Anda di halaman 1dari 7

TUGAS FINANCIAL MANAGEMENT

KELOMPOK 2
Financial Analysis and Planning
(Case Study: Polyndo Star PLC) 

 
 

Anggota Kelompok :
 
1. Imanuel Wisnu Setya Aji               (20/465060/PEK/26063)
2. Linofal Fakhrin                             (20/465073/PEK/26076)
3. Najma Ilma Nuriyya                      (20/465095/PEK/26098)
4. Nicolaus Rahadian Bagaskara        (20/465097/PEK/26100)
5. Rifka Uzma Wardati                      (20/465122/PEK/26125)
6. Septiani Arbania                            (20/465135/PEK/26138)
 

 
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2020
Polyndo Star PLC
Polyndo Star didirikan pada pertengahan tahun 1990s di Jawa Barat, ketika stabilitas
politik dan pertumbuhan ekonomi dinilai baik. Perusahaan menghasilkan polyester
filament yarn (PFY), polyester staple fiber (PSF), dan polyester chip. PFY adalah
suatu produk antara yang dapat diproses lebih lanjut menjadi produk hilir menjadi
weaving dan knitting polyester fabrics. PSF adalah bahan baku utama yang digunakan
di industri tekstil untuk menghasilkan polyester spun yarn, yang banyak digunakan
untuk barang-barang rumah tangga dan pakaian. PSF dapat dicampur dengan serat-
serat yang lain. PSF juga digunakan untuk memproduksikan karpet, mainan, kantong
tidur, sepatu olahraga, dan diapers. Salah satu alasan didirikannya perusahaan adalah
untuk mengantisipasi tingginya pertumbuhan industri yang menggunakan bahan baku
polyester. Setelah perusahaan selamat melewati krisis finansial pada tahun 1998,
perusahaan segera menjadi perusahaan terbuka (go public) dengan menerbitkan
saham baru untuk menambah ekuitas guna mengurangi hutang dan memperluas
usaha. Karena itu perusahaan menjadi Perseroan Terbatas terbuka (atau Publicly
Listed Company, PLC). Sebelum perusahaan menerbitkan tambahan saham ke publik,
di industri polyester terdapat sekitar 13 produsen polyester di Indonesia. Sekarang
angka tersebut telah menjadi lebih dari 15 perusahaan. Karena bea masuk impor untuk
PSF sebesar 5% dan untuk PFY sebesar 10%, praktis tidak ada pesaing asing pada
industri ini. Karena itu untuk tahun-tahun mendatang pesaing utama perusahaan
adalah pesaing-pesaing domestik, para pemain lama di industri polyester. Karena
perusahaan bukan merupakan pimpinan pasar, maka untuk bersaing dengan para
pemain besar perusahaan kadang-kadang menawarkan persyaratan penjualan yang
lebih menarik kepada para calon konsumen. Situasi tersebut kadang-kadang menjadi
makin problematis karena pertumbuhan industri polyester tidak terlalu tinggi, bahkan
relatif “datar”, meskipun perusahaan mampu menikmati pertumbuhan penjualan rata-
rata sebesar 10 persen pada sepuluh tahun terakhir. 

