DOSEN PENGAMPU:
Dr. DWI AGUS KURNIAWAN, M.Pd
KELOMPOK 8:
MONALISA NIM. A1C314003
INDAH NOFITRI NIM. A1C314018
MUHAMMAD IKHLAS NIM. A1C314019
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
Dr. Dwi Agus Kurniawan, M.Pd., sebagai Dosen Pengampu yang telah bersedia
makalah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
diselesaikan.
terbatasnya ilmu yang dimiliki, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang akan datang. Akhirnya, Penulis berharap semoga makalah ini dapat
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep-Konsep Penilaian Autentik........................................................... 3
2.1.1 Pengertian Penilaian autentik........................................................... 3
2.1.2 Hakiakat Penilaian Autentik............................................................ 5
2.1.3 Karakteristik Penilaian Autentik...................................................... 9
2.1.4 Tujuan Dan Prinsip Penilaian Autentik ........................................... 15
2.2 Konsep Jenis-Jenis dan Pelaksanaan Penilaian Autentik.......................... 16
2.2.1 Jenis-Jenis Penilaian Autentik.......................................................... 16
2.2.2 Keunggulan Dan Kelemahan Penilaian Autentik............................. 27
2.2.3 Manfaat Penilaian Autentik............................................................. 28
2.2.4 Pengembangan Penilaian Autentik.................................................. 30
2.3 Hasil Diskusi.............................................................................................. 34
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan................................................................................................. 37
3.2 Saran........................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.6 Tujuan
1. Menjelaskan konsep-konsep penilaian autentik.
2. Menjelaskan konsep jenis-jenis dan pelaksanaan penilaian autentik
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ngadip, E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya, Vol. 1, No. 10, Surabaya: Dispendik Kota Surabaya,
Desember 2012, hlm 2.
2
Ibid.
sebuah proses untuk memperoleh informasi yang digunakan untuk
mengambil keputusan tentang siswa….” Dari berbagai macam pengertian di
atas jelas menunjukkan bahwa penilaian lebih difokuskan pada peserta didik
sebagai subjek belajar dan tidak sedikitpun menyinggung komponen-
komponen pembelajaran lainnya.3
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penilaian adalah suatu
proses atau kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk
mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam
rangka membuat keputusan-keputusan berdasarkan kriteria dan pertimbangan
tertentu. Keputusan yang dimaksud adalah keputusan tentang peserta didik,
seperti nilai yang akan diberikan atau juga keputusan tentang kenaikan kelas
dan kelulusan.4
Kata “autentik” berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu autarkos
yang berarti berasal dari diri. Berpijak pada pemikiran autentisitas dalam
pendidikan, penilaian autentik memperhatikan hubungan bahan/materi
pembelajaran yang dipelajari siswa dan kehidupan sehari-hari. Kata
“autentik” berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu autarkos yang berarti
berasal dari diri. Berpijak pada pemikiran autentisitas dalam pendidikan,
penilaian autentik memperhatikan hubungan bahan/materi pembelajaran yang
dipelajari siswa dan kehidupan sehari-hari.5
Penilaian autentik didefinisikan sebagai suatu bentuk penilaian yang
mengharuskan para siswa untuk melaksanakan tugas-tugas dunia nyata yang
menunjukan aplikasi bermakna dari suatu pengetahuan atau keterampilan
asensial (Mueller, 2011).6
Sebagaimana dinyatakan Mueller (2008) penilaian autentik
merupakan a form of assessment in which students are asked to perform real-
world tasks that demonstrate meaningful application of essential knowledge
and skills.7
3
Zainal Arifin, Evaluasi Pembelajaran, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, hlm. 4.
4
Ibid.
5
Herman dan Yustiana, Penilaian Belajar Siswa di Sekolah, Yogyakarta: Kanisius, 2014, hlm. 120.
6
Ismet dan Hariyanto, Asesmen Pembelajaran, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014, hlm. 168.
7
Ngadip, Loc. Cit.., hlm. 3.
Stiggins (1987) mendefinisikan asesmen kinerja atau asesmen autentik
(performance assessment or authentic assessment) sebagai penilaian yang
mempersyaratkan peserta ujian (examinee) untuk menunjukkan kecakapan
khusus dan kompetensi khusus. Maknanya, menerapkan kecakapan dan
pengetahuan yang telah dikuasainya.8
Menurut Sharon dan Andrew (2002) Penilaian autentik adalah
“procedures for evaluating student achievement or performance using
activities that represent classroom goals, curricula, and instruction or real-
life performance,9” Prosedur untuk mengevaluasi pencapaian siswa atau
kinerja menggunakan kegiatan yang mewakili tujuan kelas, kurikulum, dan
instruksi atau kinerja di kehidupan nyata.
Definisi lain menurut Nurhadi (2004) Ismet dan Haryanto (2014)
menyatakan bahwa penilaian autentik adalah pengumpulan informasi oleh
guru tentang perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan
peserta didik melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan,
membuktikan, atau menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran
telah benar-benar dikuasai dan dicapai.10
8
Ismet dan Hariyanto. Op. Cit., hlm. 168.
9
Sharon dan Andrew, Using Portfolio Assessment to Enhance Student Learning, Tai Po: Hong Kong Institute
of Education, 2002, hlm. 85.
10
Ismet dan Hariyanto. Op. Cit.,
11
Ngadip, Loc. Cit., Hlm. 2.
