Anda di halaman 1dari 20

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pandangan Murtahin Sehingga Memanfaatkan Lahan Gadai Di Kecamatan


Bunobogu

Praktik gadai yang dilaksanakan di Kecamatan Bunobagu Kabupaten

Buol adalah peminjaman sejumlah uang oleh murtahin kepada rahin, yang

dilaksanakan melalui perjanjian diantara keduanya dengan jaminan tanah beserta

sertipikatnya, dan lahan tersebut merupakan lahan perkebunan yang diserahkan oleh

rahin kepada murtahin sebagai bukti bahwa rahin akan melunasi sejumlah uang

dengan kurun waktu tertentu.

Praktik gadai di Kecamatan Bunobagu, sebagaimana wawancara pertama

yang dilakukan oleh penulis kepada pihak yang melakukan praktik gadai yaitu

dengan cara pihak rahin yang bernama Samsul Laumanang memberikan jaminan

lahan perkebunan kelapa seluas 1 Ha, beserta sertipikat kepemilikannnya kepada

pihak murtahin yang bernama Suryato, dan akad serta ijab qabul dilakukan melalui

lisan diantara keduanya tanpa adanya perjanjian tertulis disebabkan mereka

merupakan saudara kandung. Setelah itu Suryato memberikan uang senilai Rp

10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) kepada Samsul Laumanang dan ditandai dengan

adanya kuitansi dan ditandangani oleh Samsul Laumanang.1

Pemanfaatan lahan gadai berupa lahan perkebunan kelapa yang di oleh

Suryato dilaksanakan atas dasar bahwa apabila dalam jangka waktu lima (5) bulan ia

1
Wawancara dengan salah satu masyarakat Kecamatan Bunobagu, yang bermana Suryato sebagai
Pihak Murtahin, Pada Tanggal
tidak melunasi utang, maka Suryato dapat mengelola lahan perkebunan tersebut, serta

tidak ada pernyataan lebih rinci dari Suryato mengenai hasil dari pengelolaan tanah

tersebut apakah dapat mempengaruhi sejumlah utang Samsul Laumanang kepada

Suryato. kini lahan tersebut telah diolah dan dimanfaatkan hasilnya oleh Suryato serta

hasil daripada lahan perkebunan kelapa tersebut tidak diberikan kepada Samsul

Laumanang dan tidak mengurangi jumlah utang serta tidak adanya pemberitahuan

kembali kepada Samsul Laumanang akan diolahnya lahan perkebunan tersebut.

Selanjutnya penulis juga melakukan wawancara kedua kepada warga

lainnya yang melakukan praktik gadai bernama Supardi sebagai rahin menggadaikan

lahannya sebagai jaminan kepada Edy sebagai pihak murtahin atas dengan tujuan

untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan dipilihnya Edy sebagai murtahin atas

dasar kekerabatan. Praktik gadai dilaksanakan dengan cara, Supardi meminjam

sejumlah uang sebesar Rp 15.000.000 kepada Edy. Sebagai dasar agar memperoleh

kepercayaan, edy mensyaratkan agar Supardi menyerahkan jaminan berupa lahan dan

Supardi menyanggupi dan menyerahkan lahan yang produktif sebagai lahan

perkebunana kelapa seluas 2 hektar. Praktik gadai diantara mereka ditandai dengan

adanya kwitansi yang di tanda tangani di antara mereka dan sepakat akan melunasi

hutang tersebut selama tiga bulan.2

Setelah empat bulan hutang tersebut belum juga dikembalikan, Edy

sebagai pihak murtahin dan tanpa sepengetahuan pihak rahin mengelola dan

2
Wawancara dengan salah satu masyarakat Kecamatan Bunobagu, yang bermana Supardi sebagai
Pihak Rahin, Pada Tanggal
mengambil hasil secara sepihak atas perkebunan kelapa tersebut dan Supardi

langsung menanyakan hal tersebut. Tetapi Edy berasumsi bahwa hal tersebut

dilakukan atas dasar Supardi terlambat melunasi hutang dan sekaligus merupakan hal

