net/publication/339843753
CITATIONS READS
0 2,938
1 author:
6 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Daru Nur Dianna on 11 March 2020.
Pengembangan Pertanian
Modern Dari Perspektif
Islam: Sebuah Pengantar 1
***
Daru Nur Dianna
daru.nurdianna@gmail.com
Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan, kini telah masuk pada era
pengembangan integrasi Agama dan Sains. Setelah terpisah atas
1
Disampaikan dalam Kajian Majelis Bentala Syuhada, kerjasama atas Institut
Pemikiran Islam (IPI) Bentala dan Pendidikan Kader Masjid Syuhada (PKMS) Kota Baru,
Yogyakarta. 30 November 2019.
3
6
Lihat Konsep ini di Armahedi Mahzar, Merumuskan Paradigma Sains dan
Teknologi Islami: Revolusi Integralisme Islam, (Bandung: Mizan, 2004).
7
Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer adalah gagasan yang tesis utamanya
adalah ilmu pengetahuan yang tersebar ini tidak bebas nilai dan sudah terpengaruh
oleh budaya, semangat, dan filsafat hidup peradaban Barat. Hagemoni konsep dikotomi
ilmu atas kebudayaan Barat diyakini masuk ke dalam pendidikan Islam, telah
memberikan tantangan yang paling besar dihadapi oleh Umat. Syed Muhammad
Naquib al-Attas, merupakan salah satu pemikir kontemporer yang serius mengkaji
persoalan ilmu tersebut. Al-Attas mengatakan dengan tegas bahwa masalah ilmu
adalah masalah utama yang dihadapi umat Islam yang harus diselesaikan dengan
gagasan islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Al-Attas mengatakan: “... I venture
to main that the greatest challenge that has surreptitiously arisen in our age is the chllenge of
knowledge, indeed, not as against ignorance; but knowledge as conceived and disseminated
throughout the world by Western civilization...”. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam
and Secularism-Fourth Impression, (Kuala Lumpur: Ta‟dib International, 2019), hlm 133.
Adapun ide dewesternisasi dan islamisasi ilmu al-Attas yang dimulai tahun 70-an ini
kemudian tergaungkan wacana praksisnya dengan gagasan dan tawaran rancangan
kerja Islamisasi Ilmu Pengetahuan oleh Ismail Raji al-Faruqi dengan lembaga IIIT
(International Institute of Islamic Thought) dalam karyanya berjudul “Islamization of
Knowledge: General Principle and Work-Plan”, yang kemudian diperjelas kembali praktik
dan kedalaman filosofisnya oleh Wan Mohd Nor Wan Daud, dalam karyanya “The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas; an Exposition of the
Original Concept of Islamization”. Saat ini, wacana ini masih hangat untuk
diperbincangkan dan pendapat yang mengatakan tidak relevan, dipertanyakan kembali
oleh Abuddin Nata. Lihat Abuddin Nata, “Respons Intelektual Muslim Indonesia
Terhadap Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Relevansinya Terhadap Tantangan
Era Milenial”, Jurnal Pendidikan Islam Ta‟dibuna, Vol. 8., No. 2., 2019, 201. Dengan gagasan
ini, diharapkan umat Islam atau „seorang saintis‟ itu mampu memfilter, mengevaluasi
dan menginterpretasikan paradigma dan konsep keilmuwan secara kritis-epistemik,
dan mampu mengembangkan ilmu kontemporer dengan progresif tanpa jatuh kepada
cara pandang yang sama dimiliki oleh manusia modern dan postmodern Barat. Gagasan
5
ini lebih menekankan pembangunan manusianya dan perlu dimaknai untuk menyelami
ilmu pengetahuan dan sains sampai lapisan epistemologis, dengan kata kunci
dewesternisasi, integrasi, dan islamisasi. Juga bisa dengan kata kunci open, adabtable,
adobtable, dan purification.