Nurhadi (2004) dalam Ismet dan Hariyanto (2012) menyatakan bahwa
Hakikat penilaian pendidikan menurut konsep authentic assessment adalah
proses pengumpulan berbagai data yang bias memberikan gambaran
perkemangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu
diketahuai oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses
pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru
mengindikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, guru
segera bisa mengambil tindakan yang tepat. Karena gambaran tentang
kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, asesmen
tidak hanya dilakukan di akhir periode (semester) pembelajaran seperti pada
kegiatan evaluasi hasil belajar (seperti EBTA/Ebtanas/UAN), tetapi dilakukan
bersama dan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan
pembelajaran.12
Kemudian menurut Nurhadi (2004) dalam Ismet dan Hariyanto (2014)
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assessment) bukanlah
untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar
seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari
(learning how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak
mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. 13
Mengapa penilaian autentik dilaksanakan? Hal ini terkait dengan hal-
hal sebagai berikut:
Keinginan pihak terkait dengan pendidikan (stakeholders pendidikan)
untuk menyoroti sifat-sifat konstruktif dari pembelajaran dan pendidikan.
Penilaian autentik mengizinkan peserta didik memilih jalannya sendiri
untuk mendemonstrasikan kompetensi dan keterampilannya.
Penilaian autentik mengevaluasi seberapa efektif siswa secara langsung
mampu menerapkan pengetahuannya dalam berbagai jenis tugas.
Memberi legitimasi pembelajaran dengan mengaitkannya pada konteks
dunia nyata.
Memberi kemungkinan kolaborasi antar-siswa dan kolaborasi kurikulum.14
12
Ismet dan Hariyanto, Op. Cit., hlm. 169.
13
Ibid.
14
Ibid.
Penilaian autentik mementingkan penilaian proses dan hasil sekaligus.
Dengan demikian, seluruh tampilan siswa dalam rangkaian kegiatan
pembelajaran dapat dinilai secara objektif, apa adanya, dan tidak semata-mata
hanya berdasarkan pada hasil akhir (produk). Lagi pula sangat banyak kinerja
siswa yang ditampilkan selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran
sehingga penilaiannya haruslah dilakukan selama dan sejalan dengan
berlangsungnya kegiatan proses pembelajaran. Jika dilihat dari sudut pandang
teori Bloom, sebuah model yang dijadikan acuan pengembangan penilaian
dalam beberapa kurikulum di Indonesia sebelum ini, penilaian haruslah
mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.15
Cara penilaian juga bermacam-macam, dapat menggunakan model
nontes dan tes sekaligus, serta dapat dilakukan kapan saja bersamaan dengan
kegiatan pembelajaran. Namun, semuanya harus tetap terencana secara baik.
Misalnya, dengan memberikan tes (ulangan) harian, latihan-latihan di kelas,
penugasan, wawancara, pengamatan, angket, catatan lapangan/harian, atau
portofolio. Penilaian yang dilakukan lewat berbagai cara atau model,
menyangkut berbagai ranah, serta meliputi proses dan produk inilah yang
kemudian disebut sebagai penilaian autentik. Autentik dapat berarti dan
sekaligus menjamin keobjektifan, sesuatu yang nyata, konkret, benar-benar
hasil tampilan siswa, serta akurat dan bermakna.16
Penilaian autentik menekankan kemampuan pebelajar untuk
mendemonstrasikan pengetahuan yang dimiliki secara nyata dan bermakna.
Kegiatan penilaian tidak sekadar menanyakan atau menyadap pengetahuan
yang telah diketahui pembelajar, tetapi juga kinerja secara nyata dari
pengetahuan yang telah dikuasai. Sebagaimana dinyatakan Mueller (2008)
penilaian autentik merupakan a form of assessment in which students are
asked to perform real-world tasks that demonstrate meaningful application of
essential knowledge and skills. Jadi, penilaian autentik merupakan suatu
bentuk tugas yang menghendaki pebelajar untuk menunjukkan kinerja di
dunia nyata secara bermakna yang merupakan penerapan esensi pengetahuan
dan keterampilan. Menurut Stiggins, penilaian autentik merupakan penilaian
15
Ngadip, Loc. Cit., hlm. 3.
16
Ibid.
kinerja (perfomansi) yang meminta pembelajar untuk mendemonstrasikan
keterampilan dan kompetensi tertentu yang merupakan penerapan
pengetahuan yang dikuasainya.17
Hal yang serupa dikemukakan oleh Hiebert, Valencia, & Afferbach
(1994) yang menyatakan bahwa penilaian autentik merupakan penilaian
terhadap tugas-tugas yang menyerupai kegiatan membaca dan menulis
sebagaimana halnya di dunia nyata dan di sekolah. Tujuan penilaian itu
adalah untuk mengukur berbagai keterampilan dalam berbagai konteks yang
mencerminkan situasi di dunia nyata di mana keterampilan-keterampilan
tersebut digunakan. Misalnya, penugasan kepada pembelajar untuk membaca
berbagai teks aktual-realistik, menulis topik-topik tertentu sebagaimana
halnya di kehidupan nyata, dan berpartisipasi konkret dalam diskusi atau
bedah buku, menulis untuk jurnal, surat, atau mengedit tulisan sampai siap
cetak. 18
Dengan demikian, penilaian model seperti itu menekankan pada
pengukuran kinerja, doing something, melakukan sesuatu yang merupakan
penerapan dari ilmu pengetahuan yang telah dikuasai secara teoretis.
Penilaian autentik lebih menuntut pembelajar mendemonstrasikan
pengetahuan, keterampilan, dan strategi dengan mengkreasikan jawaban atau
produk. Siswa tidak sekadar diminta merespon jawaban seperti dalam tes
tradisional, tetapi juga dituntut untuk mampu mengkreasikan dan
menghasilkan jawaban yang dilatarbelakangi oleh pengetahuan teoretis.19
Dalam penilaian kemampuan bersastra misalnya, pembelajar mampu
menganalisis karakter tokoh dalam sebuah fiksi, mempertanggungjawabkan
kinerjanya tersebut dengan argument yang tepat, atau membuat resensi teks
kesastraan. Masalah kinerja, performansi, demonstrasi yang dimaksudkan
tentu saja dalam pengertian yang sesuai dengan karakteristik masing-masing
mata pelajaran. Tiap mata pelajaran tentu memiliki kriteria kinerja yang
belum tentu sama dengan mata-mata pelajaran yang lain.20
17
Ibid. hlm. 4.
18
Ibid.
19
Ibid.
20
Ibid.
Kinerja hasil pembelajaran bahasa tentu tidak sama dengan hasil
pembelajaran matematika, teknik otomotif, tata busana, seni musik, dan lain-
lain. Namun, pada prinsipnya semua mata pelajaran itu haruslah
melaksanakan penilaian dan salah satunya dengan model penilaian autentik.
Meskipun tiap mata pelajaran berbeda karakteristik, baik yang termasuk
kategori ilmu-ilmu eksakta maupun sosial dan humaniora, kesemuanya
tampaknya dapat menerapkan model penilaian autentik khususnya yang
berupa portofolio.21
23
Ibid, hlm. 171.
24
Ngadip, Loc. Cit., hlm. 4.
Wiggins (1993) in Sharon and Andrew (2002) summarizes the
features of authentic assessment, Wiggins (1993) dalam Sharon dan Andrew
(2002) meringkas fitur dari penilaian autentik25:
Authentic assessments require students to be effective performers with
acquired knowledge. Traditional tests tend to reveal only whether the
student can recognize, recall or ‘plug-in’ what was learned out of
context. This may be as problematic as inferring driving or teaching
ability from written tests alone. penilaian autentik mengharuskan siswa
menjadi pelaku yang efektif dengan pengetahuan yang diperoleh. tes
tradisional cenderung hanya mengungkapkan apakah siswa dapat
mengenali, mengingat atau 'menyambungkan’ apa yang telah dipelajari
di luar konteks. ini mungkin bermasalah seperti menyimpulkan
kemampuan mengemudi atau mengajar dari tes tertulis saja.
Authentic assessments present the student with the full array of tasks that
mirror the priorities and challenges found in the best instructional
activities: conducting research, writing, revising and discussing papers;
providing an engaging oral analysis of a recent political event;
collaborating with others on a debate, etc. Conventional tests are usually
limited to paper-and-pencil, one- answer questions. Penilaian autentik
menyajikan siswa dengan serangkaian penuh tugas yang mencerminkan
prioritas dan tantangan yang ditemukan dalam kegiatan pembelajaran
terbaik: melakukan penelitian, menulis, merevisi dan membahas
makalah; menyediakan analisis lisan menarik dari peristiwa politik baru-
baru ini; berkolaborasi dengan orang lain pada debat, dll tes
konvensional biasanya terbatas pada kertas dan pensil, satu- menjawab
pertanyaan.
Authentic assessments attend to whether the student can craft polished,
thorough and justifiable answers, performances or products.
Conventional tests typically only ask the student to select or write correct
responses – irrespective of reasons. (There is rarely an adequate
opportunity to plan, revise and substantiate responses on typical tests,
25
Sharon dan Andrew, Loc. Cit., hlm. 7.
even when there are open-ended questions. Penilaian autentik
menghadiri apakah siswa dapat memoles kerajinan, menyeluruh dan
dapat dipertanggungjawabkan jawaban, penampilan atau produk. Tes
konvensional biasanya hanya meminta mahasiswa untuk memilih atau
menulis jawaban yang benar - terlepas dari alasan. (jarang ada
kesempatan yang memadai untuk merencanakan, merevisi dan
memperkuat respon pada tes yang khas, bahkan ketika ada pertanyaan
terbuka).
Authentic assessment achieves validity and reliability by emphasizing
and standardizing the appropriate criteria for scoring such (varied)
products; traditional testing standardizes objective “items” and, hence,
the (one) right answer for each. Penilaian autentik mencapai validitas
dan reliabilitas dengan menekankan dan standardisasi kriteria yang sesuai
untuk mencetak seperti (bervariasi) produk; pengujian tradisional standar
obyektif "item" dan, karenanya, (satu) jawaban yang tepat untuk masing-
masing.
“Test validity” should depend in part upon whether the test stimulates
real-world “tests” of ability. Validity on most multiple- choice tests is
determined merely by matching items to the curriculum content (or
through sophisticated correlations with other test results). "uji validitas"
harus tergantung sebagian pada apakah tes mensimulasikan dunia nyata
"tes" kemampuan. validitas pada kebanyakan tes pilihan ganda
ditentukan hanya dengan pencocokan item dengan isi kurikulum (atau
melalui korelasi canggih dengan hasil tes lainnya).
Authentic tasks involve “ill-structured” challenges and roles that help
students rehearse for the complex ambiguities of the “game” of adult
and professional life. Traditional tests are more like drills, assessing
static and too-often arbitrarily discrete or simplistic elements of those
activities. Tugas authentic melibatkan "serangan -terstruktur" tantangan
dan peran yang membantu siswa berlatih untuk kerancuan kompleks
"permainan" dari orang dewasa dan kehidupan profesional. tes tradisional
latihan lebih seperti, menilai unsur statis dan terlalu sering sewenang-
wenang diskrit atau sederhana dari kegiatan tersebut.
Wiggins (1989a) on Bruce et all (2012), probably the most cited
authenticity advocate, argues that teachers should “test those capacities and
habits we think are essential and test them in context. Make them replicate
within reason, the challenges at the heart of each discipline. Let them be-
authentic.” (and presented four basic characteristics of authentic tests26:
1. The task should be representative of performance in the field.
2. Attention should be paid to teaching and learning the criteria for
assessment.
3. Self-Assessment should play a great role.
4. When possible, students should present their work publicly and defend it.
Wiggins (1989a), dalam Bruce dkk. (2012) kemungkinan keaslian
mengadvokasi kebanyakan menyebutkan, berpendapat bahwa guru harus
"menguji mereka kapasitas dan kebiasaan kita anggap penting dan menguji
mereka dalam konteks. Membuat mereka menjawab dalam alasan, tantangan
di hati masing-masing disiplin ilmu. Biarkan mereka menjadi-autentik. Dan
disajikan empat karakteristik dasar dari tes autentik.:
1. Tugas harus mewakili kinerja di lapangan.
2. Perhatian harus dibayar untuk mengajar dan belajar kriteria untuk
penilaian.
3. Penilaian – diri harus memainkan peran yang besar.
4. Jika memungkinkan, siswa harus mempresentasikan karya mereka di
depan umum dan mempertahankannya.
In a separate article published the same year, Wiggins (1989b) in
Bruce et all (2012) again emphasizes the importance of real-world or
representative tasks (e.g. conducting research, writing reports, assembling
portfolios) and offers slightly extended criteria that included the ideal of
collaboration among students and suggested that tasks and scoring should be
complex. These four dimensions of authenticity are given27:
1. Structure and logistics. The test becomes the task with learning occurring
26
Bruce, dkk., Jurnal Practical Assessment, Research & Evaluation, Vol 17, No 2, Kansas: University of
Kansas,, Januari 2012, hlm. 10.
27
Ibid.
as part of the assessment. Authentic tests are public with evaluation
based on judgment using agreed upon standards and prior experience
and training. There are no unrealistic time constraints or secret
questions. “Authentic tests require some collaboration with others.”
2. Intellectual design features. The tasks are enabling and increase
coherence of knowledge and level of problem-solving skills. Authentic
tasks emphasize realistic but fair complexity; they stress depth more
than breadth.
3. Scoring. Scoring must be complex and authentic tests cannot be scored
on a curve, but instead are criterion-referenced, based on standards.
As with formative assessment, self-assessment is central.
4. Fairness and equity. Authentic tests identify strengths. They don’t use
norm-referencing methods to widen the spread of scores.
Dalam sebuah artikel terpisah yang diterbitkan pada tahun yang sama,
Wiggins (1989b) dalam Bruce dkk, (2012) lagi menekankan pentingnya dunia
nyata atau perwakilan tugas (misalnya melakukan penelitian, menulis
laporan, perakitan portofolio) dan menawarkan sedikit diperpanjang kriteria
yang termasuk ideal kolaborasi antara siswa dan disarankan bahwa tugas dan
scoring harus kompleks. Keempat dimensi keaslian diberikan:
1. Struktur dan logistik. tes menjadi tugas dengan pembelajaran yang terjadi
sebagai bagian dari penilaian. Tes autentik publik dengan evaluasi
berdasarkan penilaian menggunakan disepakati standar dan pengalaman
sebelumnya dan pelatihan. Tidak ada kendala waktu yang tidak realistis
atau pertanyaan rahasia. "Tes Authentic membutuhkan beberapa kerja
sama dengan orang lain."
2. Fitur desain Intelektual. Tugas-tugas yang memungkinkan dan
meningkatkan koherensi pengetahuan dan tingkat kemampuan
memecahkan masalah. tugas autentik menekankan kompleksitas realistis
tetapi adil; mereka menekankan kedalaman lebih dari luas.
3. Pemberian Skor. Pemberian Skor harus kompleks dan tes autentik tidak
dapat mendapatkan nilai pada sebuah kurva, melainkan adalah kriteria-
direferensikan, berdasarkan standar. Seperti penilaian formatif, penilaian
diri adalah pusat.
4. Keadilan dan kesetaraan. tes autentik mengidentifikasi kekuatan. Mereka
tidak menggunakan metode norma-referensi untuk memperluas
penyebaran skor.
28
Ngadip, Loc. Cit., hlm. 5.
29
Ibid.
2.3 Konsep Jenis-Jenis dan Pelaksanaan Penilaian Autentik
2.2.4 Jenis-Jenis Penilaian Autentik
Penilaian autentik memiliki beberapa jenis, di antaranya adalah
penilaian kinerja, penilaian proyek, penilaian portofolio, dan penilaian
tertulis.
Penilaian kinerja adalah penilaian yang dilakukan untuk menguji
kemampuan peserta didik dalam mendemonstrasikan pengetahuan dan
keterampilan seperti layaknya dalam situasi nyata. Dalam konteks
pembelajaran Bahasa Indonesia, teknik ini cocok untuk menilai kemampuan
berbahasa yang bersifat aktif-produktif. Kompetensi yang bisa dinilai lewat
penilaian kinerja di antaranya berpidato, berdiskusi, berwawancara, dan
berdeklamasi. Instrumen yang dapat digunakan untuk penilaian kinerja antara
lain daftar skala penilaian, daftar cek, dan catatan anekdot.30
Penilaian proyek adalah penilaian terhadap suatu tugas yang
mengandung unsur penyelidikan yang harus diselesaikan peserta didik pada
kurun waktu tertentu. Kegiatan penyelidikan tersebut meliputi tahap
perencanaan, pengumpulan data, pengolahan data, dan penyajian data.