yang merugikan karena harus menunggu lama waktu pengembalian dari pihak rahin.3

Kemudian penulis melanjutkan wawancara ketiga kepada masyarakat

Kecamatan Bunobagu lainnya yang melakukan praktik gadai bernama Rahma selaku

pihak murtahin dan Lina selaku Pihak Rahin, dan sebagai jaminan, Lina

menjaminkan lahan perkebunan jagungnya, dalam kurun waktu tertentu dan hanya

melalui perjanjian lisan. Dalam beberapa waktu berlalu, pihak murtahin mengolah

lahan perkebunan tersebut, hal tersebut dilakukan oleh pihak murtahin karena selama

waktu melihat lahan perkebunan jagung tersebut tidak diolah oleh pihak rahin dan

utang tidak kunjung di lunasi serta pihak murtahin tidak meminta izin untuk

mengolah dan mengambil hasil dari lahan perkebunan tersebut.4

Wawancara keempat kepada masyarakat yang melakukan praktik gadai

dan pemanfaatan lahan oleh pihak murtahin di Kecamatan Bunobagu, yaitu praktik

gadai antara Hadi selaku murtahin dan Hilman selaku rahin. pihak rahin menjadikan

lahan kosong miliknya sebagai jaminan dalam melakukan hutang piutang denga

jangka waktu satu tahun. Pihak murtahin melakukan pemanfaatan lahan berupa lahan

tersebut dijadikan lahan perkebunan kelapa dan hasilnya dinikmati oleh pihak

murtahin serta tidak adanya persetujuan sebelumnya dari pihak rahin karena rahin
3
Wawancara dengan salah satu masyarakat Kecamatan Bunobagu, yang bernama Edy sebagai Pihak
Murtahin, Pada Tanggal
4
Wawancara dengan salah satu masyarakat Kecamatan Bunobagu, yang bernama Rahma sebagai
Pihak Murtahin, Pada Tanggal
dianggap tidak dapat melunasi hutang tersebut karena sudah berjalan kedua tahun

hutang tersebut belum dilunasi.

Pada wawancara kelima penulis melakukan wawancara kepada Mulyadi

sebagai pihak murtahin dan Fatur sebagai pihak rahin. pemanfaatan lahan gadai di

awali dengan praktik gadai yang dilakukan oleh mereka yaitu melakukan perjanjian

tertulis dan dihadiri oleh masing-masing dua orang saksi dan seorang saksi

merupakan unsur pemerintah desa. Dalam klausul perjanjian diantara mereka, rahin

meminjam sejumlah uang sebesar Rp 100.000.000 dengan tenggang waktu

pengembalian selama dua tahun dan luas lahan perkebunan sebagai objek gadai yaitu

3 hektar serta apablia dalam kurun waktu tersebut rahin tidak melunasi hutang

tersebut, maka kepemilikan lahan beralih kepada pihak murtahin ditandai pula dengan

penyerahan sertifikat kepemilikan lahan tersebut.5

Terakhir, penulis melakukan wawancara kepada wawancara kepada

Mahmudin sebagai pihak murtahin dan Zainal sebagai pihak rahin. pemanfaatan

lahan gadai di awali dengan praktik gadai yang dilakukan oleh mereka yaitu rahin

meminjam sejumlah uang dengan tenggang waktu pengembalian selama 1 tahun dan

luas lahan pertanian sebagai objek gadai yaitu seluas 1 hektar serta apabila dalam

kurun waktu tersebut rahin tidak melunasi hutang tersebut, maka hasil pertanian dari

lahan beralih kepada pihak murtahin dan terdapat perjanjian tertulis di antara mereka

dan dihadiri oleh masing-masing satu orang saksi dan seorang saksi merupakan unsur

5
Wawancara dengan salah satu masyarakat Kecamatan Bunobagu, yang bernma Mulyadi sebagai
Pihak Murtahin, Pada Tanggal
pemerintah desa. Saat ini murtahin telah mengolah hasil pertanian lahan tersebut

karena sesuai dengan klausul perjanjian.6

Berdasarkan hasil penelitian berupa data yang diperoleh dari lapangan

yaitu hasil observasi, wawancara dan dokumentasi beserta data kepustakaan berupa

buku-buku, jurnal-jurnal dan sumber-sumber lainnya, maka penulis akan

menganalisis data yang dikumpulkan untuk menjawab rumusan permasalahan

mengenai pemanfaatan lahan gadai oleh pihak murtahin.

