Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


        Al-Quran diturunkan secara bertahap. Setiap kali ada ayat turun,
Rasulullah SAW segera menyampaikannya kepada umat, dan
memerintahkan untuk menulisnya. Diantara sahabat, ada yang langsung
menghafal ayat al-Qur'an setiap kali turun. Ada pula yang hanya
menulisnya, dan Rasulullah menuntun penulisan itu sesuai dengan urutan
surat dan ayat.
          Ketika Rasulullah SAW wafat, Al-Qur'an tidak terkumpul dalam satu
buku (mushaf), melainkan tersimpan dalam dada para sahabat, terukir diatas
lembar-lembar para penulis wahyu. Pada saat itu para penghafal al-Qur'an
sangat banyak, dan ada yang hafal secara keseluruhan.
              Ketika Abu Bakar khalifah pertama memberantas kaum murtadin
dan pendukung nabi palsu; Musailamah, banyak dari penghafal al-Qur'an
gugur sebagai Syahid, hingga Abu Bakar khawatir hal ini akan
mengakibatkan lenyapnya al-Qur'an dari muka bumi.
Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola
penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-
sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Istilah Rasm
Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin Al-Ash,
dan Abdurrahman bin Al-harits.
B.     Rumusan Masalah
      1.      Bagaimana pengertian rasm alquran?
      2.      Bagaimana Pola, Hukum dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an?
      3.      Bagaimana Perkembangan Rasm Al Qur’an?
      4.      Bagaimana Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan Rasm Utsmani?
  5.      Bagaimana Pendapat Ulama Tentang Status Tawqifi Pada Rasm
Utsmani?

1
C.    Tujuan Penulisan
      1.      Untuk Mengetahui pengertian rasm alquran.
      2.      Untuk Mengetahui Pola, Hukum dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an.
      3.      Untuk Mengetahui Perkembangan Rasm Al Qur’an.
      4.      Untuk Mengetahui Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan
Rasm Utsmani.
   5.      Untuk Mengetahui Pendapat Ulama Tentang Status Tawqifi Pada
Rasm Utsmani.

    

2
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Rasm Al-quran
     Yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm
Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa
khlalifah bin Affan.1 Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai
pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-
sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an. Istilah Rasm
Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin Al-Ash,
dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah
tertentu. Para ulama meringkas kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu :
1.      Al-Hadz (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). Contoh,
menghilangkan huruf alif pada ya’nida’, dari ha tanbih, pada lafaz jalalah.
2.      Al-Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah
wawu atau yang mampunyai hukum jama’ dan menambah  huruf setelah
hamzah marsumah (hamzah yang terletak diatas tulisan wawu.
3.      Al-Hazmah, salah satu kaidahnya berbunyui bahwa apabila hamzah
berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya, contoh
I’dzan dan U’tumin.
4.      Badal (pergantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai
penghormatan.
5.      Washal dan fashl (penyambungan dan pemisahan), seperti kata kul yang
diringi kata ma ditulis dengan disambung.
6.      Kata yang dapat dibaca dua bunyi. Penulisan kata yang dapat dibaca dua
bunyi disesuaikan dengan salah satu bunyi. Didalam mushaf  Utsmani,
penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif (yakni dibaca
dua alif), boleh juga dengan hanya menurut buyi harakat (yakni dibaca satu
alif).

1 Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu dalam


kehidupan masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung 1994.

3
B.     Pola, Hukum dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
     Kedudukan rams Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola
penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad
para sahabat.2
      Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan

alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan

dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para

sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan

(ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi.        

Sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams

Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak

pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu.

Bahkan sebuah riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu.

Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya

Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak

memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang

menulisnya dengan pola-pola tertentu. 

   Beberapa orang memperhatikan sikap yang berlebihan dengan

menyatakan pendapat, bahwa Rasm Qur’ani itu adalah tauqifi, yang metode

penulisannya diletakkan sendiri oleh Rasulullah Saw. Mereka mengaitkan

Rasm Qur’ani itu kepada beliau, padahal beliau adalah seorang Nabi yang

tak kenal baca tulis. Mereka mengatakan bahwa Nabi pernah berkata kepada

2 Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A.  Pengantar Ilmu Tafsir, Penerbit Pustaka Setia,
Bandung februari 2006.

4
Muawiyah, salah seorang petugas pencatat wahyu : “Ambillah tinta, tulislah

huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”,

jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik,

panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang

indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu

mengingat Engkau. Ibnu Mubarak termasuk orang yang paling bersemangat

mempertahankan pendapat seperti itu. Dalam bukunya yang berjudul Al-

Ibrizt ia mencatat apa yang dikatakan oleh gurunya; Abdul Aziz Ad-

Dabbagh, yang mengatakan sebagai berikut :

“Tidak seujung rambut pun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang

sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni

atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW).

Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu

dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan

pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau

akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci

lainnya”.

     Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm

Nabawi, bukannya rasm ‘Utsmani. Belum lagi ummi Nabi diartikan sebagai

buta huruf, yang berarti tidak mungkin petunjuk teknis datang dari Nabi.

Tidak pernah ditemukan suatu riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat

bahwa pola penulisan Al Qur’an itu berasal dari Nabi.

5
     Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi

Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib,

dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola

itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah

penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan

Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi

rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan

ulama mayoritas (jumhur ulama).3

   Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi,

berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola

penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada

pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat

menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol

pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.

C.    Perkembangan Rasm Al Qur’an


       Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya.

Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena

umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan

akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang

menyelipkan catatan-catatan tambahan  dari penjelasan Nabi, ada lagi yang

menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui

oleh penulisnya.
3 Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Penerbit Amzah, Oktober
2005.

6
     Seperti diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al Qur’an belum

mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang

dikenal sekarang, dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik,

sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (‫)ي‬  dan ba’ (‫)ب‬. Demikian

pula antara sin (‫)س‬dan syin (‫)ش‬, antara tha’ (‫ )ط‬dan zha’ (‫)ظ‬, dan

seterusnya.

     Kesulitan mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah

non Arab, seperti Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan

beberapa wilayah non Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para

pemimpin Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah

pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan (661-680 M) – riwayat lain

menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib – ia

memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duwali membuatkan tanda-tanda baca,

terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur’an bagi

generasi yang tidak hafal Al Qur’an.4

      Al-Dawali memberikan tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah


titik di atas huruf (‫)ﹿ‬, sebuah titik di bawah huruf sebagai tana baris bawah
(kasrah),k tanda dhammah ben pa wawu kecil diantara dua huruf, dan tanpa
apa-apa lagi huruf konsonan mati.
     Selanjutnya rasm mengalami perkembangan. Khalifah Abdul ibn

Marwan (685-705), memerintahkan Al-Hajjaj ibn Yusuf Al-Saqafi untuk

menciptakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an (nuqth al-Qur’an).

Mendelegasikan tugas itu kepada Nashr ibn Ashim dan Yahya ibu Ma’mur,

keduanya adalah murid al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi


4 Al-Quran, Microsoft Word Office 2007.

7
titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu

dengan yang lainnya, misalnya penambahan titik diatas huruf dal maka

menjadi huruf dzal. Dari pola penulisan tersebut akhirnya berkembanglah

berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola kufi, maghribi,

naqsh, dll.

D.    Perbedaan Ulama Tentang Kedudukan Rasm Utsmani


       Mushaf-mushaf yang dikirim Utsman ke seluruh penjuru negeri yang

disebut sebagai rasm utsmani, adalah mushaf yang wajib diikuti berdasar

kesepakatan para ulama, meskipun kita tidak begitu mengerti apa hikmah

dibalik perbedaan metode penulisan Rasm Utsmani dengan kaidah-kaidah

penulisan dalam bahasa Arab. Hukum wajib ini bukan tanpa alasan.

Menurut sebagian ulama rasm utsmani telah disepaki oleh 12000 sahabat.

Kesepakatan ini menjadikan sebuah kewajiban bagi kita untuk ittiba'.

Rasulullah SAW memerintahkan kita berpegang teguh terhadap sunnah

beliau dan sunnah-sunnah khulafa'ur rasyidin. 

     Imam Al-Baihaqi dalam kitab haditsnya "Syu'bul Iman", mengatakan

bahwa hendaknya kita membaca dan menulis Al-Qur'an sesuai dengan apa

yang telah ditulis para sahabat. Karena mereka lebih banyak ilmunya, lebih

benar hati dan lisannya, dan lebih besar amanahnya. 

    Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli al-Magrabi mengatakan bahwa hukum

menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm utsmani adalah haram. Alasan

yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan Al-Qur'an yang tidak sesuai

dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian kalangan awam atas rasm

utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam membaca al-Qur'an

8
dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak dapat diterima karena

ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sebagian besar

sahabat dan para ulama sesudahnya. 

    Jika ditanya, mengapa kita tidak memakai mushaf Abu Bakar saja,

padahal mushaf tersebut ada sebelum mushaf utsman? Jawabannya adalah

bahwa mushaf Abu Bakar mengumpulkan ketujuh wajah qira'ah di mana di

dalam penulisannya mengakibatkan adanya perbedaan antar satu qira'ah

dengan qari'ah yang lain, untuk menghindari kerancuan. Lagi pula mushaf

Abu Bakar telah sirna karena ikut tercuci saat Hafshah binti Umar ummul

mukminin meninggal. Sedangkan mushaf utsman dinukil dari mushaf Abu

Bakar yang hanya menuliskan satu qiraah yakni qiraah dengan dialek bahasa

bangsa Quraisy. 

