Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan dibidang kesehatan sebagai bagian dari pembangunan

nasional yang ditata dalam Sistem Kesehatan Nasional diarahkan untuk

mencapai derajat kesehatan yang optimal dan produktif sebagai perwujudtan dari

kesejahteraan umum seperti yang dimaksud dalam pembukaan undang-undang

dasar 1945 dan undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Untuk

mencapai derajat kesehatan yang optimal bagi setiap penduduk, pelayanan

kesehatan harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu dalam pelayanan

kesehatan perorangan, pelayanan kesehatan keluaraga maupun pelayanan

kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2006).

Usaha peningkatan kesehatan masyarakat pada kenyataannya tidaklah

mudah seperti membalikkan telapak tangan saja, karena masalah ini sangatlah

kompleks, dimana penyakit yang terbanyak diderita oleh masyarakat terutama

pada yang paling rawan yaitu ibu dan anak, ibu hamil dan ibu meneteki serta

anak bawah lima tahun (Rasmaliah, 2008).

Sebagai upaya mewujudkan Visi Indonesia Sehat 2010, pemerintah telah

menyusun berbagai program pembangunan dalam bidang kesehatan antara lain

kegiatan Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) baik yang bersifat promotif

preventif, kuratif dan rehabilatif di semua aspek lingkungan kegiatan pelayanan

kesehatan (WHO, 2003).

1
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab

kematian yang paling banyak terjadi pada anak di Negara sedang berkembang.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut ini menyebabkan 4 dari 15 juta perkiraan

kematian pada anak berusia dibawah 5 tahun pada setiap tahunnya sebanyak dua

pertiga kematian tersebut adalah bayi (WHO, 2003).

Penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula

memberi kecacatan sampai pada masa dewasa. dimana ditemukan adanya

hubungan dengan terjadinya Chronic obstructive pulmonary disease (WHO,

2003). Infeksi saluran Pernapasan Atas (ISPA) dapat menyebapkan demam,

batuk, pilek dan sakit tenggorokan (Bidulh, 2002).

Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA

(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernapasan

bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah. ISPA (Infeksi

Saluran Pernapasan Akut) adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh

anak- anak, baik di Negara berkembang maupun di Negara maju (WHO, 2003 ).

Di Indonesia terjadi lima kasus diantara 1000 bayi atau Balita, ISPA

(Infeksi Saluran Pernapasan Akut) mengakibatkan 150.000 bayi atau Balita

meninggal tiap tahun atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus perhari, atau

17 anak perjam atau seorang bayi tiap lima menit (Siswono, 2007). Faktor-faktor

yang bisa menjadi penyebab penyakit ISPA yaitu antara lain: umur, jenis

kelamin, keadaan gizi, kekebalan, lingkungan, imunisasi yang tidak lengkap dan

pemberian asi ekslusif yang tidak sesuai (Depkes, 2002).

2
Kurangnya pengetahuan ibu tentang Imunisasi pertusis menyebapkan

banyaknya balita terkena ISPA, Imunisasi pertusis yakni imunisasi yang

diberikan agar balita tidak rentan terkena Infeksi Saluran Pernapasan.

Diperkirakan kasus pertusis sejumlah 51 juta dengan kematian lebih dari

600.000 orang, namun hanya 1,1 juta penderita dilaporkan dari 163 negara

dalam tahun 1983. Hampir 80 % anak- anak yang tidak di imunisasi menderita

sakit pertusis sebelum umur 5 tahun. Kematian karena pertusis, 50 % terjadi

pada bayi (umur < 1 tahun). Anak berumur di bawah 2 tahun mempunyai risiko

terserang Infeksi Saluran Pernafasan Akut lebih besar dari pada anak di atas 2

tahun sampai 5 tahun, keadaan ini karena pada anak di bawah umur 2 tahun

imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran nafasnya relatif sempit (Daulay,

2008).

Salah satu upaya peningkatan kesehatan yang bersifat promotif dan

preventif adalah program Imunisasi yang terdekat dengan masyarakat. Walaupun

pada saat ini fasilitas pelayanan imunisasi telah tersedia dimasyarakat, tetapi

tidak semua balita dibawah untuk mendapatkan imunisasi (Ikhsan, 2006).

Kasus ISPA di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota palu dari sepuluh

penyakit terbesar di kota Palu, penyakit ISPA selalu menduduki peringkat teratas

setiap tahunnya dan berdasarkan data yang diperoleh pada bidang kepegawaian

Puskesmas Tawaeli yaitu pada tahun 2010 jumlah penderita ISPA sebanyak

2033 anak dan berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa cukup banyak anak

yang menderita penyakit ISPA. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan

3
penelitian tentang “ Hubungan Umur Dan Status Imunisasi Terhadap Kejadian

ISPA Pada Balita 0-5 Tahun Di  Puskesmas Tawaeli Kota Palu Tahun 2011”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian di atas maka dapat ditentukan rumusan masalah yaitu:

“Apakah ada hubungan umur dan status  imunisasi dengan kejadian ISPA pada

balita usia 0-5 tahun di Puskesmas Tawaeli Kota Palu Tahun 2011”?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan umur dan status imunisasi terhadap

kejadian ISPA pada balita usia 0-5 tahun di Puskesmas Tawaeli Kota Palu

tahun 2011.     