Praktik gadai dan adanya pemanfaatan lahan yang yang dilaksanakan oleh

masyarakat Kecamatan Bunobagu dengan memberikan jaminan lahan kosong,

perkebunan dan pertanian kepada murtahin yang dimana lahan perkebunan tersebut

dimanfaatkan pihak murtahin, sedangkan pada dasarnya sedangkan hutang yang

menarik keuntungan/manfaat merupakan riba.

Kesimpulan dari pendapat para ulama madzhab, bahwa pemanfaatan

lahan gadai tidak dapat dilakukan karena manfaat atas marhun merupakan hak rahin,

pamanfaatan lahan gadai dapat dilakukan atas izin rahin dan adanya gadai bukan

sebab menghutangkan. Sedangkan dalam praktiknya di masyarakat Kecamatan

Bunobagu melakukan akad gadai karena rahin akan melakukan pinjaman sejumlah

uang kepada murtahin, dengan syarat yang dikemukakan oleh rahin secara lisan

bahwa dalam waktu tertentu akan segera melunasi hutang tersebut dan tidak

menyebutkan mengenai apakah murtahin dapat mengelolah marhun tersebut.

6
Wawancara dengan salah satu masyarakat Kecamatan Bunobagu, yang bernma Mahmudin sebagai
Pihak Murtahin, Pada Tanggal
Berdasarkan pendapat Wahbah Az-Zuhaili dalam buku Fiqih Islam Wa

Adillatuhu dijelaskan beberapa rukun rahn yang terdiri dari: rāhin, Murtahin, marhūn,

marhūn bih dan Ijab Qabul (akad). Jika kita cermati praktik yang dilakukan oleh

masyarakat Kecamatan Bunobagu maka kelangkapan rukun rahn sebagai berikut:

1. Pihak yang berjanji (Rahin dan Murtahin)

Sesuai dengan akad rahn yang pertama yaitu Pihak yang berjanji,

ketika akad dilakukan saat transaksi rahn masyarakat Kecamatan Bunobagu

dihadiri oleh para pihak yakni orang yang menggadai (rahin) yang memiliki

sawah, serta pihak yang menerima gadai (murtahin).

Pihak-pihak yang melakukan gadai telah memenuhi syarat yang telah

dijelakan oleh Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 12 yaitu pihak harus memiliki kecapan

hukum dengan kata lain para pihak haru berakal dan dewasa (baligh). 7 Para pihak

yang melakukan akad merupakan orang orang yang telah berakal dan baligh,

sehingga dapat dikatakan bahwa rukun rahn yang pertama beserta syaratnya

terpenuhi.

2. Ada barang yang digadaikan (Marhun)

Secara lahir telah terdapat barang yang digadaikan pada praktek

gadai yang dilakukan masyarakat Kecamatan Bunobagu. Namun jika kita

perhatikan Syarat umum rahn (gadai) yang disampaikan oleh Wahbah Az-Zuhayli

diantaranya:8

7
Sayid Sābiq, Fiqh Sunnah 12 (Jakarta: Pustaka Percetakan Offset, 1998), hlm .141.
8
Wahbah Zuhaylī, Fiqh Islam wa Adillatuh, Jilid 6, Terj. Abdul Hayyie Al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema
Insani, Darul Fikir, 2011), 113.
a) Harus dapat diperjualbelikan;

b) Harus berupa harta;

c) Harus memiliki manfaat;

d) Harus Mutaqawwam (memiliki nilai);

e) Harus suci bukan minuman keras dan babi;

f) Harus diketahui dengan jelas dan pasti;

g) Harus dimiliki oleh rahin (pegadai);

h) Harus mufarragh (tidak ditempeli sesuatu yang tidak ikut digadaikannya);

i) Harus muhawwaz (tidak menempel pada sesuatu yang tidak ikut digadaikan);

j) Harus mutamayyiz (tidak dalam bentuk bagian yang masih umum dari sesuatu

barang).9

Semua persyaratan yang marhun dalam hal ini tanah sawah yang

dijelakan sudah memenuhi persyaratan marhun yang ada di dalam akad rahn

sebagai mana dilakukan oleh masyaratat Kecamatan Bunobagu. Dengan demikian

rukun dan syarat rahn yang kedua terpenuhi.