8
Sederhananya, mengkaji satu bidang keilmuan dengan memanfaatkan bidang
keilmuan lainnya itulah integrasi dan melihat kesaling-terkaitan antar berbagai
disiplin ilmu itulah interkoneksi. Lalu, pendekatan interdisiplinernya menggunakan
dialektika triadik Ḥaḍārah an-Nash, Ḥaḍārah al-„Ilm, dan Ḥaḍārah al-Falsafah, dimana ini
jugalah yang digunakan untuk menggambarkan corak UIN yang ada didalam irisan tiga
triadik tersebut. Lihat Amin Abdullah et al, Praksis Paradigma Integrasi-Interkoneksi dan
Transformasi Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, 2014). Adapun fondasi bahasan pokok paradigma integrasi-interkoneksi selain
pola hubungan sains dan Agama, juga dikarenakan adanya era disrupsi dan problem
pendekatan monodisiplin. Selain itu juga sebagai upaya pengembangan perguruan
tinggi yang masuk kepada generasi ke-3, yang menekankan adaya interdisipliner sains,
sosial, dan Agama, dengan tiga kata kunci Sederhana yakni saling menembus,
keterujian intersubjektif dan imajinasi kreatif. Lihat Amin Abdullah, “Memperkuat
Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Studi Agama di Pascasarjana”, Stadium General
Universitas Islam Negeri Mataram , Lombok, 7 September 2019. Keunikan konsep
keilmuan UIN ini adalah adanya sikap metafora dengan “jaring laba-laba keilmuan”. Ini
dianggap sebagai scientific worldview yang merajut trilogi dimensi, yaitu subjective,
objective, dan intersubjective; lalu merajut trilogi religion, philosophy, dan science; serta
ḥaḍārah al-„ilm. Model hubungan ketiganya adalah hermeneutik sirkularistik, bukan
strukturalistik. Tiga nalar akademik yang dikembangkan dalam paradigma integrasi-
interkoneksi (ilmu) adalah semipermeable (informative, transformative, dan correrctive).
Intersubjective testability, dan creative imagination. Hal ini didukung tiga nalar budaya
UIN Sunan Kalijaga berupa H-NFI, Trilogi RPS, dan Trilogi S-IT-CI. Ari Anshori,
Paradigma Keilmuan Perguruan Tinggi Islam..., 309-310.
9
Disampaikan oleh Amin Abdullah dalam Konferensi Nasional ke-II Integrasi-
Interkoneksi di Fakultas Saintek UIN Suka, 18 September 2019. Penulis menghadiri
stadium general dalam Konferensi ini.
10
Ketika sebuah paradigma itu di sampaikan kepada banyak orang, terjadi
beberapa anomali. Anomali I: Problem Pemahaman. Terjadi ambiguity, vagueness, dan
6
sosial dan realitas sosial kepada idealitas dan orisinalitas ajaran Islam, sedangkan taṭwīr
berpegang pada prinsip-prinsip ajaran Islam, yakni setiap hasil penelitian, kajian dan
pengembangan ilmu-ilmu keislaman didasarkan dengan al-Qur‟an dan al-Hadis, yang
dapat meberikan tambahan ilmu dan wawasan seseorang, sekaligus memperkokoh
keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Tanẓīr, maksudnya adalah penelitian tesis
diarahkan menemukan teori baru yang sesuai dengan semangat al-Qur‟an dan as-
Sunnah. Terakhir taṭbīq, adalah penelitian tesis diarahkan pada penerapan teori dalam
suatu kenyataan (bukan hal yang idealis atau „awang-awang‟ yang tidak bisa
diimplementasikan). Sudarno Shobron et al, Pedoman Penulisan Tesis, (Surakarta:
Sekolah Pascasarjana UMS, 2019), 15.
13
Ari Anshori, Paradigma Keilmuan Perguruan Tinggi Islam..., 10.
8
14
Mattjik AA, “Sambutan”, dalam Jusuf Sutanto et al, Revitalisasi Pertanian dan
Dialog Peradaban…, xlii-xliv.
9
15
Link: www.uaf.edu.pk diakses pada tanggal 6 November 2018.
10
sosial terdiri dari ilmu ekonomi, ilmu sosial dan politik. Maka,
Johan Iskandar memberikan gambaran metodologi penelitian
petani dengan pendekatan ekologi manusia, agroekosistem, dan
sistem farming yang akan mencakup dimensi sains dan sosial
sains.19
Contoh spesifikasi domain sains alam yang ada di dalam
pertanian adalah mengenai kegiatan budidaya (on-farm). Masalah
objek utama tanaman dan alam itu sendiri. Contohnya
pembahasan mengenai fisiologi tanaman dalam hal memahami
metabolisme fotosintesis. Untuk mendefinisikan fotosintesis,
maka dibutuhkan ilmu biologi, fisika, dan kimia. Digambarkan
bahwa, proses fotosintesis adalah proses sintesis bahan organik
(karbohidrat) dari bahan anorganik (CO₂, H₂O, dan H₂S) melalui
aksi cahaya matahari dan pigmen.20 Proses tersebut di jelaskan
bisa optimal, jika ada anasir-anasir pokok dalam kondisi tertentu
dan bekerja secara simultan. Cahaya matahari sebagai anasir
pertama, merupakan anasir fisika dalam bentuk foton yang
memiliki panjang gelombang 300 – 700 nm (Photosyntetic Active
Radiation). Ia berperan dalam fotolisis (pemecahan air yang
menghasilkan elektron dan proton, serta oksigen).21 Setelah
proses fotosistesis fase terang, akan dilanjutkan fase gelap dan
pada akhirnya akan terbentuk energi dan karbohidrat, ATP-
NADP dan gula-protein. Dalam optimalisasi pertumbuhan
tanaman, ia juga dipengaruhi kualitas tanah, hara yang tersedia
di tanah, iklim, dan ada tidaknya penyakit dari jamur atau
bakteri.