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan umur balita dengan kejadian ISPA pada

balita usia 0-5 tahun di Puskesmas Tawaeli kota Palu tahun 2011.

b. Untuk mengetahui hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada

balita usia 0-5 tahun di Puskesmas Tawaeli kota Palu tahun 2011.

D.  Manfaat Penelitian.

1. Bagi Puskesmas Tawaeli

Hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sabagai bahan

pertimbangan dalam rangka meningkatkan program kesehatan terutama yang

berhubungan dengan penyakit ISPA yang ada di puskesmas Tawaeli.

4
2. Bagi  Institusi Pendidikan

Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa akper Justitia palu guna

menambah pengetahuan dan wawasan dalam melakukan penelitian. Serta

merupakan media untuk pengembangan kurikulum akademi keperawatan

Justitia Palu dalam melaksanakan riset keperawatan.

3. Bagi Peneliti

Sebagai media untuk menambah ilmu pengetahuan, serta wawasan

dalam melakukan penelitian keperawatan anak. Serta mengetahui bagai mana

penelitian itu dilakukan, sekaligus sebagai bahan pembelajaran yang berharga

bagi peneliti.

1.

5
2. B A B II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Ispa

1. Definisi ISPA

ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut,

istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory

Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran

pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut (Indah, 2005).

Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang

komplek dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Etiologi

ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri dan riketsia serta jamur. Virus

penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus (termasuk di dalamnya virus

influensa, virus para-influensa dan virus campak), dan adenovirus. Bakteri

penyebab ISPA misalnya: Streptokokus Hemolitikus, Stafilokokus,

Pneumokokus, Hemofilus Influenza, Bordetella Pertusis, dan

Korinebakterium Diffteria (Achmadi, dkk, 2004).

2. Etiologi ISPA

Infeksi saluran pernafasan akut merupakan kelompok penyakit yang

komplek dan heterogen, yang disebabkan oleh berbagai etiologi. Kebanyakan

infeksi saluran pernafasan akut disebabkan oleh virus dan mikroplasma.

Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis bakteri, virus,dan jamur. Bakteri

penyebab ISPA misalnya: Streptokokus Hemolitikus, Stafilokokus,

Pneumokokus, Hemofilus Influenza, Bordetella Pertusis, dan

6
Korinebakterium Diffteria. Bakteri tersebut di udara bebas akan masuk dan

menempel pada saluran pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung.

Biasanya bakteri tersebut menyerang anak-anak yang kekebalan tubuhnya

lemah misalnya saat perubahan musim panas ke musim hujan (Achmadi dkk.,

2004).

Untuk golongan virus penyebab ISPA antara lain golongan miksovirus

(termasuk di dalamnya virus para-influensa, virus influensa, dan virus

campak), dan adenovirus. Virus para-influensa merupakan penyebab terbesar

dari sindroma batuk rejan, bronkiolitis dan penyakit demam saluran nafas

bagian atas. Untuk virus influensa bukan penyebab terbesar terjadinya

terjadinya sindroma saluran pernafasan kecuali hanya epidemi-epidemi saja.

Pada bayi dan anak-anak, virus-virus influenza merupakan penyebab

terjadinya lebih banyak penyakit saluran nafas bagian atas daripada saluran

nafas bagian bawah (Siregar dan Maulany, 1997).

3. Klasifikasi ISPA

Kalsifikasi ISPA dibagi menjadi 2 (Dua) yaitu :

a. ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas Akut) : batuk pilek (common

cold),faringitis, tonsilitis, otitis media atau penyakit nonpneumonia.

b. ISPBA (Infeksi Saluran Pernapasan Bawah Akut) : Pneumonia.

(Setiowulan, 2001).

4. Tanda dan Gejala

Sebagian besar anak dengan infeksi saluran nafas bagian atas

memberikan gejala yang sangat penting yaitu batuk. Infeksi saluran nafas

7
bagian bawah memberikan beberapa tanda lainnya seperti nafas yang cepat

dan retraksi dada. Semua ibu dapat mengenali batuk tetapi mungkin tidak

mengenal tanda-tanda lainnya dengan mudah (Harsono dkk., 1994). Selain

batuk gejala ISPA pada anak juga dapat dikenali yaitu flu, demam dan suhu

tubuh anak meningkat lebih dari 38,5 0 Celcius dan disertai sesak nafas (PD

PERSI, 2002).