Selanjutnya dalam hal pemanfaatan marhun yang dipraktikkan oleh

masyarakat Kecamatan Bunobagu, marhun (barang jaminan) menjadi hak penuh

bagi murtahin dan dapat dimanfaatkan. Sebagaiman pendapat Jumhur termasuk

Ulama Syafi’iyyah dapat disimpulkan penggunaan marhun oleh murtahin tidak

diperbolehkan. Menurut hemat penulis, praktek yang dilakukan masyarakat

Kecamatan Bunobagu sangat mendhalimi pihak penggadai (rahin). Dengan


9
Ibid Hlm. 133-138.
demikian apa yang telah dilaksanakan oleh masyarakat Kecamatan Bunobagu

belum sesuai dengan kaidah akad rahn.

3. Hutang (Marhun Bih)

Rukun gadai yang selanjutnya adalah marhun bih atau hutang.

marhun bih dalam akad rahn yang dipraktikan oleh masyarakat Kecamatan

Bunobagu adalah berupa utang uang. Ketentuan hutang yang diberikan harus

berupa hutang yang tetap dan tidak boleh hutang yang bertambah. Jika hutang

yang diberikan Rp 10.000.000 maka pada saat penebusan harus ditebus dengan Rp

10.000.000 Artinya hutang tidak boleh bertambah seiring berambahnya jangka

waktu pembayaran. Karena jika hutang bertambah maka sama halnya dengan

praktik riba dan hukumnya haram. Masyarakat Kecamatan mengakui hutang

dalam bentuk uang dan akan dibayar dalam bentuk uang. Maka yang dipraktikkan

sesuai dengan ketentuan Syari’ah.

Namun ada hal yang sedikit memprihatinkan jika utang yang

diberikan dalam bentuk uang namun hasil dari pengelolaan atas lahan gadai

menjadi kepunyaan murtahin. Hal ini dapat menyebabkan kemudharatan kepada

rahin pada saat pelunasan. Karena harga jual hasil perkebunan hari ini dengan satu

tahun kemudian akan berbeda jika di hitung dalam bentuk uang.

4. Akad (Ijab Qabul)

Shigat menurut ulama Ḥanafiyyah adalah ijab dari al-Rahin dan

qabul dari al-murtahin, seperti akad yang lain. Seperti pihak al-rahin berkata “Saya
menggadaikan barang ini kepadamu dengan utang saya kepadamu”, atau “Barang

ini sebagai borg atau gadai untuk utangku kepadamu” atau berbentuk ijab yang

sejenis. Lalu pihak al-Murtahin berkata “ Saya terima”, atau “Saya setuju”, dan

lain sebagainya.10

Hal tersebut pada dasarnya telah mengikat para pihak dan sah.

Namun untuk lebih afdhal maka seharusnya akad rah yang dilakukan harus ditulis

dan diikrarkan selanjutnya disaksikan oleh para saksi dan diketahui oleh pihak

yang berwewenang dalam hal ini Camat, Kepala Desa, Tokoh Masyarakat atau

pihak-pihak yang dinilai dapat menyelesaiakan permasalahan di kemudian hari.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka salah satu syarat perjanjian

rahn tidak terpenuhi yaitu tidak adanya jangka waktu yang jelas kapan hutang

tersebut harus dikembalikan karena hanya menggunakan lisan dan tidak ada

pengaturan secara jelas apabila waktu yang disepakati melebihi waktu yang

diperjanjikan.

Pelaksanaan gadai yang dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Bunobagu

tidak memahami system gadai yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam.

Masyarakat hanya mengikuti rasa kepercayaan antar sesama masyarakat yang

berlandaskan ikatan persaudaraan sedarah sehingga dalam praktik gadai lahan,

cenderung merugikan pihak rahin.

Dalam pelaksanaan gadai yang dilakukan masyarakat Kecamatan

Bunobagu, pihak rahin dan pihak murtahin tidak membuat surat perjanjian pinjam
10
Wahbah Zuhaylī, Fiqh Islam ..., 111.
meminjam yang berbentuk tulisan, tetapi dalam bentuk lisan. Praktik gadai yang

dijalankan oleh masyarakat Kecamatan Bunobagu hanya dilakukan dengan cara rahin

menyerahkan tanah sebagai jaminan tersebut. Serta adanya tanda bukti transaksi yang

berupa kuitansi yang berisi jumlah nominal pinjaman dan luas objek yang digadaikan

(marhun) serta ditanda tangani oleh rahin dan tanpa menggunakan materai.