E.     Pendapat Ulama Tentang Status Tawqifi Pada Rasm Utsmani


     Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Sebagian mereka

berpendapat bahwa rasm utsmani adalah tauqifi, dan diajarkan oleh

rasulullah SAW. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah

membacakan ayat al-Quran di hadapan Zaid bin Tsabit untuk ditulis (imla'),

seperti penulisan ‫ واخشوني‬dengan menggunakan ya' pada surat Al-Baqarah

dan tanpa ya' dalam surat Al-Maidah. Contoh-contoh lain banyak di dalam

al-Quran, yang semuanya disaksikan sekelompok besar sahabat. Semua

dasar itu membuktikan rasm al-Qur'an adalah tawqifi bukan hasil hasil

ijtihad para sahabat. Alasan lain adalah sudah ditulisnya al-Qur'an sejak

zaman Rasulullah SAW, meski tidak terkumpul dalam satu tempat dan

urutan surat yang belum ditertibkan.

9
   Pendapat yang mengatakan rasm utsmani bukan tauqifi melainkan hasil

ijtihad sahabat memberikan alasan sebagai berikut:

1. Rasulullah adalah seorang ummi, tidak bisa membaca dan menulis,

meskipun ini merupakan mukjizat bagi beliau.

2. Zaid bin Tsabit tidak akan berbeda pendapat dengan sahabat yang lain

pada kalimah ‫ التابوت‬apakah ditulis dengan ta' atau ha' (tak ta'nits), hingga

akhirnya sampai ke telinga Utsman dan beliau memerintahkan menulisnya

dengan ta'.

3. Jika rasm utsmani tawqifi, maka tidak akan terjadi perbedaan diantara

mushaf-mushaf yang beliau kirim ke berbagai daerah.

4. Jika tawqifi, maka Imam Malik tidak akan memperbolehkan penulisan

al-Qur'an untuk bahan pelajaran anak-anak yang tidak sesuai dengan rasm

utsmani

    Meskipun para ulama ini mengatakan demikian, bukan berarti mereka

meremehkan para sahabat penulis al-Qura'n, menganggap mereka telah

berbuat teledor atau menganggap mereka bodoh dan tidak paham akan

kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab, seperti yang didengungkan para

orientalis atau kaum Syiah yang menganggap para sahabat penulis al-Qur'an

telah berkhianat dengan melakukan tahrif dan taghyir pada al-Qur'an serta

membuang banyak ayat al-Qur'an diantaranya adalah ayat yang menjelaskan

keberhakan 'Ali bin Abi Thalib atas kursi khalifah sesudah Rasulullah SAW.

10
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
              Yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau
Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada

11
masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan
sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan
sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an.
           Kedudukan rasm Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola
penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad
para sahabat.
          Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan
alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan
dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para
sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan
(ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi
           Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan

lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar.

Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak

direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara

mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan  dari penjelasan

Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya

yang hanya diketahui oleh penulisnya.

            Imam Al-Baihaqi dalam kitab haditsnya "Syu'bul Iman",

mengatakan bahwa hendaknya kita membaca dan menulis Al-Qur'an sesuai

dengan apa yang telah ditulis para sahabat. Karena mereka lebih banyak

ilmunya, lebih benar hati dan lisannya, dan lebih besar amanahnya. 

                Syeikh Abduraahman bin Al-Qadli al-Magrabi mengatakan bahwa

hukum menulis al-Qur'an tidak sesuai dengan rasm utsmani adalah haram.

Alasan yang dijadikan dalil memperbolehkan penulisan Al-Qur'an yang

tidak sesuai dengan rasm utsmani berupa ketidak mengertian kalangan

12
awam atas rasm utsmani dan akan mengakibatkan mereka keliru dalam

membaca al-Qur'an dan alasan-alasan yang lain, adalah alasan yang tidak

dapat diterima karena ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati

oleh sebagian besar sahabat dan para ulama sesudahnya. 

B. Saran

Dalam memahami ayat-ayat rasm tentunya akan menemui perbedaan


antara ulamak satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, kita sebagi
mahasiswa tidak sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan
yang lainnya. Karena setiap pendapat yang dikeluarkan oleh para ulamak
tentunya semuanya memiliki dasar. Kita harus lebih bijak dalam mengatasi
perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. M. Qhuraish Shihab, Membumikan Al-Quran: fungsi dan peran wahyu


dalam kehidupan masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung 1994.
Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, M.A.  Pengantar Ilmu Tafsir, Penerbit
Pustaka Setia, Bandung februari 2006.

13
Drs. Abu Anwar, M.Ag, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Penerbit
Amzah, Oktober 2005.
Al-Quran, Microsoft Word Office 2007.

14

Anda mungkin juga menyukai