Anda di halaman 1dari 10

Artikel 1

Lapisan udara yang menyelimuti atmosfer bumi dari tahun ke tahun semakin panas. Sektor
industri dan kendaraan berbahan bakar minyak menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca
(Rahadiarta et al., 2019). Emisi gas rumah kaca yang paling besar adalah CO2. Gas CO2 menjadi
perhatian penting karena memiliki kontribusi yang paling tinggi terhadap kandungan gas rumah
kaca, yaitu sebesar 55% dari emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas manusia
Keberadaannya di atmosfer yang semakin meningkat dan minimnya pengikatan oleh tumbuhan
hijau dapat menyebabkan pemanasan global.
       Peningkatan kandungan CO2 
menyebabkan peningkatan emisi gas
rumah kaca di atmosfer yang
mengakibatkan terjadinya pemanasan
global yang kemudian memicu
terjadinya perubahan iklim. Salah satu
sumberdaya laut sebagai penyerap gas
CO2 dalam upaya mitigasi pemanasan
global adalah ekosistem lamun
(Maharani et al., 2018).
       
            Lamun merupakan tumbuhan
berbunga (Angiospermae) yang
memiliki kemampuan beradaptasi
secara penuh di perairan yang memiliki
fluktuasi salinitas tinggi, hidup
terbenam di dalam air dan memiliki
rhizoma, daun, dan akar sejati.
Komunitas lamun berada di antara
batas terendah daerah pasang surut
sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut. Berbagai
jenis ikan menjadikan daerah padang lamun sebagai daerah mencari makan (feeding ground),
pengasuhan larva (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), sebagai stabilitas dan
penahanan sedimen, mengurangi dan memperlambat pergerakan gelombang, sebagai tempat
terjadinya siklus nutrien dan fungsinya sebagai penyerap karbon di lautan (carbon sink) atau
dikenal dengan istilah blue carbon (Graha et al., 2016).
   
        Lamun seperti tumbuhan lainnya memerlukan CO2 untuk fotosintesis, tumbuh dan
berkembang yang tersimpan dalam biomassa, baik bagian atas (yang berada di atas tanah) seperti
daun dan biomassa bagian bawah (yang berada dalam tanah) seperti rhizoma dan akar. Dalam
melakukan fotosintesis lamun memanfaatkan karbon anorganik di kolom air sehingga lamun
dapat mereduksi CO2. Hal ini menunjukkan adanya kemampuan ekosistem lamun
menenggelamkan (sink) CO2 dari atmosfer ke laut dengan mekanisme adanya perbedaan tekanan
parsial dari atmosfer ke laut untuk fotosintesis yang kemudian tersimpan baik dalam bentuk
biomassa lamun itu sendiri maupun tersimpan di dasar perairan atau sedimen (Rustam et
al., 2019).
        Lamun memiliki kemampuan untuk menyerap CO2 melalui proses fotosintesis. Karbon
yang diserap lamun sebagian digunakan sebagai energi dan sebagian lainnya disimpan dalam
jaringan-jaringan tubuhnya dalam bentuk dan menyimpannya ke dalam jaringan-jaringan di
tubuhnya dalam bentuk biomassa. Biomassa lamun adalah satuan berat (berat kering atau berat
abu) lamun bagian tumbuhan yang berada di atas substrat (daun, seludang, buah dan bunga) dan
atau bagian di bawah substrat (akar dan rimpang) yang sering dinyatakan dalam satuan gram
berat kering per m2 (gbk/m2) (Khairunnisa et al., 2013).

           Ekosistem padang lamun dapat berkemampuan menyerap dan memindahkan jumlah besar
karbon dari atmosfer setiap harinya, lalu mengendapkannya dalam jaringan atau sedimen untuk
waktu yang lama sehingga keberadaan lamun di bumi sangat diperlukan sebagai jasa dalam
penyerapan sekuestrasi karbon. Proses fotosintesis berfungsi sebagai penyerap karbon di lautan,
dimulai dari plankton yang mikroskopis atau tumbuhan yang hanya hidup di pantai, seperti
tanama bakau, padang lamun, ataupun tumbuhan yang hidup di rawa payau (Rustam et al.,
2019).