19
Lihat Johan Iskandar, “Metodologi Memahami Petani dan Pertanian”, dalam
Jurnal analisis Sosial, 2006, Vol 11, No. 1, 2006, 177.
20
Djoko Purnomo dkk, Fisiologi Tumbuhan; Dasar Ilmu Pertanian, (Surakarta: UNS
Press, 2010), 71.
21
Ibid., 72.
12
22
Dalam kajian filsafat sains, pandangan mekanistik ini menyebabkan sains
menyimpang dari metafisika. Ini membuat sains terpisah dengan agama. Demarkasi ini
terjadi puncaknya pada abad ke-18. Adapun permulaan filsafat mekanistik yang
positivistik ini dikembangkan sejak abad ke-17 oleh Galileo, Descartes, Hobbes,
Mersenne, Gassendi, Boyle, Hooke, Huygens, dan Newton yang menolak Hermenetisme
dan filsafat alam Aristoteles. Mereka secara umum melihat alam sebagai mesin dan
mengklaim bahwa qualities yang kita teliti di alam tidakklah benar-benar eksis, namun
keluar dari proses persepsi. Alam dapat dijelaskan dengan pendekatan matematis.
Ironinya, dominansi pandangan positivisme, adalah faktor utama yang membuat sains
menyimpang (diverge) dari filsafat. Kemudian, profesional sains dan tertutupnya
interaksi dari sains dan teknologi, juga membuat sains terpisah dari filsafat. Lihat
Cemil Akdoğan, Science in Islam and the West, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2008), 9-14.
13
23
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions-Third Edition, (Chicago
dan London: University of Chicago Press, 1996), 12.
24
Cemil Akdoğan, Science in Islam and the West..., 207.
14
25
Hamid Fahmy Zarkasyi, Kausalitas: Hukum Alam atau Tuhan; Membaca Pemikiran
Religio-Saintifik al-Ghazālī, (Ponorogo: UNIDA Gontor Press, 2018), 272-273.
26
Alex F. McCalla, “Challenges to World Agriculture in the 21st Century”, J
Agricultural and Resource Economic University of California, Vol. 4, No. 3, 2001, 1.
27
“Philosophy of Agriculture Science is to study oh the relation between the Human
Society and Agriculture, Environment and Food. It is one of the branch of Philosophy of Natural
Science especially, Agricultural Science, Food Science and Environmental Science. It is also
possible to study by Ethical, Anthropological, Sociological approaches to Food, Agriculture
Environment problem in the World.” Suehera T, Akitsu M, dan Ohishi K, Philosophy of
Agriculture Science: Social and Ethical Studies of Food, Life and Environment, (Kyoto: Division
of Natural Resources Economics, 2011) Website: www.kais.kyoto-u.ac.jp
28
Kata „Nexus‟ dalam kamus The New International Webster‟s Comprehensive, adalah
“a bond or tie between the several members of groups or series”, The New International
Webster‟s Comprehensive…, 855. Adapun Keairns DL et al kata Nexus dari bahasa Latin,
yakni „nectere‟, yang artinya mengikat (bind) atau terhubung (connect). Keairns DL,
17
Darton RC, dan Irabien A, “The Energy-Water-Food Nexus”, Jurnal Annu. Rev. Chem.
Biomol. Eng., 2016, 7, 240.
29
Ibid., 239. bandingkan dengan laporan Land and Water Division (NRL) and the
Climate, Energy and Tenure Division (NRC) Food and Agriculture Organization of the
United Nations (FAO), The Water-Energy-Food Nexus A New Approach In Support Of Food
Security And Sustainable Agriculture, (Roma: FAO, 2014), 1.
30
Abuddin Nata, “Revitalisasi Produk Pertanian dalam Perspektif Normatif
Islami”, dalam Jusuf Sutanto et al. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban…, 677.
18
33
Waston, Filsafat Ilmu dan Logika, (Surakarta: Muhammadiyah Unversity Press,
2019), 116
20
34
Aburizal Bakrie, “Sambutan” dalam Jusuf Sutanto et al, Revitalisasi Pertanian
dan Dialog Perdaban…, xxxvi.
23
35
Syamsuri, “Paradigma Pembangunan Ekonomi; Satu Analisis Tinjauan Ulang
Dari Perspektif Ekonomi Islam”, Islamiconomic: Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 7, No. 2. 2016,
231-236.