Secara langsung bahwa unsur-unsur gadai telah dipenuhi secara syar’a di

antaranya sebagai berikut:

1. Lafadz, yaitu pernyataan perjanjian gadai yang dapat dikatakan dengan cara

tertulis maupun secara lisan;

2. Pemberi dan penerima gadai baik pemberi maupun penerima bang gadai haruslah

merupakan seseorang yang berakal dan telah akil balig sehingga dianggap telah

melakukan perbuatan hukum sesuai dengan syariat Islam.

3. Barang yang digadaikan haruslah ada pada saat perjanjian gadai dilakukan dan

barang gadai itu adalah milik pemilik gadai (rahin) dan barang gadaian itu

haruslah berada dibawah pengawasan penerima gadai.

4. Adanya utang yang bersifat tetap, tidak berubah dengan tambahan bunga atau

mengadung unsur riba.

Namun, yang menjadi permasalahan adalah akad dalam perjanjian yang

dilakukan oleh pihak yang melakukan praktik gadai yang menyaratkan adanya:

1. Barang yang dijadikan akad, harus merupakan kepunyaan orang yang berakad,

maka sangat bergantung pada izin dari pemilik akad;

2. Barang yang tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.


Berdasarkan praktik gadai yang penulis temukan bahwa ketika melakukan

akad tidak tertulis dan hanya dilakukan oleh pihak yang melakukan perjanjian tanpa

adanya saksi. Padahal Allah SWT sangat menganjurkanagar akad utang piutang

tersebut tertulis. Sehingga dalam penulisannya dalam akad sebaiknya tertera bagian-

bagian dari isi perjanjian, tanggal serta perjanjian pengembalian di dalamnya,

penulisan perjanjian tersebut dipersaksikan kepada orang lain, agar apabila terjadi

kesalahan dikemudian hari ada saksi yang meluruskan dan tentunya saksi tersebut

harus adil.

Allah SWT juga menganjurkan (sunnah) untuk memberikan barang yang

bernilai untuk menjadi jaminan bagi pihak yang memberikan pinjaman. Kemudian

segala kesepakatan berbentuk tertulis sebelum dilaksakanannya pernjanjian pinjam

memintam disertai dengan adanya gadai. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Baqarah (283):

Artinya :

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah secara tidak tunai)sedang

kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang

tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian

kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai

menunaikan amanatnya (hutang) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah

Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.

Dan barang siapa yang menyembunyikannya, Maka sesungguhnya adalah

orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu

kerjakan. (Q.S. Al-Baqarah: 283).


Berdasarkan ayat di atas, bahwa dalam suatu perjanjian haruslah dalam

bentuk perjanjian tertulis sehingga rukun dalam akad dapat terpenuhi, karena akad

dalam gadai merupakan inti dari sah atau tidaknya transaksi yang dilakukan oleh

rahin dan murtahin, apabila akadnya tersebut akan merugikan salah satu antara rahin

maupun murtahin, maka dapat melakukan langkah-langkah yang tertera dalam naskah

perjanjian di antara kedua belah pihak.

Kemudian dari praktik gadai di Kecamatan Bunobagu, di temukan bahwa

murtahin telah memanfaatkan barang jaminan tersebut dan tidak meminta izin kepada

rahin mengenai pemanfaatan jaminan (marhun), sehingga selama barang jaminan

tersebut berada ditangan murtahin, murtahin mengambil manfaat dari jaminan berupa

lahan perkebunan tersebut.

Gadai pada Hukum Islam, posisi murtahin hanya berhak untuk menahan

dan tidak memanfaatkan marhun tersebut. Mengenai pemanfaatan barang gadai masih

dalam perdebatan ulama, ada sebagian ulama memperbolehkan dan ada yang tidak

memperbolehkan. Jumhur ulama yang tidak memperbolehkan berdalil pada hadits

Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berisi:

Artinya:

Barang gadai tidak boleh disembunyikan dari pemilik yang menggadaikan,

baginya dan hasilnya.

Berdasarakan hadist syara’ di atas telah menetapkan hasil dari marhun

merupakan hak untuk menggadaikan (rahin), maka pihak yang memegang gadai tidak

berhak mengelola marhun tersebut tanpa izin terlebih dahulu atas pemanfaatan
marhun. Berdasarkan uraian hadist di atas mengenai pengelolaan lahan gadai oleh

marhun dengan dalih secara sepihak apabila rahin terlambat melunasi utang

berdasarkan jangka waktu tertentu, maka murtahin tidak memenuhi akad tersebut

sebagaimana terdaoat dalam Q.S Al Maidah (1) yang berisi :

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.

