Anda di halaman 1dari 3

Nama : Darwin Setiawan

NPM : 1806219955
Mata Kuliah : Filsafat Hukum
Kelas :D

Keberadaan positivisme hukum tidak dapat dilepaskan dari hadirnya suatu entitas yang
berdaulat yang disebut dengan negara pada abad pertengahan. Istilah positivisme berasal dari
Bahasa latin poněre yang berarti meletakkan. Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang
berdasar bahwa ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak
aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Aliran ini mengutamakan fakta yang dapat diamati
walaupun tidak menolak abstraksi-abstraksi data hasil pengamatan namun tidak juga mencari
atau menerima realitas yang lebih tinggi dan di atas dunia inderawi. Sesungguhnya aliran
positivisme hukum ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh
pengetahuan. Oleh karena itu aliran positivisme cenderung sekuler dan empiris. Berbeda dengan
aliran hukum kodrat (natural law) yang mempermasalahkan tentang validasi hukum buatan
manusia, aliran positivisme hukum ini menitikberatkan pada permasalahan konkrit. Argumen-
argumen dari aliran ini selalu mereferensi pada hal-hal yang empiris dan berupa analisis akan
fakta sosial yang objektif. Menurut aliran ini, hukum adalah fenomena sosial yang lainnya yang
hanya dapat dibentuk, diadakan, dan diterapkan dalam ruang lingkup tertentu, walaupun hukum
tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor lain seperti moralitas, agama, etika, dan lain sebagainya.

Terdapat beberapa tokoh yang menganut aliran positivisme hukum, salah satunya adalah
Bentham yang dikenal sebagai pendiri aliran utilitarianisme. Bentham menolak hukum kodrat
yang meyakini nilai-nilai subjektif dan menggantinya dengan patokan-patokan yang didasarkan
pada keuntungan, kesenangan, dan kepuasan-kepuasan manusia. Hukum yang demikian dapat
dicapai dengan menggunakan seni legislasi yang memampukan kita untuk meramalkan hal mana
yang akan memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan kepedihan dalam masyarakat. Seni
legislasi itu berkaitan dengan penciptaan hukum yang effective dan adequate, sehingga dapat
mendukung pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kebahagiaan dan kesenangan, namun disaat
yang bersamaan juga mengurangi penderitaan masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, Bentham
mengemukakan istilah expositional jurisprudence (ilmu hukum yang memaparkan apa itu
hukum) dan censorial jurisprudence (untuk menjawab pertanyaan apa hukum yang baik). Teori
Bentgam bersifat imperatif karena didalamnya terdapat konsep-konsep kunci yaitu sovereignty,
power, dan sanction dalam sebuah masyarakat politik.

Tokoh lain yang menganut aliran ini adalah John Austin yakni seorang pemikir positivis
yang meneruskan pemikiran Bentham. Bagi Austin, hukum merupakan perintah (command) dari
pihak yang berkuasa (sovereign) yang memiliki sanksi dan terpisah dari moral. Austin
bersikukuh pada orang atau lembaga yang menentukan sebagai sumber dari suatu command,
yang dapat dianggap pada pijakan bahwa suatu command merupakan pelaksanaan kehendak dari
orang-orang tertentu. Hal yang mencolok dari ajaran Austin adalah adanya pemisahan secara
kaku antara hukum dan moral. Austin mengungkapkan dua pembedaan besar mengenai hukum,
yaitu:

a. Hukum Tuhan: Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk makhluk ciptaannya
b. Hukum yang dibuat manusia untuk manusia. Ada 2 kategori, yaitu:
- Hukum positif: hukum yang dibuat oleh manusia sebagai superior politik atau dalam
melaksanakan hak-hak yang diberikan oleh petinggi-petinggi politik tersebut
- Moralitas positif: hukum yang dibuat oleh manusia tetapi tidak sebagai petinggi politik
atau dalam melaksanakan hak yang dimiliki.

Gagasan Austin mengurai kritik dari berbagai pihak, salah satunya adalah Hart. Menurut Hart,
akar dari kegagalan teori hukum dari Austin adalah bahwa elemen-elemen pembentuk teori
tersebut tidak dibahas oleh Austin.

B. Pure Theory of Law


Pure theory of law merupakan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Teori ini
menekankan pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan tradisional dengan
mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. Hukum bukan merupakan menifestasi dari otoritas
super-human, akan tetapi merupakan suatu Teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman
manusia. Kelsen memahami teorinya ini sebagai teori kognisi hukum. Dan satu-satunya tujuan
dari adanya teori ini adalah kognisi atau pengetahuan tentang objeknya, tepatnya ditetapkan
sebagai hukum itu sendiri.

Kelsen menyatakan bahwa sebuah norma legal mengandung nilai hukum yang objektif
dalam pengertian bahwa keberadaan norma tersebut bergantung pada fakta yang dapat
diverifikasi secara objektif menyangkut efektivitas sistem hukum secara keseluruhan (dimana
norma itu berada) dan berhubungan pula dengan fakta-fakta yang menciptakan norma tersebut.
Dalam hal ini, Kelsen berbicara mengenai sesuatu yang bersifat formal bukan substantif.
Menurutnya, keberadaan norma adalah valid hanya dalam konteks tertentut yang sedemikian
formal dan hal tersebut tidak dapat ditangkap sebagai fakta.

Secara teoritis, mungkin saja sebuah norma berasal dari norma yang lainnya secara
infinitium (tidak terbatas). Artinya suatu norma bersumber dari norma lainnya dan norma lainnya
ini bersumber dari norma yang lainnya lagi. Namun demikian, menurut Kelsen, norma-norma
yang berkaitan dengan sikap tindak manusia tersebut harus berujung pada norma yang tertinggi
yang dipostulasikan dimana semua norma bersandar yang disebut sebagai norma dasar. Norma
dasar ini bukan merupakan norma hukum positif yang memerlukan verifikasi atas validasinya
(extra-legal) dan tidak bersandar pada norma legal lainnya.

Proses hukum digambarkan oleh Kelsen sebagai hierarki norma. Validitas dari setiap
norma bergantung pada norma yamg lebih tinggi. Sistem norma dalam pandangan Kelsen selalu
bersandar pada sanksi. Menurut Kelsen, sanksi merupakan reaksi koersif masyarakat atas fakta
sosial yang mengganggu masyarakat. Ensansi dari hukum adalah organisasi dari kekuatan, dan
hukum bersandari pada sistem paksaan yang dirancang untuk menjaga tingkah laku sosial
tertentu.

Anda mungkin juga menyukai