Menurut derajat keparahannya, ISPA dapat dibagi menjadi tiga

golongan yaitu (Suyudi, 2002):

a. ISPA ringan bukan pneumonia

b. ISPA sedang, pneumonia

c. ISPA berat, pneumonia berat

Khusus untuk bayi di bawah dua bulan, hanya dikenal ISPA berat

dan ISPA ringan (tidak ada ISPA sedang). Batasan ISPA berat untuk bayi

kurang dari dua bulan adalah bila frekuensi nafasnya cepat (60 kali per menit

atau lebih) atau adanya tarikan dinding dada yang kuat. Pada dasarnya ISPA

ringan dapat berkembang menjadi ISPA sedang atau ISPA berat jika keadaan

memungkinkan misalnya pasien kurang mendapatkan perawatan atau daya

tahan tubuh pasien sangat kurang. Gejala ISPA ringan dapat dengan mudah

diketahui orang awam sedangkan ISPA sedang dan berat memerlukan

beberapa pengamatan sederhana.

a. Gejala ISPA ringan

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejala

sebagai berikut :

8
1) Batuk.

2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara

(misalnya pada waktu berbicara atau menangis).

3) Pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung.

4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37oc atau jika dahi anak

diraba dengan punggung tangan terasa panas.

Jika anak menderita ISPA ringan maka perawatan cukup dilakukan

di rumah tidak perlu dibawa ke dokter atau Puskesmas. Di rumah

dapat diberi obat penurun panas yang dijual bebas di toko-toko atau

Apotik tetapi jika dalam dua hari gejala belum hilang, anak harus

segera di bawa ke dokter atau Puskesmas terdekat.

b. Gejala ISPA sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika di jumpai gejala

ISPA ringan dengan disertai gejala sebagai berikut :

1) Pernapasan lebih dari 50 kali /menit pada anak umur kurang dari satu

tahun atau lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih.

2) Suhu lebih dari 390C.

3) Tenggorokan berwarna merah.

4) Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak.

5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

6) Pernafasan berbunyi seperti mendengkur.

7) Pernafasan berbunyi seperti mencuit-cuit.

9
Dari gejala ISPA sedang ini, orangtua perlu hati-hati karena jika anak

menderita ISPA ringan, sedangkan anak badan panas lebih dari 39 0C,

gizinya kurang, umurnya empat bulan atau kurang maka anak

tersebut menderita ISPA sedang dan harus mendapat pertolongan

petugas kesehatan.

c. Gejala ISPA berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika ada gejala ISPA

ringan atau sedang disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut:

1) Bibir atau kulit membiru.

2) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu

bernapas.

3) Anak tidak sadar atau kesadarannya menurun.

4) Pernafasan berbunyi mengorok dan anak tampak gelisah.

5) Pernafasan menciut dan anak tampak gelisah.

6) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernapas.

7) Nadi cepat lebih dari 60 x/menit atau tidak teraba.

8) Tenggorokan berwarna merah.

Pasien ISPA berat harus dirawat di rumah sakit atau puskesmas

karena perlu mendapat perawatan dengan peralatan khusus seperti

oksigen dan infus.

10
5. Pencegahan ISPA

Keadaan gizi dan keadaan lingkungan merupakan hal yang penting

bagi pencegahan ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah

ISPA adalah:

a. Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik.

1) Bayi harus disusui sampai usia dua tahun karena ASI adalah makanan

yang paling baik untuk bayi.

2) Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya.

3) Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup yaitu

mengandung cukup protein (zat putih telur), karbohidrat, lemak,

vitamin dan mineral.

4) Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal. Protein

misalnya dapat di peroleh dari tempe dan tahu, karbohidrat dari nasi

atau jagung, lemak dari kelapa atau minyak sedangkan vitamin dan

mineral dari sayuran,dan buah-buahan.

5) Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk mengetahui

apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan perlu diperiksa apakah ada

penyakit yang menghambat pertumbuhan (Dinkes DKI (2005).

b. Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi.

Agar anak memperoleh kekebalan dalam tubuhnya anak perlu

mendapatkan imunisasi yaitu DPT (Depkes RI, 2002). Imunisasi DPT

salah satunya dimaksudkan untuk mencegah penyakit Pertusis yang salah

satu gejalanya adalah infeksi saluran nafas (Gloria, 2001).

11
c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.

Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi

pencegahan penyakit ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak mencerminkan

hidup sehat akan menimbulkan berbagai penyakit. Perilaku ini dapat

dilakukan melalui upaya memperhatikan rumah sehat, desa sehat dan

lingkungan sehat (Suyudi, 2002).

d. Pengobatan segera

Apabila anak sudah positif terserang ISPA, sebaiknya orang tua

tidak memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada

tenggorokan, misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung

vetsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan yang terlalu

manis. Anak yang terserang ISPA, harus segera dibawa ke dokter (PD

PERSI, 2002).

Pengobatan pada ISPA :

1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik melalui

jalur infus , di beri oksigen dan sebagainya.

2) Pneumonia: diberi obat antibiotik melaui mulut. Pilihan obatnya

Kotrimoksasol, jika terjadi alergi/tidak cocok dapat diberikan

Amoksilin, Penisilin, Ampisilin.