Perintah ayat di atas, menunjukkan bahwa Allah SWT sangat

menekankan perlunya memenuhi akad dalam segala bentuk apapun, sehingga setiap

muslim diharuskan untuk memenuhi setiap akad, agar dapat mencegah segala bentuk

perselisihan di anatara masyarakat, sehingga dapat memelihara rasa aman,

ketenangan dan saling percaya di antara masyarakat.

Berdasarkan uraian penjelasan di atas bahwa masyarakat Kccamatan

Bunobagu masih belum menggunakan pendekatan Hukum Islam dalam setiap praktik

gadai yang mereka lakukan disebabkanoleh kurangnya pengetahuan mengenai

tinjauan hukum Islam terhadap praktik Gadai dan tidak adanya sosialisasi mengenai

tata cara pelaksanaan gadai menurut hukum Islam.

Mengingat ada beberapa hal yang harus dibenahi dalam praktik gadai

lahan perkebunan yang dipraktekkan masyarakat Kecamatan Bunobagu, maka penulis

mengharapkan adanya pembenahan yang didakwahkan oleh para Ulama di tempat

tersebut supaya masyarakat dapat melaksanakan praktik akad gadai lahan dengan

benar.

B. Dampak Pemanfaatan Lahan Gadai Bagi Pihak Rahin Di Kecamatan Bunobogu


Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada rahin yaitu

Samsul Laumanang, Supardi, Lina, Hilman. Mengenai faktor-faktor yang menjadi

penyebab dijadikannya lahan sebagai objek gadai karena semua pihak murtahin

menyatakan bahwa pihak murtahin tidak mau menerima objek lain selain lahan, serta

pada saat terjadinya perjanjian tidak ada penjelasan mengenai isi perjanjian dalam

melakukan proses gadai dan tidak memberikan kesempatan kepada pihak rahin untuk

bertanya akan ketentuan gadai yang akan dilakukan sehingga langsung menyetujui

akad gadai. Berbeda halnya dengan Fatur dan Hilman yang melakukan gadai dengan

cara tertulis dan dihadiri oleh beberapa saksi, cenderung menerima konsekuensi dari

pengolahan lahan oleh murtahin karena merupakan kesepakatan bersama dan

berkekuatan hukum di antara mereka. walaupun merugikan mereka.

Selanjutnya Samsul Laumanang, Supardi, Lina, Hilman, menyatakan

tidak ada perjanjian tentang pengelolahan lahan / tanah ada dalam perjanjian gadai

mengenai pengelolaan tanah yang dijadikan objek gadai yang dilakukan oleh pihak

murtahin sehingga Tidak ada keuntungan yang didapatkan oleh pihak rahin dengan

diolahnya lahan oleh pihak murtahin.11

Berdasarkan fakta yang terjadi di masyarakat Kecamatan Bunobagu,

bahwa terkadang pihak pemegang gadai terlalu berlebihan dalam memanfaatkan

barang gadaian. Sebagian ulama memang telah sepakat bahwa mengambil atau

menarik manfaat barang gadai itu diperbolehkan sepanjang ada izin dari pemiliknya
11
Wawancara dengan masyarakat Kecamatan Bunobagu, yang bermana Samsul Laumanang, Supardi,
Lina dan Hilman sebagai Pihak rahin, Pada Tanggal
tetapi tidak dapat dilakukan apabila tidak ada izin dari pihak rahin sehingga menarik

manfaat dari marhun merupakan juga bukanlah hal yang baik.

Sehubungan dengan Praktik Gadai yang dilakukan oleh masyarakat di

wilayahnya, Kepala Desa…. yang bernama Agusprifrihatin, menyatakan bahwa

mengetahui beberapa saat setalah praktik gadai tersebut dilakukan dan sepengetahuan

beliau praktik gadai antar masyarakat desa sebagian besar dilaksanakan melalui lisan

dan adanya bukti berupa kwitansi saja tanpa adanya pemerintah yang menjadi saksi

atas akad yang mereka lakukan. Dan apabila terjadi sengketa di antara mereka baru

pemerintah desa dilibatkan sebagai juru damai di antara mereka. berbeda halnya

dengan pihak yang melakukan praktik gadai dengan bentuk tertulis dan dihadiri oleh

beliau sebagai saksi di antar mereka. 12

Selanjutnya Kepala Desa……. Kecamatan Bunobagu bahwa pemanfaatan

lahan gadai yang sepihak dilakukan oleh pihak penerima gadai tanpa adanya

kesepakatan sebelumnya, cenderung menimbulkan konflik antar masyarakat karena

adanya salah satu pihak yang merasa dirugikan dan saat ini telah menghimbau agar

masyarakat dalam melakukan transaksi hutang piutang atau gadai agar dilakukan

secara tertulis.

