditemukan

pula sebagai antihistamin H2. Baik simetidine dan ratidine diberikan

dalam bentuk oral untuk mengobati penyakit kulit.

Struktur
Antihistamin H2 secara struktur hampir mirip dengan histamin.

Simetidin mengandung komponen imidazole, dan ranitidin mengandung

komponen aminomethylfuran moiety.

Farmakodinamik

Simetidine dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif

dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan

lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan

lambung dihambat.

Farmakokinetik

Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah

pemberian IV atau IM. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan.

Absorpsi terjadi pada menit ke 60-90. Masa paruh eliminasi sekitar 2jam.

Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan

meningkat pada pasien penyakit hati. Pada pasien penyakit hati masa

paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal.

Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah pengguanaan 150 mg

ranitidin secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%.Sekitar

70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara

oral diekskresi dalam urin.

Mekanisme

Simetidin dan ranitidin berfungsi sama yaitu menghambat reseptor

H2, namun ranitidin lebih poten. Simetidin juga menghambat histamin N-

methyl  transferase, suatu enzim yang berperan dalam degrasi histamin.

Tidak seperti ranitidin, simetidin menunjukkan aktivitas antiandrogen,


suatu efek yang diketahui tidak berhubungan dengan kemampuan

menghambat raseptor H2. Simetidin tampak meningkatkan sistem imun

dengan menghambat aktivitas sel T supresor. Hal ini disebabkan oleh

blokade resptor H2 yang dapat dilihat dari supresor limfosit T. Imunitas

humoral dan sel dapat dipengaruhi.

Indikasi

Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik.

Antihistamin H2 sama efektif dengan pengobatan itensif dengan antasid 

untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Antihistamin H2

juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada sindrom

Zollinger-Ellison.

Penggunaan antihistamin H2 dalam bidang dermatologi seringkali

digunakan ranitidin atau simetidin untuk pengobatan gejala dari

mastocytosis sistematik, sperti urtikaria dan pruritus. Pada beberapa pasien

pengobatan digunakan dosis tinggi.

Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya

berhubungan dengan pemhambatan terhadap reseptor H2, beberapa efek

samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek

samping ini antara lain : Nyeri kepala, Pusing, Malaise, Mialgia, Mual,

Diare, Konstipasi, Ruam kulit, Pruritus, Kehilangan libido, Impoten.

a. Simetidin dan Ranitidin

Farmakodinamik

Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif

dan reversibel. Perangsangan H2 akan merangsang sekresi cairan


lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan

lambung dihambat. Pengaruh fisiologi simetidin dan ranitidin terhadap

reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walau tidak lengkap simetidin

dan renitidin dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat

perangsangan obat muskarinik atau gastrin. Semitisin dan ranitidin

mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung. Penurunan

sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi

pepsin juga menurun.

Farmakokinetik

Biovailabilitas oral simetidin sekitar 70%. Ikatan protein

plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diberikan bersama atau segera

setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode

pasca makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90.

Simetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20%

dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral

simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi

sekitar 2 jam.

Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan

meningkat pada pasien penyakit hati.Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam

pada orang dewasa dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal

ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang

meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai

dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral dan yang

terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi


terutama melalui ginjal sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin

yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi

dalam urin dalam bentuk asal.

Efek Samping

Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya

berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Beberapa efek

samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek

samping ini antara lain : nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mula,

diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten.

Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi

seksual dan ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga

penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan

impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan

merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah

pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap

peninggian prolaktin ini kecil.

Interaksi Obat

Antasid dan metoklopramid mengurangi biovailabilitas oral

simetidin sebanyak 20-30%. Ketakonazol harus diberikan 2jam sebelum

pemberian simetidin karena absorpsi ketakonazol berkurang sekitar 50%

bila diberikan bersama simetidin. Selain itu ketakonazol membutuhkan pH

lebih tinggi yang terjadi pada pasien yang juga mendapat AH2. Simetidin

terikat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim mikrosom

hati, jadi obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama simetidin.
Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin adalah arfarin,

karbamazepin, diazepam, propranolol, metaprolol dan imipramine.

Ranitidin jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan

dengan simetidin akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteaksi

dengan ranitidin yaitu nifedifin warfarin, teofilin, dan metaprolol.

Ranitidin dapat menghambat absorbsi diazepam dan dapat mengurangi

kadar plasmanya sejumlah 25%. Obat-obat ini diberikan dengan selang

waktu minimal 1 jam sama dengan penggunaan ranitidin  bersama antasid

atau antikolinergik.

Simetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati

sehingga akan memperlambat bersihan obat lain. Simetidin dapat

menghambat alkohol dehidrigenase dalam mukosa lambung dan

menyebabkan peningkatan kadar alkohol serum. Simetidin juga

mengganggu disposisi dan meningkatkan kadar lidokoin serta

meningkatkan antagonis kalsium dalam serum. Simetidin dapat

menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada pasien usia lanjut

atau dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala gangguan slurredspeech,

somnolen, letargi, gelisah, bingung, disorentasi, agitasi, halusinasi, dan

kejang. Gejala seperti demensia dapat timbul pada penggunaan simetidin

bersama obat psikotropik atau sebagai efek samping simetidin. Ranitidin

menyebabkan gangguan SSP ringan karena sukarnya melewati sawar

darah otak.

Efek samping simetidin yang jarang terjadi adalah

trombositopenia, granulositopenia, toksisitas terhadap ginajal atau hati.


Pemberian simetidin dan ranitidin IV sesekali menyebabkan bradikardi

dan efek kardiotoksik lain.

Indikasi

Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik.

Penghambatan 50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin

plasma 800ng/ml atau kadar renitidin plasma 100 ng/ml. Tetapi yang lebih

penting adalah efek penghambatannya selama 24jam. Simetidin ranitidin

atau antagonis reseptor H2 mempercepat penyembuhan tungkak

duodenum. Pada sebagian besar pasien pemberian obat-obatan tersebut

sebelum tidur dapat mencegah kekambuhan tukak duodeni bila obat

diberikan sebagai terapi pemeliharaan.

AH2 sama efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid

untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks

esofagitis seperti halnya dengan antasid antagonis reseptor H2

menghilangkan gejalanya tetapi tidak menyembuhkan lesi.

Terhadap tukak peptikem yang diinduksi oleh obat AINS, AH2

dapat mempercepat penyembuhan tetapi tidak dapat mencegah

terbentuknya tukak. Pada pasien yang sedang mendapat AINS antagonis

reseptor H2 dapat mencegah kekambuhan tukak duodenum tetapi tidak

bermanfaat untuk tukak lambung.

Simetidin dan ranitidin talah digunakan dalam penelitian untuk

stress ulcer dan perdarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih

bermanfaat untuk profilaksis daripada untuk pengobatan. AH2 juga

bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-


Ellison . Dalam hal in i mungkin lebih baik digunakan ranitidin untuk

mengurangi kemungkinan timbulnya efek samping obat akibat besarnya

dosis simetidin yang diperlukan. Ranitidin juga lebih baik dari simetidin

untuk pasien yang mendapat banyak obat, pasien yang refrakter terhadap

simetidin, pasien yang tidak tahan efek samping simetidin dan pada pasien

usia lanjut.

b. Famotidin

Farmakodinamik

Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi

asam lambung pada keadaan basal, malam dan akiabt distimulasi oleh

pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali

lebih poten daripada simetidin.

Indikasi

Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung

setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin.

Pada penelitian selama 6 bula famotidin juga mengurangi kekambuhan

tukak duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira sama

efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison

meskipun untuk keadaan ini omeprazol merupakan obat terpilih.

Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis

dan pencegahan tukak stres pada saat ini sedang diteliti.

Efek Samping
Efek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit

kepala, pusing, konstipasi, dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin,

famotidin nampaknya lebih baik daripada simetidin karena belum pernah

dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin harus digunakan

hati-hati pada ibu menyusui karena obat ini belum diketahui apakah obat

ini diekskresi kedalam air susu ibu.

Interaksi Obat

Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum

belum dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat.

Famotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau

fenitoin di hati. Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja

sehingga kurang efektif bial diberikan bersama AH2.

Farmakokinetik

Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam

setelah penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan

biovaibilitas 40-50%, Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida.

Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam

bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi

dapat melebihi 20 jam.

c. Nizatidin

Farmakodinamik
Potensi nitazidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang

lebih sama dengan ranitidine.

Indiaksi

Efektvitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding

dengan ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali

sehari biasanya dapat menyembuhkan tukak duodeni dalam 8 minggu

dan dengan pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan.

Pada refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam

lambung lainnyan nizatidin siperkirakan sama efektif dengan ranitidin

meskipun masih diperlukan pembuktian lanjut

Efek Samping

Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek smaping. Efek

samping ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat

dan transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien dan nampaknya

tidak menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Pada tikus nizatidin

dosis besar berefek antiandrogrnik, tetapi efek tersebut belum terlihat

pada uji klinik. Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada

mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi

dalam serum. Dalam dosis ekuivalen simetidin, nizatidin tidak

menghambat enzim mikrosom hati yang metabolisme obat. Pada

sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nitazidin

diberikan bersama feofilin, lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam

atau lorezepam. Ketakonazol yang membutuhkan pH asam menjadi


kurang efektiftif bila pH lambung lebih tinggi pada pasien yang

mendapat AH2.