3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan

perawatan di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk

tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang

merugikan.

12
4) Bila demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita

dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokan didapat

adanya bercak nanah disertai pembesaran kelenjar getah bening dileher,

dianggap sebagai radang tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan

harus diberi antibiotik selama 10 hari.

B. Tinjauan Tentang Umur

Menurut Elisabeth dalam Nursalam, (2001) yaitu umur adalah usia

individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun.

Pendapat lain mengemukakan bahwa semakin cukup umur, tingkat kematangan

dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja dari segi

kepercayaan masyarakat. Seseorang yang lebih dewasa akan lebih percaya diri

dari orang yang belum cukup kedewasaannya.

Menurut Long dalam Nursalam, (2001) yaitu semakin tua umur

seseorang semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah

yang dihadapi. Semakin muda umur seseorang dalam menghadapi masalah maka

akan sangat mempengaruhi konsep dirinya. Umur dipandang sebagai suatu

keadaan yang menjadi dasar kematangan dan perkembangan seseorang.

Kematangan individu dapat dilihat langsung secara objektif dengan periode

umur, sehingga berbagai proses pengalaman, pengetahuan, keterampilan,

kemandirian terkait sejalan dengan bertambahnya umur individu.

Banyak dikenal penyakit tertentu yang hanya menyerang golongan

umur tertentu saja (Azrul, 1999). Dimana pada umumnya daya tahan tubuh orang

dewasa jauh lebih kuat daripada daya tahan tubuh bayi atau anak-anak. Umur

13
merupakan variabel yang selalu diperhatikan didalam penyelidikan-penyelidikan

epidemiologi, angka kesakitan maupun angka kematian di dalam hampir semua

keadaan menunjukan hubungan dengan umur (Notoatmodjo, 2003).

Dengan cara ini orang dapat membacanya dengan mudah dan melihat

pola kesakitan atau kematian menurut golongan umur. Untuk keperluan

perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian umur sebagai berikut:

Menurut tingkat kedewasaan

1. 0 - 14 tahun : bayi dan anak-anak

2. 15 – 49 tahun : orang muda dan dewasa

3. 50 tahun ke atas : orang tua

C. Tinjauan Tentang Imunisasi

1. Pengertian

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak

diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu.

Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit, tetapi belum tentu kebal

terhadap penyakit lainnya (Notoatmodjo, 2003).

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan

anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat

anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Sedangkan yang dimaksud

vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti

yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan seperti vaksin BCG, DPT,

Campak, dan melalui mulut seperti vaksin polio (Alimul, 2005).

14
Berdasarkan asal mulanya imunitas dibagi menjadi dua hal yaitu pasif

dan aktif. Pasif ialah bila tubuh anak tidak bekerja membentuk kekebalan

tetapi hanya menerima saja, sedangkan aktif adalah bila tubuh anak ikut

menyelanggarakan terbentuknya imunitas (Mansjoer, 2000).

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan

kekebalan (imunitas) pada bayi dan anak sehingga terhindar dari penyakit

(DepKes RI, 2000 dalam supartini 2004).

Semua bayi memiliki kekebalan yang didapati dari sang bunda semasa

dalam kehamilam namun kekebalan yang dimiliki sang bayi ada yang

terbatas oleh sebab itu diperlukan kekebalan tambahan yaitu vaksinasi buatan

yang terdiri dari virus dan kuman yang sudah dilumpuhkan. Pemberian

vaksin ini relatif aman dan sudah melalui tahapan uji coba dibeberapa daerah

di tanah air. Dengan pemberian vaksin buatan akan menambah kekebalan

(imunitas) bayi terhadap penyakit.

Pada dasarnya dalam tubuh sudah memiliki pertahanan secara sendiri

agar berbagai kuman yang masuk dapat dicegah, pertahanan tubuh tersebut

meliputi pertahanan nonspesifik dan pertahanan spesifik, proses mekanisme

pertahanan dalam tubuh pertama kali adalah pertahanan nonspesifik seperti

complemen dan makrofag dimana komplemen dan makrofag ini yang

pertama kali akan memberikan peran ketika ada kuman yang masuk ke dalam

tubuh. Setelah itu maka kuman harus melawan pertahanan tubuh yang kedua

yaitu pertahanan tubuh spesifik terdiri dari sistem humoral dan seluler. Sistem

pertahanan tersebut hanya bereaksi terhadap kuman yang mirip dengan

15
bentuknya. Sistem pertahanan humoral akan menghasilkan zat yang disebut

imunoglobulin (Ig A, Ig M, Ig G, Ig E, Ig D) dan sistem pertahanan seluler

terdiri dari Limfosit B dan Limfosit T, dalam pertahanan spesifik selanjutnya

akan menghasilkan satu cell yang disebut sel memori, sel ini akan berguna

atau sangat cepat dalam bereaksi apabila sudah pernah masuk ke dalam

tubuh, kondisi ini yang yang digunakan dalam prinsip imunisasi. Berdasarkan

proses tersebut di atas maka imunisasi dibagi menjadi dua yaitu imunisasi

aktif dan imunisasi pasif (Alimul, 2005).