        Penyimpanan karbon pada lamun terakumulasi banyak pada sedimen, karena rhizoma dan
daun mengalami banyak gangguan lingkungan. Masyarakat pada umumnya belum mengetahui
apa itu lamun, sehingga pemahaman tentang manfaat lamun dan pentingnya melestarikan lamun
masih rendah. Pertumbuhan dan kepadatan lamun sangat dipengaruhi oleh pola pasang surut,
turbiditas, salinitas dan temperatur perairan, sedangkan kegiatan manusia di wilayah pesisir
seperti perikanan, pembangunan perumahan, pelabuhan dan rekreasi dapat mempengaruhi
eksistensi lamun (Khairunnisa et al., 2018).

           Karbon (C) merupakan unsur yang berasal dari pengikatan CO 2 oleh tumbuhan dan di
dalam biomassa tanaman melalui proses fotosintesis. Fenomena ini menyebabkan perubahan
iklim yang berdampak pada meningkatnya suhu ekstrim, banjir, topan, badai, kekeringan dan
naiknya permukaan laut hingga makhluk hidup (manusia dan hewan) merasakan dampak negatif
langsung dari pemanasan global (Nordlund et al., 2016). Gas CO2 dapat larut dalam air sehingga
dapat di serap oleh tumbuhan air. Peningkatan emisi gas CO 2 harus di imbangi dengan
peningkatan penyerapan oleh tanaman dengan cara fotosintesis.

        Laut memiliki peranan yang penting dalam siklus karbon, sekitar 93% CO 2 di bumi
disimpan dalam lautan UNEP, FAO dan UNESCO pada tahun 2009 telah memperkenalkan
konsep blue carbon yaitu menekankan pentingnya ekosistem laut dan pesisir sebagai pengendali
iklim (Hartati et al., 2017). Mangrove dan Lamun adalah tumbuhan laut yang memiliki
kemampuan sama dengan tumbuhan darat dalam menyerap CO 2 dan menghasilkan O2.
Kemampuan lamun dalam melakukan fotosintesis memanfaatkan CO2 dan menyimpannya dalam
biomassa dikenal sebagai karbon biru (blue carbon).

        Pentingnya peranan ekosistem lamun seharusnya menjadi salah satu alasan kita untuk
menjaganya. Selain mampu mengurangi dampak perubahan iklim, lamun juga memiliki peranan
yang sangat penting bagi biota di lautan.
Sumber : http://www.national-oceanographic.com/article/peran-lamun-dalam-mengatasi-global-
warming
Artikel 2
Berdasarkan konvensi hukum laut UNCLOS 1982 wilayah laut yang dimiliki Indonesia
menjadi sangat luas, yakni mencapai 5,9 juta
km2, terdiri atas 3,2 juta km²  perairan
teritorial dan 2,7 juta km2 perairan zona
ekonomi eksklusif (ZEE). Luas perairan ini
belum termasuk landas kontinen (continent
shelf). (Octa Putri 2015). Perubahan iklim yang
drastis akibat kegiatan manusia telah
menyumbangkan gas karbon dioksida yang
cukup banyak ke udara dan atmosfer bumi.
Karbon Dioksida (CO₂) memiliki kontribusi
yang paling tinggi terhadap kandungan Gas
Rumah Kaca yaitu sebesar 55% dari emisi
karbon oleh aktivitas manusia UNEP, FAO dan
UNESCO pada tahun 2009 telah
memperkenalkan konsep blue carbon yaitu
menekankan pentingnya ekosistem laut dan
pesisir sebagai pengendali iklim. Konsep ini
mengacu pada penyerapan karbon oleh marine
ecosystems (mangrove, lamun, dan rawa payau/rawa masin)  (Hartati, Pratikto, and Pratiwi
2017).
Karbon dioksida (CO₂) merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang
berkontribusi dalam pemanasan global. Sebanyak 40 Tera ton karbon dioksida tersimpan di laut
yang berperan penting dalam siklus karbon. Laut menyerap CO₂ melalui fotosintesis oleh
komunitas plankton dan vegetasi pesisir (lamun dan bakau). Proses ini digunakan sebagai salah
satu konsep dalam mengurangi efek gas rumah kaca  (Wahyudi and Yona 2017)
Lautan memiliki peranan yang penting dalam siklus karbon secara global. Sekitar 93%
CO₂ di bumi disirkulasikan dan disimpan melalui lautan. Laut, termasuk ekosistem pesisir
pantai, dapat menyimpan karbon dalam jumlah yang banyak dan dalam jangka waktu yang relatif
lama. Ekosistem pesisir pantai seperti ekosistem mangrove, rawa masin (salt marshes), dan
padang lamun memiliki luas area yang relatif kecil dibandingkan luas lautan (<0,5%) dan
ekosistem terestrial lainnya. Namun, ekosistem tersebut memiliki kemampuan menyerap dan
menyimpan karbon dengan kapasitas penyimpanan mencapai lebih dari 50% total penyimpanan
karbon di dalam sedimen laut dan juga memiliki produksi primer bersih (net primary production/
NPP) yang cukup signifikan dibandingkan ekosistem lainnya. Selain itu, biomassa vegetasi
pesisir yang bernilai sekitar 0,05% dibandingkan biomassa tumbuhan di daratan mampu
menyimpan karbon dengan jumlah yang sebanding setiap tahunnya. Dengan demikian, lautan
memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam mengikat dan menyimpan CO₂ di
atmosfer (Rahmawati 2011).
Distribusi global lamun, rawa pasang surut, dan bakau Sumber data: Data lamun dan cakupan saltmarsh berasal dari Pusat
Pemantauan Konservasi Dunia Program Lingkungan PBB (UNEP-WCMC); data cakupan mangrove berasal dari UNEP-WCMC
bekerja sama dengan Masyarakat Internasional untuk Ekosistem Mangrove (ISME) (Pendleton et al. 2012)