Industri Polyester 
Permintaan akan serat buatan manusia yang terbesar dan tertinggi pertumbuhannya
adalah permintaan akan serat polyester. Karakteristik fungsional serat tersebut
dikombinasikan dengan kemajuan yang konsisten dan ajeg dalam teknologi serat
tersebut, telah memicu pertumbuhan permintaan yang tinggi di seluruh dunia.
Indonesia, dengan sejarah industri tekstilnya yang panjang, telah menjadi salah satu
produser tekstil polyester yang maju di pasar global. Tetapi kesempatan bisnis masih
terbuka di Indonesia karena konsumsi per kapita polyester tetap rendah, hanya
separuh konsumsi negara-negara maju. Krisis pada tahun 1998 telah memperlemah
permintaan akan polyester di pasar domestik. Untungnya pasar domestik telah mulai
pulih semenjak krisis tersebut. Meskipun demikian krisis global pada tahun 2008 telah
mulai memukul industri polyester di Indonesia pada tahun 2009. Permintaan
internasional akan tekstil polyester dan produk-produk yang menggunakan polyester
merosot yang menyebabkan jatuhnya permintaan domestik akan PFY dan PSF.
Ekspor tekstil Indonesia jatuh ke US$9.34 miliar pada 2009 dibandingkan dengan
US$10.39 miliar pada 2008. Demikian juga permintaan internasional jatuh pada tahun
2009. Karena itu tahun 2009 merupakan tahun yang tidak menentu bagi industri serat
dan benang polyester, dengan peningkatan harga bahan baku pada akhir tahun. Sejak
tahun 1995 beberapa produsen polyester Indonesia telah mengekspor produksi mereka
karena kapasitas produksi telah melebihi permintaan domestik. Keadaan ini telah
menyebabkan persaingan yang sangat ketat di pasar domestik. Karena itu turunnya
pasar ekspor sangat dirasakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Untunglah pasar
domestik tetap stabil pada tahun 2009, disamping berfluktuasinya harga bahan baku.
Harga bahan baku sangat berfluktuasi pada tahun 2008 dan 2009 ketika harga minyak
bumi mencapai lebih dari US$ 120 per barrel pada tahun 2008 dan jatuh menjadi
hanya US$40 per barrel pada 2009. Pada tahun 2010 harga minyak bumi telah
meningkat mendekati US$80 per barrel pada akhir 2010 sebagai akibat mulai
pulihnya perekonomian dunia. Tetapi harga bahan baku relatif stabil pada tahun 2010
sebagai akibat melemahnya USD. 
Kinerja Perusahaan 
Krisis global pada tahun 2008 mempunyai dampak serius pada perusahaan pada tahun
2009. Produktivitas, efisiensi operasi, dan profitabilitas turun cukup besar. Penurunan
profitabilitas terutama disebabkan karena turunnya pendapatan dari penjualan. Tetapi
pangsa pasar relatif tidak berubah karena seluruh industri juga mengalami keadaan
yang sama. Untunglah ketika perekonomian global mulai membaik pada tahun 2010,
kinerja perusahaan mulai membaik pada tahun tersebut. Produksi mulai meningkat
sebagai akibat menguatnya permintaan yang dicerminkan oleh meningkatnya
penjualan. Demikian juga profitabilitas membaik. Harga bahan baku relatif stabil pada
tahun 2010 meskipun tidak setinggi pada tahun 2008. Untuk mempertahankan daya
saing, kebijakan pemasaran yang agresif digunakan oleh perusahaan. Sebagai
akibatnya laba operasional menjadi agak sensitif terhadap pendapatan penjualan
karena operating profit margin (yaitu laba operasi dibagi dengan penjualan) agak
“tipis”. Karena itu penting bagi perusahaan untuk bisa mencapai penjualan yang
tinggi. Sebagaimana dikatakan oleh Direktur Keuangan atau Company’s Chief
Financial Officer (CFO), “kita perlu menjual lebih banyak agar bisa berproduksi lebih
banyak agar bisa menurunkan biaya rata-rata. Biaya tetap kita agak tinggi, misalnya
biaya tenaga kerja, listrik, biaya administrasi, depresiasi, sebagian biaya overhead,
semuanya biaya tetap. Sayangnya kita tidak dapat mengidentifikasikan biaya-biaya
tersebut. Mungkin hanya biaya bahan baku yang merupakan biaya variable.”
Perusahaan Polyndo Star lebih banyak menggunakan hutang jangka panjang daripada
hutang jangka pendek. Kebijakan ini banyak dianut oleh perusahaan-perusahaan
dalam industri polyester. Sedangkan struktur modal perusahaan lebih banyak
hutangnya daripada ekuitasnya. Karena itu industri tersebut sensitif terhadap
perubahan suku bunga. Untunglah pada tahun 2009 dan 2010 suku bunga jauh lebih
rendah daripada tahun 2008. Meskipun demikian dampak penurunan suku bunga
tersebut agak tidak terasa oleh perusahaan karena lebih banyaknya hutang jangka
panjang yang digunakan dengan suku bunga tetap. Obligasi jangka panjang
diterbitkan pada tahun 2008 dengan suku bunga tetap (fixed coupon rate) sebesar 11,5
persen per tahun dengan nominal Rp1.000 miliar. Hutang jangka pendek dalam
bentuk hutang bank dengan suku bunga 11 persen. Jumlah hutang jangka pendek
tersebut disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan akan pendanaan. Pada tahun 2010
perusahaan mengurangi hutang jangka pendek sebesar Rp70 miliar. Ringkasan laba
rugi dan neraca perusahaan untuk tahun 2009 dan 2010 disajikan pada Exhibit 1 dan
2. 