Farmakokinetik

Biovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi

oleh makanan atau antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien uremik

dan usia lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral

dicapai dalam 1jam, masa paruh plasma sekitar 2 1/2 jam dan lama kerja

sampai dengan 10 jam. Nizatidin diekskresi terutama melalui ginjal 90%

dari dosisi yang digunakann ditemukan di urin dalam 16 jam.

d. Terfenadin

Merupakan antihistamin pertama yang tidak mempunyai efek sedasi,

namun telah ditarik dari pasaran karena dapat memperpanjang interval

QT.

e. Astemizol (Hismanal)

Merupakan antihistamin kedua yang tidak menyebabkan sedasi.

Namun pemakaiannya diberi tanda peringatan dalam kotak hitam karena

efek samping aritmia jantung dan kematian mendadak

f. Loratadin (Claritin)

Adalah trisiklik piperidin long acting yang mempunyai aktivitas yang

selektif dengan efek sedatif dan antikolinergik yang minimal pada dosis

yang direkomendasikan, merupakan antihistamin yang mempunyai masa


kerja yang lama. Metabolik utamanya, deskarboetoksi-loratadin, adalah

biologikal aktifnya.

Loratadin cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg, sekali

sehari dan cepat diabsorbsi setelah pemberian dosis 10 mg. Eliminasi

waktu paruhnya sekitar 8-11 jam, diekskresikan melalui urine 40%, feses

42% dan air susu 0,029%. Loratadin diindikasikan untuk rinitis alergi dan

urtikaria kronik idiopatik pada pasien diatas 6 tahun. Loratadin

mempunyai efek terhadap fungsi dari miocardial potassium channel

tetapi tidak menyebabkan disritmia jantung. Loratadin merupakan

antihistamin long acting dengan lama kerja 24 jam. Dosis yang

direkomendasikan 10 mg dosis oral, pada anak-anak (< 30 kg) adalah 0,5

mg/kg BB dosis tunggal. Meskipun loratadin tidak mempunyai

kontraindikasi pada penderita hati dan ginjal kronis, disarankan untuk

mengurangi dosis yang diberikan.

Sediaan

- Loratadin sirup (1 mg/ml): 480 ml

- Loratadin tablet 10 mg

- Loratadin reditabs 10 mg

e. Cetirizin (Ryzen)

Merupakan metabolit karboksil asid dari hidroksisin. Obat ini pada

manusia hanya mempunyai transformasi metabolik yang minimal menjadi

bentuk metabolit aktif dan obat ini terutama diekskresi lewat urin. Karena
setirisin cepat diabsorbsi dan sedikit yang dimetabolisme, dan juga

diekskresi lewat urin, maka dosis obat ini harus dikurangi pada pasien

dengan gangguan ginjal.

Kadar puncak plasma dicapai dalam 1 jam dan waktu paruh plasma

sekitar 7 jam, diekskresikan dalam urine sebanyak 60% dan feses 10%.

Setirisin dapat menghambat eosinofil, netrofil dan basofil dan

menghambat IgE serta menurunkan prostaglandin D2. Setirisin

diindikasikan untuk terapi urtikaria kronik di Amerika Serikat. Beberapa

studi kemudian mendukung khasiat cetirizin untuk kondisi ini dan juga

ditemukan khasiatnya untuk terapi cold urticaria.

Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa 10 mg/hari (maksimal 20

mg) dosis tunggal, pada anak-anak adalah 0,3 mg/kgBB sedangkan pada

pasien dengan gangguan ginjal kronik dan hepar dosis yang diberikan

adalah 5 mg/hari. Lama kerja dari setirisin adalah 12-24 jam.

Sediaan

- Setirisin tablet 5 mg, 10 mg.

- Setirisin sirup 5mg/ml: 120 ml.

5. Antagonis Reseptor Histamin H3

Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat

kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati

penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia

Yang termasuk antihistamin generasi ketiga yaitu feksofenadin,

norastemizole dan deskarboetoksi loratadin (DCL), ketiganya adalah

merupakan metabolit antihistamin generasi kedua. Tujuan


mengembangkan antihistamin generasi ketiga adalah untuk

menyederhanakan farmakokinetik dan metabolismenya, serta menghindari

efek samping yang berkaitan dengan obat sebelumnya.

a. Feksofenadin (Telfast)

Di Indonesia dipasarkan dengan nama dagang Telfast Feksofenadin,

metabolit aktif utama dari terfenadin, merupakan reseptor kompetitif

antagonis H-1 yang selektif dengan sedikit atau tanpa efek samping

antikolinergik dan non sedatif, serta bersifat non kardiotoksik.