Salah satu aspek penting dalam mitigasi perubahan iklim adalah pemeliharaan dan
pengembangan kemampuan hutan dan lautan untuk menyerap dan menyimpan karbon.
Pemanfaatan hutan dalam upaya mitigasi tersebut sudah banyak diimplementasikan, sedangkan
penerapan peran lautan belum terlihat secara signifikan. Ekosistem laut dan pesisir memiliki
peranan besar dalam siklus global karbon, sekitar 93% CO₂ di bumi disirkulasikan dan disimpan
di dalam lautan. Ekosistem ini mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang banyak dan dalam
jangka waktu yang relatif lebih lama dibandingkan ekosistem lainnya (Rahmawati and Kiswara
2012)
Indonesia menjadi negara penting yang dapat mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan, sekaligus melalui penyerapan karbon oleh hutan. Selain itu, komitmen
Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 26% atau 41% dengan dukungan internasional pada
tahun 2020, telah memposisikan diri di dalam upaya negosiasi penurunan emisi di tingkat
internasional Karbon biru merupakan potensi bagi negara, karbon biru adalah karbon yang
diambil dan disimpan di samudra dan ekosistem Pesisir, termasuk karbon pantai yang tersimpan
di Mangrove, Lamun, Rumput Laut. Seperti namanya, karbon ini berwarna biru, terbentuk di
bawah udara. Salah satu aspek penting dalam mitigasi perubahan iklim adalah pemeliharaan dan
pengembangan kemampuan hutan dan lautan untuk menyerap dan menyimpan karbon.
Hutan mangrove memiliki salah satu fungsi yang sangat penting sebagaimana hutan
lainnya yaitu sebagai penyerap dan penyimpan karbon (C). Hutan mangrove berperan dalam
upaya mitigasi akibat dari pemanasan global karena mangrove dapat berfungsi sebagai
penyimpan karbon (C). Hutan mangrove dapat menyimpan lebih dari tiga kali rata-rata
penyimpanan karbon per hektar oleh hutan tropis daratan Hal ini didukung oleh penelitian
Darusman, bahwa fungsi optimal penyerapan karbon oleh mangrove mencapai 77,9 %, dimana
karbon yang diserap tersebut disimpan dalam biomassa mangrove yaitu pada beberapa bagian
seperti pada batang, daun, dan akar.
Lamun memiliki peran penting sebagai penyimpan karbon, dan berkontribusi secara
signifikan dalam mitigasi pemanasan global akibat perubahan iklim yang terjadi saat ini.
Melindungi karbon tersimpan organik di hutan dianggap sebagai metode penting dalam mitigasi
perubahan iklim. Akumulasi karbon dalam sedimen laut menyediakan penyimpanan karbon
organik jangka panjang dan telah disebut sebagai karbon biru untuk membedakannya dari karbon
di wastafel terrestrial.
Rumput laut juga mempunyai peran penting dalam menyerap dan menyimpan karbon
dalam bentuk biomassa, baik rumput laut budidaya maupun rumput laut alam. Kapasitas
penyerapan dan penyimpanan karbon sangat bergantung dari jenis, lokasi, dan kondisi
lingkungan secara global.