Sewaktu mengerjakan sebuah proyek, peserta didik memiliki kesempatan
untuk mengaplikasikan sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Oleh
karena itu, sedikitnya terdapat tiga komponen yang harus dijadikan bahan
penilaian, yaitu (1) keterampilan peserta didik dalam memilih topik,
mengumpulkan data, mengolah data, menginterpretasikan data, dan menulis
laporan, (2) kesesuaian topik materi pembelajaran dengan pengembangan
sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang dibutuhkan peserta didik, dan (3)
keaslian sebuah proyekyang dikerjakan peserta didik.Instrumen yang dapat
digunakan untuk penilaian proyek diantaranya daftar skala penilaian, daftar
cek, dan narasi.31
Penilaian portofolio adalah penilaian melalui koleksi karya peserta
didik yang disusun berdasarkan urutan kegiatan secara sistematis. Fokus
penilaian portofolio adalah kumpulan karya peserta didik, baik secara
30
Zulkifli dan Dhilla, Seminar Nasional Pendidikan Bahasa Indonesia 2015, Mataram: Universitas Mataram,
2015, hlm 3-4.
31
Ibid, hlm. 4
individu maupun kelompok, pada satu periode pembelajaran tertentu. Karya-
karya peserta didik dipilih kemudian dinilai secara berkesinambungan
sehingga tergambar perkembangan potensinya. Portofolio merupakan bagian
integral dari proses pembelajaran yang dapat merefreksikan perkembangan
berbagai kompetensi dan digunakan dengan tujuan untuk kepentingan
diagnostik. Melalui penilaian portofolio guru akan mengetahui perkembangan
atau kemajuan belajar peserta didik.32
Penilaian tertulis terbagi atas tes objektif dan tes uraian. Dari kedua
jenis tes tertulis tersebut, tes uraian masih lazim digolongkan sebagai salah
salah satu teknik penilaian autentik. Tes ini menuntut peserta didik untuk
mampu mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis,
dan mengevaluasi materi yang sudah dipelajari. Melalui jenis tes uraian ini
guru dapat mengukur hasil belajar peserta didik pada tingkatan yang lebih
tinggi atau kompleks. Instrumen yang biasa digunakan untuk penilaian
tertulis antara lain lembar soal, lembar jawaban, kunci jawaban, dan pedoman
penskoran.33
Santoso (2004) menyatakan, pelaksanaannya penilaian autentik dapat
menggunakan berbagai jenis penilaian, yakni34:
(1) Tes standar prestasi,
(2) Tes buatan guru,
(3) Catatan kegiatan,
(4) Catatan anekdot,
(5) Skala sikap,
(6) Catatan tindakan,
(7) Konsep pekerjaan,
(8) Tugas individu,
(9) Tugas kelompok atau kelas,
(10) Diskusi,
(11) Wawancara,
(12) Catatan pengamatan,
32
Ibid, hlm. 4
33
Ibid, hlm. 4.
34
Ngadip, Loc. Cit., hlm. 5.
(13) Peta perilaku,
(14) Portofolio,
(15) Kuesioner, dan
(16) Pengukuran sosiometri.
Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar penilaian prestasi siswa
menurut Nurhadi (2004) adalah (1) proyek/kegiatan dan laporannya, (2) hasil
tes tulis (ulangan harian, semester, atau akhir jenjang pendidikan), (3)
portofolio (kumpulan karya siswa selama satu semester atau satu tahun), (4)
pekerjaan rumah, (5) kuis, (6) karya siswa, (7) presentasi atau penampilan
siswa, (8) demonstrasi, (9) laporan, (10) jurnal, (11) karya tulis, (12)
kelompok diskusi, dan (13) wawancara. 35
Tuckman (1975) dalam Ngadip (2012) menyatakan beberapa alasan
penggunaan test dalam pengukuran pencapaian belajar siswa, yaitu36 :
1. Mengarahkan kita kepada objektivitas dalam observasi.
2. Menentukan perilaku yang dicapai sebagai upaya pengendalian kondisi
belajar.
3. Menentukan secara sampling kinerja yang dicapai siswa.
4. Menentukan kinerja dan pencapaian yang sesuai dengan tujuan dan
standar.
5. Menentukan sesuatu yang tidak terlihat.
6. Menentukan ciri khas dan komponen perilaku.
7. Memprediksi perilaku masa depan.
8. Mencari data yang sesuai untuk masukan berkelanjutan dan pengambilan
keputusan.
Bagaimana melakukan pengukuran? Langkah pertama dalam
pengukuran adalah menentukan hal-hal yang akan diukur, pengkuruan
memerlukan tujuan yang jelas sebagai panduan dalam menentukan proses
pengukuran itu sendiri. Akan lebih mudah melakukan memilih atau
modifikasi instrumen yang sudah ada dan menyesuaikan dengan tujuan yang
telah ditentukan. Instrumen yang telah ada ditentukan validitasnya (mengukur
hal yang hendak diukur) atau kesesuaiannya dan reliabilitasnya (keajegan
35
Ibid.
36
Ibid.
test). Jadi instrumen yang telah disusun hendaknya juga dievaluasi sesuai
dengan kriteria yang ditentukan (Mariana, 2008). 37
Beberapa perangkat pengukuran yang dapat dipertimbangkan dalam
menentukan hasil belajar siswa yang memungkinkan untuk memperoleh
informasi pencapaian belajar siswa pada tataran high order thinking skills.
Secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu authentic dan
portfolio (Mariana, 2008).38
41
Ibid.
42
Ibid, hlm. 6-7.
43
Ibid.
Ragam instrumen pengukuran yang mengacu kepada hal di atas
sebagai upaya memperoleh informasi memadai tentang kompetensi siswa,
antara lain sebagai berikut (Mariana, 2008)44:
(1) Peta Konsep: teknik menggambarkan pemahaman keseluruhan
pengertian, hubungan konsep-konsep yang utuh melalui diagram.
(2) Test konsep: soal pilihan ganda yang sangat baik digunakan mengukur
pencapaian siswa untuk kelas besar.
(3) Survei pemahaman: jawaban berdasarkan beberapa pelajaran yang
melingkupi suatu topik bahasan tertentu. Survey pemahaman dapat
digunakan pada test formatif dan sumatif.
(4) Ujian: menguji pencapaian siswa kurun tertentu; dalam bentuk formatif
dan sumatif serta ujian Iainnya.
(5) Presentasi Lisan: Siswa membacakan hasil yang dicapai sebagai laporan
terhadap kelompok yang lain dan guru.
(6) Presentasi Poster: Siswa meringkaskan hasil kerja, proses, dan
apresiasinya dalam melaksanakan aktivitas dalam bentuk poster yang
diberikan penjelasan dalam mempresentasikannya.
(7) Review rekan sejawat siswa: Penilaian yang dilakukan rekan siswa lain
(dilakukan terhadap satu ke yang lainya).
(8) Portofolio: koleksi bukti pencerminan penguasaan konsep. Dengan
evaluasi model ini, memberikan gambaran yang telah dilakukan siswa
secara esensial, dan dapat digunakan sebagai pertimbangan kinerja siswa
kurun waktu tertentu. Kelemahan model ini adalah tidak bisa cepat dan
tidak mudah membuat peringkatnya berdasarkan nilai yang memadai,
karena bersifat kualitatif. Tetapi, dengan adanya portofolio, siswa dan
guru dapat menjadikannya sebagai dokumen bahan evaluasi diri bagi
siswa dan pembelajaran bagi guru.
(9) Laporan tertulis: Siswa membuat laporan kegiatan dan/atau praktikum
sesuai dengan LKS atau panduan pembuatan laporan tertulis.
44
Ibid.
Menurut Ismet dan Hariyanto (2014) Penilaian autentik ini dapat
menggunakan berbagai jenis alat. Penilaian di antaranya adalah sebagai
berikut45:
No Jenis Alat Penilaian Keterangan
45
Ismet dan Hariyanto. Op. Cit., hlm. 171-173.
saja yang dibacanya, serta minat-
minat siswa lainnya.
Mengingat/mengenali Konstruksi/penerapan
50
Ibid, hlm. 9-12.
sedang kompetensi dasar adalah kompetensi atau standar minimal yang harus
tercapai atau dikuasai oleh pembelajar.
Kompetensi, baik yang dirumuskan sebagai standar kompetensi
maupun kompetensi dasar, menjadi acuan dan tujuan yang ingin dicapai
dalam keseluruhan proses pembelajaran. Oleh karena itu, kompetensi apa
yang akan dicapai itu haruslah yang pertama-tama ditetapkan. Untuk
kurikulum sekolah (KTSP), standar kompetensi dan kompetensi dasar, yang
dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan disebut
Standar Kompetensi Lulusan (SKL), telah secara jelas ditunjuk. Standar
Kompetensi Lulusan inilah yang kemudian dijadikan pedoman penilaian
dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Karena
standar kompetensi dan kompetensi dasar lazimnya masihbstrak, kompetensi
dasar kemudian dijabarkan menjadi sejumlah indicator yang lebih operasional
sehingga jelas kemampuan, keterampilan, atau kinerja apa yang menjadi
sasaran pengukuran.
2. Penentuan Tugas Autentik
Tugas autentik adalah tugas-tugas yang secara nyata dibebankan
kepada pembelajar untuk mengukur pencapaian kompetensi yang
dibelajarkan, baik ketika kegiatan pembelajaran masih berlangsung maupun
ketika sudah berakhir. Pengukuran hasil pencapaian kompetensi pembelajar
yang secara realistik dilakukan di kelas dapat bersifat model tradisional atau
autentik sekaligus tergantung kompetensi atau indicator yang akan diukur.
Tugas autentik (authentic task) sering disinonimkan dengan penilaian
autentik (authentic assessment) meskipun sebenarnya cakupan makna yang
kedua lebih luas. Permasalahan yang segera muncul adalah tugas-tugas apa
atau model-model pengukuran apa yang dapat dikategorikan sebagai tugas
atau penilaian autentik.
Semua kegiatan pengukuran pendidikan harus mengacu pada standar
(standar kompetensi, kompetensi dasar) yang telah ditetapkan. Demikian pula
halnya dengan pemberian tugas-tugas autentik. Pemilihan tugas-tugas
tersebut pertama-tama haruslah merujuk pada kompetensi mana yang akan
diukur pencapaiannya. Kedua, dan inilah yang khas penilaian autentik,
pemilihan tugas-tugas itu harus mencerminkan keadaan atau kebutuhan yang
sesungguhnya di dunia nyata. Jadi, dalam sebuah penilaian autentik mesti
terkandung dua hal sekaligus: sesuai dengan standar (kompetensi) dan
relevan (bermakna) dengan kehidupan nyata.
Dua hal tersebut haruslah menjadi acuan kita ketika membuat tugas-
tugas autentik untuk mengukur pencapaian kompetensi pembelajaran kepada
peserta didik. Dengan demikian, apa yang ditugaskan oleh guru kepada
pembelajar dan yang dilakukan oleh pembelajar telah mencerminkan
kompetensi yang memang dibutuhkan dalam kehidupan nyata. Hal itu berarti
ada keterkaitan antara dunia pendidikan di satu sisi dengan tuntutan
kebutuhan kehidupan di dunia nyata di sisi lain. Misalnya, dalam
pembelajaran bahasa, bahasa target apa saja, pasti terdapat standar
kompetensi lulusan yang berkaitan dengan kemampuan menulis. Menulis
dalam kaitan ini bukan sekadar menulis demi tulisan itu sendiri, melainkan
menulis untuk menghasilkan karya tulis yang memang dibutuhkan di dunia
nyata. Misalnya, menulis surat lamaran pekerjaan, surat penawaran produk,
dan menulis artikel untuk media massa. Untuk itu, pembuatan tugas-tugas
autentik dalam rangka penilaian autentik capaian hasil belajar peserta didik
harus terkait dengan kemampuan menghasilkan karya tulis jenis-jenis
tersebut.
3. Pembuatan Kriteria
Jika standar (kompetensi, kompetensi dasar) merupakan arah dan
acuan kompetensi pembelajaran yang dibelajarkan oleh guru dan sekaligus
akan dicapai oleh siswa, proses pembelajaran haruslah secara sadar diarahkan
ke capaian kompetensi yang telah ditetapkan sebelumnya. Demikian pula
halnya dengan penilaian yang dimaksudkan untuk mengukur kadar capaian
kompetensi sebagai bukti hasil belajar. Untuk itu, diperlukan kriteria yang
dapat menggambarkan capaian kompetensi yang dimaksud.
Kriteria merupakan pernyataan yang menggambarkan tingkat capaian
dan bukti-bukti nyata capaian belajar subjek belajar dengan kualitas tertentu
yang diinginkan. Kriteria lazimnya juga telah dirumuskan sebelum
pelaksanaan pembelajaran. Dalam kurikulum berbasis kompetensi kriteria
lebih dikenal dengan sebutan indikator.
Dalam kegiatan pembelajaran, semua kompetensi yang dibelajarkan
harus diukur kadar capaiannya oleh pembelajar. Jika dalam lingkup penilaian
autentik harus melibatkan dua macam relevansi, yaitu sesuai dengan
kompetensi dan bermakna dalam kehidupan nyata, kriteria atau indikator
penilaian yang dikembangkan harus juga mengandung kedua tuntutan
tersebut. Singkatnya, sebuah kriteria penilaian capaian hasil belajar harus
cocok dengan kompetensi yang dibelajarkan dan sekaligus bermakna atau
relevan dengan kehidupan nyata. Jumlah kriteria yang dibuat bersifat relatif,
tetapi sebaiknya dibatasi, dan yang pasti kriteria harus mengungkap capaian
hal-hal yang esensial dalam sebuah standar (kompetensi) karena hal itulah
yang menjadi inti penguasaan terhadap kompetensi pembelajaran. Kita tidak
mungkin menagih semua tugas yang dibelajarkan dan sekaligus dipelajari
subjek didik. Selain itu, pembuatan kriteria harus mengacu pada ketentuan-
ketentuan yang selama ini dinyatakan baik, baik dalam arti efektif untuk
keperluan penilaian hasil belajar antara lain :
1. Harus dirumuskan secara jelas,
2. Singkat padat,
3. Dapat diukur, dan karenanya haruslah dipergunakan kata-kata kerja
operasional,
4. Menunjuk pada tingkah laku hasil belajar, apa yang mesti dilakukan dan
bagaimana kualitas yang dituntut, dan
5. Sebaiknya ditulis dalam bahasa yang dipahami oleh subjek didik.
Perumusan kriteria yang jelas dan operasional akan mempermudah guru
dalam melakukan kegiatan penilaian.
4. Pembuatan Rubrik
Penilaian autentik menggunakan pendekatan penilaian acuan kriteria
(criterion referenced measures) untuk menentukan nilai capaian subjek didik.
Dengan demikian, nilai seorang pembelajar ditentukan seberapa tinggi kinerja
ditampilkannya secara nyata yang menunjukkan tingkat capaian kompetensi
yang dibelajarkan. Untuk menentukan tinggi rendahnya skor kinerja yang
dimaksud, haruslah dipergunakan alat skala untuk memberikan skor-skor tiap
kriteria yang telah ditentukan. Alat yang dimaksud disebut rubrik (rubric).
Rubrik dapat dipahami sebagai sebuah skala penskoran (scoring scale)
yang dipergunakan untuk menilai kinerja subjek didik untuk tiap criteria
terhadap tugas-tugas tertentu (Mueller, 2008). Dalam sebuah rubrik terdapat
dua hal pokok yang harus dibuat, yaitu kriteria dan tingkat capaian kinerja
(level of performance) tiap kriteria. Kriteria berisi hal-hal esensial standar
(kompetensi) yang ingin diukur tingkat capaian kinerjanya yang secara
esensial dan konkret mewakili standar yang diukur capaiannya. Dengan
membatasi criteria pada hal-hal esensial, dapat dihindari banyaknya kriteria
yang dibuat yang menyebabkan penilaian menjadi kurang praktis. Selain itu,
kriteria haruslah dirumuskan atau dinyatakan (jadi: berupa pernyataan dan
bukan kalimat) singkat padat, komunikatif, dengan bahasa yang gramatikal,
dan benar-benar mencerminkan hal-hal esensial (dari standar/kompetensi)
yang diukur. Dalam sebuah rubrik, kriteria mungkin saja atau boleh juga
dilabeli dengan kata-kata tertentu yang lebih mencerminkan isi, misalnya
dengan kata-kata: unsur yang dinilai.