Feksofenadin diabsorbsi cepat setelah pemberian dosis tunggal atau dua

kapsul 60 mg dengan waktu rata-rata mencapai konsentrasi plasma

maksimum 1-3 jam setelah pemberian per oral. Feksofenadin terikat pada

protein plasma sekitar 60-70%, terutama pada albumin dan 1-acid

gylcoprotein. Waktu paruh feksofenadin adalah 11-15 jam, diekskresikan

sebanyak 80% pada urin dan 12% pada feses. Feksofenadin diindikasikan

pada penderita rinitis alergi dan urtikaria idiopatik kronis. Pemberian

feksofenadin bersama antibiotik golongan makrolid dan obat anti jamur

golongan imidazol tidak menunjukkan adanya interaksi obat sehingga

tidak terdapat pemanjangan interval QT.

Sediaan

- Feksofenadin kapsul 30 dan 60 mg

- Feksofenadin tablet 60 mg, 120 mg dan 180 mg

b. Norastemizole

Dibanding dengan astemizole dapat menghambat reseptor H1 13

sampai 16 kali lebih kuat. Mulai kerja norastemizole lebih cepat dibanding
astemizole. Norastemizole tidak mengalami metabolisme, diekskresi

dalam urin dalam bentuk tidak berubah, waktu paruh plasma sekitar satu

minggu, jadi setengah dari pada waktu paruh astemizole. Terhadap

jantung, pengaruhnya relatif lebih aman meskipun dalam kombinasi

dengan obat lainnya, tidak meningkatkan interval QT setelah pemberian

per os dengan dosis tunggal 100 mg.(15) Obat ini belum dipasarkan di

Indonesia.

c. DCL

Lebih kuat dari pada loratadin terhadap reseptor H1. Juga diketahui

bahwa obat ini menghambat reseptor muskarinik M1 dan M3 sehingga

meningkatkan efek dalam pengobatan asma bronkiale. DCL mula kerjanya

sedikit lebih lambat dan mempunyai waktu paruh dalam plasma lebih

panjang dibandingkan dengan loratadine.

6. Antagonis Reseptor Histamin H4

Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya

sebagai antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida.

Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya

adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah

obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan

sebagai antihistamin. Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan

nedocromil, mampu mencegah penglepasan histamin dengan cara

menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.

Antihistamin yang aman digunakan

Pada wanita hamil dan menyusui


Antihistamin yang teraman untuk wanita hamil dan meyusui adalah

golongan klorfeniramin maleat, meskipun AH non sedatif sangat sedikit

menembus plasenta, namun penggunaannya sebaiknya dihindari karena

masih kurangnya penelitian AH non sedatif pada wanita hamil dan

menyusui.

Pada anak-anak

Bromfeniramin maleat, klorfeniramin maleat, difenhidramin HCL,

loratadin, desloratadin, feksofenadin, setirisin.

Pada bayi

Penggunaan antihistamin pada bayi sebaiknya dihindari, karena

efek samping antikolinergik dari obat-obatan AH yang dapat

membahayakan. Pada satu penelitian mengatakan AH yang aman

digunakan adalah desloratadin (clarinex), dapat digunakan pada bayi

berumur 6 bulan dengan gejala alergi dan urtikaria.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tabri, Farida. 2017. Anti Histamin H1 Sistemik Pada Pediatrik Dalam

Bidang Dermatologi. Makassar : Kementrian Riset, Teknologi &

Pendidikan Tinggi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

2. Sari, Fesdia. 2018. Antihistamin terbadi dibidang dermatologi. Padang: FK

UNAND.

3. Katzung & Trevor’s. Pharmacology Examination & Board Review 9 th

Edition
4. Katzung, Bertram. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 8. Salemba

Medika:Jakarta.

5. Setiawati A. Adrenergik. Dalam : Ganiswarna SG. Farmakologi Dan

Terapi. Edisi 4. Jakarta; Bagian Farmakologi FKUI, 1995: 57-76

6. Ganiswarna. S. A. 2005.  Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal.332

7. Goodman & Gilman. The Pharmacological Basisi of Therapeutics 12th

Edition

8. Richard A. Harvey. Lippincott’s Illustrated Reviews Pharmacology 5th

Edition

9. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3405/1/08E00605

10. http://digilib.ubaya.ac.id/skripsi/farmasi/F_204_1860028/F_204_Bab%20V

Anda mungkin juga menyukai