Gambar  Perubahan dalam area mangrove antara tahun 2000 dan 2010 sebagai bagian dari garis dasar untuk semua daerah di
Indonesia. Untuk daerah yang mangrovenya di bawah PA, fraksi area dihitung hanya untuk zona yang dilindungi

Pemerintah bersama dengan pihak terkait perlu melakukan berbagai hal agar blue
carbon bisa masuk sebagai penanganan perubahan iklim sekaligus alternatif sumber dana, antara
lain riset untuk mengukur emisi dan perkiraan proyek blue carbon dari ekosistem laut dan pesisir
yang terdegradasi, sistem MRV (monitoring, reporting and verification), sampai dengan strategi
pengembangan dan kebijakan mempromosikan blue carbon. Ahli kelautan dari Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI) Agus Supangat mengatakan pemerintah melalui DNPI telah
mengembangkan konsep perdagangan karbon di Indonesia bernama Skema Karbon Nusantara
(SKN), yang dapat digunakan untuk perdagangan blue carbon. Melalui SKN, upaya penyerapan
karbon, bisa didaftarkan, diverifikasi dan akhirnya mendapat sertifikasi untuk diperdagangkan
yang nantinya bisa mendapatkan kompensasi pendanaan. Blue carbon adalah suatu potensi yang
besar bagi negara, semua lapisan harus bijak dalam pengelolaan blue carbon, terutama
pemerintah dalam menangani konservasi dan peraturan yang berkaitan dalam blue carbon, dalam
hal lain, blue carbon juga berguna dalam mitigasi iklim dan emisi rumah kaca, untuk
mendapatkan hasil simpanan blue carbon harus di lakukan pengelolaan yang berkelanjutan dan
ramah lingkungan.
Sumber : http://www.national-oceanographic.com/article/potensi-karbon-biru-blue-carbon-di-
perairan-indonesia
Artikel 3

Gambar 1. Breakwater dan Seawall. | situstekniksipil.com

Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas Oseanografi oleh Ahmad Faramarz G,


mahasiswa Departemen Teknik Kelautan Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi
Sepuluh Nopember (DTK FTK ITS) Surabaya.
Bangunan laut memudahkan manusia dalam berbagai aktivitas rekayasa mulai dari
garis pantai hingga laut lepas. Modifikasi dan berbagai jenis struktur ini didesain di garis pantai
seperti dinding laut, jetty, breakwater, dan lainnya. Kita dapat melihat contoh bangunan laut
ketika kita berkunjung ke beberapa pantai di Indonesia, seperti Seawall (dinding laut) di Pantai
Nguyahan di Yogyakarta, yang dibuat oleh para ahli dengan bermacam tujuan, utamanya
mencegah atau mengurangi cipratan/limpasan air laut dan banjir di tanah belakang garis pantai
akibat badai dan gelombang. Maka dari itu, seawall dibuat sejajar dengan garis pantai agar
melindungi pantai dari pengikisan tanah atau erosi.
Seawall pada dasarnya terbuat dari beton, susunan batu besar, gabion, turap baja dan
kayu, serta konstruksi padat lainnya yang masih memungkinkan seperti kayu, kaca fiber, hingga
karung pasir berisikan rami dan sabut. Komposisi yang digunakan disesuaikan keadaan pantai
agar tidak merusak organisme yang hidup di sekitarnya. Selain bahan penyusun, bentuk dan
struktur Seawall memiliki bentuk yang bervariasi tergantung pada gaya yang akan diterimanya,
aspek lokasi, iklim, kondisi organisme dan biota, posisi pantai, dan morfologi bentuk lahan.
Dengan pertimbangan sebanyak ini, biaya yang dibutuhkan semakin banyak, para engineer
kadang lebih memilih untuk mengelola manajemen pantai, bahkan hingga reklamasi pantai
(beach replenishment).
Mekanisme yang dilakukan seawall bukan meredam energi gelombang laut yang datang,
melainkan memantulkan kembali sehingga mengakibatkan penggerusan di bagian bawah
seawall. Meski bagian tumit tergerus, risiko erosi akibat gelombang yang datang dapat dikurangi,
meskipun dalam hal ini seawall memiliki 2 kelemahan. Pertama, telah disebutkan, bahwa
gelombang laut yang dipantulkan akan menyebabkan gerusan di bawah dinding dan erosi pasir di
bagian depan seawall. Kedua, dengan terhalangnya pasir di depan seawall, erosi akan lebih cepat
pada daerah yang tidak terlindungi.