2. Metode pencapaian imunisasi yaitu (Supartini, 2004)

a. Imunitas aktif

Imunisasi aktif adalah kekebalan yang dibuat sendiri oleh tubuh untuk

menolak terhadap satu penyakit tertentu dimana prosesnya lambat tapi

dapat tahan lama. Imunitas aktif dibagi menjadi dua yaitu:

1) Imunitas aktif alamiah

Dimana tubuh membuat kekebalan sendiri setelah menjalani

kesembuhan dari suatu penyakit misalnya anak menderita campak,

setelah sembuh tidak akan terserang lagi karena tubuhnya telah

membuat zat penolak terhadap penyakit tersebut.

2) Imunitas aktif buatan

Kekebalan yang dibuat tubuh setelah mendapat vaksinasi/imunisasi

misalnya anak diberi vaksin BCG dan vaksin lainnya.

16
b. Imunitas pasif

Tubuh bayi atau anak tidak membuat zat antibody sendiri tapi kekebalan

tersebut diperoleh dari luar setelah mendapat zat penolak, sehingga proses

cepat tapi tidak tahan lama. Imunitas pasif dibagi menjadi dua yaitu:

1) Imunitas pasif bawaan terdapat pada bayi baru lahir (neonatus) sampai

bayi baru berumur 5 bulan.

2) Imunitas pasif di dapat zat anti didapatkan oleh anak dari luar dan

hanya berlangsung pendek, yaitu dua sampai tiga minggu karena zat

anti seperti ini akan dikeluarkan dari tubuh anak. Bahan zat anti

demikian dapat berupa globulin gama murni yang pernah didapat dari

darah orang yang pernah sakit, misalnya campak.

3. Tujuan imunisasi

a. Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan

kematian dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Pada saat

ini penyakit yang dapat dicegah adalah disentri, tetanus, pertusis, campak,

polio dan tuberkulosis (Notoatmodjo, 2003).

b. Tujuan diberikan imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal

terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit tertentu

(Alimul, 2005).

17
4. Jenis-jenis vaksin (Mansjoer, 2000) .

Ada beberapa jenis vaksin yaitu sebagai berikut:

a. Vaksin BCG

1) Pemberian vaksin ini memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit

tuberkulosis (TBC). Diberikan pada umur sebelum 2 bulan. Pada

dasarnya untuk mencapai cakupan yang lebih luas pedoman Depkes

perihal imunisasi BCG pada umur 0-12 bulan dan BCG ulangan tidak

dianjurkan karena keberhasilannya diragukan.

2) Vaksin disuntikan intrakutan di daerah musculus deltoideus dengan

dosis untuk bayi < 1 tahun sebanyak 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml.

3) Kemasan yang dibuat biofarma berupa ampul 80 dosis bayi pada 4 ml

pelatrut NaCl, 0,9%. Kandungan vaksin terdiri dari bakteri hidup yang

dilemahkan dari biakan Bacillus Calmette Guerrin 50.000 sampai 1

juta partikel/dosis. Secara fisik berupa vaksin kering tahan beku

stabilitas terhadap panas sedang. Setelah dilarutkan mudah rusak bila

kena panas atau kena sinar matahari.

4) Vaksin disimpan dalam lemari es dengan suhu 2-8 oC dengan masa

kadaluarsa 1 tahun.

5) Setelah vaksin dilarutkan harus dipakai dalam waktu 3 jam.

6) Kontraindikasi

Pasien dengan imuno kompromis (leukimia, pengobatan steroid

jangka panjang, dan infeksi HIV).

18
7) Reaksi yang mungkin terjadi:

a) Reaksi lokal yang terjadi 1-2 minggu setelah penyuntikan berupa

indurasi dan eritema di tempat suntikan yang berubah menjadi

pustula kemudian pecah menjadi ulkus, dan akhirnya menyembuh

spontan dalam waktu 8-12 minggu dengan meninggalkan jaringan

parut.

b) Reaksi regional berupa pembesaran kelenjar aksila atau servikal,

konsistensi padat, tidak nyeri tekan, tidak disertai demam yang

akan menghilang dalam waktu 3-6 bulan. Komplikasi yang dapat

terjadi dapat berupa abses di tempat suntikan akibat suntikan yang

terlalu dalam (subkutan). Abses bersifat tenang dan akan

menyembuh spontan.

b. Vaksin DPT ( Difteri, Pertusis, Tetanus)

Pemberian vaksin ini menimbulkan kekebalan aktif terhadap difteri,

pertusis, tetanus dalam waktu yang bersamaan.

Imunisasi DPT dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan atau tidak boleh

diberikan sebelum umur 6 minggu dengan interval 4-6 minggu.