Rencana Perusahaan 
Perusahaan menyadari bahwa untuk meningkatkan daya saing dan profitabilitasnya
haruslah perusahaan menjadi “pemain yang besar” di industri, tidak cukup menjadi
“pemain rata-rata”. Dua alternatif strategi sedang dipertimbangan oleh perusahaan.
Pertama, memperluas kapasitas produksi dari produk-produk yang diproduksikan saat
ini. Strategi ini memungkinkan perusahaan meningkatkan pangsa pasar dan/atau pasar
ekspor. Apabila hal ini dapat dilaksanakan maka margin penjualan yang lebih tinggi
mungkin bisa dicapai. Kedua, melakukan diversifikasi ke produk-produk yang masih
berkaitan, baik ke hulu maupun ke hilir. Alternatif yang kedua memungkinkan
peningkatan efisiensi operasional tetapi mempunyai risiko memasuki pasar baru.
Direktur Utama condong untuk memilih strategi pertama yaitu memperluas kapasitas
produksi. Pendapat tersebut didukung oleh Direktur Keuangan yang berpendapat
bahwa perusahaan bisa memperoleh laba lebih besar apabila berproduksi lebih banyak
karena akan dapat menghemat biaya tetap. Lagi pula perusahaan akan tetap menekuni
bisnis yang sudah lama dikerjakan. Untuk memperkuat pendapatnya ia menunjukkan
rugi laba tahun 2009 dan 2010. Pada tahun 2009 penjualan mencapai Rp2.630 miliar
dengan laba operasi Rp95 miliar, atau hanya 3,61% apabila dibandingkan dengan
penjualan. Untuk tahun 2010 rasio laba operasi terhadap penjualan mencapai 10,68%.
“Peningkatan rasio tersebut, karena penjualan pada tahun 2010 lebih tinggi dari 2009,
disebabkan karena tingginya komponen biaya tetap”, demikian Direktur Keuangan
menjelaskan. “Dengan menggunakan angka-angka tersebut kita bisa menaksir biaya
tetap dan biaya variabel. Total Biaya (Cost of Goods Sold plus GSA Expenses) pada
tahun 2009 sebesar Rp2.635 miliar sedangkan pada tahun 2010 sebesar Rp2.992
miliar. Karena Total Biaya = Total Biaya Tetap + Total Biaya Variabel, maka apabila
Total Biaya Variabel = (Variable Cost to Sales Ratio) x Penjualan, maka dengan
menggunakan angka-angka tahun 2009 dan 2010 kita dapat menaksir Total Biaya
Tetap dan Variable Cost to Sales Ratio”, lanjut Direktur Keuangan. Direktur Operasi
meminta penjelasan lebih lanjut tentang konsep yang dijelaskan oleh Direktur
Keuangan. “Maksud saya begini. Apabila Total Biaya Tetap sebesar Rp100 dan untuk
memproduksikan produk seharga Rp100 diperlukan Biaya Variabel sebesar Rp60,
maka Variable Cost to Sales Ratio = 0,6. Dengan demikian apabila kita
memproduksikan produk senilai Rp1.000, maka Total Biaya = Rp100 + (0,6 x
Rp1.000) = Rp700. Saya menduga Biaya Tetap kita cukup tinggi sehingga kita perlu
berproduksi lebih besar”. Biaya variabel dan biaya tetap terdiri dari biaya yang
termasuk dalam “cost of goods sold” dan juga “general, selling, and adinistrative
expenses”. Demikian tambahan penjelasan Direktur Keuangan. “Disamping itu rasio-
rasio keuangan kita pada tahun 2009 lebih buruk daripada industri. Baru pada tahun
2010 mendekati rasio-rasio industri”, demikian lanjut Direktur Keuangan. Hal ini saya
kira karena kira berproduksi terlaindah pada tahun 2009. Kita perlu berproduksi lebih
banyak agar bisa menekan biaya rata-rata. Karena itulah sayu rea mendukung
alternatif yang pertama.

Exhibit 1

2009 2010

Sales revenues 2,630 3,350


Cost of goods sold -2,454 -2,905

Gross profit 176 445


General, Selling, and Administrative expenses -81 -87

Operating income 95 358


Other expenses* -195 -187

Earnings before tax -100 171


Corporate income tax (30%)** +30 -51

Net Income after tax -70 120


*mainly interest expense
**In practice this means that the Company did not need to pay corporate income tax
in 2009, and paid only Rp.21 billion in 2010. In other words, for the period 2009 to
2010 the Company paid only Rp.21 billion due to the losses in 2009.

