Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN TRAUMA CAPITIS

DI RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR

OLEH :

Sita Ariska Betari


Yesi Martifa Bangki
Yunita S. Halim

CI INSTITUSI CI LAHAN

(.............................) (..........................)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021
KONSEP DASAR MEDIS

A. Defenisi

Trauma Capitis adalah cedera kepala yang menyebabkan kerusakan pada


kulit kepala, tulang tengkorak dan pada otak dan merupakan trauma mekanik
terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif,
fungsi psikososial baik temporer maupun permanen [ CITATION Pur16 \l 1033 ].

B. Etiologi

Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain : Benda tajam,
Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat ;Benda tumpul,
dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan
diteruskan kepada otak

Penyebab lain

1. kecelakaan lalulintas
2. Jatuh
3. Pukulan
4. Kejatuhan benda
5. Kecelakaan kerja / industry
6. Cidera lahir
7. luka tembak

Mekanisme cidera kepala :

1. Ekselerasi : Ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang


diam. Contoh : akibat pukulan lemparan.
2. Deselerasi : Akibat kepala membentur benda yang tidak bergerak.
Contoh : kepala membentur aspal.
3. Deforinitas : Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan
integritas bagian tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.

Berdasarkan berat ringannya :

1. Cidera kepala ringan → G C S : 13 – 15


2. Cidera kepala sedang → G C S : 9 – 12
3. Cidera kepala berat → GCS:3–8

Penyebab terbesar cedera kepala adalah kecelakaan kendaraan


bermotor.jatuh dan terpeleset.Biomekanika cedera kepala ringan yang utama
adalah akibat efek ekselarasi/deselerasi atau rotasi dan putaran. Efek
ekselerasi/deselerasi akan menyebabkan kontusi jaringan otak akibat benturan
dengan tulang tengkorak, terutama di bagian frontal dan frontal temperol.
Gaya benturan yag menyebar dapat menyebabkan cedera aksonal difus
(diffuse axonal injury) atau cedera coup-contra.coup [ CITATION Pur16 \l 1033 ].

C. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala.

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan
tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi,
maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak selalu
mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh
kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya
terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara
terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik
terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countercoup.

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara


mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan


dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa
jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan
ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini
adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan
dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.

Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit
pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan
sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera
mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume
darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak [ CITATION Pri13 \l 1033 ].

D. Tanda dan Gejala

1. Commotio Cerebri
 Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit.
 Mual dan muntah
 Nyeri kepala (pusing)
 Nadi, suhu, TD menurun atau normal
2. Contosio Cerebri
 Tidak sadar lebih dari 10 menit
 Amnesia anterograde
 Mual dan muntah
 Penurunan tingkat kesadaran
 Gejala neurologi, seperti parese
 LP berdarah
3. Laserasio Serebri
 Jaringan robek akibat fragmen taham
 Pingsan maupun tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-bulan
 Kelumpuhan anggota gerak
 Kelumpuhan saraf otak [ CITATION LeM16 \l 1033 ].

E. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik

1) X-ray Tengkorak

Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari


dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai
terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya
kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan
tidak ada.

2) CT-Scan

Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting


dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang
normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala
berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan
fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita
yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa
semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih
baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang
lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan
tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang
cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi
seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.

3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam


menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan
batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan
bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi
batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk
untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal
normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik. Pemeriksaan Proton
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada
MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi
Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala
ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih
berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum
dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki
prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya
sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit
neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan
[ CITATION Pur16 \l 1033 ].

F. Komplikasi

a) Hematoma epidural
Letak epidural yaitu antara tulang tengkorak dan duramater. Terjadi akibat
pecahnya arteri meningea media atau cabang-cabangnya. Gejalanya yaitu
setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala
sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam
kemudian timbul gejala-gejala yang bersifat progresif seperti nyeri kepala,
pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil
pada sisi perdarahan mula-mula miosis, lalu menjadi lebar, dan akhirnya
tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah
terjadi herniasi tentorial.
b) Hematom subdural
Letak subdural yaitu di bawah duramater. Terjadi akibat pecahnya bridging
vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater serta
arachnoid dari kortex cerebri. Gejala subakut mirip epidural hematom,
timbul dalam 3 hari pertama dan gejala kronis timbul 3 minggu atau
berbulan-bulan setelah trauma.
c) Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak
pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang
berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita
dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan
direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa
menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak
yang terkena.
d) Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala : Nyeri kepala; Penurunan kesadaran ; Hemiparese;
Dilatasi pupil ipsilateral; Kaku kuduk
e) Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya,
mungkin hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri,
hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat.
Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun
normal, hanya tek anannya dapat meninggi dan kesadaran menurun
[ CITATION Pur16 \l 1033 ].

G. Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala


adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi [ CITATION Pur16 \l 1033 ].

H. Prognosis

Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama


pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit
memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan
meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien
dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 –
10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri
kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan
perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera
kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi [ CITATION
LeM16 \l 1033 ].
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Data dasar tergantung pada tipe, lokasi dan keparahan cedera dan mungkin
dipersulit oleh cedera tambahan pada organ-organ vital
1) Aktivitas/Istirahat

Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan

Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese quadreplegia,


ataksia, cara berjalan tak tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera
(trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot dan otot spastik.

2) Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi)

Tanda : Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang


diselingi dengan bradikardia dan disritmia).

3) Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau


dramatis).

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,


depresi dan impulsif.

4) Eliminasi

Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami


gangguan fungsi.
5) Makanan/Cairan

Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan


(batuk, air liur keluar dan disfagia).

6) Neurosensori

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,


vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada
ekstremitas. Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan
pengecapan dan juga penciuman.