1) DPT 1 pada umur 2 bulan.

2) DPT 2 pada umur 3 bulan.

3) DPT 3 pada umur 4 bulan.

4) Ulangan selanjutnya (DPT 4) diberikan setelah DPT 3 yaitu pada

umur 18-24 bulan

5) DPT 5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.

19
6) Dosis vaksin DPT adalah 0,5 ml, intra muskular, baik untuk imunisasi

dasar maupun ulangan.

7) Kemasan dibuat biofarma berupa flakon 5 ml, 10 dosis.

8) Vaksin disimpan dalam lemari es dengan suhu 2-8 oC dengan masa

kadalursa 2 tahun.

9) Kontra indikasi

Usia di atas 7 tahun, demam > 38 oC, sakit berat (terutama kesadaran

menurun dan gejala neurologis lainnya).

10) Efek samping

Efek samping yang mungkin terjadi dapat berupa demam, nyeri pada

tempat suntikan, bengkak lokal, abses steril, syok dan kejang. Bila

terjadi demam dan nyeri pada tempat suntikan dapat diberi analgetik

dan antipiretik. Bila terdapat reaksi berlebihan maka imunisasi

berikutnya diberi DT.

c. Vaksin DT

Pemberian vaksin ini menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang

bersamaan terhadap toksin yang dihasilkan kuman penyebab difteria dan

tetanus. Vaksin ini dibuat untuk keperluan khusus, misalnya anak tidak

boleh atau tidak perlu imunisasi pertusis namun masih memerlukan

imunisasi difteria dan tetanus.

1) Cara pemberian imunisasi dasar dan ulangan sama dengan imunisasi

DPT.

2) Vaksin disuntik intramuskuler atau subcutan dalam sebanyak 0,5 ml.

20
3) Kemasan yang dibuat Biofarma berupa flakon 25 ml, 50 dosis.

4) Secara fisik berupa cairan tidak berwarna, jernih yang rusak bila beku

dan sinar matahari langsung. Vaksin disimpan dalam lemari es suhu 2-

8oC dengan masa kadaluarsa 2 tahun.

5) Kontraindikasinya anak yang sakit parah atau sedang menderita

demam tinggi.

6) Efek samping yang mungkin terjadi berupa demam ringan dan

pembengkakan lokal di tempat suntikan 1-2 hari.

d. Vaksin Tetanus

Pemberian vaksin ini menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit

tetanus. Sedangkan anti tetanus serum (ATS) dapat dipakai juga untuk

pencegahan (imunisasi pasif) maupun pengobatan penyakit tetanus.

1) Imunisasi dasar dan ulangan pada anak diberi dengan imunisasi

DPT/DT.

2) Sampai saat ini pada ibu hamil pemberian imunisasi tetanus dilakukan

2 kali, masing-masing pada kehamilan bulan ke-7 dan 8.

3) Vaksin disuntik intramuskuler atau subcutan dalam sebanyak 0,5 ml.

Kemasan yang dibuat Biofarma berupa flakon 5 ml, 10 dosis.

4) Secara fisik berupa cairan tidak berwarna, berkabut dengan sedikit

endapan putih yang tidak tahan beku dan panas.

5) Vaksin disimpan dalam lemari es suhu 2-8oC dengan masa kadaluarsa

2 tahun.

6) Kontra indikasinya anak yang sakit parah.

21
7) Efek samping toksoid tetanus berupa reaksi lokal (kemerahan,

bengkak, dan rasa sakit di tempat suntikan) sedangkan pemberian ATS

mungkin dapat terjadi gatal diseluruh tubuh, nyeri kepala dan

renjatan.

e. Vaksin Polio

Pemberian vaksin ini menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit

poliomielitis.

1) Polio 1 diberikan pada saat bayi lahir karena Indonesia merupakan

daerah endemik polio untuk imunisasi dasar (polio 2,3,4) interval

diantaranya tidak kurang dari 4 minggu dosis 2 tetes per oral.

Vaksinasi polio ulangan diberikan 1 tahun sejak imunisasi polio 4

selanjutnya pada saat masuk sekolah (5-6 tahun).

2) Kemasan dibuat berupa flakon 10 dosis dan 1 pipet.

3) Secara fisik berupa cairan jernih

4) Vaksin disimpan dalam lemari es dengan suhu 2-8 oC dengan masa

kadalursa 1 tahun atau dalam freeser suhu – 20 oC sampai -25 oC

dengan masa kadalursa 2 tahun.

5) Kontraindikasi

Diare berat, defisiensi imun (karena obat imunosupresan, kemoterapi,

kostikosteroid), dan kehamilan.

6) Efeksamping

Mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan kejang-kejang.

22
f. Vaksin Campak

Pemberian vaksin ini menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit

campak.

1) Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan pada bayi

di paha lewat anterolateral (antero = otot-otot bagian depan, lateral=

otot bagian luar). Penyuntikan di bokong tidak dianjurkan karena bisa

mengurangi efektivitas vaksin.

2) Kemasan yang dibuat oleh biofarma berupa flakon 10 dosis dan

pelarut akuades 5 ml. Kandungan vaksin yang sudah dilarutkan terdiri

dari virus campak tidak kurang dari 5.000 TCID50 (Teknetium Infective

Dosis), kanamisin sulfat tidak lebih dari 100 mcg, dan eritromisin

tidak lebih dari 30 mcg.

3) Secara fisik vaksin beku kering dan setelah dilarutkan tidak tahan

panas sehingga harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 2-8 oC

dengan masa kadalursa 2 tahun.

4) Kontraindikasi
o
Infeksi berat desertai demam > 38 C, defisiensi imunologis,

pengobatan dengan imunosupresif, alergi protein telur,

hipersensitivitas terhadap kanamisin dan eritromisin dan wanita

hamil.

5) Efeksamping

Mungkin terjadi berupa demam, ruam kulit, diare, konjuntivitis dan

gejala kataral serta ensefalitis (jarang).

23
g. Vaksin Hepatitis B

Pemberian vaksin ini menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit

hepatitis B.

1) Program vaksinasi hepatitis B segera setelah lahir perlu lebih

digalakkan mengingat vaksinasi ini merupakan upaya yang sangat

efektif untuk memutuskan rantai transmisi dari ibu kepada bayinya.

2) Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir,

mengingat paling tidak 3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis

dengan resiko transmisi maternal kurang lebih sebesar 45%.

3) Hepatitis B-2 diberikan dengan interval satu bulan dari hepatitis B-1

(saat bayi berumur 1 bulan).

4) Untuk mendapat respon imun optimal interval hepatitis B-2 dan

hepatitis B-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.

5) Hepatitis B-3 diberikan 2-5 bulan setelah hepatitis B-2

yaitu pada umur 3-6 bulan.

6) Imunisasi ulangan diberi 5 tahun kemudian. Sebelum pemberian

imunisasi ulangan dianjurkan memeriksa kadar HbsAg.

24
5. Cara dan waktu pemberian imunisasi

Berikut ini adalah cara pemberian dan waktu yang tepat untuk

pemberian imunisasi (DepKes 2000 dalam Supartini, 2004):

a. Cara pemberian imunisasi dasar

Tabel 2.1
Cara Pemberian Imunisasi Dasar

Vaksin Dosis Cara Pemberian


BCG 0,05 cc Intrakutan tepat di insersio muskulus
deltoideus kanan
DPT 0,5 cc Intramuskulair
Polio 2 Tetes Diteteskan ke mulut
Campak 0,5 cc Subkutan, biasa di lengan kiri atas
Hepatitis B 0,5 cc Intramusculair pada paha bagian luar
TT 0,5 cc Intramusculair dalam biasa di muskulus
deltoideus

b. Waktu yang tepat untuk pemberian imunisasi dasar

Tabel 2.2
Waktu Yang Tepat Untuk Pemberian Imunisasi Dasar

Vaksin Pemberian Selang Umur Keterangan


Imunisasi Waktu Pemberian
Pemberian
BCG 1 Kali 0–11 Bulan Untuk bayi yang
DPT 3 Kali 4 Minggu 2-11 Bulan
lahir di Rumah
Polio 4 Kali 4 Minggu 0-11 Bulan
Campak 1 Kali 9-11 Bulan Sakit/Puskesmas
Hepatitis B 3 Kali 4 Minggu 0-11 Bulan Hepatitis B, BCG
dan polio dapat
diberi segera

E. Kerangka Konsep

25
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan, maka ada beberapa

variabel yang akan diteliti pada penelitian ini yaitu umur dan status imunisasi

serta hubungan variabel-variabel tersebut dengan penyakit ISPA pada balita usia

0-5 tahun 2011. Untuk lebih jelasnya, kerangka konsep tersebut dibuat dalam

skema sebagaimana gambar dibawah ini:

3. Gambar 2.1

Kerangka Konsep Penelitian

Variabel independen Variabel Dependen

Umur Penyakit ISPA Pada Balita Usia 0-5 Tahun

Status Imunisasi

Keterangan :
= Variabel independen
= Variabel dependen
= Variabel yang diteliti
D. Hipotesis

1. Ada hubungan umur balita

dengan kejadian ISPA pada

balita usia 0-5 tahun di

Puskesmas Tawaeli kota Palu

tahun 2011.

2. Ada hubungan status imunisasi

dengan kejadian ISPA pada

balita usia 0-5 tahun di

26
Puskesmas Tawaeli kota Palu

tahun 2011.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analisis korelasi untuk mengetahui

hubungan antara variabel independen dan dependen dengan menggunakan

pendekatan Cross Sectional yaitu penelitian yang dilakukan pada saat yang

bersamaan antara variabel independen dan variabel dependen (Nursalam, 2008)

4. B. Tempat Dan Waktu

Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas Tawaeli kota Palu pada bulan

Juli tahun 2011.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan

(Nursalam, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah semua semua ibu

yang memiliki balita usia 0-5 tahun yang menderita ISPA di Puskesmas

Tawaeli Kota Palu pada bulan Juli 2011.

2. Sampel

27
Sampel adalah sebagian dari populasi yang akan diteliti (Riduwan,

2006). Sampel dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki balita

usia 0-5 tahun yang menderita ISPA di Puskesmas Tawaeli Kota Palu pada

bulan Juli 2011.

3. Besar sampel

Dalam penelitian ini pengambilan sampel menggunakan teknik

pengambilan sampel secara sampling jenuh yaitu penentuan sampel dengan

mengambil semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.

4. Cara pengambilan sampel

Dalam penelitian ini, tehnik pengambilan sampel yang digunakan

adalah non random sampling dengan cara accidental sampling, yaitu semua

balita usia 0-5 tahun yang menderita ISPA di Puskesmas Tawaeli Kota Palu

yang kebetulan bertemu dengan peneliti dijadikan sebagai responden.

D. Definisi Operasional

Skala
No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur

28
1. Umur Umur pada saat Kuesioner Ordinal Umur 0 - 2 tahun
dilakukan
penelitian yang Umur 3 - 5 tahun
tercantum pada
status responden

2. Status Lengkap tidaknya Kuesioner Ordinal Tidak lengkap


Imunisasi imunisasi yang
diperoleh pada Lengkap
masa bayi (BCG,
Polio 1- 4, DPT
1-3, Campak,
Hepatitis 1-3).

3. Kejadian Kejadian penyakit Kuesioner Ordinal Pernah menderita


ISPA ISPA pada balita ISPA

Tidak menderia
ISPA

5. E. Pengumpulan Data

1. Jenis data yang dikumpulkan adalah:

a. Data Primer

Yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri secara langsung

dengan wawancara pada ibu yang memiliki balita usia 0-5 tahun yang

menderita ISPA di Puskesmas Tawaeli Kota Palu.

b. Data Sekunder

Data yang diperoleh dari di Puskesmas Tawaeli Kota Palu tentang jumlah

balita usia 0-5 tahun yang menderita ISPA.

2. Cara pengukuran

Cara pengukuran dilakukan dengan wawancara pada ibu yang

memiliki balita usia 0-5 tahun yang menderita ISPA di Puskesmas Tawaeli

29
Kota Palu dengan menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan tentang

umur balita dan status imunisasi serta kejadian ISPA.

F. Pengolahan Data

Menurut Narbuko, (2002) tahap-tahap pengolahan data adalah sebagai

berikut :

1. Editing : Memeriksa kembali data dan menyelesaikannya dengan

rencana semula seperti yang diinginkan, apakah tidak ada

yang salah.

2. Coding : Pemberian nomor kode atau bobot pada jawaban yang

bersifat kategori

3. Entry : memasukkan data ke program komputer untuk keperluan

analisis.

4. Cleaning : Membersihkan data dengan melihat variabel yang

digunakan apakah datanya sudah benar atau belum.

5. Describing : Menggambarkan atau menerangkan data.

6. G. Analisa Data

1. Analisis Univariat

Dilakukan untuk mengetahui distribusi frekwensi dan proporsi masing-

masing variabel independen (bebas) dan variabel dependen (terikat).

2. Analisis Bivariat

Dilakukan untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel bebas dengan

variabel terikat. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-Square,

menggunakan bantuan SPSS dengan tingkat kepercayaan 95% bila p < 0,05

30
berarti hasil perhitungan statistik ada hubungan yang bermakna (signifkan)

dan bila nilai p >0,05 berarti hasil perhitungan statistik tidak ada hubungan

yang bermakna.

H. Penyajian data

7. Untuk penyajian data dari hasil penelitian ini, peneliti menggunakan cara

penyajian dengan bentuk tabel sedemikian rupa dengan teks atau naskah untuk

menjelaskan hasil-hasil penelitian.

8. I. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan permohonan izin

kepada Kepala Puskesmas Tawaeli Kota Palu untuk mendapatkan persetujuan,

dan kemudian kuesioner dijalankan ke subjek yang diteliti dengan menekankan

pada masalah etika yang meliputi (Alimul, 2009):

1. Informed Consent (lembar persetujuan)

Sebelum melakukan penelitian maka akan diedarkan lembar

persetujuan untuk menjadi responden, dengan tujuan agar subyek mengerti

maksud dan tujuan penelitian, serta mengetahui dampaknya. Jika subyek

bersedia, maka responden harus menanda tangani lembar persetujuan dan jika

responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak responden.

2. Anonimity (tanpa nama)

Menjelaskan bentuk alat ukur dengan tidak perlu mencantumkan

nama pada lembar pengumpulan data, hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

31
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dijamin oleh peneliti,

hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.

9.

32

Anda mungkin juga menyukai