Gambar 2. Vertical Seawalls dan Curved/stepped Seawalls. | situstekniksipil.com


Seawall dibuat menjadi bermacam bentuk menyesuaikan kebutuhan dan keadaan yang
ada. Tipe pertama, vertical seawall, dinding laut tegak cocok dibangun pada kondisi alam yang
terbuka. Dinding ini lebih sederhana untuk dibuat namun bila badai menerjang, ketahanan
dinding lebih cepat terkikis.
Tipe kedua, curved/stepped seawall, dinding melengkung atau berundak dapat
menghentikan energi gelombang, mengirimnya kembali ke laut, dan mencegah permukaan air
meluap melebihi dinding dengan dinding yang lebih tebal di bagian bawah. Dengan risiko yang
sama seperti tipe pertama, tipe kedua menghasilkan pantulan energi gelombang yang lebih
rendah dan turbulensi yang lebih rendah.

Gambar 3. Mound Seawalls | situstekniksipil.com


Tipe ketiga, mound seawall, dinding laut berbentuk gundukan yang menggunakan
reventment (struktur miring, biasanya seperti bentuk persawahan di dataran tinggi). Gundukan
ini digunakan pada daerah dengan tingkat erosi yang rendah, sehingga cukup menggunakan
bulkhead (sekat) dan reventment dari geotekstil. Dua faktor inilah yang membuat seawall tipe ini
mampu menyaring air dari gelombanh yang datang danmeminimalkan erosi. Kelebihan
utamanya yaitu biaya yang rendah, dapat melindungi beton di daerah dalam karena terdiri dari
batuan berpori, serta kemiringan yang membuat disipasi maksimum energi gelombang. Tentu
saja durasi pemakaian tipe ketiga sangatlah pendek dan tidak direkomendasikan untuk pantai
dengan energi gelombang yang besar.
Meninjau pada jurnal "Analisis Preferensi Visual Lanskap Pesisir Daerah Istimewa
Yogyakarta untuk Pengembangan Pariwisata Pesisir Menuju pada Pengelolaan Wilayah Pesisir
Berkelanjutan", data-data yang diperlukan dalam perencanaan konstruksi bangunan laut meliputi
lima hal:
1. Peta lokasi studi,
2. Data arah dan kecepatan angin, dalam hal ini dapat kita gunakan diagram mawar angin
(Windrose)
3. Peta bathimetri, menunjukkan detail kedalaman laut dari garis pantai,
4. Pasang surut muka air laut, dan
5. Data mekanika tanah, untuk keperluan perhitungan pondasi seawall di atas garis pantai.
Data-data tersebut dapat digunakan sebagai gambaran awal seorang insinyur untuk
merancang struktur bangunan seawall. Pertimbangan harga dan fungsional sangat diperlukan
mengingat dinding dapat dimodelkan Mound Seawall yang mudah dibuat namun durasi
pemakaian yang pendek, atau Curved Seawall yang tahan dan efektif menguraikan energi
gelombang, namun membutuhkan cost yang tinggi, hingga Vertical Seawall dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Untuk itu, seawall dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif
solusi untuk mengendalikan erosi pada pantai selain bangunan laut lainnya.
Daftar referensi:
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Seawall#:~:text=A%20seawall%20(or%20sea%20wall,tides
%2C%20waves%2C%20or%20tsunamis. diakses pada 10 Januari 2021 pukul 21.00 WIB
https://www.situstekniksipil.com/2017/12/9-macam-bangunan-pantai-beserta.html?m=1 diakses
pada 10 Januari 2021 pukul 21.10 WIB
Nimanto, Aji Prakoso, Heri Supriyanto, Andre Primantyo Herawan. 2017. STUDI
PERENCANAAN TEMBOK LAUT (SEAWALL) DI PANTAI
BOBOLIO KABUPATEN KONAWE KEPULAUAN PROVINSI
SULAWESI TENGGARA. diakses dari researchgate.org pada 9 Januari 2021 pukul 20.00
Sumber :
https://www.kompasiana.com/ahmadfaramarzghalizhan0663/600fb833d541df0a940ff6b2/menge
nal-seawall-dinding-laut-pelindung-erosi-pantai?page=all#section1
RESUME OSEANOGRAFI
Nama : Jullya Toya
NIM : 2004112912
Jurusan/Kelas: Ilmu Kelautan/A
1. Judul Peran Lamun Dalam Mengatasi Global Warming
Lamun adalah tumbuhan berbunga yang memiliki kemampuan adaptasi di perairan
fluktuasi salinitas tinggi, hidup terbenam di dalam air dan memiliki rhizoma, daun, dan akar
sejati. Lamun memiliki kemampuan menyerap CO2 melalui proses fotosintesis. Ekosistem
padang lamun berkemampuan menyerap jumlah besar karbon dari atmosfer tiap harinya, lalu
diendapkan dalam jaringan/sedimen untuk waktu yang lama sehingga keberadaan lamun di bumi
sangat diperlukan sebagai penyerapan sekuestrasi karbon. Laut memiliki peranan yang penting
dalam siklus karbon, sekitar 93% CO2 di bumi disimpan dalam lautan. UNEP, FAO dan
UNESCO pada tahun 2009 memperkenalkan konsep blue carbon atau menekankan pentingnya
ekosistem laut dan pesisir sebagai pengendali iklim. Pentingnya peranan ekosistem lamun
menjadi salah satu alasan kita untuk menjaganya. Selain mengurangi dampak perubahan iklim,
lamun juga berperan sangat penting bagi biota di lautan.

2. Judul Potensi Karbon Biru di Perairan Indonesia

Konsep Karbon biru (Blue carbon) yaitu menekankan pentingnya ekosistem laut dan
pesisir sebagai pengendali iklim. Konsep ini mengacu pada penyerapan karbon oleh ekosistem
laut (mangrove, lamun, dan rawa payau/rawa masin). Ekosistem pesisir pantai memiliki luas area
yang relatif kecil dibandingkan luas lautan (<0,5%) dan ekosistem terestrial lainnya. Namun,
ekosistem tersebut memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan karbon dengan kapasitas
lebih dari 50% total penyimpanan karbon di dalam sedimen laut dan juga memiliki produksi
primer bersih (net primary production/ NPP) yang cukup signifikan dibandingkan ekosistem
lainnya. Blue carbon adalah suatu potensi yang besar bagi negara, semua lapisan harus bijak
dalam pengelolaan blue carbon, terutama pemerintah dalam menangani konservasi dan peraturan
yang berkaitan dalam blue carbon, dalam hal lain, blue carbon juga berguna dalam mitigasi iklim
dan emisi rumah kaca, untuk mendapatkan hasil simpanan blue carbon harus di lakukan
pengelolaan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

3. Judul Mengenal Seawall, Dinding Laut Pelindung Erosi Pantai


Modifikasi jenis struktur desain digaris pantai seperti dinding laut (Seawall) dari beton,
susunan batu besar, gabion, turap baja, kayu, kaca fiber, hingga karung pasir rami dan sabut.
Seawall disesuaikan dengan kebutuhan/keadaan. Tipe (1)Vertical seawall, dinding laut tegak
cocok dibangun pada kondisi alam yang terbuka. Dinding sederhana untuk dibuat namun bila
badai menerjang, dinding cepat terkikis. Tipe (2)Curved/stepped seawall, dinding melengkung
menghentikan energi gelombang, mengirimnya kembali ke laut, dan mencegah permukaan air
meluap melebihi dinding, dengan dinding yang lebih tebal di bagian bawah. Tipe (3)Mound
seawall, dinding laut bentuk gundukan struktur miring. Biayanya rendah, dapat melindungi beton
dalam karena terdiri batu berpori. Durasi pemakaian tipe ini sangat pendek dan tidak
direkomendasikan untuk pantai dengan energi gelombang besar.

Anda mungkin juga menyukai