Anda di halaman 1dari 62

 

RESPONSI DOKTER INTERNSIP

NSTEMI + SVT + SYOK KARDIOGENIK


K ARDIOGENIK 

Disusun oleh :
dr. Dian Wulandaru Sukmaning Pertiwi
Pembimbing:
dr. Fani Suslina, Sp.JP, FIHA

Pendamping:
dr. Erwin Era Prasetya  

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


INSTALASI GAWAT DARURAT
RSUD DR. R. KOESMA TUBAN
2016
 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


NSTEMI atau non ST elevation myocardial infarction ialah salah satu diagnosis yang

termasuk dalam sindrom koroner akut (SKA). SKA merupakan suatu masalah kardiovaskular
yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang
tinggi. Banyak kemajuan yang telah dicapai melalui penelitian dan oleh karenanya diperlukan
pedoman tatalaksana sebagai rangkuman penelitian yang ada. Dibandingkan dengan STEMI,
prevalensi NSTEMI dan unstable angina pectoris lebih tinggi, di mana pasien-pasien biasanya
berusia lebih lanjut dan memiliki lebih banyak komorbiditas. Selain itu, mortalitas awal NSTEMI
lebih rendah dibandingkan STEMI namun setelah 6 bulan, mortalitas keduanya berimbang dan
secara jangka panjang, mortalitas NSTEMI lebih tinggi (PERKI, 2015).
Major Adverse Cadiac Events ( MACE)
MACE) merupakan suatu kejadian komplikasi
kardiovaskular selama fase perawatan, meliputi diantaranya kejadian gagal jantung kongestif,
syok kardiogenik, aritmia dan kematian (Martalena et al .,
., 2013). Aritmia sering terjadi pada
pasien infark miokard akut dan merupakan penyebab besar dari mortalitas pasien sebelum
sampai di rumah sakit, salah satu bentuk aritmia yang paling umum adalah takikardia
supraventrikel atau supraventricular tachycardia (SVT). SVT terjadi pada 1-3 per 100 orang.
Dalam studi berbasis populasi, prevalensi SVT adalah 2,25 kasus per 1000 orang dengan
kejadian 35 kasus per 100.000 orang/tahun (Lily, 2011).
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian utama pada pasien rawat inap yang
menderita infark miokardium. Syok kardiogenik ialah suatu keadaan gawat yang membutuhkan
penanganan yang cepat dan tepat, bahkan dengan penanganan yang agresif karena terjadi
pada lebih dari 10% pasien setelah infark miokard akut dengan mortalitas sebesar 70-80%.
Walaupun akhir-akhir ini angka kematian dapat diturunkan sampai 56% (GUSTO), syok
kardiogenik masih merupakan penyebab kematian yang terpenting pada pasien infark yang
dirawat di rumah sakit (Lily, 2011; Kaligis, 2002).

1.2 Rumusan Masalah


  Bagaimana cara untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan NSTEMI?
  Bagaimana penatalaksanaan untuk SVT pada pasien NSTEMI?
  Bagaimana penatalaksanaan untuk syok kardiogenik pada pasien NSTEMI?
 

1.3 Tujuan
  Mengetahui cara menegakkan diagnosa dan penatalaksanaan NSTEMI
  Mengetahui cara menegakkan penatalaksanaan untuk SVT pada pasien
NSTEMI
  Mengetahui cara menegakkan penatalaksanaan untuk syok kardiogenik pada

pasien NSTEMI
 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 NSTEMI
2.1.1 Definsi

NSTEMI (Non-ST-elevation Myocardial Infarct) termasuk dalam sindroma koroner akut


(SKA). Sindroma Koroner Akut (SKA) adalah istilah operasional bagi spektrum kondisi yang
kompatibel dengan iskemia dan atau infark miokard akut yang biasanya disebabkan oleh
penurunan aliran pembuluh darah koroner jantung secara mendadak (PAPDI, 2009).

2.1.2 Patogenesis
Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh penurunan
suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi
koroner. Sebagian besar sindroma koroner akut (SKA) adalah manifestasi akut dari plak
ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau ruptur. Ruptur plak ini sebelumnya telah
menyebabkan penyempitan (stenosis) minimal dari pembuluh darah koroner yang
bersangkutan. Pada 70-80% pasien SKA terjadi pada pembuluh darah koroner yang mengalami
stenosis <70%, sedangkan 60% lainnya pada pembuluh darah koroner yang mengalami
stenosis sebesar 50% atau kurang. Pada plak yang tidak stabil ini biasanya terjadi perubahan
komposisi plak (inti lipid besar sebesar >40% volume plak, densitas otot polos yang rendah,
penipisan fibrous cap yang
cap yang menutupi plak). Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai peningkatan
aktivitas sel makrofag, sel mast dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-
sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF α dan IL-6
IL-6 (Waly, 2010; Trisnohadi,
2006; Antono dalam PIT Penyakit Dalam, 2014).
Terjadinya ruptur plak aterosklerosis akan diikuti oleh proses aktivasi, adhesi dan
agregasi platelet serta aktivasi jalur koagulasi yang menyebabkan terbentuknya trombus yang
kaya trombosit (white
(white thrombus).
thrombus). Setelah kontak dengan darah, faktor jaringan berinteraksi
dengan faktor VIIa dan X untuk memulai kaskade koagulasi, terjadi konversi protrombin menjadi
trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat
akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Dalam banyak
kasus, pembentukan fisura pada plak arterosklerotik merupakan suatu patogenesis
pembentukan trombus. Trombus ini akan menyumbat pembuluh darah koroner dan
menyebabkan oklusi baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu, terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
 

menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.


Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang
berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark
miokard). Pada NSTEMI biasanya terjadi oklusi trombus peristen >1 jam namun masih terdapat
kolateral pada distal lokasi penyumbatan. (PERKI, 2015; Waly, 2010; Antono dalam PIT

Penyakit Dalam, 2014).


Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan
terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain
nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning
(setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan
fungsi ventrikel) (PERKI, 2015).
Sebagian pasien SKA tidak mengalami ruptur plak seperti diterangkan di atas. Mereka
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial
(Angina Prinzmetal). Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Di perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet
berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme.
Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi
plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP/PCI). Beberapa faktor ekstrinsik,
seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya
SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis (Trisnohadi, 2006; PERKI, 2015).

2.1.3 Faktor Risiko


Terdapat dua jenis faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya sindrom kroroner akut.
Faktor risiko biologis adalah faktor risiko yang tidak dapat diubah yaitu:
-  Umur : tua (≥65 tahun) 
tahun) 
-  Jenis kelamin : prognosis NSTEMI pada pria sebanding dengan
dengan wanita, kecuali pada usia
tua prognosis NSTEMI lebih buruk pada pria.
-  Ras
-  Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner sebelumnya.
Sedangkan faktor risiko kedua yakni faktor risiko yang dapat diubah, sehingga bila dikontrol
dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor risiko yang dmaksud antara lain:
- Dislipidemia
- Penyakit komorbid: hipertensi, diabetes mellitus, penyakit ginjal kronik, anemia
- Diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan glukosa
 

- Merokok
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat apabila pasien memiliki penyakit aterosklerosis non koroner
(penyakit arteri perifer / karotis) dan atau riwayat memiliki PJK sebelumnya atas dasar pernah
mengalami infark miokard, bedah pintas koroner, atau IKP (Intervensi Koroner Perkutan)
(PERKI, 2015; Waly, 2010).

2.1.4 Diagnosis
Pasien dengan kemungkinan tinggi SKA yang datang dengan nyeri dada kontinyu,
dyspnea berat, sinkop/presinkop, atau palpitasi harus segera dirujuk ke instalasi gawat darurat
(IGD) dan diangkut oleh layanan medis darurat bila tersedia. Pasien biasanya datang dengan
keluhan utama nyeri dada khas angina pectoris (pada 50% pasien), hanya sebagian kecil
pasien (20% sampai 30% pasien) SKA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent IMA 
IMA  ini terutama
terjadi pada pasien dengan dibetes melitus dan hipertensi serta pada pasien usia lanjut (PAPDI,
2009; AHA, 2014; Waly, 2010).

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan


pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial
infarction)) 
infarction
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation
myocardial infarction)
infarction) 
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
pectoris)
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan
angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T
T pseudo
 pseudo-normalization, atau bahkan tanpa
-normalization
perubahan. Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan
kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang
lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka
 jantung terjadi
terjadi peningkatan
peningkatan bermakna,
bermakna, maka diagnosis
diagnosis menjadi Infark
Infark Miokard Akut Segmen
Segmen ST
Non Elevasi (Non
(Non   ST-Elevation Myocardial Infarction,
Infarction, NSTEMI). Kemungkinan SKA dengan
gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung normal perlu menjalani observasi di instalasi
gawat darurat. Definitif SKA dan angina tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik
sebaiknya dirawat di rumah sakit dalam ruang intensive cardiovascular care 
care  (ICVCU/ICCU).
(PERKI, 2015).
 

Tabel 3. Tingkat peluang SKA segmen ST non elevasi


(dikutip dari Anderson JL, et al. J Am Coll Cardiol 2007;50:e1-157)

2.1.4.1 Anamnesa
Menurut PERKI (2015), pasien biasanya datang dengan keluhan nyeri dada berupa:
1) Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit.
Dialami oleh sebagian besar pasien (80%). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering
disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak
napas, dan sinkop
2) Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian Cardiovascular Society  
(CCS). Terdapat pada 20% pasien
3) Angina stabil/kronis yang mengalami destabilisasi
destabilisas i (angina progresif
progresif atau kresendo):
menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin berat; minimal kelas III klasifikasi
CCS.
4) Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah infark miokard
Presentasi klinik lain yaitu angina atipikal (ekuivalen), terutama pada wanita, kaum
lanjut usia (>75 tahun), dan kelompok dengan penyakit komorbid (diabetes mellitus dan

gagal ginjal kronik). Keluhan yang sering dijumpai adalah nyeri dada awitan baru atau sesak
 

nafas saat beraktivitas. Nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan
pencernaan (indigestion
(indigestion)) atau rasa lemah mendadak juga sering dikeluhkan pasien.
Beberapa faktor yang menentukan bahwa keluhan tersebut presentasi dari SKA adalah sifat
keluhan (nyeri >15 menit), riwayat PJK, jenis kelamin, umur, dan jumlah faktor risiko
tradisional (PERKI, 2015; PAPDI, 2009; NHS, 2011).

Selain itu juga terdapat nyeri dada non-kardiak yang presentasi klinisnya dapat
menyerupai keluhan pada pasien iskemia miokard sehinggga dapat mengaburkan
diagnosis. Nyeri yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
  Nyeri abdomen tengah atau bawah
  Nyeri dada yang dapat
dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks ventrikel
kiri atau pertemuan kostokondral.
  Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
  Nyeri dada dengan durasi beberapa detik


  Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas baw
bawah
ah (PERKI, 2015).

2.1.4.2 Pemeriksaan Fisik


Hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan pada penderita NSTEMI bervarias mulai dari
normal atau ditemukan diaphoresis, akral pucat dan dingin, takikardia, sampai
didapatkannya suara jantung empat (S 4). Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga
(S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi
komplikasi iskemia. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang
dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai suara

napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding
SKA (PAPDI, 2009; PERKI, 2015).
 

Tabel 1. Klasifikasi Nyeri Dada Berdasarkan Pemeriksaan Klinis


Dikutip dari NHS, 2011

2.1.4.3 Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)


Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan dalam waktu 10 menit kedatangan
di ruang gawat darurat. EKG pada SNTEMI tidak menunjukkan adanya elevasi segmen ST
yang persisten, kecuali pada pasien-pasien dengan infark miokardium posterior.
Pemeriksaan EKG jantung kanan (sadapan V3R dan V4R) serta EKG jantung posterior
(sadapan V7-V9) harus dilakukan pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada infark dinding inferior. Selain itu, pemeriksaan sadapan V3R-V4R juga
dapat mendeteksi terjadinya infark ventrikel kanan pada pasie dengan infark dinding inferior.

Pemeriksaan EKG jantung posterior juga sebaiknya direkam pada semua pasien angina
yang mempunyai EKG awal nondiagnostik. Hipertrofi ventrikel kiri, penggunaan alat pacu
 jantung ventricular
ventricular serta blok cabang berkas dengan abnormalitas
abnormalitas repolarisasi dapat
mengaburkan diagnosis SKA. (Wijaya, IP dalam Naskah PIT Penyakit Dalam, 2014; PAPDI,
2009; PERKI, 2015).
Gambaran EKG untuk pasien-pasien NSTEMI adalah depresi segmen ST, elevasi
segmen ST transien (dengan durasi <20 menit dan dapat terdeteksi di lebih dari dua
sadapan yang berdekatan), dan atau inversi gelombang T prominen. Tidak ada
perkembangan gelombang Q seperti pada STEMI. Depresi segmen ST yang diagnostik
adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-
V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Inversi
gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas
sp esifitas tinggi untuk untuk iskemia akut.
 

Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik
dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik (Wijaya, IP dalam Naskah PIT
Penyakit Dalam, 2014; PERKI, 2015).
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung

pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-V3 pada pria
usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan
pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-V3, tanpa memandang usia,
adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R
dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap
lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9
V7- V9 adalah ≥0,5 mV (PERKI, 2015). 
2015).  
 Abnormalitas
 Abnormalitas gambaran EKG dan peningkatan
peningkatan troponin darah harus disesuaikan
dengan kondisi klinis dalam penegakkan diagnosis SKA, karena sensitivitas pemeriksaan
EKG dalam mendiagnosis SKA, baik tunggal maupun serial, hanya 40-60% saja.

Pemeriksaan EKG serial harus dilakukan tiap 15-30 menit dalam 1 jam pertama untuk
dengan EKG awal nondiagnostik atau normal dengan keluhan menetap. Pemeriksaan EKG
 juga sebaiknya
sebaiknya diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Hasil EKG normal dapat
terjadi pada oklusi artreri koroner kanan atau arteri sirkumfleksa kiri. Jika EKG serial tetap
menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA,
maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina
berulang (AHA, 2014; Wijaya, IP dalam Naskah PIT Penyakit Dalam, 2014; PERKI, 2015).

2.1.4.4 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium utama untuk mendiagnosis SKA adalah pemeriksaan
marka/enzim jantung. Peningkatan CKMB dan atau biomarker spesifik jantung (troponin I
atau T) didapatkan pada NSTEMI; meskipun sedikit peningkatan troponin dapat juga terjadi
pada miokarditis, gagal jantung kongestif, atau emboli paru. (PAPDI, 2009; PERKI, 2015).
Menurut AHA (2014) dan Trisnohadi (2006), pemeriksaan
pemeriksaan   creatine kinase isoenzim
miokard  (CK-MB)
  (CK-MB) dan mioglobin tidak berguna untuk diagnosis SKA ( level of evidence: A).
evidence:  A).
CK-MB merupakan isoform enzim phosphokinase dalam miokardiosit yang akan dilepaskan
ke peredaran darah 2-4 jam setelah terjadinya iskemia jantung, CK-MB akan tetap
terdeteksi dlaam darah selama 2-4 hari. Sedangkan mioglobin, sebagai protein pengikat
oksigen ke semua otot rangka termasuk otot jantung, akan dilepaskan ke alirn darah dalam
1-2 jam pertama onset, namun jumlahnya akan berkurang dan kembali normal setelah 24
 

 jam. Spesifitas
Spesifitas mioglobin dalam mendiagnosis
mendiagnosis SKA paling
paling rendah
rendah dibandingkan
dibandingkan CK-MB dan
Troponin I/T. Pemeriksaan yang disarankan adalah pemeriksaan kadar troponin (I dan atau
T) dalam kurun 3 sampai 6 jam setelah onset gejala pada semua pasien yang hadir dengan
gejala SKA konsisten untuk mengidentifikasi rising and/or fall pattern.
pattern. Jika onset gejala tidak
 jelas, waktu pasien datang dengan presentasi klinis SKA dianggap sebagai onset (AHA,

2014; Wijaya, IP dalam Naskah PIT Penyakit Dalam, 2014).


Pemeriksaan kadar troponin tambahan harus diperoleh di luar 6 jam setelah onset
gejala pada pasien dengan kadar troponin yang normal pada pasien dengan kadar troponin
normal pada pemeriksaan serial namun memiliki kecurigaan SKA sedang atau tinggi
berdasarkan klinis dan EKG. Evaluasi troponin dilakukan tiap 3-4 hari pada pasien dengan
infark miokard (Ml) sebagai indeks ukuran infark dan dinamika nekrosis. Pada pasien
dengan infark miokard akut, peningkatan awal troponin pada daerah perifer terjadi
setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu (Trisnohadi, 2006;  AHA, 2014).
2014).
Pasien dengan kemungkinan SKA yang hasil EKG serial dan serum troponinnya

dalam batas normal hendaknya diperiksakan EKG saat treadmill, stress myocardial
 perfusion imaging
imaging atau
atau stress
 stress echocardiography  saat
 saat MRS atau dalam kurun 72 jam setelah
KRS. Pasien-pasien tersebut juga dirikan obat rawat jalan berupa aspirin, nitrogliserin kerja
cepat, dan medikamentosa lain (misalkan golongan penyekat beta) dalam dosis harian,
dengan disertai edukasi aktivitas fisik yang sesuai serta jadwal follow up selanjutnya
up selanjutnya (NHS,
2011; AHA, 2014).
Pemeriksaan laboratorium tambahan yang diperlukan adalah profil lipid, menurut the
National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel   III dan guideline terapi
 ACC/AHA tahun 2007 profil lipid diperiksakan dalam 24 jam setelah onset SKA. Beberapa
pasien dengan keadaan klinis tertentu mungkin membutuhkan pemeriksaan laboratorium
lain, misalnya pemeriksaa fungsi tiroid pada pasien dengan takikardia persisten (NHS,
2011).

2.1.4.5 Pemeriksaan Non-Invasif


Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan gambaran
fungsi ventrikel kiri secara umum pada pasien SKA yang tidak dilakukan agiografi koroner
dan berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesia segmental
dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia
menghilang. Jika memungkinkan, pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat

harus tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin
 

bagi pasien tersangka SKA. Ekokardiografi Multislice Cardiac CT  (MSCT)


  (MSCT) dapat digunakan
untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK
rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan
(PERKI, 2015).

2.1.5 Diagnosis Banding


Pasien dengan kardiomiopati hipertrofik atau penyakit katup jantung (stenosis dan
regurgitasi katup aorta) dapat mengeluh nyeri dada disertai perubahan EKG dan peningkatan
marka jantung menyerupai yang terjadi pada pasien NSTEMI. Miokarditis dan perikarditis dapat
menimbulkan keluhan nyeri dada, perubahan EKG, peningkatan marka jantung, dan gangguan
gerak dinding jantung. Stroke dapat disertai dengan perubahan EKG, peningkatan marka
 jantung, dan
dan gangguan
gangguan gerak
gerak dinding jantung.
jantung. Diagnosis
Diagnosis banding
banding non kardiak
kardiak yang mengancam
mengancam
 jiwa dan selalu harus disingkirkan adalah emboli paru dan diseksi aorta. Pemeriksaan
Pemeriksaan
tambahan dengan ekokardiografi dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding

kardiomiopati hipertrofik, stenosis aorta atau diseksi aorta (PERKI, 2015).

2.1.6 Stratifikasi Risiko


Berdasarkan data global yang diperoleh Kumar dan Cannn (2009), penyebab tingkat
mortalitas pada 30 hari awal yang tertinggi didapatkan pada pasien dengan STEMI (11,1 %),
sedangkan persentase pasien NSTEMI dan angina tak stabil sebesar 7,4% dan 1,7%; secara
berurutan. Maka dari itu diperlukan stratifikasi risiko awal untuk menentukan ruang perawatan,
pilihan terapi (konservatif atau dengan strategi invasif awal), serta prognosis. Stratifikasi risiko
harus dilakukan di unit emergensi setelah melakukan pemeriksaan fisik untuk menurunkan
angka rujukan ke rumah sakit bagi pasien tanpa SKA. Pasien risiko tinggi SKA sebaiknya
dirujuk ke unit rawat jantung intensif (intensive
(intensive cardiac care unit/ICCU)
unit/ICCU),, sedangkan pasien
dengan risiko rendah dapat dimonitor di ruang intermediate care (Wijaya,
care (Wijaya, IP dalam Naskah PIT
Penyakit Dalam, 2014).
Model stratifikasi risiko yang digunakan ialah GRACE (Global
(Global Registry of Acute
Coronary Events)
Events) yang menghitung skor mortalitas dalam 6 bulan, CRUSADE (Can
( Can Rapid risk
stratification of Unstable angina patients Suppress ADverse outcomes with Early
implementation of the ACC/AHA guidelines)
guidelines ) untuk menghitung risiko terjadinya perdarahan,
TIMI (Thrombolysis
(Thrombolysis In Myocardial Infarction,
Infarction, dan fungsi ventrikel kiri. Stratifikasi perdarahan
penting untuk menentukan pilihan penggunaan antitrombotik (AHA, 2014; PERKI, 2015).
 

 A. Skor TIMI


Dalam menentukan skor TIMI untuk pasien NSTEMI ada beberapa hal yang perlu
digali, yaitu:
1. Usia > 65 tahun
2. Tiga atau lebih faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK) : hipertensi, merokok, DM,

dislipidemia, riwayat PJK dalam keluarga


3. Angiogram sebelumnya menunjukkan terdapat stenosis >50%
4. Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir
5. Setidaknya dua episode nyeri
nyeri saat istirahat dalam 24 jam terakhir
6. Peningkatan marka jantung (CK, troponin)
7. Deviasi segmen ST > 1 mm saat tiba
Masing-masing kriteria mendapatkan 1 poin. Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk
prediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA termasuk Angina
pektoris tidak stabil dan NSTEMI.Poin skor TIMI adalah sebagai berikut:

Tabel. Stratifikasi Risiko Berdasarkan Skor TIMI


(Dikutip dari PERKI, 2015)

B. Skor GRACE
Klasifikasi GRACE mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas Killip, tekanan
darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang gawat darurat, kreatinin
serum, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut jantungPenghitungan skor GRACE
idealnya dilakukan dalam waktu 1 jam sejak pasien datang. Intervensi menggunakan
angiografi koroner sebaiknya menunggu skor GRACE. . Klasifikasi ini ditujukan untuk
memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar
dari rumah sakit. Skor GRACE divalidasi sebagai klasifikasi yang paling relevan pada
penanganan SKA di Inggris (NHS, 2011; PERKI, 2015).
 

Tabel. Skor GRACE


(Dikutip dari PERKI, 2015)
I II V
Usia Skor Denyut Jantung Skor Gagal Jantung Berdasarkan Skor
(dalam tahun) (kali/menit) Klasifikasi Killip
<40 0 <70 0 I 0

40-49 18 70-89 7 II 21
50-59 36 90-109 13 III 43
60-69 55 110-149 23 IV 64
70-79 73 150-199 36
80 91 >200 46
VI: Henti jantung saat tiba di RS 43
III IV VII: Peningkatan marka jantung 15
Tekanan Darah Skor Kreatinin Skor VII: Deviasi Segmen ST 30
Sistolik (mmHg) (μmol/L)*  
(μmol/L)*
<80 63 0-34 2
80-99 58 35-70 5

100-119 47 71-105 8
120-139 37 106-140 11
140-159 26 141-176 14
160-199 11 177-353 23
>200 0 ≥354 31
*Serum kreatinin menggunakan satuan µmol/L, untuk mengkonversi satuannya serum kreatinin dikalikan
dengan 88,4.

Tabel. Stratifikasi Risiko berdasarkan Skor GRACE


(Dikutip dari PERKI, 2015 )
Prediksi Kematian di RS Prediksi Kematian dalam 6 bulan Setelah KRS

Skor Risiko Kategori Skor Risiko Kategori Risiko


GRACE Mortalitas Risiko GRACE Mortalitas
≤108  
≤108 < 1% Rendah ≤88  
≤88 <3% Rendah
109-140 1-3% Sedang 89-118 3-8% Sedang
>140 >3% Tinggi >118 >8% Tinggi

C. Skor CRUSADE
Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga segala
upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan semaksimal mungkin. Variabel-
variabel yang dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor selama perawatan
dirangkum dalam CRUSADE bleeding risk score. Dalam skor CRUSADE, usia tidak
 

diikutsertakan sebagai prediktor, namun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens


kreatinin. Skor CRUSADE yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang
lebih tinggi (PERKI, 2015).

Tabel. Skor CRUSADE

(Dikutip dari PERKI, 2015)


I II Skor
Hematokrit Awal Skor Klirens Skor V : Jenis Kelamin
(dalam %) kreatinin, Laki-laki 0
mL/menit Perempuan 8
<31 9 ≤15 39 VI: Tanda gagal jantung saat
31-33,9 7 >15-30 35 datang
34-36,9 3 >30-60 28 Tidak 0
37-39.9 2 >60-90 17 Ya 7
≥40 0 >90-120 7 VII: Riwayat penyakit vaskular
>120 0 sebelumnya

Tidak 0
Ya 6
VIII: Diabetes
Tidak 0
Ya 6

III IV
Denyut Jantung Skor Tekanan darah Skor
(kali per menit) sistolik, mmHg
≤70  
≤70 0 ≤90  
≤90 10
71-80 1 91-100 8

81-90 3 101-120 5
91-100 6 121-180 1
101-110 8 181-200 3
111-120 10 ≥200 5
≥121 11
 

Tabel. Stratifikasi Risiko Perdarahan Berdasarkan Skor CRUSADE


(DIkutip dari PERKI, 2015)

D. LVEF
Left ventricle ejection fraction atau
fraction atau biasa disingkat LVEF merupakan gambaran fungsi
sistolik dari ventrikel kiri yang diukur saat pemeriksaan ekokardiografi. Fungsi sistolik dari
ventrikel kiri ini mempengaruhi prognosis pasien jantung koroner, termasuk NSTEMI. Nilai
normal LVEF adalah >60% (dengan range
range   berkisar antara 50-70%), LVEF ≤40%
merupakan bukti penurunan fungsi jantung atau kardiomiopati. Nilai LVEF sebesar 41-49
merupakan borderline
borderline,, angka ini menunujukkan seseorang sedang mengalami proses ke a
rah gagal jantung maupun merupakan indikasi terjadi kerusakan struktural jantung akibat
infark sebelumnya (Hamm et al, 2011).

Selain stratifikasi risiko yang telah disebutkan di atas, untuk tujuan revaskularisasi dan
strategi invasif, pasien juga dibagi dalam beberapa kelompok risiko, yaitu risiko sangat
tinggi dan risiko tinggi. Penentuan faktor risiko ini berperan dalam penentuan perlu-tidaknya
dilakukan angiografi dan waktu dari tindakan tersebut (PERKI, 2015).

Tabel . Kriteria Stratifikasi Risiko Sangat Tinggi untuk Strategi Invasif


(Dikutip dari PERKI, 2015)
 

Tabel . Kriteria Stratifikasi Risiko Tinggi untuk Strategi Invasif


(Dikutip dari PERKI, 2015)

Tabel. Kriteria Risiko untuk Menentukan Strategi Terapi SKA


(Dikutip dari: http://eurheartj.oxfordjournals.org)
 

2.1.7 Tatalaksana
Terapi NSTEMI/UA ditujukan untuk mengatasi thrombus intra arteri yang terlibat, serta
mengembalikan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard. Pasien dengan skor
risiko sangat tinggi paling baik dilakukan intervensi agresif (PAPDI, 2009). Berikut ini adalah
rekomendasi tatalaksana pasien dengan NSTEMI:

 A. Penanganan
Penanganan Non Farmakologis
Farmakologis
1. Oksigenisasi
Oksigen tambahan diberikan pada semua pasien NSTEMI dengan SpO 2  arteri <90%
(menurut AHA (2014)) atau SpO 2  arteri <94% (menurut NHS (2011)), distresss respirasi,
atau dengan risiko tinggi hipoksemia. Target SpO2 yang dianjurkan adalah 94-98%. Untuk
pasien-pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) yang dalam risiko terjadinya
hiperkapnea diberikan oksigen tambahan dengan target SpO 2  88-92% sampai hasil
analisa gas darah tersedia.
2. Monitoring
Evaluasi keluhan nyeri dada, tanda-tanda vital, ritme jantung,  pulse oxymetry , dan
hendaknya dipasang monitor EKG 12 sadapan.

B. Penanganan Farmakologis
  Terapi anti-iskemia
1. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload
berkurangnya  preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen
miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik

yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis. Pasien dengan nyeri iskemik
berlanjut diberikan nitrogliserin sublingual (dosis 0,3 –
0,3  – 0,4
 0,4 mg) tiap 5 menit sampai 3 dosis
pemberian, jika masih berlanjut dapat diberikan nitrogliserin IV dengan dosis awal 5-
10µg/menit, kemudian ditingkatkan 10µg/menit setiap 3-5 menit sampai keluhan membaik
atau TD sistolik <100mmHg. Nitrogliserin IV diberikan dalam 48 jam pertama untuk pada
pasien NSTEMI dengan iskemia ersisten, gagal jantung ataupun hipertensi.
Kontraindikasi pemberian nitrat adalah 24 jam setelah pemberian sidenafil/vardenafil,
atau 28 jam setelah pemberian tadalafil, tekanan darah sistolik <90 mmHg atau >30
mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit), takikardia tanpa gejala

gagal jantung, atau infark ventrikel kanan.


 

Tabel. Jenis dan Dosis Nitrat untuk Pasien SKA  


(DIkutip dari PERKI, 2015)

2. Penyekat beta (beta blocker )


Terapi dengan golongan penyekat beta oral diberikan dalam 24 jam pertama dengan
syarat pasien tidak memiliki tanda-tanda gagal jantung (kriteria Killip ≥III),
≥III), curah jantung
rendah, risiko tinggi syok kardiogenik, dan kontraindikasi lain terhadap penyekat beta
(misalnya interval PR >0,24 detik, blok jantung derajat II dan III tanpa alat pacu jantung,
asma aktif atau gangguan saluran nafas). Pada pasien NSTEMI dengan gagal jantung
yang sudah stabil dan penurunan fungsi sistolik direkomendasikan melanjutkan terapi
dengan salah satu dari tiga obat penyekat beta berikut ini; metoprolol suksinat kerja
panjang, cardivelol, bisoprolol; obat-obatan ini terbukti menurunkan tingkat kematian pada
pasien dengan gagal jantung. Penyekat beta baik diberikan disarankan untuk pasien
dengan penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF ≤40%),
≤40%) , hipertensi, dan atau
takikardia (PERKI, 2015).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-
1 yang mengakibatkan turunnya kebutuhan oksigen miokardium dengan cara menurunkan
frekuensi denyut jantung, tekanan darah dan kontraktilitas. Suplai oksigen meningkat

karena penurunan frekuensi denyut jantung sehingga perfusi koroner membaik saat
diastol (Suryatna, 2007).
Tabel. Jenis dan Dosis Penyekat Beta untuk Pasien SKA
(DIkutip dari PERKI, 2015)
 

 
3. Calcium channel blockers (CCB)
blockers (CCB)
Calcium channel blockers 
blockers  (CCB) atau antagonis kanal kalsium banyak digunakan
dalam terapi angina dan memiliki lebih sedikit efek samping serius di bandingkan dengan
β-bloker. CCB terbagi atas dua kelompok besar: dihidropiridin (nifedipin, amlodipin) dan
nondihidropiridin (veramil,diltiazem). CCB memblokir kanal kalsium di otot polos arteri dan
menimbulkan vasodilatasi perifer. Efeknya adalah tekanan darah arteri dan frekuensi
 jantung menurun, begitu pula dengan pengunaan
pengunaan oksigen pada saat mengeluarkan
tenaga (Tjay, 2005). Derivat dihidropiridin mempunyai efek lebih kuat sebagai vasodilator
arteri dan mempunyai efek minimal terhadap otot jantung maupun SA Node atau AV Node
(Suryatna, 2007; PERKI, 2015). Sebaliknya derivat non-dihidropiridin memiliki efek
terhadap SA Node dan AV Node sekaligus efek vasodilator arteri yang sama-sama
menonjol. Keduanya memiliki efek vasodilator koroner yang seimbang, maka CCB
golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik.
Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang
seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina (PERKI, 2015).
Penggunaan terapi CCB ini direkomendasikan secara oral dan hanya diberikan

setelah terapi dengan nitrat dengan penyekat beta tidak berhasil atau terapi penyekat beta
dikontraindikasikan. AHA (2014) merekomendasikan penggunaan CCB golongan non-
dihidropiridin
dihidropir idin (verapamil atau diltiazem), khususnya yang bersifat kerja panjang ( long
acting ).
). Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release))
(immediate-release tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta. Pemberian antagonis
kanal kalsium kerja panjang bersama nitrat direkomendaiskan untuk pasien dengan
spasme arteri koroner (angina vasospastik). (AHA, 2014).
Kontraindikasi pemberiannya ialah disfungsi ventrikel kiri yang signifikan secara klinis,
risiko tinggi syok kardiogenik, interval PR >0,24 detik, blok AV derajat II-III tanpa alat pacu
 jantung. Nifedipin
Nifedipin kerja singkat dikontraind
dikontraindikasikan
ikasikan pada
pada pasien NSTEMI (AHA,
(AHA, 2014).
2014).
 

Tabel. Jenis dan Dosis CCB untuk Pasien SKA


(DIkutip dari PERKI, 2015)

  Terapi anti antiagregasi trombosit (anti platelet)


Terapi antiplatelet dan terapi antikoagulan diberikan secara bersamaan dan merupakan
strategi terapi antitrombotik. Terapi anti platelet antara lain:
1. Aspirin
 Aspirin (asam asetil salisilat)
salisilat) bekerja dengan menghambat
menghambat enzim siklooksigenase
siklooksigenase yan
yang
g
berperan penting pada metabolisme asam arakhidonat. Hambatan pada enzim
siklooksigenase ini terjadi pada sel trombosit maupun pada dinding pembuluh darah
sehingga pembentukan prostasiklin (PGI2) dan tromboksan A2 akan terganggu. Aspirin
dosis kecil bekerja
bekerja menghambat siklooksigenase trombosit secara selektif sehingga
menghambat pembentukan tromboksan A2, dengan demikian memiliki efek anti agregasi
trombosit. Dosis efektif aspirin sebagai antitrombotik dicapai dengan pemberian aspirin
sebanyak 80-320 mg per hari. Sebaliknya pada dosis tinggi, aspirin juga menghambat
pembentukan prostasiklin sehingga tidak mempunyai efek antiagregasi serta meningkatkan
toksisitas (terutama perdarahan (Karim, 2014; AHA, 2014).
Terapi inisial dengan pemberian non –
 –enteric-coated,
enteric-coated, chewable 
chewable  aspirin secepatnya
pada semua pasien dengan kemungkinan atau definit NSTEMI tanpa kontraindikasi.

 Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda kontraindikasi


kontraindikasi dengan dosis loading
160-325mg dan dosis pemeliharaan 81-325 mg/hari untuk jangka panjang, tanpa
memandang strategi pengobatan yang diberikan. Aspirin tidak disarankan diberikan
bersama NSAID (penghambat COX- 2 selektif dan NSAID non-selektif ) (PERKI, 2015;
 AHA, 2014).
2014).
Pada infark miokard akut, aspirin bermanfaat untuk mencegah kambuhnya miokard
infark. Aspirin jangka panjang setiap hari bermanfaat dalam pencegahan terhadap kejadian
vaskular serius dari stroke iskemik, penurunan angka rata-rata rekurensi dan meningkatkan
survival. Efek antitrombosit dari aspirin bermanfaat dalam menurunkan mikroagregrat
trombosit dan vasokonstriksi yang ditimbulkan oleh trombosit seperti tromboksan A2. Hal
 

ini akan meningkatkan aliran darah ke otak dan dengan demikian akan menurunkan jejas
iskemik (PERKI, 2015).
2. Penghambat reseptor P2Y12
Penghambat reseptor P2Y12 terdiri dari dua golongan, yeitu thienopyridine (clopidogrel
atau prasugrel) dan non-thienopyridine (ticagrelor) dengan mekanisme menghambat

reseptor P2Y12 adenophosphate (ADP) pada platelet yang berperan dalam aktivasi dan
agregasi platelet tersebut. Inhibitor P2Y12 diberikan selama 12 bulan sebagai terapi
tambahan aspirin pada semua pasien NSTEMI tanpa kontraindikasi yang diterapi dengan
terapi invasif awal maupun terapi strategi iskemia. Pilihan obatnya adalah sebagai berikut:
• Clopidogrel: dosis loading 300-600mg diikuti dengan dosis harian 75 mg/hari.
• Ticagrelor: dosis loading 180 mg diikuti dosis harian 90 mg dua kali per hari.
Clopidogrel disintesis dalam hati, kemudian diubah menjadi metabolit thiol aktif
sebanyak 15%. Zat aktif ini setelah diresopsi akan meningkat efektivitasnya dengan pesat
dan menghambat kerja reseptor ADP secara irreversible sehingga menyebabkan

penggumpalan trombosit. Pada pasien dengan hipersensitivitas atau memiliki intoleransi


gastrointestinal terhadap aspirin dapat diberikan dosis loading clopidogrel yang diikuti
dengan dosis pemeliharaan. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin
sesegera mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada kontraindikasi seperti
risiko tinggi perdarahan. Pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor
 ADP yang perlu menjalani pembedahan
pembedahan mayor non-emergensi
non-emergensi (termasuk CABG), perlu
dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah penghentian pemberian
ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko
kejadian iskemik yang tinggi. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk
diberikan (atau dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Tjay, 2005;
 AHA, 2014;
2014; PAPDI,
PAPDI, 2009).
Ticagrelor memiliki mekanisme kerja ikatan pada reseptor P2Y12 pada tempat yang
berbeda dibandingkan dengan golongan clopidogrel. Ticagrelor dapat langsung berikatan
dengan reseptor P2Y12 secara reversibel tanpa memerlukan aktivasi metabolit yang
menyebabkan offset   (waktu yang diperlukan oleh obat untuk menjadi inaktif setelah obat
dihentikan) yang lebih cepat. Obat ini memilki kemampuan inhibisi agregasi platelet yang
lebih baik dari clopidogrel. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko
SKA sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) tanpa memandang strategi
pengobatan awal. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan
clopidogrel kemudian dihentikan di tengah-tengah pengobatan. Pengobatan dengan
 

ticagrelor seharusnya tidak ditunda pada pasien SKA dengan riwayat stroke iskemik atau
TIA. Berdasarkan penelitian subanalisis dari PLATO tahun 2009, penggunaan ticagrelor
bersama daspirin pada pasien STEMI dan NSTEMI selama 1 tahun menurunkan secara
signifikan angka kematian akibat kardiovaskular, infark miokard atau stroke, dibandingkan
dengan penggunaan aspirin dengan clopidgrel. Dari segi keamanan, risiko pendarahan

ticagrelor hampir sama dengan clopidogrel. Sampai saat ini keamanan pemberiannya pada
pasien-pasien dengan riwayat perdarahan intrakranial, stroke, atau transient ischemic
attack   (TIA) masih diperbincangkan karena variasi efek samping perdarahannya pada
pasien-pasien dengan riwayat tersebut. Efek samping lain yang banyak muncul seperti
dyspnea, asymptomatic ventricular pause.
pause. Dari segi biaya, ticagrelor memiliki harga yang
lebih mahal dibandingkan clopidogrel (Medikamen, 2011; AHA, 2014; PERKI, 2015).
Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg diikuti dosis
tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien yang dijadwalkan menerima
strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan ticagrelor. Dosis pemeliharaan clopidogrel

yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada
pasien yang dilakukan IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat (PERKI, 2015).
3. Dual Anti Platelet Therapy  (DAPT) 
 (DAPT) 
Dual Anti Platelet Therapy   (DAPT) terdiri dari aspirin dan penghambat resptor P2Y12
(umumnya memakai clopidogrel). Indikasi pemberian DAPT ialah pada pasien-pasien yang
akan menjalani stent   koroner dan atau pasien SKA dengan atau tanpa rencana
pemasangan stent . Efek samping utamanya yang tidak disukai adalah peningkatan risiko
perdarahan dibandingkan dengan pemberian clopidogrel tunggal. Lama pemberiannya
ialah selama 12 bulan tanpa memperdulikan
memperdulika n jenis pemasangan stent . Pemberian selama
24 bulan tidak memiliki keuntungan tambahan dibandingkan dengan pemberian ≤12 bulan,
sebaliknya meningkatkan risiko perdarahan (Verheugt, 2012)
2012).. Penghambat pompa proton
(sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama DAPT direkomendasikan pada pasien
dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada
pasien dengan beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, us ia ≥65 tahun, serta
konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid. Pasien dengan strategi invasif awal
dan terapi antiplatelet dual (DAPT) dengan risiko sedang sampai tinggi dapat diberikan
glycoprotein (GP) IIb/IIIa inhibitor , contoh nya eptifibatide atau tirofiban. (PERKI, 2015).
4. Penghambat reseptor glikoprotein
glikoprotei n (GP) IIb/IIIa
Glikoprotein IIb/IIIa merupakan integrin permukaan trombosit, yang merupakan reseptor
untuk fibrinogen dan faktor von willebrand, yang menyebabkan melekatnya trombosit pada
 

permukaan asing dan antar trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit (Tjay, 2005).
Berbagai macam penelitian menunjukkan penggunaan penghambat reseptor glikoprotein
(GP) IIb/IIIa berperan penting pada pasien-pasien UA/NSTEMI yang menjalani IKP. Jenis
obat yang dapat digunakan ada tiga, yaitu abciximab, eptifibatide, dan tirofiban. Abciximab
hanya digunakan apabila angiografi tidak ditunda dan IKP akan dikerjakan, selain itu

penggunaan eptifibatide atau tirofiban secara intravena merupakan pilihan utama.


Penggunaan obat ini terutama bermanfaaat pada pasien-pasien yang mempunyai risiko
komplikasi yang lebih tinggi, yaitu dengan konsentrasi troponin yang meningkat, diabetes
mellitus, perubahan segmen ST, angina rekuren, riwayat penggunaan aspirin atau skor
TIMI ≥4. Rekomendasi AHA menyebutkan bahwa penghambat glikoprotein IIb/IIIa
intravena atau clopidogrel intravena diberikan bersama aspirin asebelum dilakukannya
intervensi koroner (angiografi diagnostik). Pemberian ketiganya diperbolehkan bila
diperlukan. Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan pada
pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi apabila risiko perdarahan

rendah. Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi atau pada
pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif. Efek samping utamanya
adalah peningkatan risiko perdarahan dan trombositopenia, maka penggunaan obat ini
harus disertai dengan evaluas rutini tanda-tanda perdarahan saat intervensi maupun
setelahnya (Kumar dan Cannon, 2012; Tjay, 2005; PERKI, 2015).

  Terapi anti koagulan


Terapi antikoagulan sebagai tambahan terapi antiplatelet harus diberikan secepat mungkin,
terapi ini direkomendasikan untuk seluruh pasien tanpa memperhatikan strategi tatalaksana
awal. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu dilanjutkan
hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit. PIlihan anti koagulan adalah sebagai berikut:
1. Heparin (Unfractioned heparin/UFH)
heparin/UFH)
Heparin merupakan polimer dari mukoitinester-sulfat dan memiliki BM paling besar,
yakni rata-rata 15.000-18.000 D (alton). Obat ini bekerja dengan mempengaruhi aktivasi
faktor pembentuk klot, baik pada jalur intrinsik dan ekstrinsik (termasuk faktor pembekuan
termasuk faktor IIa / trombin, Xa, dan IXa) melalui ikatan dengan antitrombin (AT) III
(inhibitor enzim hemostatis), selanjutnya heparin akan membentuk kompleks heparin-AT III
yang mempercepat proses inaktivasi faktor pembentuk thrombin (bakal klot), sehingga
menghambat proses pembentukan klot darah. Ringkasnya, heparin membantu
meningkatkan efektivitas kerja AT III (Fadillah, 2014; Dewoto, 2007).
 

Pemberian heparin dilakukan secara intravena dengan dosis loading 60 IU/kg


(maksimal 4000 IU), pemberian awal 12 IU/kg/jam (maksimal 1000 IU/jam) kemudian
disesuaikan dengan kadar aPTT, diberikan selama 48 jam atau sampai dilakukan PCI.
Target aPTT adalah 1,5 –
1,5  – 2,5
 2,5 kali nilai aPTT normal atau pada tingkat optimal yaitu 50-70
detik. Sangat dibutuhkan pencapaian target terapi ini. Pengukuran dilakukan berulang jika

terdapat perubahan dosis UFH, biasanya 6 jam setelah pemberian UFH dengan dosis
baru. Selama pemberian UFH sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk
pengawasan terjadinya anemia (karena timbul perdarahan aktif) dan trombositopenia.
Kontra indikasi obat ini adalah bila ada riwayat heparin induced thrombocytopenia, 
thrombocytopenia, 
hemophilia, penyakit purpura hemorrhagica, tukak lambung, gagal ginjal, penyakit liver
berat, dan pasien-pasien post cedera dan riwayat perdarahan yang baru terjadi. Protamin
merupakan antagonis heparin dan digunakan pada kasus perdarahan yang disebabkan
heparin.. (AHA, 2014; Dewoto, 2007).
heparin
Jika antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinux maka diberikan bolus UFH

85 IU/kg sebagai tambahan terapi, namun apabila pasien pro PCI sudah mendapat terapi
penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa sebelumnya maka bolus UFH 60 IU diberikan
saat PCI. UFH ATAU heparin berat molekul rendah (LMWH) lainnya dengan diindaksikan
apabila fondaparinux atau enoxaparin tidak tersedia (PERKI, 2015). Guideline ACC/AHA
tahun 2007 menyatakan bahwa pemberian enoxaparin dan fondaparinux lebih dipilih
daripada UFH pada pasien UA/NSTEMI yang diterapi secara konservatif, kecuali Coronary
 Artery Bypass
Bypass Grafting
Grafting (CABG) akan dilakukan dalam 24 jam (Kumar dan Cannon, 2009).
2. Enoxaparin (Low Molecular Weight Heparin / LMWH)
LMWH adalah heparin yang telah dipecah (difraksionasi) dengan BM 4.000-6.500,
contohnya enoxaparin dan nadroparin. Heparin dengan BM rendah ini memiliki masa kerja
yang lebih panjang daripada UFH sehingga dosis subkutan dapat diberikan sekali sehari.
Dosis yang dianjurkan ialah 1 mg/kg intra subkutan (SC) tiap 12 jam (dosis diturunkan
menjadi 1 mg/kg/hari untuk pasien dengan klirens kreatinin <30 mL/menit), diberikan
selama pasien MRS atau sampai  percutane
 percutaneous
ous coronary intervention
intervention (PCI) dilakukan.
Dosis loading intravena pada pasien-pasien tertentu yang banyak digunakan ialah 30 mg.
Pemberian enoxaparin dianjurkan untuk pasien-pasien dengan risiko tinggi (dengan
perubahan segmen ST, peningkatan kadar troponin dan skor TIMI yang tinggi).
Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko perdarahan
rendah apabila fondaparinux tidak tersedia. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak
disarankan.(Fadillah, 2014; AHA, 2014; Kumar dan Cannon, 2009).
 

3. Fondaparinux
Obat ini bekerja dengan menghambat secara selektif antithrombin-mediated factor  Xa,
  Xa,
yaitu dengan menghambat pembentukan trombin tanpa menganggu molekul trombin yang
sudah ada. Fondaparinux adalah pilihan utama agen antitrombolitik (menggantikan
enoxaparin) karena lebih gampang digunakan, dosis yang tidak bergantung pada berat

badan, dan yang terpenting berdasarkan penelitian OASIS-5 adalah fondaparinux memiliki
efektivitas yang sama dengan enoxaparin namun menyebabkan angka perdarahan mayor
yang lebih sedikit (insidensi perdarahannnya setengah dari insidensi perdarahan pada
pemberian enoxaparin). Fondaparinux memiliki efek minimal pada activated partial
thromboplastin time (aPTT), prothrombin time (PT), tidak mempengaruhi fibrinolisis
maupun fungsi platelet, serta jarang menyebabkan trombositopenia. Dosis 2,5 mg/hari
secara subkutan (SC) selama pasien MRS (maksimal 8 hari) atau sampai PCI dilakukan.
Bila PCI dilakukan saat pasien masih mendapat terapi fondaparinux, antikoagulan dengan
aktivitas anti-IIa (UFH atau bivalirudin) ditambahkan karena berisiko terjadi thrombosis

pada kateter. Dosis tambahan UFH sebesar 85 IU/kg diberikan secara IV sebelum
pelaksanaan PCI, namun apabila pasien telah mendapat penghambat glikoprotein (GP)
IIb/IIa, maka dosis tambahan UFH yang diberikan sebesar 60 IU/kg (AHA, 2014; PERKI,
2015; Kumar dan Cannon, 2009).
Fondaparinux tidak memberikan efek antikoagulasi penuh, maka dikontraindikasikan
pada pasien yang diterapi dengan warfarin, fibrilasi atrium awitan baru,
baru , deep vein
thrombosis.. Karena diekresikan lewat urin dalam bentuk awalnya, maka penggunaannya
thrombosis
pada pasien yang memiliki gangguan ginjal yang parah (kreatinin >265 µmol/L, klirens
kratinin <30, eGFR <20) tidak diperbolehkan (AHA, 2014). Berdasarkan rekomendasi pada
kelas I pedoman ACC/AHA tahun 2007, fondaparinux merupakan pilihan utama pada
pasien UA/NSTEMI dengan terapi konservatif yang memilki risiko tinggi perdarahan,
fondaparinux juga dapat diberikan baik untuk pasien dengan terapi konservatif maupun
strategi terapi invasif awal (Kumar dan Cannon, 2009).
4. Bivalirudin
Bivalirudin diberikan pada pasien UA/NSTEMI dengan strategi invasif awal
(rekomendasi kelas I ACC/AHA tahun 2007). Dosis loading bivalirudin 0,10 mg/kg diikuti
0,25 mg/kg/jam (hanya pada pasien dengan strategi invasif awal), kemudian dilanjutkan
dengan angiografi diagnostik (DCA) atau PCI, ditambah dengan pemberian DAPT dan
pemberian sementara GP IIb/IIIa inhibitor. Studi ACUITY ( Acute Catheteriza
Catheterization
tion and Urgent
Urgent
Intervention Triage Strategy ) secara acak pada 13.819 pasien SKA yang diterapi dengan
 

strategi invasif awal menunjukkan pemberian bivalirudin tunggal (setelah 30 hari) memiliki
efek yang lebih unggul dibandingkan pemberian kombinasi UFH dengan penghambat GP
IIb/IIIa, keuntungan bivalirudin terletak dari efek samping perdarahannya yang lebih sedikit
dari UFH (AHA, 2014, Cannon dan Kumar 2009).
5. Antikoagulan oral

Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko


perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan
antagonis vitamin K jika terdapat indikasi dapat diberikan bersama-sama dalam waktu
sesingkat mungkin dan dipilih targen INR terendah yang masih efektif. Jika antikoagulan
diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada penderita tua atau yang risiko
tinggi perdarahan, target INR yang aman ialah 2- 2,5. Penggunaan warfarin jangka panjang
dengan aspirin ditujukan untuk fibrilasi atrium, trombus otak, vena dan ventrikel kiri, atau
emboli paru (Cannon dan Kumar, 2009; PERKI, 2015).

Tabel. Jenis dan Obat Anti Koagulan untuk SKA


(Dikutip dari PERKI, 2015)

  Analgesik

Morfin sulfat dberikan secara intravena dengan dosis dosis 2-5mg selama 15-30 menit
pada pasien NSTEMI yang nyeri dadanya tidak berkurang meskipun telah diberikan obat-
obatan anti-iskemik secara maksimal. NSAID (kecuali aspirin) tidak dipilih sebaai terapi
awal dan harus dihentikan selama pasien MRS karena akan meningkatkan risiko
keterlibatan MACE (PAPDI, 2009; AHA, 2014).

  Inhibitor ACE (ACE-I) dan Penghambat Reseptor Angiotensin (ARB)


 Angiotensin
 Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) berguna dalam mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pasca infark miokard yang disertai
gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa klinis gagal jantung; bila diberikan
 

dalam 24 jam pertama sejak timbulnya infark miokard. Beberapa penelitian menunjukkan
 ACE-I memiliki efek anti-aterogenik.
anti-aterogenik. ACE-I diberikan pada semua pasien dengan left
ventricular ejection fraction (LVEF) ≤40% dan yang menderita gagal jantung, diabetes
mellitus, hipertensi, kecuali dikontraindikasikan. Pengobatan jangka panjang dengan ACE-I
diindikasikan untuk pasien-pasien dengan risiko tinggi penyakit arteri koroner (AHA, 2014;

PERKI, 2015; Giugliano dan Braunwald, 2012).


Penghambat reseptor angiotensin atau angiotensin-II receptor blocker   (ARB)
diindikasikan bagi pasien infark mikoard yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan
mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung.  
Pemberian valsartan sama efektifnya dengan pemberian captopril pada pasien yang
berisiko tinggi terjadi kejadian kardiovaskuler pasca infark miokard. Kombinasi keduanya
tidak dianjurkan (AHA, 2014; Giugliano dan Braunwald, 2012).

Tabel. Jenis dan Dosis Inhibitor ACE untuk pasien SKA

(DIkutip dari PERKI, 2015)  

  Antagonis Aldosteron

 Antagonis aldosteron
aldosteron disarankan pada pasien setelah MI yang sudah mendapatkan
mendapatkan
 ACE-II dan penyekat beta, LVEF ≤35% dan disertai dengan diabetes atau gagal jantung,
 ACE-
apabila tidak ada disfungsi ginjal yang bermakna (kreatinin serum >2,5 mg/dL pada pria
dan >2 mg/dL pada wanita) atau hiperkalemia (PERKI, 2015).

  Terapi modifikasi lipid


HMG-CoA reductase inhibitor   (gologan statin) dosis tinggi diberikan pada semua
pasien NSTEMI tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan mempertimbangkan modifikasi
diet; termasuk pada pasien-pasien yang telah menjalani terapi revaskularisasi, kecuali jika
terdapat kontraindikasi. Evaluasi kolesterol dengan profil lipid puasa dilakukan dalam 24
 jam pertama pasien dirawat di RS. Bebeapa sumber menyebutkan
menyebutkan target kadar kolesterol

LDL <100 mg/dL, namun mayoritas menyepakati target optimalnya adalah <70 mg/dL.
 

Berdasarkan studi PROVE (Pravastatin or Atorvastatin Evaluation and Infection Therapy),


pemberian pravastatin dosis sedang (40mg/hari) memiliki efektivitas yang serupa dengan
pemberian atorvastatin dosis tinggi (80mg/hari) dalam hal menurunkan kadar kolesterol
darah. Pemberian pravastatin dan atorvastatin dengan dosis yang sudah disebutkan di
atas menurunkan 16% angka kematian gabungan akibat pada pasien infark miokard dan

angina tidak stabil yang memerlukan perawatan kembali di RS maupun revaskularisasi,


serta pada pasien stroke (AHA, 2014; NHS, 2011; Giugliano dan Braunwald, 2012).

C. Intervensi Invasif
Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk dilakukan strategi invasif
dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasif melibatkan dilakukannya angiografi,
dan ditujukan pada pasien dengan tingkat risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan
angiografi ditentukan berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent atau immediate
immediate))

Berdasarkan guideline AHA tahun 2014 dan ESC tahun 2015, dilakukan bila pasien
memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very
(very high risk )
2. Strategi invasif awal (early ) dalam 24 jam
Berdasarkan guideline AHA tahun 2014 dan ESC tahun 2015, dilakukan bila pasien
memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria risiko tinggi (high risk );
); lebih
khususnya AHA menyebutkan minimal memenuhi kriteria risiko tinggi primer. Terapi
farmakologi awal harus ettap diberikan
3. Strategi invasif tertunda (delayed ) dalam 25-72 jam
Berdasarkan guideline AHA tahun 2014, dilakukan bila pasien memenuhi salah satu kriteria
risiko tinggi (high
(high risk ) atau dengan gejala berulang. Kriteria tambahan lainnya adalah
pasien dengan diabetes mellitus, insufisiensi renal (LFG <60mL/menit/ 1.73 m 2), LVEF
<40%, angina awitan awal pasca-infark, riwayat PCI dalam 6 bulan terakhir, riwayat CABG,
dan dengan skor GRACE 109-140 seta skor TIMI
T IMI ≥2.
≥2. Kriteria tambahan yang telah
disebutkan di atas merupakan kriteria risiko menengah (intermediate
( intermediate risk ) pada guideline
ESC tahun 2015; strategi invasif tertunda dilakukan bila pasien memenuhi salah satu dari
kriteria risiko menengah.
4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif
Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan secara rutin. Strategi ini
dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi dan dianggap memiliki
risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:
 

-  Nyeri dada tidak berulang

-  Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung

-  Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6 hingga 9)

-  Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6 hingga 9)

-  Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)

Penentuan risiko rendah pada strategi konservatif juga dibuat berdasarkan skor GRACE
dan TIMI. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini berdasarkan evaluasi PJK.

Kontraindikasi terapi fibrinolitik seperti hipertensi, kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada
tajam dan berat yang menjalar ke punggung disertai sesak napas atau sinkop), riwayat
perdarahan, atau riwayat penyakit serebrovaskular. Terapi fibrinolitik intravena tidak diberikan
pada pasien NSTEMI tanpa infark miokard posterior sejati atau dengan blok berkas cabang kiri
(PERKI, 2015).
Pada manajemen NSTEMI, angiografi koroner dilakukan untuk mengidentifikasi adanya

penyakit arteri koroner baik untuk pasien yang akan dilakukan revaskularisasi menggunakan
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) atau Coronary Aretry Bypass Grafting (CABG),
maupun untuk kepentingan diagnostik (pada pasien-pasien dengan strategi non invasif).
 Angiografi
 Angiografi koroner merupakan pemeriksaan definitif untuk menilai tingkat keparahan penyakit
arteri koroner. Pemeriksaan ini diindikasikan untuk :
-  Pasien dengan risiko menengah, tinggi dan sangat tinggi berdasarkan skor GRACE

-  Pasien yang kondisinya tidak stabil, misalkan de


dengan
ngan syok
syok kardiogenik,edema
kardiogenik ,edema paru, dan
aritmia
-  Pasien dengan risiko rendah berdasarkan skor GRACE namun mengalami iskemia

rekuren secara spontan atau hasil tes non-invasifnya menunjukkan positif iskemia
(Kumar dan Cannon, 2012; PAPDI, 2009).
Indikasi angiografi koroner diagnostik (DCA) adalah (1) angina yang bertahan dengan
terapi medis, (2) hasil tes olahraga positif (depresi ST ≥2mm, onset pada aktivitas ringan,
takikardia ventrikel, atau hipotensi yang tercetus oleh olahraga) dan menggambarkan penyakit
pada arteri utama kiri atau penyakit pada tiga arteri; (3) angina rekuren atau hasil tes olahraga
positif setelah episode infark, (4) untuk melihat spasme arteri koroner, (5) mengevaluasi pasien
dengan   perplexing chest pain yang tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan non-invasif
dengan
(PAPDI, 2009).
Sebelum dilakukan angiografi koroner yang disertai terapi revaskularisasi tentunya
dilakukan pertimbangan terhadap beberapa faktor yakni adanya penyakit komorbid (penyakit
 

vaskular perifer yang parah, PPOK, gangguan ginjal, keganasan, riwayat stroke, dll),
kontraindikasi (pasien dengan risiko tinggi terjadinya perdarahan) dan tentunya sesuai dengan
informed  consen
consentt pasien. Hal yang harus diperhatikan pada pasien gangguan ginjal (eGFR <30
atau klirens kreatinin <45) yang akan menjalani PCI adalah risiko terjadinya contrast induced
nephropathy , maka dosis kontras biasanya akan dikurangi (PAPDI, 2009; PERKI, 2015).

PCI dalam bahasa Indonesia nya disebut sebagai Intervensi koroner perkutan (IKP).
Strategi PCI awal diindikasikan untuk pasien angina tak stabil atau NSTEMI yang tidak memiliki
komorbid serius, ataupun tidak dalam kriteria risiko tinggi (PERKI, 2015).
Menurut AHA (2014), berikut ini adalah rekomendasi tindakan CABG pada pasien angina
tak stabil atau NSTEMI:
-  Pasien dengan penyakit arteri koroner kiri (left main coronary artery ) yang signifikan,
yaitu didapatkan stenosis >50%
-  Pasien dengan penyakit arteri koroner yang melibatkan tiga pembuluh koroner
-  Pasien dengan penyakit arteri koroner yang melibatkan dua pembuluh koroner

(signfikan pada  proximal left anterior descending


descending artery ) dengan hasil tes non-invasif
menunjukkan LVEF <50% atau iskemia
-  Pasien dengan penyakit arteri koroner yang melibatkan satu atau dua pembuluh
koroner, dengan atau tanpa lesi signifikan pada proximal
pada  proximal left anterior descending
descending artery ,
namun masih memiliki area miokard viabel yang luas dan termasuk dalam kriteria risiko
tinggi.
-  PCI tidak memungkinkan atau tidak optimal dan pasien yang bersangkutan mengalami
iskemia yang tidak merespon terhadap terapi non-bedah maksimal.
-  Pasien dengan penyakit koroner multivaskuler
multivask uler dengan anatomi koroner yang sesuai,
LVEF normal, dan tanpa diabetes mellitus.
 

 
Gambar 1. Algoritma evaluasi dan tatalaksana SKA
(Dikutip dari Anderson JL, et al. J Am Coll Cardiol 2007;50)

Pasien dengan kemungkinan SKA yang hasil EKG serial dan serum troponinnya dalam
batas normal hendaknya diperiksakan EKG saat treadmill, stress myocardial perfusion imaging
atau   stress echocardiography   saat MRS atau dalam kurun 72 jam setelah KRS. Noninvasive
atau

stress testing direkomendasikan pada pasien-pasien dengan risiko rendah dan menengah yang
bebas dari iskemia pada istirahat maupun aktivitas ringan, serta pada pasien dengan onset
gagal jantung 12-24 jam. Pasien-pasien tersebut juga diberikan obat rawat jalan berupa aspirin,
nitrogliserin kerja cepat, dan medikamentosa lain (misalkan golongan penyekat beta) dalam
dosis harian, dengan disertai edukasi aktivitas fisik yang sesuai serta jadwal follow up 
up 
selanjutnya (AHA, 2014).
.
2.1.8 Komplikasi
Pasien dengan SKA tipe NSTEMI memilki komorbiditas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan SKA tipe STEMI. Komplikasi dari infark miokard akut meliputi (Lilly, 2011) :
1. Iskemik berulang
 

Kejadian komplikasi angina postinfark didapati sebanyak 20 hingga 30 persen dari


pasien infark miokard akut. Menandakan tidak adekuatnya aliran darah arteri koroner, yang
dimana berhubungan dengan peningkatan risiko dari reinfark.
2. Aritmia
 Aritmia sering terjadi pada pasien infark miokard akut dan merupakan penyebab
penyebab besar

dari mortalitas pasien sebelum sampai di rumah sakit. Mekanisme terjadinya aritmia pada
pasien infark miokard akut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu akibat gangguan anatomi
dari aliran darah terhadap struktur jalur konduksi (nodus SA, nodusAV, dan bundle
branches) maupun
branches)  maupun akumulasi dari produk toksik metabolisme, seperti asidosis seluler dan
konsentrasi ion transseluler abnormal karena kebocoran membran. Selain itu, aritmia pada
pasien infaark miokardium juga disebabkan juga karena stimulasi saraf autonom dan
pemberian obat yang berpotensi untuk menimbulkan aritmia, seperti dopamin.
3. Disfungsi miokardium
Merupakan efek dari hipoperfusi jaringan miokard dan ketidakseimbangan antara suplai

dan kebutuhan oksigen jaringan miokardium.


4. Gagal Jantung
Iskemik jantung akut menimbulkan gangguan kontraksi ventrikel (disfungsi sistol) dan
peningkatan kekakuan miokard (disfungsi diastolik), yang dapat menyebabkan terjadinya
gagal jantung. Selain itu, remodeling ventrikel, aritmia dan komplikasi akut mekanik dari
infark miokard juga dapat menyebabkan gagal jantung.
5. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik adalah kondisi menurunnya cardiac output secara drastis dan
terjadinya hipotensi dengan tidak adekuatnya perfusi ke jaringan perifer yang disebabkan
ketika telah terjadi infark lebih dari 40% pada ventrikel kiri. Syok kardiogenik bersifat self-
ting karena (1) hipotensi menyebabkan menurunnya perfusi koroner, yang dimana
 perpetuating
 perpetua
akan memperburuk kerusakan akibat iskemik dan (2) penurunan stroke volume akan
menyebabkan pembesaran ventrikel kiri, sehingga kebutuhan oksigen akan meningkat.
6. Komplikasi mekanik
Komplikasi mekanik disebabkan oleh iskemik dan nekrosis pada jaringan jantung.
Komplikasi mekanik dari infark miokard akut antara lain rupturnya otot papiler, rupturnya
dinding ventrikel kiri, rupturnya septum ventrikel dan true ventricle aneurysm.
aneurysm.
7. Perikarditis
 

Perikarditis akut dapat terjadi pada periode post infark miokard akibat perluasan infark
mulai dari miokard hingga perikardium sekitarnya. Gejalanya meliputi nyeri yang tajam,
demam dan adanya pericardial friction rub.
rub.
8. Tromboemboli
Stasis aliran darah pada area ventrikel kiri yang mengalami gangguan kontraksi
setelah infark miokard, dapat menyebabkan terbentuknya trombus, khususnya ketika infark
melibatkan apeks dari ventrikel kiri atau ketika true aneurisma telah terbentuk.
Tromboemboli dapat menyebabkan infark pada organ perifer (Contoh: kejadian
serebrovaskular, seperti stroke akibat proses emboli yang terjadi pada otak).
9. Major Adverse Cadiac Events (MACE)
MACE merupakan suatu kejadian komplikasi kardiovaskular selama fase perawatan,
meliputi diantaranya kejadian gagal jantung kongestif, syok kardiogenik, aritmia dan
kematian (Martalena et al .,
., 2013). Berdasarkan penelitian, didapatkan kejadian MACE
pada pasien infark miokard akut sebanyak 63,4 % (Rampengan et al .,
., 2007).

Gambar. MACE pada Pasien Infark Mokardium


(DIkutip dari Martalena et al.,
al., 2013)
 

2.2 Supraventricular Tachycardia (SVT)


2.2.1 Definisi SVT
Supraventricular Tachycardia 
Tachycardia  (SVT) atau dalam bahasa Indonesia disebut sebagai
takikardia supraventrikel (TSV) termasuk dalam salah satu jenis taki-aritmia atau taki-disritmia.
 Aritmia sendiri didefinisikan
didefinisikan sebagai segala jenis irama (ritme) jantun
jantung
g yang berbeda dari irama
sinus normal. Aritmia terjadi karena gangguan pada pembuatan impuls, konduksi impuls,
maupun kombinasi keduanya, dan dapat mengancam jiwa apabila terjadi penurunan curah
 jantung dan aliran darah miokardium pada tahap lanjut atau disebabkan
disebabkan komplikasi lainnya.
lainnya.
Istilah aritmia sebenarnya tidak tepat karena aritmia berarti tidak ada irama. Sedangkan
takikardia didefinisikan frekuensi jantung melebihi 100 kali per menit yang direkam minimal
sebanyak tiga impuls dalam lead   jantung yang sama; pada orang dewasa (usia >8 tahun).
dalam Oleh karena itu sekarang lebih sering dipakai istilah disritmia atau irama tidak normal.
(Wang dan Estes, 2002; Durham dan Worthley, 2002).

2.2.2 Epidemiologi SVT


SVT merupakan jenis takidisritmia yang paling sering ditemukan pada usia bayi dan
anak. Prevalensi SVT kurang lebih 1 di antara 25.000 anak lebih. Insidensi SVT berkisar 35 dari
100.000 populasi per tahun dengan prevalensi 2,25 kasus per 1000 populasi. Pada pasien usia
muda biasanya tidak ditemukan kelainan struktural jantung, namun pada usia yang lebih tua
dapat berhubungan dengan blok berkas jantung.penyakit jantung iskemik, kardiomiopati, emboli
paru, PPOK, penyakit sistemi, demam, kolik renal, hipokalemia atau penyakit traktus billiaris.  
SVT lebih banyak ditemukan pada wanita (lebih dari dua kali jumlah pasien SVT pada laki-laki),
kebanyakan terjadi pada wanita usia produktif (15-40 tahun), hal ini berhubungan dengan efek
progesteron tehadap miokardium. Tipe AVNRT lebih banyak didapatkan pada wanita,
sedangkan tipe AVRT lebih banyak pada laki-laki, namun perbandingan ini dapat berubah
sesuai dengan bertambahnya usia. BIasanya SVT dapat ditoleransi dengan baik oleh
penderitanya segingga tidak menimbulkan keluhan (Wang dan Estes, 2002; Medi et al, 2009).

2.2.3 Diagnosis SVT


Pada SVT terjadi gangguan pada impuls sebelum sampai di ventrikel (terjadi di atrium;
tepatnya di atas bundel His). Faktor pencetus SVT antara lain konsumsi kafein, alcohol (karena
dapat memicu timbulnya denyut ektopik), perubahan gerakan mendadak, stress, kelelahan dan
aktivitas fisik berlebihan. Presentasi klinis SVT menyerupai gejala anxietas, atau dapat terjadi
keduanya pada satu pasien. Tanda klinis SVT klasik ditandai dengan palpitasi cepat dalam
 

onset yang mendadak, dengan adanya hal ini dalam anamnesa membantu penegakan
diagnosis SVT, bahkan tanpa hasil rekam EKG. Selain itu, pada anamnesis dapat ditemukan
gejala berupa sesak, rasa tidak nyaman pada dada, dan hampir pingsan (jarang sekali pasien
dengan SVT pingsan). Hal-hal yang harus digali atara lain frekuensi episode palpitasi, adanya
pencetus, onset dan hilangnya gejala mendadak, serta kemampuan pasien menghentikan
keluhannya sendiri. Dalam mendiagnosis SVT, irama jantung paling baik dinilai dari sadapan II
atau V1  pada EKG 12 sadapan, karena terjadi amplitudo P dan QRS maksimal sehingga kita
dapat menilai hubungan antara supraventrikel dan ventrikel dengan jelas Pada kebanyakan
SVT mempunyai kompleks QRS normal. (Wang dan Estes, 2002; Pakpahan dkk, 2013; Medi et
al, 2009; Frisch, 2011).

2.2.4 Mekanisme SVT


Gangguan irama jantung secara elektrofisiologi disebabkan oleh gangguan
pembentukan rangsang, gangguan konduksi rangsang dan gangguan pembentukan serta

penghantaran rangsang.
a. Gangguan pembentukan rangsang
Pada gangguan ini timbul pembentukan impuls di luar nodus SA, bila impuls terbentuk
secara aktif disebut sebagai irama ektopik dan bila secara pasif biasanya ditandai dengan
adanya escape beat   (denyut pengganti) yang lama-lama akan berubah menjadi escape
ryhytm   (irama pengganti). Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik
ryhytm
secara aktif dan fenomena reentry. Reentry terjadi bila terjadi blokade terhadap impuls
dalam arah antegrade pada sebagian otot jantung; dimana impuls dari arah lain masuk
kembali secara retrograde melalui bagian yang mengalami blokade tadi setelah masa
refrakternya selesai. Keadaan ini menimbulkan rangsang baru secara ektopik. Bila reentry  
terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau tidak teratur (pada beberapa tempat), maka
dapat menimbulkan keadaan takikardi ektopik atau fibrilasi.
b. Gangguan konduksi
Kelainan irama jantung dapat disebabkan oleh hambatan pada hantaran (konduksi) aliran
rangsang yang disebut blockade; miokard yang bersangkutan tidak dapat menerima
rangsang untuk memulai kontraksi. Blokade ini dapat terjadi pada tiap bagian sistem
hantaran rangsang mulai dari nodus SA atrium, nodus AV, jaras HIS, dan cabang cabang
 jaras kanan
kanan kiri sampai
sampai pada percabanga
percabangan
n purkinye
purkinye dalam miokard.
miokard.
c. Gangguan pembentukan dan konduksi rangsangan (kombinasi keduanya).
 

Sebanyak
Sebanyak 96% SVT terbentuk oleh mekanisme re-entri dengan persentase 70% re-entri
terjadi pada nodus SA, 1-2% pada atrium, 15% pada bypass tract   nodus AV, sementara 4%
sisanya disebabkan oleh adanya fokus ektopik (Durham dan Worthley, 2002).

2.2.5 Klasifikasi SVT


Berdasarakan keteraturan iramanya, SVT dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu:
   Takikardia dengan irama tidak teratur
-  Multifocal Atrial Tachycardia
-  Fibrilasi atrium
-   Atrial flutter

   Takikardia dengan irama teratur


-  Sinus takikardia
-   Atrial tachycardia
tachycardia
-  SVT paroksismal
paroksismal

Berdasarkan kompleks QRS nya, SVT dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu:
   SVT dengan kompleks QRS sempit (<0.12 detik)
-  Kompleks QRS Ireguler: fibrilasi atrium dan atrial flutter
-  Kompleks QRS reguler: atrial takikardia,
takikardi a, AV Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT),
dan AV Reentrant Tachycardia (AVRT)
   SVT dengan kompleks QRS lebar (>0.12 detik)
-  SVT aberans
-  SIndroma pre eksitasi
SVT paroksismal ( paroxysmal
 paroxysmal supraventricular
supraventricular tachycardia/PSVT)
tachycardia/PSVT) terbagi menjadi dua tipe

yaitu SVT tipe AVNRT dan SVT tipe AVRT. Takidisritmia ini disebut paroksismal karena timbul
secara mendadak, kemudian dapat berhenti secara mendadak pula; ditandai dengan
peningkatan laju ventrikel yang mendadak menjadi berkisar antara 140 sampai 280 per menit
(Pakpahan dkk, 2013).

DI bawah ini akan dibahas beberapa jenis SVT, antara lain:


1.  Atriovent
 Atrioventricular
ricular Nodal Reciprocatin
Reciprocating
g (Reentrant)
(Reentrant) Tachycardia
Tachycardia (AVNRT)
 AVNRT timbul karena adanya sebuah lingkaran
lingkaran re-entrant pada nodus AV; yakni jalur
cepat dan lambat; yang menghubungkan antara nodus AV dan jaringan atrium. Pada kasus
tipikal (90%), konduksi antegrade terjadi melalui jalur lambat sedangkan konduksi
retrograde terjadi
retrograde  terjadi melalui jalur cepat. Jalur cepat terletak dekat dengan apeks dari segitiga
 

Koch, dikelilingi oleh tendon Tadaro di bagian superiornya, dan annulus trikuspid di bagian
kontraksi premaatur atrium ( premature
 premature atrial contraction/PAC), denyut ektopik atrium ini
mengganggu konduksi kedua jalur dan menyebabkan aktivitas elektrik sirkuit (circus
(circus
 /reentrant 
 /reentrant ) yang tersebar ke miokardium atrium dan ventrikel, sehingga menghasilkan
takidisritmia. Setelah konduksi berjalan melewati jalur lambat ke berkas His dan ventrikel,
konduksi balik seketika ke atrium terjadi melalui jalur cepat, menghasilkan gelombang P
berdurasi pendek (0.4 detik) yang muncul mendekati kompleks QRS (interval PR ≤0.7
detik) atau selama kompleks QRS (gelombang P tidak tampak), seringkali disertai pseudo-
r’ pada sadapan V1.
V 1. Pada kasus atipikal (5-10%), sirkuit berjalan terbalik dengan jalur
cepat berfungsi sebagai konduksi antegrade
antegrade dan
 dan jalur lambat sebagai konduksi retrograde
retrograde,,
menyebabkan interval PR memanjang ≥0.7 detik) (Durham dan Worthley, 2002; Pakpahan
dkk, 2013; Rahmah, 2016; Blomström-Lundqvist et al ,2003).
,2003).
SVT paroksismal jenis ini merupakan jenis yang paling umum (50-60%), paling banyak
ditemukan pada dewasa muda tanpa kelainan struktural jantung maupun penyakit iskemik

 jantung, dan lebih dari 60% nya diderita oleh wanita. Denyut ventrikel biasanya berkisar
antara 180-200 kali per menit. AVNRT jarang membahayakan nyawa pederita, biasanya
diawali dengan gejala palpitasi mendadak, dapat disertai sesak atau tidak, pusing dan
pulsasi leher. Kelelahan fisik, konsumsi kopi, teh atau alkohol dapat mencetuskan
terjadinya AVNRT (Blomström-Lundqvist et al ,2003).
,2003).
2.  Atriovent
 Atrioventricular
ricular Reciprocating
Reciprocating (Reentrant)
(Reentrant) Tachycardia
Tachycardia (AVRT)
 (AVRT)
 AVRT merupakan takikardi yang disebabkan
disebabkan oleh adanya satu atau lebih jalur
konduksi aksesori yang secara anatomis terpisah dari sistem konduksi jantung normal.
Jalur aksesori merupakan sebuah koneksi miokardium yang mampu menghantarkan
impuls listrik antara atrium dan ventrikel pada suatu titik selain nodus AV, karena itu
meskipun sama-sama disebabkan oleh konduksi reentrant namun sirkuit re-entri pada
 AVRT lebih besar daripada AVNRT karena meliputi atrium, nodus AV dan ventrikel. AVRT
terjadi dalam dua bentuk yaitu orthodromik dan antidromik (Rahmah, 2016; Fox et al.,
al.,
2008).
Pada AVRT orthodromik, impuls listrik akan dikonduksikan turun melewati nodus AV
secara antegrade
antegrade   seperti jalur konduksi normal dan menggunakan sebuah jalur aksesori
secara retrograde untuk masuk kembali ke atrium. Karakteristik jenis ini adalah adanya
gelombang P yang mengikuti setiap kompleks QRS yang sempit karena adanya konduksi
retrograde.. Sedangkan impuls listrik pada AVRT antidromik akan dikonduksikan berjalan
retrograde
turun melalui jalur aksesori dan masuk kembali ke atrium secara retrograde
retrograde melalui
 melalui nodus
 

 AV atau jalur aksesori kedua. Karena jalur aksesori tiba di ventrikel di luar berkas His,
maka kompleks QRS akan melebar. AVRT antidromik hanya terjadi pada 5-10% pasien
dengan sindroma WPW. Takikardia pre-eksitasi juga dapat terjadi pada pasien takikardia
atrium, atrial flutter, fibrilasi atrium, maupun AVNRT dengan jalur aksesori sebagai
pelengkap (Rahmah, 2016; Blomström-Lundqvist et al ,2003).
,2003).
3. Takikardia atrium / Atrial tachycardia
tachycardia  
Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya biasanya karena
pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia yang lama, atau selama
blok AV. Takikardia atrium ditemukan pada sekitar 10% dari semua kasus SVT, namun
SVT ini sukar diobati dan biasanya tidak merespon pada maneuver vagal. Mekanisme
yang mendasarinya adalah automatisasi suatu fokus di atrium yang mengambil alih fungsi
nodus SA, sehingga gelombang P yang tampak memiliki mofologi berbeda dengan
gelombang P sinus. Morfologi gelombang P bergantung dari lokasi fokus ektopik,
gelombang P ektopik ini akan selalu muncul mendahului kompleks QRS. Gelombang P

yang positif di V1 menunjukkan fokus ektopik kemungkinan di atrium kiri, sedangkan


gelombang P yang positif atau bifasik di aVL kemungkinan fokusnya berasal dari atrium
kanan. (Pakpahan dkk, 2013; Rahmah, 2016).
4.  Atrial flutter 
flutter  
Diagnosis atrial flutter   dibuat berdasarkan pemeriksaan EKG. Takidisrtimia ini
disebabkan oleh ritme re-entri di atas nodus AV pada atrium kanan (tidak bergantung pada
nodus AV). Laju depolarisasi atrium yang muncul biasanya berkisar antara 250-350 kali per
menit dan bersifat regular atau regular-ireguler, bergantung pada sebab yang
mendasarinya; sebagai contoh pada pasien blok AV dapat ditemukan gambaran sawtooth
sawtooth..
Pola sawtooth
sawtooth   ini ialah gambaran gigi gergaji yang menunjukkan gelombang p’, pola ini
ini
merupakan karakteristik dari atrial flutter   dan paling jelas dilihat pada sadapan inferior (II,
III, aVF). Perbandingan antara gelombang P dan QRS yang terbentuk biasanya berkisar
2:1, 3:1, atau 4:1. Hal ini terjadi karena nodus AV tidak dapat meneruskan semua kontraksi
atrium ke ventrikel, sehingga laju ventrikel yang muncul biasanya merupakan perbadingan
tertentu terhadap kontraksi atrium (Fox et al.,
al., 2008; Rahmah, 2016; Pakpahan dkk, 2013).
5. Takikardia Atrium Multifokal (Multifocal atrial tachycardia /
tachycardia / MAT)
Setidaknya terdapat 3 morofologi gelombang p yang berbeda dengan interval PR yang
berbeda pada sadapan yang sama. Karena menghasilkan kompleks QRS yang ireguler,
maka gambarannya kadang menyerupai fibrilasi atrium. Laju atrium biasanya berkisar
antara 100-180 kali per menit. Takikardia jenis ini biasanya terjadi pada orang tua dengan
 

penyakit kritis, laki-laki dan biasanya berhubungan dengan PPOK, gagal jantung atau
penyakit jantung iskemik, seringali dicetuskan oleh hipoksia, hiperkapnea, sepsis,
gangguan elektrolit, obat-obatan simpatomimetik, digoksin atau metilxantin (Pakpahan dkk,
2013; Durham dan Worthley, 2002).
6. Fibrilasi Atrium
Fibrilasi atrium disebabkan aktivitas atrium yang tak terorganisasi (chaotic 
( chaotic ) oleh
adanya reentri dari beberapa fokus di atrium. Laju kontraksi atrium biasanya berkisar 400-
700 kali per menit. Irama ventrikel yang ireguler disebabkan adanya waktu recovery   dari
nodus AV setelah depolariasasi dan adanya konduksi parsial oleh nodus AV. Kompleks
QRS yang dihasilkan biasanya sempit kecuali terdapat aberansi atau bundle branch block
(BBB). Pada SVT dengan aberansi terjadi perlambatan atau hilangnya konduksi melalui
berkas serabut (bundle
(bundle brach).
brach). Hal ini disebabkan perbedaan waktu refrakter pada salah
satu bundle
bundle sehingga
 sehingga terjadi perubahan laju jantung mendadak (Pakpahan dkk, 2013).
7. Sindroma WPW (Wolf-Parkinson-White)
(Wolf-Park inson-White) atau Sindroma pre-eksitasi
pre-eksit asi

Penderita sindroma WPW biasanya adalah dewasa muda. Pada pasien dengan
sindroma WPW didapatkan takiaritmia dan pre-eksitasi. 90% sindroma WPW terjadi karena
 AVRT jenis ortodromik,
ortodromik, konduksi antegrade
antegrade   terjadi pada jaras his-purkinye (jalur lambat)
sedangkan konduksi retrograde
retrograde   terjadi pada jalur aksesori (jalur cepat). Pre-eksitasi
muncul apabila semua atau sebagian otot ventrikel teraktivasi lebih awal daripada impuls
dari sinus atrium. Karakter sindrom WPW ini ialah terjadinya takikardia episodik dengan
gambaran
gambaran EKG berupa interval PR ≤0.12 detik, gelombang delta (bagian proksimal
kompleks QRS miring/slurred 
miring/slurred ),
), dan durasi kompleks QRS ≥0,12 detik. Gelombang Q di
sadapan III dan aVF membuat sindroma WPW seringkali didiagnosis sebagai infark

miokard inferior. SIndrom WPW dapat berhubungan dengan prolaps katup mitral, penyakit
 jantung iskemik, stenosis
stenosis subaorta hipertofi, kardiomiop
kardiomiopati,
ati, ‘sick’ sinus syndrome,
syndrome, demam
rematik, anomaly Eibstein, koarktasio aorta, VSD atau ASD (Durham dan Worthley, 2002;
Blomström-Lundqvist et al ,2003).
,2003).

2.2.6 Penatalaksanaan SVT


BIla diagnosis SVT tidak bisa ditegakkan, pasien harus diperlakukan sebagai pasien
takikardia ventrikel (VT). Obat-obatan untuk SVT (verapamil atau diltiazem) dapat
menyebabkan hemodinamik tak stabil pada pasien VT, maka tidak dipakai terlebih dahulu, pada
pasien-pasien ini diberikan adenosine dengan monitoring ketat. Hal ini disebabkan adenosine
 

dapat mencetuskanfibrilasi ventrikel pada pasien dengan penyakit arteri koroner dan
mencetuskan fibrilasi atrium pada pasien dengan pre-eksitasi.

Gambar. Penanganan untuk Pasien Aritmia


(DIkutip dari Blomström-Lundqvist et al.,2003)
al.,2003)

1. Non farmakologi:
farmakologi :
Penatalaksanaan awal untuk PSVT adalah melaksanakan maneuver vagal, yaitu
serangkaian kegiatan memijat sinus karotis, batuk, menstimulus rasa dingin ke wajah, straining.
straining.  
 

 Adanya bruit pada karotis harus dievaluasi


dievaluasi sebelum melakukan maneuver
maneuver ini (terutama pada
orang tua). Efek peningkatan tonus vagal adalah memperpanjang waktu refrakter dari titik awal
blok AV, sehingga menghentikan takikardia, efek jangka pendeknya adalah blok AV sementara.
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain fibrilasi ventrikel, hemiplegia, hematoma serviko-
mediastinal. Komplikasi dari straning adalah hipotensi (Kartika dan Lefi, 2015).
2. Farmakologi
Obat-obatan anti artimia harus dimasukkan secara intravena untuk pasien artimia
dengan hemodinamik stabil. Pada kasus kompleks QRS sempit dan reguler dapat
dipertimbangkan pemberian adenosin. Adenosin merupakan obat utama pada PSVT, tetapi
tidak dapat menghentikan fibrilasi atrium, atrial flutter atau takikardia ventrikel. Di Indonesia,
sediaan yang tersedia adalah ATP. Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat
kronotropik negatif, dromotropik, dan inotropik. Obat ini akan menyebabkan blok segera pada
nodus AV sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme re-entri. Adenosin mempunyai
efek yang minimal terhadap kontraktilitas jantung. Keuntungan adenosine dibandingkan dengan

obat golongan penyekat beta atau penyekat kalsium karena onsetnya yang cepat dan waktu
paruhnya yang pendek, namun efek sampingnya menyebabkan sensasi flushing pada pasien.
Segera setelah adenosin dibolus, diberikan bolus normal saline sebanyak 20 cc sembari
lengan diangkat selama 10-12 detik. Dosis adenosin pertama adalah 6 mg (10 mg ATP), dapat
diulang setelah 1-2 menit setelah pemberian pertama dengan dosis 12 mg (20 mg ATP).
Selanjutnya dapat diulang sekali lagi dengan dosis 12 mg (20 mg ATP).
Obat lain yang dapat diberikan untuk mengontrol kecepatan denyut jantung adalah
pemberian golongan beta blocker   dan calcium channel blocker (CCB) melalui intravena. Beta
blocker  IV
  IV yang tersedia di Indonesia adalah metoprolol. Dosis loading yang diberikan adalah 5

mg secara lambat kemudian dapat diulang 5 menit kemudian hingga total dosis 15 mg.
Sementara itu, CCB yang menjadi pilihan adalah diltiazem. Dosis loadingnya
Dosis  loadingnya adalah
 adalah 15-20 mg,
bolus secara intravena selama lebih dari 2 menit. Dapat diulangi 15 menit kemudian dengan
dosis 20-25 mg selama lebih dari 2 menit. Dosis pemeliharaannya 5-15 mg/jam dititrasi sesuai
denyut nadi. Diltiazem diencerkan cengan dekstrose 5% atau normal saline.
3. Alat elektrik
Kardioversi
Kardioversi tersinkronisasi
tersinkronisasi (synchronized cardioversion)
cardioversion) segera dilakukan pada pasien-
pasien takikardia dengan hemodinamik tak stabil (AHA, 2009). Efek samping yang tidak
diharapkan dari tindakan kardioversi tersinkronisasi adalah fibrilasi
fibrila si ventrikel maka informed
consent   harus diberikan pada keluarga pasien dan alat resusitasi harus tersedia.
Pertimbangkan sedasi pada pasien yang masih sadar. Sedasi dapat menggunakan midazolam
 

dosis 0.5-1 mg intravena, diberikan selama 2 menit. Rekomendasi dosis inisial kardioversi
adalah sebagai berikut.
  QRS sempit dan teratur : 50 J sebagai dosis awal, dapat dinaikkan menjadi 100 J
  QRS sempit tidak teratur: 120-200 J bifasik atau 200 J monofasik. Kardioversi pada
fibrilasi atrium, terutama jika sudah terjadi lebih dari 48 jam karena dapat menyebabkan
lepasnya trombus
  QRS lebar dan teratur (contoh: VT) : 100 J
  QRS lebar tidak teratur : dosis defibrilasi unsynchronized  
Kardioversi tersinkronisasi dilakukan dengan meletakkan  paddle
 paddle   pada posisi
anterolateral atau anteroposterior. Pada posisi anterolateral,  paddle diletakkan pada garis
sternal kanan setinggi ICS II-III dan pada garis mid-aksiler kiri setingi ICS IV-V. Sedangkan
pada posisi anteroposterior,  paddle diletakkan pada garis sternal kanan setinggi ICS II-III dan
pada titik di antara skapula kiri dan vertebrae. Posisi ini lebih disukai untuk pasien fibrilasi
fibrilas i
atrium dan pasien dengan alat pacu jantung implant. Setelah melakukan shock , segera cek nadi

dan monitor untuk memastikan apakah irama sudah menjadi normal, masih sama atau justru
menjadi fibrilasi ventrikel. Jika irama masih sama, dosis dapat dinaikan secara bertahap.
Defibrilasi unsynchronized   dilakukan apabila irama berubah menjadi takikardia ventrikel (VT)
tanpa nadi atau fibrilasi ventrikel (VF). Jika terjadi henti jantung, segera lakukan RJP.
Selain kardioversi tersinkronisas, dapat dilakukan ablasi kateter, yaitu teknik yang
didesain untuk memodifikasi atau menghilangkan konduksi jalur cepat dengan menggunakan
kateter secara perkutan. Energi diberikan pada region apeks dari segitiga Koch sepanjang
bagian superior dari annulus trikuspid. Dalam penanganan aritmia, jangan lupa untuk
mengevaluasi perubahan ritme, frekuensi dan durasi dari takidisritmia dengan menggunakan

monitor holter, serta melihat adanya ritme aberans. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan
apabila ditemukan penyakit katup atau struktural jantung, dan juga sebagai dasar pertimbangan
intervensi bedah. Untuk pemeliiharaan selanjutnya, apabila ditemukan pre eksitasi atau ritme
aberans, hendaknya dilakukan pemeriksaan tes latihan fisik bertingkat (Kartika dan Lefi, 2015).

2.2.7 Komplikasi SVT


Keterlambatan dalam menegakkan diagnosis dan memberikan terapi akan
memperburuk prognosis karena takidisritmia tidak terkontrol dapat menghasilkan gagal jantung,
iskemia miokard, atau berubah bentuk menjadi fibrilasi ventrikel. Laju atrium dan ventrikel
abnormal yang tidak dapat ditoleransi (biasanya selama 24-36 jam) dapat menghasilkan
 

komplikasi berupa edema paru, hipotensi, dan lama kelamaan dapat terjadi syok kardiogenik
(Wang dan Estes, 2002).

2.3 Syok Kardiogenik


2.3.1 Definisi Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan suatu sindroma klinis yang disebabkan oleh kegagalan
ventrikel kiri (sebagai pompa jantung) yang ditandai dengan hipoperfusi jaringan secara
sistemik, yakni terganggunya distribusi oksigen dan zat-zat gizi serta pembuangan sisa-sisa
metabolit pada tingkat jaringan (Kaligis, 2002; Ethan, 2008). Syok kardiogenik (Harrison, 2008;
Rosen’s, 2006) adalah hipotensi (TD sistolik <90 mmHg) dengan peningkatan PCW (>20
mmHg) yang disertai dengan hipoperfusi organ akhir, sebagai buktinya dapat ditemukan oliguria
(<20mL/jam atau <0.5mL/kgBB/jam), vasokonstriksi perifer, sensorium terganggu, dan asidosis
metabolik. Sedangkan menurut PAPDI (2009) ciri khas dari syok kardiogenik adalah tekanan
darah sistolik yang rendah (tekanan darah sistolik <90mmHg, atau penurunan dari tekanan

arteriol rata-rata (mean


(mean arterial pressure 
pressure  >30mmHg), disertai tidak adanya produksi urin, atau
berkurang (<0,5ml/kg/jam).
Syok kardiogenik terjadi sebagai konsekuensi dari menurunnya curah jantung ( cardiac
output ) yang tidak merespon pada pengembalian preload yang adekuat, sehingga tidak cukup
untuk mempertahankan organ-organ vital tubuh dan menyebabkan hipoksia jaringan. Tiga
komponen utama syok kardiogenik, yaitu: gangguan fungsi ventrikel, bukti kegagalan organ
akibat berkurangnya perfusi jaringan, tidak adanya hipovolemi atau sebab-sebab lainnya.
Tanda hipoperfusi jaringan dan kongesti paru timbul dalam waktu cepat. Selain itu, gangguan
irama jantung sering ditemuka bersamaan dengan syok kardiogenik. (Keller, 2011; Mansjoer

dkk., 199; Ethan, 2008; PAPDI, 2009).

2.3.2 Patofisiologi
Syok kardiogenik terjadi akibat penurunan kontraktilitas miokardium, misalnya akibat
iskemia atau infark, sehingga terjadi pula penurunan curah jantung dan tekanan arteri. Infark
dan atau iskemia miokardium mengganggu perfusi koroner sedangkan penurunan curah
 jantung akan mengganggu
mengganggu perfusi sistemik. Dengan adanya penurunan
penurunan tekanan arteri dan
perfusi sistemik seharusnya terjadi mekanisme kompensasi dengan merangsang baroreseptor
(di aorta dan sinus karotikus) untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan vasokonstriksi,
kontraktilitas jantung akan terus meningkat sesuai dengan hukum Starling melalui retensi
natrium dan air. Pada kasus infark miokardium proses ini dihambat. Pelepasan sitokin inflamasi
 

berupa nitrit oksida (NO) menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah koroner, sedangkan
pelepasan IL-6 dan TNF-α
TNF-α menyebabkan vasodilatasi di perifer. Respon vasodilatasi akan
semakin menurunkan perfusi sistemik dan koroner (Rosen’s, 2006; Dimas dkk 2003). 
2003).  
Secara skematis, patofisiologi disfungsi miokardium tersebut merupakan akumulasi
akibat disfungsi sistolik dan diastolik miokardium. Pada disfungsi sistolik terjadi penurunan isi
sekuncup dan curah jantung yang berdampak langsung pada penurunan perfusi sistemik.
Penurunan curah jantung juga menurunkan perfusi arteri koroner sehingga terjadi iskemia dan
kerusakan miokardium menjadi semakin progresif. Respon vasodilatasi, seperti yang telah
disebutkan di atas, akan semakin menurunkan perfusi sistemik dan koroner. Karena aliran
darah koroner tidak memadai, maka ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen
miokardium semakin meningkat. Gangguan miokardium lebih lanjut juga terjadi akibat iskemia
dan nekrosis fokal, yang akan memperberat lingkaran setan dari kerusakan miokardium.
Disfungsi diastolik berdampak pada peningkatan diastolik akhir (end
( end diastolic ) di ventrikel kiri
dan kongesti paru. Kondisi edema paru akan mempercepat hipoksia jaringan, yang lebih lanjut

akan memperburuk fungsi miokardium hingga terjadi kematian (Rosen’s, 2006; Dimas dkk
2003).
Pengaruh sistemik dari syok akhirnya akan membuat syok menjadi irreversibel.
Beberapa organ terserang lebih cepat dan berat daripada yang lain. Seperti telah diketahui,
miokardium akan menderita kerusakan yang paling dini pada keadaan syok. Karena
metabolisme anaerobik dimulai pada keadaan syok, maka miokardium tidak dapat
mempertahankan cadangan fosfat berenergi tinggi (adenosin trifosfat / ATP) dalam kadar
normal, sehingga semakin menurunkan kemampuan kontraktilitas ventrikel. Hipoksia dan
asidosis menghambat pembentukan energi dan mendorong terjadinya kerusakan lebih lanjut

dari sel-sel miokardium. Kedua faktor ini juga menggeser kurva fungsi ventrikel kebawah dan ke
kanan yang akan semakin menekan kontraktilitas otot jantung Dengan bertambah buruknya
kerja ventrikel kiri, keadaan syok berkembang dengan cepat sampai akhirnya terjadi gangguan
sirkulasi hebat yang mengganggu sistem organ-organ penting (terjadi hipoperfusi organ akhir)
(Dimas dkk., 2003).

2.3.3 Etiologi
Syok kardiogenik paling sering terjadi akibat komplikasi infark miokardium akut (IMA),
sekaligus menjadi penyebab kematian utama pada IMA (5-8% total kasus IMA). Beberapa
etiologi tersering lainnya adalah ruptur jaringan jantung (ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
bebas, serta ruptur otot papillaris), obat-obatan yang mendepresi jantung (misalkan atropine,
 

katelolamin, kafein, dan hormon tiroid), takidisrtitmia, serta penyakit-penyakit yang


menyebabkan berkurangnya fungsi jantung antara lain kontusio miokard, tamponade jantung,
pneumotoraks tension, dan luka tembus jantung. (PAPDI, 2009; Azrifki, 2008; Aru, 2006).
Pasien yang termasuk dalam kelompok berisiko antara lain dengan infark luas, riwayat
infark sebelumnya, fraksi ejeksi jantung rendah (<35%), usia tua dan diabetes mellitus.
Meskipun dapat menyingkirkan beberapa diagnosis banding (contohnya syok sepsis, syok
anafilaksis, krisis adrenal, dan syok hipovolemik) penyebab syok lain dengan presentasi klinis
serupa juga harus dipikirkan, misalnya diseksi aorta, emboli paru, tamponade perikardium, dan
ruptur dinding ventrikel bebas yang menyertai infark miokard akut (Rosen’s
(Rosen ’s,, 2006).