Tanda : Perubahan kesadaran sampai koma. Perubahan status mental


(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi/tingkah laku dan memori), Perubahan pupil (respon
terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata, ketidakmampuan
mengikuti perintah. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan,
penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetri, genggaman lemah,
tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia,
hemiparise, quedreplegia, postur (dekortikasi dan deserebrasi), kejang,
sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi
sebagian tubuh.

7) Kenyamanan

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,


biasanya lama.

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri


yang hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih

8) Pernapasan
Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh
hiperventilasi). Napas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).

9) Keamanan

Gejala :Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi.

10) Gangguan penglihatan

Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda


Batle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya
aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (CSS).

11) Gangguan kognitif.


 Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara
umum mengalami paralysis.
 Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
12) Interaksi Sosial

Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara


berulang-ulang, disartria, anomia.

13) Pemeriksaan Diagnostik


 Scan CT tanpa/dengan kontras : Mengidentifikasi adanya SOL,
hemoragic, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan
otak. Catatan pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena
iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam pasca
trauma.
 MRI : Sama dengan scan CT tanpa/dengan menggunakan
kontras.
 Angiografi cerebral : Menunjukan kelainan sirkulasi cerebral,
seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan
trauma.
 EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
gelombang patologis.
 Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),
pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema)
dan adanya fragmen tulang.
 BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : Menentukan fungsi
korteks dan batang otak.
 PET (Positron Emission Tomografi) : Menunjukan perubahan
aktivitas metabolisme dalam otak.
 Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya
perdarahan subarachnoid.
 GDA (Gas Darah Arteri) : Mengetahuai adanya masalah ventilasi
atau oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK..
 Kimia/Eolektrolit Darah : Mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan dalam peningkatan TIK/perubahan mental.
 Pemeriksaan Toksikologi : Mendeteksi obat yang mungkin
bertanggung jawab dalam penurunan kesadaran.
 Kadar Antikonvulsan Darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui
tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang
[ CITATION Nur152 \l 1033 ].
B. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan dalam pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk

yang kurang

2. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.

3. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran,

kerusakan lobus pariental, kerusakan nervus olfakttorius [ CITATION

Nur152 \l 1033 ].

C. Intervensi Keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang


kurang.

Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 hari maka


masalah perukaran gas teratasi dengan

Kriteria Hasil : · Tidak ada gangguan jalan napas · Lendir dapat


batukkan/sekret dapat keluar. · Pernapasan teratur.

Intervensi:

 Kaji pernapasan, suara napas, kecepatan irama, kedalaman,


penggunaan obat tambahan.
R/: Suara napas berkurang menunjukkan akumulasi sekret ·
 Catat karakteristik sputum (warna, jumlag, konsistensi)
R/: Pengeluaran sekret akan sulit jika kental ·
 Anjurkan minum 2500cc/hari.
R/: Mengencerkan lendir sehingga dapat dibatukkan ·
 Beri posisi fowler
R/: Memaksimalkam ekspansi paru dan memudahkan bernapas ·
 Kolaborasi pemberian O2 dan pengobatan/therapi
R/: Memenuhi kebutuhan O2 dan pengeluaran sekret
2. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.

Tujuan : setelah diberikan tindakn keperawatan selama 3 hari perfusi


jaringan otak membaik dengan

Kriteria Hasil: · Pasien tidak menunjukkan peningkatan TIK,


Terorientasi pada tempat, waktu dan respon , Tidak ada gangguan
tingkat kesadaran ·

Intervensi

 Kaji status neurologi, tanda-tanda vital (tekanan darah meningkat,


suhu naik, pernapasan sesak, dan nadi) tiap 10-20 menit sesuai
indikasi.
R/ : Mendeteksi dini perubahan yang terjadi sehingga dapat
mengantisipasinya. ·
 Temukan faktor penyebab utama adanya penurunan perfusi jaringan
dan potensial terjadi peningkatan TIK.
R/: Untuk menentukan asuhan keperawatan yang diberikan.
 Monitor suhu tubuh
R/: Panas tubuh yang tidak bisa diturunkan menunjukkan adanya
kerusakan hipotalamus atau panas karena peningkatan metabolisme
tubuh. ·
 Berikan posisi antitrendelenberg atau dengan meninggikan kepala
kurang lebih 30 derajat.
R/: Mencegah terjadinya peningkatan TIK ·
 Kolaborasi Pemberikan obat diuretik seperti manitol, diamox
R/: Membantu mengurangi edema otak
3. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan
lobus parientalis, kerusakan nervus olfaktorius.
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 hari maka
persepsi sensorik membaik dengan

Kriteria Hasil : · Kesadaran pasien kembali normal · Tidak terjadi


peningkatan TIK Intervensi :

 Observasi keadaan umum serta Vital Sign


R/: Mengetahui keadaan umum pasien.
 Orientasikan pasien terhadap orang, tempat dan waktu.
R/: Melatih kemampuan pasien dalam mengenal waktu, tempat dan
lingkungan pasien. ·
 Gunakan berbagai metode untuk menstimulasi indra, misalnya:
parfum
R/: Melatih kepekaan nervus olfaktorius. ·
 Kolaborasi medik untuk membatasi penggunaan sedativa
R/: Sedativa mempengaruhi tingkat kesadaran pasien [ CITATION
Nur152 \l 1033 ].
DAFTAR PUSTAKA

LeMone, P., Burke, K. M., & Bauldoff, G. (2016). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Vol. 4 Edisi 5. Jakrta: EGC.

Nurarif, A., & Kusuma. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Media & NANDA NIC-NOC . Jogjakarta: MediAction.

Prine Sylifia A & Wilson Lorraine M. (2013). Patofisiologi Konsep Klinis Proses
- Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Purwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: Pusdik SDM


Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai