Contoh Makalah
Contoh Makalah
KEWARISAN ISLAM
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Matakuliah: Ilmu Waris
Dosen: Mohamad Rana, M.H.I
Oleh:
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Perumusan Masalah.................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian....................................................................... 9
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 22
A. Pengertian Waris.................................................................... 22
B. Dasar Hukum Kewarisan Islam............................................. 27
1
Amir Syarifuddin, Hukum Keluarga Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2004), 3.
2
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Cet.5
(Bandung: Refika Aditama, 2018), 1.
3
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 303.
4
Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 39.
Dasar aturan penyelesaian warisan yang disebut faraid atau hukum
kewarisan Islam adalah beberapa ayat Al-Quran dan sedikit tambahan dari hadis
Nabi Muhammad SAW.5 Muhammad Amin Suma memilah ayat-ayat waris ini
ke dalam tiga kelompok besar, yakni: Pertama, kelompok ayat induk inti yang
terdiri dari QS. An-Nisa>’/4: 7, 11, 12, 33, dan 176. Kedua, kelompok ayat
pendukung yang terdiri dari QS. An-Nisa>’/4: 9, 10, 13, 14, dan 32-34. Ketiga,
kelompok pendukung ayat terkait terdiri dari QS. Al-Baqarah/2: 228, QS. An-
Nisa>’/4: 19 dan QS. Al-Ah}za>b/33: 4.6
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka
dapat ditarik permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah definisi waris dalam konsepsi Islam, baik dari tataran
etimologi maupun terminologi?
b. Bagaimanakah dasar disyari’atkannya kewarisan dalam Islam itu sendiri?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dalam menyusun karya tulis ilmiah ini, yaitu sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui definisi waris dalam konsepsi Islam, baik dari tataran
etimologi maupun terminologi.
b. Untuk mengetahui dasar disyari’atkannya kewarisan dalam Islam.
5
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2004), 36.
6
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam: Dalam Pendekatan Teks dan
Konteks (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 24.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Waris
a. Secara Bahasa
Waris adalah bentuk isim fa‘il dari warisa\, yarisu\, irsa\n, fahuwa warisu\n
yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-kata itu berasal dari kata
warisa\ yang bermakna perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka.7 Kata
warasa\ memiliki beberapa arti:8 pertama, mengganti (QS. An-Naml/27: 16),
kedua, memberi (QS. Az-Zumar/39: 74) dan ketiga, mewarisi (QS. Maryam/19:
6).9
Waris juga sering disebut dengan faraid.10 Fara>>id{ ( )فراءضadalah jama‘ dari
7
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 1.
8
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 1.
9
Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 281.
10
Secara etimologi faraid berasal dari kata فرضٌ–ٌيفرضٌ–ٌفريضةٌجٌفرائضyang berarti menduga,
mengira-ngirakan, menentukan, menetapkan, mewajibkan. Lihat pada Ahmad Warson Munawwir,
Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 2002), 1046. Sedangkan
secara terminologi, faraid adalah ilmu yang membahas tentang peralihan hak milik terhadap harta
kekayaan dalam hal ini penentuan siapa-siapa saja yang berhak menjadi ahli waris, berapa bagian
masing-masing ahli waris, kapan harta peninggalan itu bisa dibagi dan bagaimana pembagiannya.
Lihat juga pada Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam: Dalam Pendekatan Teks
dan Konteks, 11. Dan lihat juga pada NM. Wahyu Kuncoro, Waris: Permasalahan dan Solusinya
(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), 17.
11
Kata faraid adalah bentuk jamak dari fari>d}ah yang berasal dari kata fard}u yang berarti
ketetapan, pemberian (sedekah). Lihat pada Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2012), 49. Lihat juga pada Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum
Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, 15. Dan lihat juga pada Tamakiran, Asas-
asas Hukum Waris Menurut 3 Sistem Hukum (Bandung: Pionir Jaya, 2000), 84.
12
Ma’shum Zein, Fiqh Mawarits: Studi Metodologi Hukum Waris Islam, Cet.1 (Jombang:
Darul Hikmah, 2008), 9-10.
“Sungguh aku telah mendapatkan suatu pemberian artinya bukan
hanya janji”.
2) Al-Qat}‘u/ اَلْ َقطْ ٌُع, artinya “ketetapan pasti”, sebagaimana Allah SWT
13
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 78.
14
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 38.
15
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 560.
16
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 396.
1
6) Al-Ih}la>l/ االحالل, artinya “menghalalkan”, sebagaimana yang
Ilmu faraid dinamakan juga dengan ilmu al-mi>ra>s\ ()املرياث.18 Kata al-
17
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 423.
18
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, 11-12.
19
Seperti dalam ungkapan “waras\a majda abi>hi” yang artinya dia mewarisi kemuliaan
bapaknya; atau “waras\a ‘an abi>hi al-‘ilma wa al-khuluqa” yang artinya dia mewarisi ilmu dan akhlak
bapaknya. Dan di sinilah pula terletak pemaknaan hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan:
“al-‘ulama> waras\ah al-anbiya>” artinya para ulama itu adalah ahli-ahli waris para Nabi mengingat
ilmu itulah yang menjadi keabadian (dan diabadikan) para Nabi. Lihat pada Muhammad Amin
Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan Konteks, 12. Lihat juga pada
Saifuddin Masykuri, Ilmu Faraidl: Pembagian Harta Warisan Perbandingan 4 Madzhab (Kediri:
Santri Salaf Press, 2016), 8.
20
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 1556.
21
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, 1.
telah ditentukan nilai besar-kecilnya oleh syariat.22 Akan tetapi jika kata
faraid ini digabungkan dengan kata ilmu, maka berarti:23
ِ ِ ِ كٌومع ِرفَةٌَقَ ْد ِر
ِ ٌمنٌالتَّرَك ِ ِ ِ ِ ِ ٌاْلِس ِ ِ ِ ِاَلْ ِف ْقهٌاَلْمت علِقٌاب
ٌت ْ َ ٌ ٌالوجب َ ْ َ َ َ ىلٌم ْع ِرفَةٌذَل
َ بٌاَلْ ُموص َلٌا َ ْ الرث ٌَوَم ْعرفَة
ْ ُ َ َُ ُ
ىٌح ٌِق ِ ِ
َ ل ُك ِلٌذ
“Ilmu faraid adalah suatu disiplin ilmu hukum Islam (ilmu fikih)
yang erat sekali hubungannya dengan masalah pembagian harta
warisan, pengetahuan tentang metode perhitungan yang dapat
menyampaikan kepada pembagian harta warisan dan pengetahuan
tentang bagian-bagian harta warisan yang wajib bagi setiap orang
yang memiliki hak untuk mewarisinya”.
Ilmu waris disebut juga ilmu faraid, diambil dari kata mafru>d}a> yang
terdapat dalam QS. An-Nisa>’/4: 7 sebagai berikut:
ٌصيب ٌِِمَّاٌتَ َرَكٌالْ َوالِ َد ِان ٌَو ْاْلَقٌَْربُو َن ٌِِمَّاٌقَ َّل
ِ َاْلَقْ ربو َنٌولِلنِس ِاءٌن ِ ِ ِ ِ ِ ِِ
َ َ َُ ٌْ للر َجالٌنَصيبٌِمَّاٌتَ َرَكٌالْ َوال َدان ٌَو
وضا ِ ِ
ً اٌم ْفُر
َ ًمْنهٌُأ َْوٌ َكثَُرٌٌۚنَصيب
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (QS. An-Nisa>’/4:
7).24
22
Ma’shum Zein, Fiqh Mawarits: Studi Metodologi Hukum Waris Islam, 10. Lihat juga
pada Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Cet.3 (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), 233.
23
Ma’shum Zein, Fiqh Mawarits: Studi Metodologi Hukum Waris Islam, 10. Lihat juga
pada Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, 2.
24
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 78.
25
Tirkah (harta peninggalan pewaris) yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik
berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Lihat Pasal 171 huruf d Kompilasi
Hukum Islam.
pewaris,26 menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris27 dan berapa
bagian masing-masing.28 Hukum waris bisa dikatakan sebagai himpunan
peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang
yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya.29
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian hukum kewarisan yaitu
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya.30
Dari beberapa definisi di atas, maka secara singkat ilmu faraid atau
ilmu waris ialah ilmu yang mengatur peralihan harta orang yang telah
meninggal kepada orang yang masih hidup berdasarkan ketentuan syariat
Islam (Al-Quran, sunah, ijmak ulama dan ijtihad ulama).31
c. Pendapat Para Ahli
Menurut Prof. Muhammad Amin Suma, hukum kewarisan Islam
yaitu hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris,
menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan
pembagian harta kekayaan pewaris dilaksanakan.32
Menurut M. Idris Ramulyo, wirasa\h atau hukum waris adalah
hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris,
ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian yang lazim disebut hukum
faraid.33
26
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan Agama, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Lihat
Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam.
27
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris. Lihat Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam.
28
Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam.
29
Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam: Dinamika dan
Perkembangannya di Indonesia (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008), 223.
30
Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam.
31
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 3. Hukum waris adalah hukum yang
mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal, serta
akibatnya bagi para ahli warisnya. Lihat pada Effendi Perangin, Hukum Waris (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008), 3.
32
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), 108.
33
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 2.
Menurut Muhammad Syahrur, kewarisan adalah proses perpindahan
harta yang dimiliki seseorang yang sudah meninggal dunia kepada pihak
penerima yang jumlah dan ukuran bagian yang diterimanya telah
ditentukan dalam mekanisme wasiat, atau jika tidak ada wasiat maka
penentuan pihak penerima, jumlah dan ukuran bagiannya ditentukan
dalam mekanisme pembagian waris.34
34
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Cet.2 (Yogyakarta: ElsaQ
Press, 2004), 334.
35
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, 6. Syariat tentang warisan adalah salah satu
bentuk kepedulian Islam dalam pendistribusian harta. Lihat pada Mahmudunnasir, Islam Konsepsi
dan Sejarahnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 401. Lihat juga pada Abdul Ghofur Anshori,
Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, 19.
36
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan
Adaptabilitas, Cet.2 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017), 6.
37
Faqihuddin Abdul Kodir, Qira>‘ah Muba>dalah, Cet.1 (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), 272.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Allah SWT akan memutuskan hal itu”.
Kemudian turunlah QS. An-Nisa>’/4 ayat 11-12.38
1. Al-Quran
ٌصيب ٌِِمَّاٌتٌََرَكٌالْ َوالِ َد ِان ٌَو ْاْلَقْ َربُو َن ٌِِمَّاٌقَ َّل
ِ َصيب ٌِِمَّاٌتَرَكٌالْوالِ َد ِانٌو ْاْلَقْ ربو َنٌولِلنِس ِاءٌن
َ َ َُ َ َ َ
ِ َلِ ِلرج ِالٌن
َ
ٌ وضا ِ ِ
ً اٌم ْفُر
َ ًمْنهٌُأ َْوٌ َكثَُرٌٌۚنَصيب
“Bagi kaum laki-laki, ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya; dan bagi kaum perempuan, (juga) ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (QS.
An-Nisa>’/4: 7).39
Kalau dilihat pada ayat 7, nampak ayat ini masih bersifat global, karena
belum ada pernyataan pembagian atau porsi setiap ahli waris. Ayat ini
sebagai usaha awal Islam merombak tradisi Arab jahiliah, yang tidak
memberikan hak mewarisi pada pihak perempuan dan laki-laki yang
belum dewasa. Hal ini didasarkan pada tradisi perikehidupan mereka yang
gemar mengembara dan berperang, dan kewajiban berperang itu
ditanggung oleh kaum laki-laki yang sudah dewasa.40
Sementara dalam ayat 7 ini menandaskan, perempuan dan laki-laki
yang belum dewasa sama-sama mempunyai hak untuk mewarisi harta
peninggalan. Perbedaannya hanya terletak pada bagian masing-masing
ahli waris.41
Sebelum turun ayat ini, perempuan dan anak-anak tidak mendapat
pembagian sedikitpun dari harta yang ditinggalkan oleh ibu, bapak atau
kerabat. Maka Al-Quran mengubah sistem yang cenderung menindas
38
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, 6. Lihat juga pada Nurjannah Ismail,
Perempuan dalam Pasungan, Cet.1 (Yogyakarta: LkiS, 2003), 198.
39
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 78.
40
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan
Adaptabilitas, 12. Kedatangan Islam juga memicu revolusi besar dalam kehidupan kaum
perempuan. Mereka yang dalam masyarakat Arab sebelum Islam diperlakukan hampir seperti
barang atau benda dan dapat diwarisi, kemudian oleh Islam diangkat martabatnya dengan diberi
kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki di hadapan Tuhan, tidak dapat diwarisi namun
mendapat atau berhak menerima warisan. Lihat pada Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Cet.1
(Jakarta: Paramadina, 1997), 2.
41
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan
Adaptabilitas, 12. Anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kedudukan yang sama sebagai
ahli waris. Keberadaan keduanya mandiri tanpa ketergantungan satu dengan lainnya. Lihat pada
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin,
Cet.2 (Yogyakarta: UII Press, 2010), 165.
kaum lemah ini. Ayat 7 surat An-Nisa>’ di atas menetapkan bahwa semua
karib kerabat mendapatkan bagian dari harta warisan, baik laki-laki,
perempuan, maupun anak-anak, walaupun pembagiannya tidak sama
banyak antara satu dengan yang lain, sesuai fungsi dan tanggung jawab
masing-masing.42
ِ ْ َنيٌٌۚفَِإ ْنٌ ُك َّنٌنِساءٌفَو َقٌاثْنَت ْ ٌح ِظ
ِ ْ ٌَاْلُنْثَي ِ َّ ٌِاَّلل ٌِِفٌأَوَال ِد ُكمٌٌۖل ِ
ٌاٌما
َ َنيٌفَلَ ُه ٌَّنٌثُلُث ْ ًَ َ لذ َك ِرٌمثْ ُل ْ ْ َُّ يُوصي ٌُك ُم
ٌُس ٌِِمَّاٌتَ َرَكٌٌإِ ٌْنٌ َكا َنٌلَه ُّ احد ٌِمْن ُه َم
ُ اٌالس ُد
ِ اح َد ًةٌفَلَهاٌالنِصفٌٌۚوِْلَب وي ِهٌلِ ُك ِلٌو
َ ْ ََ َ ُ ْ َ
ِ تَرَكٌٌۖوإِ ْنٌ َكانَتٌو
َ ْ َ َ
ٌِولَدٌٌۚفَِإ ْنٌ ََلٌي ُكنٌلَهٌولَدٌووِرثَهٌأَب واهٌفَِِل ُِم ِهٌالثُّلُثٌٌۚفَِإ ْنٌ َكا َنٌلَهٌإِخوةٌفَِِل ُِم ِهٌال ُّسدسٌ ٌِۚمنٌب عد
َْ ْ ُ ُ َْ ُ ُ ُ ََ ُ َ َ َ ُ ْ َ ْ َ
ِ ِ
ٌٌاَّللٌٌۗإ َّن ِ
َّ يضةًٌم َن ِ ِ ِ ِ
َ بٌلَ ُك ْمٌنَ ْف ًٌعاٌٌۚفَر ُ ٌۗآاب ُؤُك ْم ٌَوأَبْنَا ُؤُك ْم ٌَالٌتَ ْد ُرو َنٌأَيُّ ُه ْمٌأَقٌَْر
َ ٌٌديْن
َ َوصيَّةٌيُوصيٌِبَاٌأ َْو
ٌاج ُك ْمٌإِ ْنٌ ََلٌْيَ ُك ْنٌ ََلُ َّن ٌَولَدٌٌۚفَِإ ْنٌ َكا َنٌ ٌََلُ ٌَّن ٌَولَد ِ ِ اَّللٌ َكا َنٌعلِيم
ُ ٌماٌتَ َرَكٌأ َْزَوَف ُ ص ْ ا۞ٌولَ ُك ْمٌن
َ يمً اٌحك َ ً َ ََّ
ٌٌالربُ ُع ٌِِمَّاٌتٌََرْكتُ ْمٌإِ ْنٌ ََلٌْيَ ُك ْنٌلَ ُك ْم
ُّ ٌديْنٌ ٌَۚوََلُ َّن ِ وص
َ نيٌِبَاٌأ َْو
ِ ِ ِ ِ ِ
َ ٌُالربُ ُعٌِمَّاٌتَ َرْك َنٌٌۚم ْنٌبَ ْعد ٌَوصيَّةٌي ُّ فَلَ ُك ُم
ٌٌديْنٌٌۗ َوإِ ْنٌ َكا َن ِ ِ ِ ِ ِ
َ وصو َنٌِبَاٌأ َْو ُ َُولَدٌٌۚفَِإ ْنٌ َكا َنٌلَ ُك ْم ٌَولَدٌفَلَ ُه َّنٌالث ُُّم ُنٌِمَّاٌتَ َرْكتُ ْمٌٌۚم ْنٌبَ ْعد ٌَوصيَّةٌت
ٌسٌٌۚفَِإ ْنٌ َكانُواٌأَ ْكثَ َر ٌِم ْن ُّ احد ٌِمْن ُه َم ِ ثٌ َك َاللَةًٌأَ ِوٌامٌرأَةٌولَهٌأَخٌأَوٌأُختٌفَلِ ُك ِلٌو
ُ اٌالس ُد َ ْ ْ ُ َ َْ ُ َر ُجلٌيُ َور
َّ ٌاَّللٌِ ٌَۗو
ٌُاَّلل ٌَّ ضارٌ ٌَۚو ِصيَّةً ٌِم َن َ ٌمُ ٌديْنٌ َغْي َر
ِ
َ وص ٰىٌِبَاٌأ َْو
ِ ِ ِ ِ
َ ٌُشَرَكاءُ ٌِِفٌالثُّلُثٌٌۚم ْنٌبَ ْعد ٌَوصيَّةٌي ُ كٌفَ ُه ْم
ِ
َ َٰذل
ٌٌحلِيم
َ َعليم
ِ
ٌِ َوه ْمٌٌن
َّ صيبَ ُه ْمٌٌۚإِ َّن
ٌٌٌَاَّلل ِ َّ ِ ِ ِ ِولِ ُكلٌجعلْناٌمو
ُ ُتٌأَْْيَانُ ُك ْمٌفَآت
ْ ٌع َق َد
َ ين
َ اِلٌِمَّاٌتَ َرَكٌالْ َوال َدان ٌَو ْاْلَقْ َربُو َنٌ ٌَۚوالذ
َ ََ َ َ َ َ
يدا ِ
ً ٌشه َ ٌش ْيء َ ٌعلَ ٰىٌ ُك ِل
َ َكا َن
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan
ibu-bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dan
(jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan
mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya
Allah SWT menyaksikan segala sesuatu”. (QS. An-Nisa>’/4: 33).45
Pada ayat 33, berkaitan dengan ahli waris pengganti atau mawa>li.
Keadaan ini terjadi apabila salah satu dari orang yang mesti menjadi
43
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 78-79.
44
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 10. Lihat juga pada Saifuddin dan
Wardani, Tafsir Nusantara, Cet.1 (Yogyakarta: LkiS, 2017), 116.
45
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 83.
ahli waris meninggal terlebih dahulu, sehingga haknya jatuh pada orang
lain yang satu keturunan dengan ahli waris yang meninggal dunia
tersebut.
ِ ِ ِ ِ َّ كٌقُ ِل
ٌٌماَف ُ ص ْ سٌلَهُ ٌَولَد ٌَولَهٌٌُأُ ْختٌفَلَ َهاٌن َ كٌلَْي َ ٌَهل
َ ٌامُرؤْ ٌاَّللٌُيُ ْفتي ُك ْم ٌِِفٌالْ َك َاللَةٌٌۚإِن َ َيَ ْستَ ْفتُون
ٌان ٌِِمَّاٌتَ َرَكٌٌۚ ٌَوإِ ْنٌ َكانُواٌإِ ْخ َوًة
ِ َنيٌفَلَهماٌالثُّلُث ِ ِ
َ ُ ْ َاٌولَدٌٌۚفَإ ْنٌ َكانَتَاٌاثْنَت
ِ
َ َتَ َرَكٌ ٌَۚوُه َوٌيَِرثُ َهاٌإ ْنٌ ََلٌْيَ ُك ْنٌ ََل
ٌٌعلِيم
َ ٌش ْيء َ اَّللٌُبِ ُك ِلٌَّ ضلُّواٌ ٌَۗو ِ ٌَاَّللٌلَ ُكمٌأَ ْنٌت
ْ َُّ ني ُ ِ َنيٌٌۗيُب ْ ٌح ِظ
ِ ْ ٌَاْلُنْثَي ِ َّ ِِرج ًاالٌونِساءٌفَل
َ لذ َك ِرٌمثْ ُل ًَ َ َ
“Mereka meminta fatwa kepada kamu—Nabi Muhammad SAW—
(tentang kala>lah). Katakanlah: “Allah SWT memberi fatwa kepada
kamu tentang kala>lah, (yaitu): “Jika seseorang meninggal dunia,
dan ia tidak mempunyai anak dan (hanya) mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu (mendapat)
seperdua (1/2) bagian dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki, mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; dan, jika saudara
perempuan itu (sebanyak) dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga (2/3) dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) beberapa orang
saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara
laki-laki, sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah
SWT menerangkan (hukum ini) kepada kamu, supaya kamu tidak
sesat. Dan Allah SWT Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-
Nisa>’/4: 176).46
46
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 106.
47
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 12.
Bagian setiap saudara laki-laki adalah dua kali bagian setiap saudara
perempuan. Jika misalnya seseorang meninggalkan tiga orang saudara
perempuan dan seorang saudara laki-laki, maka bagian masing-masing
perempuan adalah 1/5, sedangkan bagian laki-laki adalah 2/5.48
Kasus kala>lah ini berlaku untuk seseorang yang meninggalkan
saudara kandung atau saudara sebapak. Jika yang ditinggalkan saudara
seibu, baik laki-laki atau perempuan bagiannya adalah 1/6 harta.49
Ayat 176 dan bagian akhir dari ayat 12 seperti tersebut di atas,
khusus membicarakan kala>lah, yaitu suatu kasus (abnormal) di mana
pewaris mati tanpa adanya keturunan.
Ayat-ayat induk tentang waris di atas secara jelas atau gamblang,
tegas dan bahkan lugas menentukan bahwa semua dan setiap ahli waris,
oleh ayat 7 surat An-Nisa>’ dijamin mendapatkan hak bagian warisan
tanpa membeda-bedakan jenis kelamin (laki-laki atau perempuan),
maupun usia (anak-anak, dewasa atau tua) dan atau perbedaan-
perbedaan lainnya. Ayat 11 dan 23 surat An-Nisa>’, lalu menetapkan dan
memastikan siapa-siapa saja yang berhak menjadi ahli waris, berapa
bagian masing-masing, dan kapan tirkah si mayit itu bisa dibagi-
bagikan. Semua ditentukan dan dibagi habis di dalam kedua ayat ini.50
Dari beberapa ayat induk tentang waris di atas, para pakar
menyebutkan 15 orang ahli waris berjenis kelamin laki-laki dan 10
orang ahli waris berjenis kelamin perempuan,51 sementara langkah
48
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 12.
49
Imtihan Asy-Syafi’i, Tafsir Ayat-ayat Wanita (Solo: Aqwam, 2009), 53-54.
50
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, 28.
51
Ke-15 orang ahli waris berjenis kelamin laki-laki adalah: (1) bapak; (2) kakek; (3) anak
laki-laki; (4) cucu laki-laki; (5) paman sekandung; (6) anak paman sekandung; (7) paman sebapak;
(8) anak dari paman sebapak; (9) saudara laki-laki kandung sebapak dan seibu; (10) anak laki-laki
paman sekandung; (11) saudara laki-laki sebapak; (12) anak laki-laki dari saudara sekandung; (13)
saudara laki-laki seibu; (14) suami; (15) orang yang memerdekakan budak. Adapun 10 orang ahli
waris perempuan adalah: (1) ibu; (2) nenek dari pihak ibu; (3) nenek dari pihak bapak; (4) anak
perempuan; (5) cucu perempuan dari anak laki-laki; (6) saudara perempuan kandung; (7) saudara
perempuan sebapak; (8) saudara perempuan seibu; (9) istri; (10) orang perempuan yang
memerdekakan budak. Khusus untuk perbudakan, sesungguhnya sudah dihapuskan oleh Al-Quran
sendiri, dan karenanya maka ahli waris laki-laki hanya 14 orang dan ahli waris perempuan hanya 9
orang mengingat secara de jure, hukum perbudakan itu di zaman modern sekarang ini sudah
dihapuskan sama sekali meskipun perilaku atau perlakuan perbudakan dalam praktik bisa saja masih
selanjutnya menentukan secara rinci bagian masing-masing ahli waris
dengan menggunakan rumus pembagian yang lazim dikenal dengan
sebutan al-furu>d} al-muqaddarah (pembagian yang sudah ditentukan)
atau pembagian yang enam (al-furu>d} al-sittah) yakni: ½, ¼, 1/8, 2/3,
1/3, dan 1/6. Ketika disebutkan bilangan pembagiannya secara
progresif (berjenjang), maka akan tampak juga hal yang sama bahwa
1/8 kelipatannya adalah ¼, dan kelipatan ¼ adalah ½. Sedangkan 1/6,
kelipatannya adalah 1/3, dan kelipatan dari 1/3 adalah 2/3.52
Berdasarkan ayat-ayat induk kewarisan di samping ayat-ayat
pendukung maupun ayat-ayat terkait yang juga diperkuat dan diperkaya
oleh hadis, para ulama bisa mengelompokkan ahli waris ke dalam dua
kelompok besar dan mendasar. Dua kelompok besar dan mendasar yang
dimaksudkan ialah kelompok as}h}a>b al-furu>d} dan kelompok as}a>bah.
As}ha} >b al-furu>d} ialah ahli waris yang secara pasti dan meyakinkan
mendapatkan bagian tertentu dari harta waris yang ditinggalkan (tirkah)
si mayit, sementara kelompok as}a>bah adalah kelompok ahli waris yang
berhubungan langsung dengan si mayit, yakni setiap laki-laki yang
antara dia dengan si mayit dalam silsilah nasabnya yang tidak pernah
terselang dengan ahli waris perempuan.53
Di samping itu, ada kelompok z\awil arh}a>m yang belum tentu apalagi
selalu mendapatkan bagian dari harta warisan si mayit; namun Al-
Quran sesungguhnya tetap melindungi hak “kerahiman” mereka atas
dasar kesukarelaan ahli-ahli waris si mayit untuk memberikan bagian
sekadarnya kepada z\awil arh}a>m ini. Kehadiran QS. An-Nisa>’/4: 7 yang
menengahi ayat 6 dan ayat 8 surat yang sama, justru memberikan
jaminan tali silaturahim z\awil arh}a>m dengan para ahli waris z\awil furu>d}
dan as}a>bah melalui tirkah si mayit. Ini pula di antara rahasia kehebatan
hukum faraid yang mendahulukan bagian orang-orang lain (non-z\awil
tetap terjadi di mana-mana. Praktik trafficking yang pada umumnya menimpa kaum perempuan dan
anak-anak, mengisyaratkan eksistensi perbudakan yang sangat melanggar HAM itu.
52
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, 29.
53
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 114.
furu>d} dan non-as}a>bah) yang sesungguhnya tidak seberapa banyak itu;
dibandingkan dengan as}a>bah dan terutama z\awil furu>d} yang selain pasti
memperoleh bagian juga bagiannya tentu akan lebih banyak atau besar
daripada keluarga non ahli waris yang tidak seberapa itu. Namun,
secara psikologis, penyebutan z\awil arh}a>m yang didahulukan, secara
psikologis tentu akan membuat mereka merasa diperhatikan oleh para
ahli waris melalui perantaraan “uang kerahiman” z\awil arh}a>m. Melalui
ayat 7 itu pula hukum faraid justru memberikan penghormatan dan
“hiburan” kepada ahli waris z\awil arh}a>m sebelum ahli-ahli waris z\awil
furu>d} yang dipastikan mereka aman dan nyaman lantaran jaminan
hukum kewarisan kepada mereka.54
2. Hadis
Sebagai sumber legislasi kedua setelah Al-Quran, hadis atau sunah
memiliki fungsi sebagai penafsir atau pemberi bentuk konkrit terhadap Al-
Quran, sebagai penguat hukum dalam Al-Quran dan terakhir membentuk
hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Quran.55 Beberapa hadis kewarisan
yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:56
ِ ٌِاَّلل
َ ٌهَريْ َرةٌَتٌَ ٌَعلَّ ُمواٌال َفَرائ
ٌض ُ ٌَعليهٌوسلمٌايٌأَاب
َ ٰ
ٌصلىٌاَّلل ٰ ال ٌَر ُس ْو ُل
َ َالٌق ُ َع ِن
َ ٌَأيبٌهَريْ َرةٌَرضيٌاَّللٌعنهٌق
ٌ ِ ىٌوُه َوأ ََّو ُلٌماٌَيُْن َزعُ ٌِم ْنٌأ َُّم ِ ِِ ُ ص ِ ِ
ٌت–ٌرواهٌابنٌماجهٌودارقطىنٌو َ فٌالع ْلم ٌَوإنَّهٌُيُْن َس ْ َو َعل ُم ْوٌهاٌَفَِإنَّهٌُن
ٌاْلاكم
“Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraid dan lalu ajarkanlah.
Karena dia separuh dari ilmu dan akan (mudah) dilupakan orang. Dan
dia adalah ilmu yang pertama kali akan dicabut dari umatku”. (HR.
Ibnu Ma>jah, Al-Da>ruqut}ni> dan Al-H{a>kim).57
ٌٰ
ٌ ٌ ٌٌصلىٌاَّللٌعليهٌوسلمٌقال ٌٰ
رسولٌاَّلل ٌٰ
ٌٌرضىٌاَّللٌعنهماٌأن ٌٰ
عنٌعبدٌاَّللٌبنٌعمروٌابنٌالعا
ٌأوٌفريضةٌعادلة –ٌرواهٌاْلاكم,ٌأوٌسنةٌقاٌئمة,العلمٌثالثةٌفماٌسوىٌذلكٌفضلٌاٌيةٌحمكمة
54
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, 30.
55
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan
Adaptabilitas, 15.
56
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, 49.
57
Muhammad bin Abdullah Abu Abdullah, Al-Mustadrik ‘Ala> Al-S{ah{i>h{i<n Juz IV (Beirut:
Dar Al-Kitab, 1990), 369.
“Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash ra berkata bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda, “Ilmu (yang primer) itu ada tiga, selain
yang tiga itu hanyalah bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat
muhakhamat (yang jelas ketentuannya), sunah Nabi Muhammad SAW
yang dilaksanakan, dan ilmu faraid yang adil”. (HR. Al-H{a>kim).58
58
Abu Dawud, Suna>nu Abu> Da>wud Juz III (Beirut: Dar Al-Kitab,tt), 78.
59
Ad-Din bin Husam Ad-Din Al-Mutaqi Al-Hindi Al-Burhan Fawari, Kanzul Ma>la fi>
Sunan Al-Aqwa>l Wal-Af’a>l Juz I (Beirut: Yayasan Misi, 1981), 530.
60
Abu Bakar Ahmad Ahmad bin Al-Husein bin Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi Al-
Kubra Juz VI (Mekkah: Dar Al-Baz, 1994), 234.
berkata: “Berikanlah dua pertiga untuk dua anak perempuan Sa’ad,
seperdelapan untuk istri Sa’ad dan selebihnya ambil untukmu”. (HR.
Abu> Da>wud).61
ٌف ِ ِ ٌِْ ِالٌل َ تٌٌإِبْن ٌٌَوٌأُ ْختٌفَ ٌَقٌِ َىٌع ْنٌٌإِبْنَت ٌَوٌٌإِبْن ِ ال ِ ٌهَزيْ ِلٌبْ ِن
ُ ص ْ ٌْبْنَتٌالن َ ٌم ْو َس
ُ ٌسئ َلٌأٌَبُ ْو
ُ َ ٌَسَر ْحبْيلٌق ُ ُ َع ْن
ِ ِ ْ تٌٌإِبنٌمسعودٌفَاسئَ ٌلٌٌإِبنٌمسعودٌوأ ِ ِ ِ ٌْ ِول
ٌت ُ ٌضلَْل َ الٌلَ َق ْد
َ ٌَم ْو ٌَسىٌقُ َخبَ َرٌب َق ْولٌأٌَِيب َ ُْ َ َْ ْ ْ ُ ْ َ َ ْ ْفٌوٌأ ُ صْ ِلٌُ ٌْختٌالن َ
ٌِتٌالنِصفٌوٌِْلبٌنٌَة ِ ٌَْب ن ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ َ ُ ْ ِ َّ
ْ ٌْ ٌعلَْيه ٌَو َسل َم ٌٌل ٰ
َ ُىٌاَّلل
ٌ ٌَصل َ َِّب ِ
ُّ ضىٌالن َ ٌَإِذاً ٌَوَماٌأ َََنٌم ٌْنٌالْ ُم ْهتَديْ ٌَنٌأَقْديٌف َيهاٌِبَاٌق
ُْ ْخةٌٌ–ٌٌرواهٌابنٌماجه ٌ َني ٌَوَماٌبَِق َيٌفِ ْ َْمْي لَةًٌلِلثُّلُث
ِ ٌالس ُدسٌتَك
ُ ُّ البْ ِن ٌِْ
“Dari Huzail bin Surahbil berkata: “Abu Musa ditanya tentang kasus
kewarisan seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-
laki dan seorang saudara perempuan. Abu Musa berkata: “Untuk anak
perempuan setengah, untuk saudara perempuan setengah. Datanglah
kepada Ibnu Mas’ud, tentu dia akan mengatakan seperti itu juga. Saya
menetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi
Muhammad SAW yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu
perempuan seperenam, sebagai pelengkap dua pertiga, sisanya untuk
saudara perempuan”. (HR. Ibnu Ma>jah).62
3. Ijmak dan Ijtihad para Sahabat Nabi, Imam Mazhab dan Imam
Mujtahid
Ijmak yaitu kesepakatan para ulama atau sahabat sepeninggalan
Nabi Muhammad SAW tentang ketentuan warisan yang terdapat dalam
Al-Quran maupun sunah. Karena telah disepakati oleh para sahabat dan