2.3.4 Diagnosis
Syok kardiogenik dapat didiagnosa dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yang adekuat. Manifestasi klinis berbeda sesuai etiologi yang
mendasari. Pasien dapat mengeluhkan nyeri dada, sesak napas, hingga perubahan status

mental seperti somnolens, kebingungan, atau agitasi. Dari pemeriksaan fisik didapat adanya
tanda-tanda syok seperti gangguan sirkulasi perifer (pucat, ekstremitas dingin, nadi cepat dan
halus), hipotensi (TD sistolik <90 mmHg), pernapasan Cheyne-Stokes, distensi vena jugular,
seringkali vena perifer sudah kolaps. Pda auskultasi jantung dapat terdengar S3 gallop,
dan/atau murmur sistolik pada kasus regurgitasi mitral berat dan ruptur septum ventrikel serta
bunyi ronki pada kasus gagal ventrikel kiri. Pemeriksan penunjang yang disarankan adalah
bedside echocardiography dan monitoring adanya hipotensi sistemik, cardiac output yang
rendah, peningkatan tekanan saat pengisian, dan peningkatan resistensi vaskuler sistemik. Dari
pemeriksaan penunjang tersebut misalkan hasil elektrokardiogram (EKG) menunjukkan infark

miokard luas dan gangguan irama jantung, hasil ekokardiografi menunjukkan adanya emboli
paru, tamponade jantung, maupun kelainan katup jantung. Kriteria hemodinamik yang
menegakkan syok kardiogenik ialah:
1. Penurunan curah jantung (<2.2 L/menit/m 2)
2. Hipotensi sistolik arteri (<90 mmHg), atau mean arterial pressure (MAP)
pressure (MAP) berkurang lebih
dari 30 mmHg nilai normal.
3. Peningkatan tekanan diastolik-akh
dias tolik-akhir
ir ventrikel kiri
k iri ( pulmonary
 pulmonary capillary wedge
 pressure/PCWP
 pressure/PCWP >18 mmHg), atau tekanan diastolik-akhir ventrikel kanan >10-15 mmHg
(Lily, 2003; Azrifki, 2008; Rosen’s, 2006).
2006).

2.3.5 Penatalaksanaan
 

Prinsip penanganan syok kardiogenik menurut AHA (2014) ialah perbaikan frekuensi
 jantung dan volume intravaskular;
intravaskular; mengoreksi penyulit, seperti hipoksia,
hipoksia, hipoglikemia
hipoglikemia dan
keracunan obat; perbaiki kontraksi jantung, baik dengan medikamentosa, alat bantu mekanik
ataupun pembedahan. Manajemen syok kardiogenik antara lain sebagai berikut:
1. Pastikan airway   dan breathing   stabil, posisikan pasien dalam keadaaan setengah
duduk, pasang akses vena dan kateter urin, berikan O 2 2-8 lpm melalui nasal kanul atau
masker oksigen.
2. Pasang kateter arteri
arteri pulmonalis (Swan-Ganz) untuk melihat tekanan pengisian dan
curah jantung, terutama untuk pasien hipotensi berat. Alternatif yang dapat dipakai ialah
dopler ekokardiografi. Bila etiologi syok masih diragukan (antara kardiogenik atau
hipovolemik) dapat dilakukan fluid challenge test   dengan memberikan 500mL cairan
Ringer Laktat dalam 10 menit. Evaluasi perfusi jaringan kembali, apabila tidak
ditemukan perbaikan maka kemungkinan sedang terjadi syok hipovolemik.
3. Terapi medikamentosa dengan pemberian inotropik dan vasopresor. Kombinasi

dopamine dan dobutamine (inotropik dan kronotropik) merupakan strategi terapeutik


yang efektif untuk syok kardiogenik.Dosis dopamine yang dianjurkan adalah dosis 5-l5
ug/kgBB/menit, sedangkan dobutamine diberikan dalam dosis 2,5-10 ug/kgBB/menit.
 Apabila terjadi hipotensi berat (TD sistolik < 70mmHg), diberikan norepinefrin
norepinefrin dengan
dosis 2-20 ug/kgBB/menit. Hal yang harus diperhatikan adalah menghindari
penggunaan inotropik negatif dan vasodilator (seperti nitrogliserin) pada kasus
syok.Tambahan terapi lainnya ditujukan untuk penatalaksanaan penyakit komorbid atau
penyulit, dan juga untuk mengatasi keluhan pasien. Berikut ini adalah tambahan terapi
farmakologi pada pasien syok kardiogenik:

a. Diuretik/furosemid
Diuretik/f urosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan oksigenasi jaringan.
b. Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri.
c. Sulfas atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit.
d. Digitalis, bila
bila ada fibrilasi atrium atau takikardi supraventrikel.
supraventrikel.
e. Anti ansietas, bila cemas.
4. Bila tidak ditemukan tanda perbaikan, pertimbangkan intervensi mekanik dengan intra-
aortic balloon counterpulsation (IABP).
(IABP). Balon pada IABP akan mengembang pada fase
diastolik sehingga menyebabkan perfusi ke koroner meningkat secara retrograde
retrograde..
Sebaliknya, pada fase sistolik balon akan mengempis melalui efek vakum pada balon
untuk mengurangi afterload .
 

5. Pada kasus syok


syok disertai infark miokardium,
miokardium, pertimbangkan
pertimbangkan reperfusi dengan
dengan fibrinolitik,
fibrinolitik,
 percutaneous
 percutaneous coronary
coronary interventions
interventions (PCI)
(PCI)  atau coronary-artery bypass grafting (CABG).
Revaskularisasi segera dengan PCI atau CABG direkomendasikan pada pasien <75
tahun dengan STEMI atau LBBB yang mengalami syok dalam 36 jam IMA,
revaskularisasi idealnya dikerjakan dalam l8 jam setelah onset syok. Terapi fibrinolitik
biasanya tidak menurunkan angka kematian pada syok kardiogenik.
 

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. M
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
 Alamat : Blimbing, L
Lamongan
amongan
Pekerjaan : Wiraswasta
 Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
Pendidikan terakhir : SD
Rekam Medis : 05-13-XX
MRS : 31 Juli 2016 
2016 

3.2  Anamnesis (autoanamnesis)
3.2
Keluhan Utama: Dada berdebar-debar
Riwayat Penyakit Sekarang (RPS):
Pasien datang bersama anaknya dengan keluhan dada berdebar-debar sejak 3 jam
sebelum masuk rumah sakit, bahu kiri terasa kemeng, namun punggung tidak terasa kemeng.
Pasienmerasakan sesak yang timbul sejak dadanya berdebar-debar, pasien menyangkal
adanya nyeri dada maupun rasa panas di dada. Seluruh badan dirasakan lemas dan timbul
keringat dingin. Sebelum jatuh sakit, pasien mengaku nafsu makan dan minum baik, makan

teratur tiga kali sehari. Pasien mengaku terkadang sulit tidur di malam hari, belakangan ini
pasien sedang mmemikirkan masalah yang dialami adik kandungnya. Pasien mengaku BAK
 jernih dan BAB lancar. Keluhan dada berdebar-debar
berdebar-debar ini sudah pernah dialami beberapa kali
sebelumnya oleh pasien dan sempat dirawat beberapa kali di RS. Keluhan ini tidak dipengaruhi
oleh aktivitas fisik.
Pasien mengakui sudah lama merasakan sering cepat lelah bila berjalan jauh (≥ 500 m),
namun pasien tidak pernah mengalami batuk dalam jangka waktu lama, sesak saat malam hari,
maupun bengkak di kedua kaki. Pasien dapat tidur nyenyak dengan menggunakan satu bantal.
Riwayat Pengobatan (RPO):
Pasien belum pernah ke dokter untuk keluhannya sekarang
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD):
 

Pasien pernah dirawat beberapa kali di beberapa rumah sakit sebelumnya dengan
keluhan yang sama (dada berdebar-debar). Pasien pernah dirawat di RS Medika 2 tahun yang
lalu, kemudian dirawat di ruang HCU di RSUD dr. R. koesma dan yang terakhir pasien juga
dirawat di ruang HCU di RS Muhammadiyah Lamongan 3 bulan yang lalu.
Pasien didiagnosis diabetes mellitus sejak 15 tahun yang lalu, pasien mengaku rutin
kontrol ke puskesmas terdekat, biasanya pasien minum obat glimepirid 1x1 mg dan metformin
3x500mg (hasil GDS bulan lalu: 295 mg/dL). Pasien juga memiliki penyakit jantung koroner dan
hiperkolesterolemia. Riwayat hipertensi, stroke, hiperurisemia, kelainan hati, kelainan ginjal
maupun sakit lainnya disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga (RPK):
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat

diabetes mellitus, asma, batuk-batuk lama, hipertensi, kelainan jantung dan keganasan dalam

keluarga disangkal oleh pasien.

Riwayat Sosial:
Pasien tinggal bersama dengan suami dan satu anaknya, suami sudah tidak bekerja,
dulu bekerja sebagai nelayan dan perokok aktif. Karena lokasi mata pencaharian pasien di
pinggir jalan raya, maka pasien sering kontak dengan debu dan asap. Pasien makan dengan
teratur dua sampai tiga kali sehari, menyukai makanan yang digoreng, makan buah dan sayur
dalam porsi makan hariannya. Pasien sehari-hari bekerja sebagai penjual lontong sayur dan
wingko di pinggir jalan depan rumah, kegiatan sehari-hari
sehari- hari lainnya memasak dan
membersihkan rumah.

3.3 Pemeriksaan Fisik 


Fisik 
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : 456
Tanda vital : Tekanan darah: 90/60 mmHg
Nadi: 160 x/menit
Respirasi: 28 x/menit
Suhu: 36,0 °C
Status Generalis
1. Kulit: Warna : sawo matang, tidak pucat, tidak ikterik tidak sianosis tidak ada ruam dan tidak

terdapat hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi


 

  Lesi : tidak
tidak terdapat lesi primer seperti makula, papul vesikuler, pustul maupun lesi
sekunder seperti jaringan parut atau keloid pada bagin tubuh yang lain.
Rambut : tumbuh rambut permukaan kulit merata
2. Mata: Bentuk : normal, kedudukan bola mata simetris.
Palpebra : normal, tidak terdapat ptosis, lagoftalmus, oedema, perdarahan,
blefaritis, maupun xanthelasma.
Gerakan : normal, tidak terdapat strabismus, nistagmus.
Konjungtiva : tidak anemis.
Sklera : tidak ikterik.
Pupil : bulat, didapatkan isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya langsung
positif pada mata kanan dan kiri, refleks cahaya tidak langsung positif
pada mata kanan dan kiri.
Eksoftalmus : tidak ditemukan.
Endoftalmus : tidak ditemukan.

3. Telinga: Bentuk : normotia


Liang telinga : lapang
Discharge : (-)
4. Hidung: nafas cuping hidung (-), discharge (-)
Bagian luar : normal, tidak terdapat deformitas
5. Mulut dan tenggorok: Bibir : normal, tidak pucat, tidak sianosis
Mukosa mulut : normal, tidak hiperemis
Lidah : normoglosia, tidak tremor, tidak kotor
Tonsil : ukuran T1/T1, tenang, tidak hiperemis

Faring : tidak hiperemis, arcus faring simetris,


simetris , uvula di tengah
6. Leher: Bendungan vena : tidak ada bendungan vena
Kelenjar tiroid : tidak membesar, mengikuti gerakan, simetris
Trakea : di tengah
7. Kelenjar getah bening
Leher : tidak terdapat pembesaran di KGB leher
 Aksila : tidak terdapat
terdapat pembesaran
pembesaran di
di KGB aksila
aksila
Inguinal : tidak terdapat pembesaran di KGB inguinal
8. Thoraks
Paru-paru: Inspeksi : simetris, tidak ada hemithoraks yang tertinggal pada saat statis dan
dinamis
 

Palpasi : gerak simetris


simetris vocal
vocal fremitus sama kuat pada kedua
kedua hemithoraks
hemithoraks
Perkusi : sonor pada kedua hemithoraks
 Auskultasi : suara nafas vesikuler, tidak terdengar
terdengar ronkhi maupun wheezing
wheezing
pada kedua lapang paru
Jantung Inspeksi : tidak tampak pulsasi ictus cordis
Palpasi : terdapat pulsasi iktus kordis pada ICS V, di linea midklavikularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan : ICS III - V , linea sternalis dextra
Batas jantung
jantung kiri : ICS V , linea midklavikularis
midklavikularis sinistra
 Auskultasi : bunyi jantung
jantung I, II single ireguler,
ireguler, tidak terdengar
terdengar gallop,
gallop, terdengar
terdengar
bunyi murmur mid-diastolik pada ICS II linea sternalis dextra dengan intensitas
rendah
9. Abdomen
Inspeksi : abdomen simetris, datar, tidak terdapat striae dan kelainan kulit, tidak

terdapat pelebaran vena


Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan, maupun nyeri lepas
Perkusi : timpani pada keempat kuadran abdomen, tidak ada nyeri ketok CVA.
 Auskultasi : bising usus
usus positif
positif normal
10. Ekstremitas: Tidak tampak deformitas maupun sianosis
 Akral dingin pada keempat ekstremitas,
ekstremitas, Capillary Refill Time 
Time  2”
2”   pada keempat
ekstremitas, serta didapatkan oedema pada kedua tungkai bawah.

3.4 Pemeriksaan Penunjang

3.4.1 Hasil pemeriksaan darah


31 Juli 2016
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Hematologi Rutin
Hemoglobin 13,19 g/dl 14
14 –
 – 18
 18 g/dl
Hematokrit 42,9 % 43
43 –
 – 51
 51 %
Eritrositt
Eritrosi 5,120 juta / µL 4,5 –
4,5 – 5,5
 5,5 juta / µL
Leukosit 10.500 /µL 5000 –
5000 – 11.000
 11.000 /µL
Trombosit 136.000 /mm 150.000
150.000 –
 – 400.000
 400.000 /mm
Hati
SGOT 21 37 U/L
 

SGPT 20 42 U/L
Ginjal
BUN 11 6-20 mg/dl
Kreatinin serum 0,89 0,6-1,1 mg/dl
Glukosa
Gula darah sewaktu 273 mg% 140 mg%
Elekrolit
CK-MB 49 <16 U/L

03 Agustus 2016
Faal Hemostasis
 APTT 35,9 27,4-39,3
PPT 12,1 11,3-14,7

3.4.2 Hasil EKG

Sinus Takikardia dengan interval R-R reguler, HR 160 x/ menit

Frontal Axis :normal


 

Horizontal axis : normal


PR interval : 0,08 detik
QRS complex : 0,08 detik
QT interval : 0,24 detik
Terdapat depresi segmen ST di lead I, II, III, aVF, dan V1-V6
Kesimpulan : NSTEMI + Supraventrikular Takikardia
Takikardi a (SVT) dengan HR 160x/menit

Hasil EKG (pasca pemberian amiodarone):

Sinus Takikardia dengan interval R-R reguler, HR 152 x/ menit


Frontal Axis :normal
Horizontal axis : normal
PR interval : 0,12 detik
QRS complex : 0,08 detik
QT interval : 0,32 detik
Terdapat depresi segmen ST di lead I, II, aVF, dan V3-V6. Terdapat gelombang T inversi pada
lead II, III, dan aVF.
Kesimpulan : NSTEMI + Supraventrikular Takikardia
Takikardi a (SVT) dengan HR 152x/menit
 

 
3.4.3 Hasil Echocardiography
Kesimpulan hasilnya adalah sebagai berikut:
  Katup-katup tampak flow AR

  DImensi ruang jantung normal


  Fungsi sistolik LV menurun, EF by Teich 52,93%. Fungsi sistolik RV normal. Fungsi


diastolik LV normal.
  Analisa segmental: LV mild hipokinetik inferior B-M-A

  Tidak terdapat LVH


3.5 Diagnosis Kerja


NSTEMI + SVT + Syok Kardiogenik

3.6 Diagnosis Banding

-  STEMI
-  Syok hipovolemik
-  Takidisritmia

3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal di IGD:
- O2 nasal canule 3 lpm
- Drip dobutamine 1 Amp dalam NaCl 0.9% 100 cc  6 tpm
- Drip amiodarone 150mg
150mg dalam NaCl 0.9% 100 cc (habis dalam 30 menit)

- Inj ranitidin 2 x 50 mg IV
- Maneuver vagal 
vagal 
- Inj furosemide 2 Amp IV (setelah drip dobutamine habis)
- Pindah HCU
Planning diagnosis di IGD:
Darah rutin, GDS, kreatinin, BUN, SGOT/SGPT, CKMB, EKG (pasca pemberian amiodarone)
Planning monitoring di IGD:
Keadaan umum (KU), tanda-tanda vital, EKG
Sekitar 20 menit setelah pindah ke HCU (jam 21.00), pasien terlihat makin lemah,

tekanan pasien turun menjadi 70/51, dengan nadi 155x/menit, laju pernapasan 30x/menit, akral
pasien tetap dingin walaupun sudah dilakukan penambahan cairan sebelumnya di IGD, maka
 

diputuskan untuk melakukan kardioversi tersinkronisasi sebesar 50 J oleh dr. Fani Suslina,
Sp.JP, FIHA . KU dan TTV pasien membaik setelah dilakukan kardioversi (tekanan darah
menjadi 85/60, nadi 98x/menit, laju pernapasan 28x/menit). EKG pasca kardioversi
menunjukkan old myocard infarct (OMI) inferior, irama jantung sudah kembali menjadi ritme
sinus.
Penatalaksanaan awal di HCU:
- Drip amiodarone 300mg dalam NaCl 0.9% 100 cc selama 6 jam, dilanjutkan dengan drip
amiodarone 600mg dalam NaCl 0.9% 100 cc selama 18 jam
- Syringe pump dobutamine 5 µg/kgBB/menit
Planning diagnosis di HCU: Echocardiography
Planning monitoring di HCU: Keadaan umum (KU), tanda-tanda vital, EKG, urine output

Planning Edukasi:
-  Menjelaskan kepada penderita dan keluarga tentang penyakit yang diderita oleh pasien,

gejala klinis, faktor pencetus, patofisiologi dan prognosis penyakit, serta mengenai
pemeriksaan yang akan dilakukan dan penatalaksanaan pasien.
-  Menjelaskan untuk menghindari stressor dan pekerjaan fisik yang sedang sampai berat
untuk sementara waktu ini.
-  Menjelasakan untuk kontrol tepat waktu setelah KRS.