Tingkat capaian kinerja, di pihak lain, umumnya ditunjukkan dalam
angka-angka, dan yang lazim adalah 1–4 atau 1–5, besar kecilnya angka
sekaligus menunjukkan tinggi rendahnya capaian. Tiap angka tersebut
biasanya memunyai deskripsi verbal yang diwakili, misalnya skor 1: tidak
ada kinerja, sedang skor 5: kinerja sangat meyakinkan dan bermakna. Bunyi
deskripsi verbal tersebut harus sesuai dengan kriteria yang akan diukur. Yang
pasti terdapat banyak variasi dalam pembuatan rubrik, juga untuk kriteria dan
angka tingkat capaian kinerja.
Penilaian tingkat capaian kinerja seorang pembelajar dilakukan dengan
menandai angka-angka yang sesuai. Rubrik lazimnya ditampilkan dalam
tabel, kriteria ditempatkan di sebelah dan tingkat capaian di sebelah kanan
tiap kriteria yang diukur capaiannya itu.
3.1 Kesimpulan
Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara
komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran
(output) pembelajaran, yang meliputi ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Penilaian autentik menilai kesiapan peserta didik, serta proses dan hasil belajar
secara utuh. Keterpaduan penilaian ketiga komponen (input – proses – output)
tersebut akan menggambarkan kapasitas, gaya, dan hasil belajar peserta didik,
bahkan mampu menghasilkan dampak instruksional (instructional effects) dan
dampak pengiring (nurturant effects) dari pembelajaran.
Penilaian autentik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Memandang penilaian dan pembelajaran secara terpadu
2) Mencerminkan masalah dunia nyata
3) Menggunakan berbagai cara dan kriteria
4) Holistik (kompetensi utuh merefleksikan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap)
Kriteria penilaian autentik dapat dibuat guru, tim guru atau guru bersama
siswa, karena jika peserta didik tahu apa yang dinilai maka peserta didik akan
melakukan aktivitas belajar dengan sebaik-baiknya.
Penilaian autentik sebagai upaya pemberian tugas kepada peserta didik
yang mencerminkan prioritas dan tantangan yang ditemukan dalam aktivitas-
aktivitas pembelajaran, seperti meneliti, menulis, merevisi dan membahas artikel,
memberikan analisis oral terhadap peristiwa, berkolaborasi dengan antar sesama
melalui debat, dan sebagainya. Penilaian autentik memiliki relevansi kuat
terhadap pendekatan ilmiah (scientific approach), karena penilaian semacam ini
mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam
rangka mengobservasi, menanya, menalar, mencoba, dan membangun jejaring.
Penilaian autentik cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau
kontekstual, yang memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan kompetensi
mereka yang meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Penilaian autentik terdiri dari berbagai teknik penilaian. Pertama,
pengukuran langsung keterampilan peserta didik yang berhubungan dengan hasil
jangka panjang pendidikan seperti kesuksesan di tempat kerja. Kedua, penilaian
atas tugas-tugas yang memerlukan keterlibatan yang luas dan kinerja yang
kompleks. Ketiga, analisis proses yang digunakan untuk menghasilkan respon
peserta didik atas perolehan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang ada.
Dalam pembelajaran autentik, peserta didik diminta mengumpulkan
informasi dengan pendekatan scientific, memahami aneka fenomena atau gejala
dan hubungannya satu sama lain secara mendalam, serta mengaitkan apa yang
dipelajari dengan dunia nyata yang ada di luar sekolah.
Guru dan peserta didik memiliki tanggung jawab atas apa yang terjadi.
Peserta didik pun tahu apa yang mereka ingin pelajari, memiliki parameter waktu
yang fleksibel, dan bertanggungjawab untuk tetap pada tugas. Penilaian autentik
pun mendorong peserta didik mengkonstruksi, mengorganisasikan, menganalisis,
mensintesis, menafsirkan, menjelaskan, dan mengevaluasi informasi untuk
kemudian mengubahnya menjadi pengetahuan baru.
Pada pembelajaran autentik, guru harus menjadi “guru autentik.” Peran
guru bukan hanya pada proses pembelajaran, melainkan juga pada penilaian.
Untuk bisa melaksanakan pembelajaran autentik, guru harus memenuhi
kriteria tertentu:
a. Mengetahui bagaimana menilai kekuatan dan kelemahan peserta didik
serta desain pembelajaran.
b. Mengetahui bagaimana cara membimbing peserta didik untuk
mengembangkan pengetahuan mereka sebelumnya dengan cara
mengajukan pertanyaan dan menyediakan sumber daya memadai bagi
peserta didik untuk melakukan akuisisi pengetahuan.
c. Menjadi pengasuh proses pembelajaran, melihat informasi baru, dan
mengasimilasikan pemahaman peserta didik.
d. Menjadi kreatif tentang bagaimana proses belajar peserta didik dapat
diperluas dengan menimba pengalaman dari dunia di luar tembok
sekolah
3.2 Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, para pembaca bisa lebih mengetahui
tentang Penilaian autentik berupa konsep-konsep dari Penilaian autentik, dan
konsep jenis-jenis penilaian autentik dan pelaksanaannya. Terlebih khusus lagi
kepada mereka calon guru, semoga bisa menjadi bahan pelajaran yang baik, dan
semoga bisa diterapkan nanti ketika kita sudah bekerja menjadi seorang guru.
DAFTAR PUSTAKA