Menurut Abdula, sebagai salah satu tokoh masyarakat mengatakan bahwa

yang menjadi dorongan atau motivasi sehingga adanya praktik gadai diantara

masyarakat Desa…….. Kecamatan Bunobagu karena faktor yang mendesak dan

12
Wawancara dengan Kepala Desa………… Kecamatan Bunobagu, yang bermana Agusprifrihatin, Pada
Tanggal
jumlah kebutuhan uang yang tidak sedikit seperti biaya sekolah, mengembalikan

hutang, dan lain-lain. Pada umumnya keadaan ekonomi dari pihak penggadai, hanya

mengandalkan penghasilan dari hasil perkebunan dan pertanian dengan menggunakan

lahan yang dimiliki secara turun temurun dan pihak murtahin pada dasarnya

merupakan orang yang mempunyai penghasilan di atas rata-rata masyarakat dan pada

umunya berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil, Karyawan Swasta dan lain

sebagaianya.13

Kemudian Tokoh Masyarakat Kecmatan Bunobagu lainnya yang bernama

Kalmaludin, mengatakan bahwa praktik gadai lahan perkebunan yang sering

dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Bunobagu adalah dengan akad gadai yang

dilakukan secara lisan antara penggadai dengan maksud meminjam uang dengan

jumlah tertentu dan pihak yang akan meminjamkan uang menerima jaminan berupa

lahan sebagai pengikat utang di antara mereka dan batas waktu tertentu. Umumnya

masyarakat tidak menghadirkan saksi dari tokoh masyarakat sebagai saksi dalam

akad mereka karena masyarakat masih menganut kebiasaan saling percaya dan tolong

menolong. Dan seringkali terjadi konflik apabila pihak yang menerima gadai

mengolah lahan pekebunan tersebut dan sebagai tokoh masyarakat biasanya

melakukan mediasi di antara mereka sehingga dapat mencegah dampak yang lebih

luas dari konflik tersebut. Walaupun cenderung merugikan pihak yang berhutang tapi

13
Wawancara dengan salah satu Tokoh masyarakat Kecamatan Bunobagu, yang bermana Abdula,
Pada Tanggal
praktik gadai semacam ini masih sering terjadi dalam masyarakat Kecamatan

Bunobagu.14

Pada dasarnya memanfaatkan barang gadaian berupa perkebunan akan

menyebabkan nilai ekonomis dari hasil perkebunan tersebut berkurang. Disamping

itu, pihak pemegang gadai (murtahin) yang menarik manfaat terlalu banyak atau

terlalu berlebihan terhadap barang gadai (marhun), misalnya barang gadaian berupa

perkebunan ladang, dimana murtahin mengambil seluruh hasil dari perkebunan

tersebut tanpa membaginya kepada rahin, tentunya hal tersebut akan membuat si

rahin merasa telah dirugikan, karena barang yang telah ia gadaikan telah

dimanfaatkan oleh pihak murtahin sementara ia sama sekali tidak memperoleh hasil

dari barang gadaian tersebut.

Pendekatan dalam praktik gadai berdasarkan harus menggunakan prinsip-

prinsip ekonomi Islam sehingga dapat terwujud kegiatan perekonomian yang baik

dan juga diridhoi Allah SWT. Dimana prinsip ekonomi Islam terdiri dari beberapa

prinsip diantaranya yaitu:

a. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama Dalam hal ini rahin

maupun murtahin telah mengikuti prinsip ekonomi Islam dimana kekuatan utama

ekonomi Islam adalah kerja sama sebagai mahluk sosial yang sudah menjadi

kodratnya untuk menjalankan konsep kerja sama, yakni dengan tolong - menolong

yang dilakukan dengan cara memberi pinjaman dengan jaminan, dimana pemilik

14
Wawancara dengan salah satu Tokoh masyarakat Kecamatan Bunobagu, yang bermana Kalmaludin,
Pada Tanggal
tanah kebun dan sawah meminjamkan uang kepada seseorang dengan

menjaminkan lahan tanah kebun dan sawahnya sebagai barang jaminannya.