3.8 Follow Up

Tanggal Keadaan Klinis Planning

31/07/ S: dada berdebar-debar (membaik), R/


2016 sesak (membaik), lemas, keringat -  Loading aspilet 4 tab (320 mg)
(HCU) dingin -  Loading clopidogrel 4 tab (300 mg)
Post O: - Drip amiodarone 300mg dalam NaCl 0.9%
kardio- KU : komposmentis 100 cc selama 6 jam, dilanjutkan dengan
versi TV : TD : 85/60 mmHg drip amiodarone 600mg dalam NaCl 0.9%
N : 98x/menit 100 cc selama 18 jam
RR : 28x/menit - Syringe pump dobutamine 5 µg/kgBB/menit
Tax : 36,3oC -  Inj. arixtra 2,5 mg-0-0 SC
Tho: rhonki (-), murmur diastolik (+) -  Rosufer tab 0 -0 -20 mg
pada ICS II SL dextra -  ISDN tab 3 x 5 mg jika TD sistolik >100
Ext: Akral hangat +/+
+/+ CRT<2” 
CRT<2”  mmHg
-/- -  Lisinopril tab 2,5 mg jika TD sistolik >100
Edema tungkai +/+ mmHg
Hasil EKG: Iskemia lateral tinggi -  Inj. Ranitidine 2 x 50 mg IV
Urine tampung: 100cc, kuning pekat -  Alprazolam tab 0 -0 -0.5 mg
-  Syr. Laxadine 3 x C I
 

 
Planning monitoring:
KU, TTV, EKG, 
EKG, urine output

01/08/ S: dada berdebar-debar (membaik), R/


2016 sesak (-), lemas (membaik), -  Dobutamine stand by
(HCU) keringat dingin (-). Belum BAB. - Drip amiodarone 600mg dalam NaCl 0.9%
O: 100 cc selama 12 jam, jika habis diganti
KU : kompos mentis dengan amiodarone tab 3 x 200 mg
TV : TD : 110/63 mmHg -  Clopidogrel tab1 x 75 mg
N : 68x/menit -  Aspilet tab 1 x 80 mg
RR : 21x/menit -  Inj. arixtra 2,5 mg-0-0 SC
Tax : 36,2oC -  Rosufer tab 0 -0 -20 mg
Tho: rhonki (-), murmur diastolik (+) -  ISDN tab 3 x 5 mg jika TD sistolik >100
pada ICS II SL dextra mmHg
Ext: Akral hangat +/+ CRT<2” 
CRT<2”   -  Lisinopril tab 2,5
2,5 mg jika TD sistolik >100
+/+ mmHg
Edema tungkai +/+ (ringan) -  Inj. Ranitidine 2 x 50 mg IV
Urine tampung: 200cc, kuning jernih -  Alprazolam tab 0 -0 -0.5 mg
-  Syr. Laxadine 3 x C II

Planning monitoring:
KU, TTV, EKG, urine output
02/08/ S: Lemas (membaik), belum BAB. R/
2016 O: -  Inf. NaCl 0,9% 500cc/24 jam
(HCU) KU : kompos mentis - Amiodarone tab 3 x 200 mg
 jam TV : TD : 150/70 mmHg -  Clopidogrel tab 1 x 75 mg
08.00 N : 76x/menit -  Aspilet tab 1 x 80 mg
RR : 20x/menit -  Inj. arixtra 2,5 mg-0-0 SC
Tax : 36,1oC -  Rosufer tab 0 -0 -20 mg
Tho: rhonki (-), murmur diastolik (+) -  Lisinopril
Lis inopril tab 5 mg-0-0
pada ICS II SL dextra -  ISDN tab 2 x 5 mg
Ext: Akral hangat +/+ CRT<2” 
CRT<2”   -  Inj. Ranitidine 2 x 50 mg IV
-
+/++/+ (ringan)
Edema tungkai -   Alprazolam
Syr. Laxadinetab30x -0
C -0.5
II mg
Urine tampung: 250cc, kuning jernih -  Glimepirid
Glimepiri d tab 3 mg-0-0
GDP: 146 mg/dL -  ACC pindah ruangan

Planning diagnosa:
GD2PP besok

Planning monitoring:
KU, TTV, EKG, urine output

Pada jam 23.00,inj. arixtra diganti dengan inj.


heparin bolus IV 60 iu/kgBB  dilanjutkan
dengan Drip Heparin 12 iu/kgBB/menit
(15 cc/jam)
 

03/08/ S: Belum BAB R/


2016 O: -  Inf. NaCl 0,9% 500cc/24 jam
KU : kompos mentis - Amiodarone tab 3 x 200 mg
TV : TD : 130/65 mmHg -  Clopidogrel tab 1 x 75 mg
N : 80x/menit -  Aspilet tab 1 x 80 mg
RR : 20x/menit -  Drip Heparin 15cc/jam
Tax : 36,0oC -  Rosufer tab 0 -0 -20 mg
Tho: rhonki (-), murmur diastolik (+) --   Lisinopril
Lis inopril tab 5 mg-0-0
pada ICS II SL dextra ISDN tab 2 x 5 mg
Ext: Akral hangat +/+ CRT<2” 
CRT<2”  -  Inj. Ranitidine 2 x 50 mg IV
+/+ -  Alprazolam tab 0 -0 -0.5 mg
Edema tungkai +/+ (ringan) -  Syr. Laxadine 3 x C II
Urine tampung: 700 cc, kuning jernih -  Glimepirid
Glimepiri d tab 3 mg-0-0  diganti menjadi
GD2PP: 175 mg/dL Glikuidon 30 mg-0-0
-  Disolf 3x1 tab

Planning diagnosa:
PT dan APTT

Planning monitoring:
KU, TTV, EKG, urine output
04/08/ S: Tidak ada keluhan R/
2016 O:  ACC untuk
untuk KRS dengan
dengan pemberian
pemberian obat
obat oral:
KU : kompos mentis - Amiodarone tab 2 x 200 mg (selama 5 hari)
TV : TD : 140/70 mmHg -  Clopidogrel tab 1 x 75 mg
N : 99x/menit -  Aspilet tab 1 x 80 mg
RR : 21x/menit -  Rosufer tab 0 -0 -20 mg
o
Tax : 36,2 C -  Disolf 3x1 tab
Tho: rhonki (-), murmur diastolik (+) -  Lisinopril
Lis inopril tab 5 mg-0-0
pada ICS II SL dextra -  ISDN tab 2 x 5 mg
Ext: Akral hangat +/+ CRT<2”
CRT<2”   -  Alprazolam tab 0 -0 -0.5 mg
+/+ -  Glikuidon tab 2 x 30 mg
Edema tungkai -/-
Urine tampung: 400 cc, jernih KIE untuk kontrol tanggal 09/08/2016
PT: 12.1
 APTT: 35,9

3.9 Prognosis 
Prognosis 
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam 
malam 
 

BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang wanita berusia 60 tahun mengeluhkan dada berdebar-debar sejak 3 jam


sebelum masuk rumah sakit, bahu kiri terasa kemeng, didapatkan sesak, lemas seluruh badan
dan timbul keringat dingin. Pasien menyangkal adanya nyeri dada. Pasien mengaku keluhan
dada berdebar-debar ini sudah pernah dialami beberapa kali sebelumnya oleh pasien dan
sempat dirawat beberapa kali di rumah sakit. Keluhan ini tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik.
Pasien terkadang sulit tidur di malam hari, belakangan ini pasien sedang memikirkan masalah
yang dialami adik kandungnya. Pasien pernah dirawat tiga kali di beberapa rumah sakit
sebelumnya dengan keluhan yang sama (dada berdebar-debar). Pasien menyangkal adanya
keluarga dengan keluhan serupa maupun adanya keluarga yang memiliki penyakit jantung

koroner. Pasien didiagnosis diabetes mellitus sejak 15 tahun yang lalu. Pasien juga memiliki
penyakit jantung koroner dan hiperkolesterolemia. Pasien sehari-hari bekerja sebagai penjual
lontong sayur dan wingko di pinggir jalan depan rumah, kegiatan sehari-har
sehari-harii lainnya memasak
dan membersihkan rumah. Pasien menyukai makanan yang digoreng.
Dari anamnesa didapatkan keluhan palpitasi (dada berdebar-debar), keringat dingin,
dan rasa sesak, meskipun tidak didapatkan nyeri dada tipikal untuk sindroma koroner akut
(SKA) namun 20-30% pasien datang tanpa nyeri dada (silent IMA), terutama pada pasien
dengan dibetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien usia lanjut. Diagnosis SKA menjadi
lebih kuat apabila terdapat riwayat PJK sebelumnya, seperti yang ditemukan pada pasien. Usia

tua (usia pasien 60 tahun), riwayat dislipidemia, dan diabetes mellitus, dan diet tinggi lemak
 jenuh dan kolesterol (pasien menyukai makanan yang digoreng)
digoreng) merupakan faktor risiko SKA
pada pasien ini. Selain mengerucut pada SKA, keluhan palpitasi juga menandakan terjadinya
peningkatan ritme jantung, salah satu diagnosis tersering dari takkikardia adalah supraventrikel
takikardia
takikardi a (SVT). Faktor pencetus SVT antara lain konsumsi kafein, alcohol, perubahan
gerakan mendadak, stress, kelelahan dan aktivitas fisik berlebihan. Tanda klinis SVT klasik
ditandai dengan palpitasi cepat dalam onset yang mendadak, Pada pasien, kemungkinan
pemicu nya ialah stress yang berlebihan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan pasien lemah dan tampak sesak dengan
hipotensi (tekanan darah 90/60 mmHg) dengan nadi cepat (160 kali per menit) dan ireguler,
pasien sesak dengan laju pernapasan 28 kali per menit. Pada pemeriksaan auskultasi jantung
 

ditemukan murmur mid-diastolik pada ICS II linea sternalis dextra dengan intensitas rendah.
Pada pemeriksaan paru tidak didapatkan ronki maupun wheezing, hasil ini menyingkirkan
kemungkinan diagnosis banding edema paru ataupun penyakit paru lain yang menyebabkan
sesak seperti asma bronkiale. Kedua tungkai bawah pasien edema dengan akral dingin positif
di semua esktremitas dan CRT 2 detik. Sianosis tidak didapatkan pada anggota tubuh pasien.
Pada pasien tesebut ditemukan takikardia dan hipotensi, hal ini menunjukkan penurunan curah
 jantung yang kemungkinan
kemungkinan diakibatkan
diakibatkan oleh iskemia atau infark miokardium. Sebagai
konsekuensinya, maka perfusi ke sistemik terutama jaringan distal berkurang, namun tubuh
pasien gagal melakukan kompensasi ditandai dengan didapatkan akral dingin dan CRT lebih
lambat dari waktu normalnya, sehingga terjadi syok.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan peningkatan kadar gula
darah sewaktu (293 mg/dL) dan peningkatan enzim jantung (CK-MB) lebih dari 3 kali nilai
normal, yaitu 49 U/L. CK-MB dilepaskan ke aliran darah 2-4 jam setelah terjadinya iskemia
miokardium, maka peningkatan CK-MB menguatkan dugaan terjadinya iskemia miokard pada

pasien. Sedangkan kesimpulan EKG pasien adalah NSTEMI + Supraventrikular Takikardia


(SVT) dengan HR 160x/menit. Hasil echocardiography pasien menunjukkan fungsi sistolik
ventrikel kiri menurun, dengan fraksi ejeksi (LVEF by TEICH) sebesar 52,93%. Analisa
segmental katup didapatkan hipokinetik ringan segmen inferior B-M-A, serta tampak flow AR
pada katup-katup jantung. Pemeriksaan echocardiography ini menyingkirkan kemungkinan
kardiomiopati hipertrofik, diseksi aorta, miokarditis dan perikarditis.
Penanganan pasien harus dilakukan secara tepat dan cepat. Pasien datang sudah dalam
keadaan syok, bisa disebabkan oleh kegagalan fungsi sistolik dan diastolik jantung (syok
kardiogenik) atau kurang nya volume cairan dalam tubuh (syok hipovolemik). Namun pada

pasien ini didapatkan palpitasi dan keringat dingin, disertai peningkatan marka jantung berupa
CK-MB dan hasil EKG nya menunjukkan NSTEMI dengan SVT, maka kemungkinan besar
penyebab terjadinya syok adalah oleh sebab kardiogenik, maka penatalaksanaan yang
digunakan adalah untuk penderita syok kardiogenik dengan memastikan airway  paten
  paten dengan
memposisikan pasien setengah duduk, memberi oksigen supplemental melalui nasal canule,
meamasang akses intravena, serta dilakukan maneuver vagal. Setelah dilakukan maneuver
vagal, keadaaan pasien belum membaik maka diberikan medikamentosa berupa drip
dobutamine intravena dalam dosis 2,5-10 ug/kgBB/menit. Untuk mengatasi SVT maka diberikan
drip amiodarone dan dipertahankan selama 24 jam. Injeksi furosemide intravena diberikan
untuk mengatasi keluhan sesak dan edema tungkai. Karena ditemukan hemodinamik tidak
stabil disertai irama SVT menetap setelah pemberian drip amiodarone 1 ampule, maka
 

diputuskan melakukan kardioversi tersinkronisasi sebesar 50 J. EKG pasca kardioversi


menunjukkan old myocard infarct (OMI) inferior, irama jantung sudah kembali menjadi ritme
sinus.
Penanganan selanjutnya disesuaikan dengan tatalaksana NSTEMI untuk mengatasi
thrombus intra arteri yang terlibat, serta mengembalikan keseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen miokard, yaitu dengan strategi terapi anti-iskemia dengan pemberian nitrat berupa
ISDN tab, strategi anti platelet / anti agregasi trombosit dengan dual terapi aspirin oral
oral dan
clopidogrel oral, serta strategi terapi antikoagulan dengan pemberian fondaparinux (arixtra)
subkutan yang kemudian diganti dengan pemberian heparin intravena. Terapi anti koagulan ini
harus ditambahkan secepatnya pada strategi terapi anti platelet. Sesuai dengan rekomendasi
 AHA (2014) dan PERKI (2015) dilakukan penambahan
penambahan ACE inhibitor berupa lisinopril untuk
mengurangi remodeling jantung dan menurunkan angka kematian penderita pasca infark
miokard, serta mengontrol kadar lipid darah dengan pemberian obat golongan statin dosis tinggi
berupa rosuvastatin tab 20 mg (rosufer). Tatalaksana SVT pada pasien ini dengan diberikan

amiodarone drip yang dilajutkan dengan amiodarone per oral. Kadar gula pasien dikontrol
dengan pemberian glimepirid tab 3 mg yang kemudian diganti dengan glikuidon tab 2 x 30 mg.
Karena pasien ini memliki riwayat palpitasi berulang dengan penyakit jantung koroner
sebelumnya, ditambah dengan penyakit komorbid diabetes mellitus dan dislipidemia, maka
dianjurkan pemeriksaan DCA untuk menilai tingkat keparahan penyakit arteri koroner.
 

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Diagnosis NSTEMI, SVT dan syok kardiogenik pada kasus ini didasarkan atas
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2. Penatalaksanaan NSTEMI pada pasien ini sesuai dengan teori, yaitu dengan menjaga
airway   dan breathing   stabil, memberikan medikamentosa sesuai strategi terapi anti-
iskemia, anti platelet, antikoagulan ditambah pengontrolan kadar lipid, glukosa darah,
dan penambahan ACE-inhibitor sebagai pencegahan remodeling jantung.
jantung.  
3. Penatalaksanaan SVT pada pasien ini sesuai dengan teori, yaitu melakukan maneuver
vagal, kardioversi tersinkronisasi, serta pemberian medikamentosa berupa amiodarone.
4. Penatalaksanaan syok kardiogenik pada pasien ini sesuai dengan teori, yaitu dengan

pemberian dobutamine.
dobutamine.  

Anda mungkin juga menyukai