Exhibit 2

End of 2009 End of 2010

Current asset 1,292 1,659


Fixed Assets, net 2,280 2,105

Total assets 3,572 3,764

Trade payables 416 530


Accruals 154 182
Short term bank loans 720 650
Long-term bonds*** 1,000 1,000
Paid in capital 750 750
Retained earnings 652

Total liabilities and equity


** The maturity is in 2013

Exhibit 3

2009 2010

Operating income / Sales (%) 6.3 13.2


Operating income / Total Assets (%) 3.4 9.6
Net Income After Tax / Total Equity (%) -3.2 9.5

Sales / Total Assets (total assets turnover ratio) 0.54 0.73

Current Assets / Current Liabilities (current ratio) 1.10 1.22

Total liabilities / Total Equity 1.75 1.70

Pertanyaan 

1.

Evaluasilah kondisi keuangan perusahaan dengan membandingkannya dengan


industri (lihat Exhibit 3). Benarkah pendapat Direktur Keuangan tentang
perbandingan rasio-rasio keuangan perusahaan apabila dibandingkan dengan
industri (halaman 3 alinea terakhir)? Jelaskan. 

2.

“Disamping itu rasio-rasio keuangan kita pada tahun 2009


lebih buruk daripada industri. Baru pada tahun 2010
mendekati rasio-rasio industri”, demikian lanjut Direktur
Keuangan. Hal ini saya kira karena kira berproduksi terlalu
rendah pada tahun 2009. Kita perlu berproduksi lebih banyak
agar bisa menekan biaya rata-rata. Karena itulah saya
mendukung alternatif yang pertama.
Jawab:Benar gesss. Baru ku tanyakan gessss iya gesss sabar gesss nggiih

1.

Dengan menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Direktur Keuangan


dan angka-angka penjualan dan laba operasional pada tahun 2009 dan 2010,
taksirlah komponen biaya tetap dan biaya variable pada tahun-tahun tersebut. 

2.

Jawab:

1.

Misalkan perusahaan ingin memperluas kapasitasnya pada tahun 2011.


Tambahan aset tetap sebesar Rp200 miliar akan dibeli pada awal tahun. Usia
ekonomis asset tersebut selama 10 tahun tanpa nilai sisa. Tambahan hutang
jangka panjang, dengan tenor 5 tahun, dengan bunga 10 persen akan
diterbitkan pada awal tahun untuk membiayainya. Penjualan diharapkan akan
naik sebesar 20 persen. Tambahan beberapa asumsi untuk tahun 2011 adalah
sebagai berikut.

2.

a. Biaya tetap untuk fasilitas produksi lama sama seperti perhitungan saudara/ri pada
pertanyaan 2. Tetapi tambahan investasi pada asset tetap akan menaikkan biaya
tetap sebesar Rp40 miliar (Rp20 miliar dari tambahan depresiasi dan Rp20 miliar
lagi dari biaya tetap yang harus dikeluarkan secara tunai (out of pocket fixed
costs). 
b.  Rasio biaya variable terhadap penjualan (variable cost to sales ratio) sama seperti
jawaban saudara/ri pada pertanyaan 2. 
c.   Beban depresiasi asset tetap lama sebesar Rp175 miliar. 
d.  Rasio asset lancar terhadap penjualan (ratio of current assets to sales) pada tahun
2011 sama seperti tahun 2010. 
e.   Perusahaan akan mendistribusikan dividen sebesar Rp30 miliar (dari laba tahun
2010).
f.   Rasio hutang dagang dan accruals terhadap penjualan (ratios of trade payable and
accruals to sales) pada 2011 sama dengan rasio pada 2010. 
g.   Tidak ada penerbitan ekuitas baru pada tahun 2011. 
h. Apabila perusahaan memerlukan tambahan external financing, hutang bank jangka
pendek akan ditambah sesuai kebutuhan. Tetapi apabila internal financing lebih
dari cukup untuk mendukung operasi, hutang jangka pendek akan dikurangi.
Tambahan hutang bank akan dilakukan pada awal tahun, tetapi pengurangan
hutang bank akan dilakukan pada akhir tahun. 
Apakah Polyndo Star akan memerlukan tambahan dana ataukah mampu
menghasilkan kelebihan dana (excess funds)? Tunjukkan perhitungannya. 
Jawab:

1.

Dengan menggunakan proyeksi pada pertanyaan 3 apakah diharapkan


profitabilitas meningkat? Bagaimana dengan aspek-aspek yang lain?

2.

Jawab:

Anda mungkin juga menyukai