Dengan adanya kerja sama sebagai penggerak utama dalam ekonomi Islam maka

diyakini ekonomi Islam akan dapat menguasai perekonomian, dan semua kegiatan

ekonomi ditunjang usaha yang berdasarkan pada syariah Islam. Namun dalam

praktek gadai yang terjadi di Kecamatan Bunbagu yang dilakukan masyarakat

tidak menuliskan batasan waktu pengembalian hutang dalam perjanjian antara

rahin dengan murtahin, apabila dari rahin belum mampu melunasi hutangnya,

maka secara otomatis gadai lahan tanah kebun dan sawah masih terus berlanjut

sampai bisa ditebus, sehingga seringkali mengakibatkan gadai tersebut

berlangsung bertahun-tahun dan merugikan salah satu pihak.

b. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasi oleh

segelintir orang Dalam hal ini murtahin masih belum dapat menerapkan prinsip

ekonomi Islam, karena murtahin masih memanfaatkan dan menggunakan hasil dari

tanah kebun dan sawah yang digadaikan untuk dinikmati sendiri. Sehingga pihak

rahin tidak merasakan kesejahtraan dari lahan perkebunannya. Jadi kekayaan dan

kesejatraan hanya dirasakan dan dikuasi oleh pihak mutahin saja. Praktek gadai

dengan pemanfaatan yang sepenuhnya dikuasi oleh murtahin tersebut sudah sering

terjadi di Kecamatan Bunobagu, hal ini seakan sudah menjadi Kebiasaan, karena

rata-rata praktek gadai yang seperti itulah dijalankan oleh masyarakat.

Dari uraian diatas penulis menegaskan bahwa praktek gadai melalui lisan dengan

pengambilan manfaat lahan tanah kebun sebagai jaminan dikuasi sepenuhnya oleh
murtahin yang terjadi di Kecamatan Bunobagu tersebut tidak sah menurut

Alqur‟an, Alhadis, dan Ijma‟ Ulama, karena menurut Alqura‟an dan Alsunnah

barang yang digadaikan oleh rahin tidak boleh dimanfaatkan lahannya apabila

pihak murtahin menggunkan lahan yang digadaikan maka hukumyan haram.

c. Islam melarang riba dalam segala bentuk Hutang (marhun bih) disini disyaratkan

bahwa hutang tersebut adalah tetap, dengan kata lain hutang tersebut bukan

merupakan hutang yang bertambah-tambah, atau hutang yang memiliki bunga

karena bertentangan dengan hukum Islam, dan hutang yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Suka Baru Kecamatan Bunobagu adalah hutang yang tetap, dan

tidak bertambah ataupun mengandung unsur riba. Berdasarkan prinsip dari pihak-

pihak yang melakukan akad gadai telah memenuhi sesuai dengan prinsip ekonomi

Islam karena tidak adanya kelebihan dari uang yang harus dibayarkan pada saat

pengembalian utang dari pihak rahin kepada pihak murtahin.

d. Akad tabarru‟ Meminjamkan uang adalah termasuk akad tabarru‟ karena tidak

boleh melebihkan pembayaran atas pinjaman yang diberikan, karena setiap

kelebihan tanpa iwad adalah riba. Dalam hal ini praktek gadai yang dilakukan oleh

masyarakat Kecamatan Bunobagu yaitu pihak murtahin mengambil kelebihan dari

memanfaatkan lahan perkebunan yang dijadikan barang jaminan oleh rahin. Dari

uraian di atas penulis menegaskan bahwa praktek gadai tanpa batas waktu dengan

pengambilan manfaat lahan tanah Perkebunan sebagai jaminan dikuasi sepenuhnya

oleh murtahin yang terjadi di Desa Kecamatan Bunobagu tersebut tidak sesuai

dengan akad tabarru‟ karena akad tabarru‟ tidak boleh mengambil kelebihan
dalam segala bentuk dari akad rahn tersebut, kalau mengambil kelebihan dari

kesepakatan maka itu riba.

Anda mungkin juga menyukai