36
Edi Kusmiadi, “Pengertian dan Sejarah Perkembangan Pertanian”, dalam
Pangaribuan N dan Kusmiadi E. Pengantar Ilmu Pertanian, (Tangerang: Universitas
Terbuka, 2014), 1.14.
37
Maqṣid‟ yang jika berbentuk jamak „maqāṣid‟, memiliki maksud (purpose/intent),
objektif (objective), prinsip (principle) tujuan (goal); dan dalam bahasa Yunani adalah
telos, dalam bahasa Prancis adalah „finalité‟, dan bahasa Jerman sepadan dengan kata
24
„zweck‟. 37 Jasser Auda, Maqāṣid al-Sharī‟ah as Philosophy of Islamic Law A Systems Approach,
(London-Washington: IIIT, 2007) 2. Adapun menurut al-Syātibi, menjelaskan bahwa
tujuan ditetapkannya hukum Allah adalah untuk kemaslahatan manusia. Hal ini karena
dalam kitabnya yang berjudul “al-Muwāfaqāt”, Syāṭibi menyatakan tentang konsep
maslahat dalam Maqāṣid al-Syarī‟ah tersebut, terdapat di dalam al-Qur‟ān yang
diturunkan oleh Allah S.W.T. kepada Rasul-Nya Nabi Muhammad S.A.W. sebagai kabar
gembira dan peringatan; dan rahmat bagi seluruh alam. Lihat Abu Isḥāq al-Syāṭibi, al-
Muwāfaqāt fī Uṣul al-Syarī‟ah, Edisi 2, (Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2009), 220.
38
Secara analisis bahasa, Iḥsān berasal dari rangkaian huruf aḥ-sa-na (( )أحسنfi‟il
tsulatsy mazīd) yang memiliki makna literal „berbuat baik‟; „melakukan dengan baik‟;
dan „melampaui atau mengetahui dengan baik‟. Adapun kata kerja dasar ḥa-su-na, maka
artinya adalah „baik‟ atau „bagus‟. Di dalam Al-Qur‟an, kata ini dan derivasinya
dipergunakan sebanyak kurang lebih 166 kali, yang secara bergantian menggunakan
diksi husnā, hasanah, hasanāt, ahsana, ahsanu, husnan, muhsinān, ahsin, dan lain
sebagainya. Muhammad Syamsudin, “Ihsan, Hasan, dan Istihsan dalam Bahasa Al-
Qur‟an.” Link: https://islam.nu.or.id/post/read/111788/Iḥsān--hasan--dan-istIḥsān-
dalam-bahasa-al-qur-an, Sabtu 5 Oktober 2019. Diakses pada 30 Januarui 2020. Dalam
menggali konsep dan maknanya, sebuah hadits Jibril yang meyebutkan pokok ajaran
Islam yang Islam-Iman-Ihsan, memberikan keterangan tentang hubungan manusia dan
Tuhannya. Jadi, Iḥsān dalam bentuk yang pertama, adalah beribadah kepada Allah
dengan seolah-olah melihat Allah. Kondisi ini disebut sebagai „musyāhadah‟.
Musyāhadah dalam istilah keadaan hati seorang hamba yang merasa berhadapan
langsung dengan Tuhannya. Ia merasa Allah Swt ada di hadapannya. Konsep Iḥsān
secara umum kepada manusia secara umum, ialah bersikap baik dalam segala hal.
Sebagaimana yang dijelaskan pada hadits Arbain An-Nawawi No. 17. “Sesungguhnya
Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika kalian hendak membunuh,
maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak menyembelih, maka sembelihlah
dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan senangkanlah hewan yang
akan disembelih.”
25
Kesimpulan
Pertanian perlu dipandang secara arti luas dan dampaknya
menglobal, sehingga penting untuk dikembangkan di dalam
Perguruan Tinggi Islam, dan secara umum di dalam organisasi,
yayasan, pondok pesantren, sekolah, ataupun ormas Islam.
Pertanian adalah peradaban manusia itu sendiri. Perangkat,
komponen, unsur dan tujuan pertanian relevan dengan tujuan-
tujuan syariat Islam yang menghendaki kesejahteraan bagi
manusia dan kelestarian alam. Namun, sekarang dalam
paradigma pembangunannya, terdasari dan tergerakkan dari
konsep dan sistem ekonomi konvensional yang tidak
mengakomodir konsep-konsep penting dalam perspektif Islam.
Secara praksisnya, Islam dan masyarakat muslim tidak bisa lepas
dari kegiatan pertanian. Lalu kompleksnya ilmu pertanian dan
persoalannya, berkembangn mengikuti perkembangan zaman.
Sehingga, sains dan teknologi pertanian kontemporer harus
serius dikembangkan oleh masyarakat Muslim, dalam menjaga
neksus air, energi dan pangan manusia. []
26
DAFAR ISI