ulama, ia dapat dijadikan sebagai referensi hukum.63 Misalnya terdapat
masalah radd dan aul. Di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, sejalan
dengan hasil ijtihad masing-masing sahabat, tabiin dan ulama.64
Ijtihad para sahabat, Imam-imam mazhab dan mujtahid kenamaan
mempunyai peran yang tidak kecil sumbangannya terhadap pemecahan-
pemecahan masalah waris yang belum dijelaskan oleh nas}-nas} s}a>rih.
Misalnya:65
1) Status ketentuan bagian kakek yang sedang bersama-sama dengan
saudara-saudara padahal ketentuan dalam Al-Quran tidak ada, yang ada
61
Abu Dawud, Suna>nu Abu> Da>wud Juz II (Kairo: Mustafa Al-Babiy, tt), 109.
62
Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah Al-Shaibani, Musnad Imam Ah{mad bin H{anbal Juz I
(Kairo: Yayasan Qurtuba, tt), 389.
63
Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 300.
64
Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 300.
65
Ma’shum Zein, Fiqh Mawarits: Studi Metodologi Hukum Waris Islam, 12.
hanyalah saudara-saudara bersama-sama dengan bapak atau anak laki-
laki.66
2) Status bagian cucu laki-laki yang bapaknya lebih dahulu meninggal
dunia dari pada kakek.67 Menurut ketentuan, mereka tidak mendapat
apa-apa lantaran dihijab oleh saudara bapaknya, tetapi menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir yang mengistinbat}kan dari
ijtihad para ulama mutaqaddimin, mereka diberi bagian berdasarkan
wasiat wajibah.68
66
Muhammad bin ‘Umar Al-Baqriy & Al-Syafi’iy, Hasyiyah Syarkh Matan Al-
Roha>biyyah (Semarang: Maktabah Karya Thoha Putra, tt), 19.
67
Ma’shum Zein, Fiqh Mawarits: Studi Metodologi Hukum Waris Islam, 12.
68
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 15. Lihat juga pada Moh. Muhibbin
dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, 22.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Secara bahasa, kata waris adalah bentuk isim fa‘il dari warisa\, yarisu\,
irsa\n, fahuwa warisu\n yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-
kata itu berasal dari kata warisa\ yang bermakna perpindahan harta milik
atau perpindahan pusaka.69 Kata warasa\ memiliki beberapa arti:70
pertama, mengganti (QS. An-Naml/27: 16), kedua, memberi (QS. Az-
Zumar/39: 74) dan ketiga, mewarisi (QS. Maryam/19: 6). Sedangkan
menurut istilah ilmu yang mengatur peralihan harta orang yang telah
meninggal kepada orang yang masih hidup berdasarkan ketentuan syariat
Islam (Al-Quran, sunah, ijmak ulama dan ijtihad ulama).
2. Dasar kewarisan dalam Islam, didasarkan pada al-Qur'an, Sunnah Nabi,
Saw., dan Ijma’.
B. Saran
Kewarisan dalam Islam memiliki landasan yang kokoh baik dari al-Qur'an,
Sunnah, dan juga ijma’. Keadilan yang terdapat dalam sistem waris Islam,
bersifat keadilan yang hakiki, karena ketentuan-ketentuannya langsung
ditetapkan oleh Sang Syāri’. Oleh sebab itu, kewajiban umat Islam untuk
mengamalkan sistem kewarisan dalam Islam dan tanpa mempertanyakan
terkait keadilannya.
69
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 1.
70
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 1.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abu Abdullah, Muhammad bin Abdullah. Al-Mustadrik ‘Ala> Al-S{ah{i>h{i<n Juz IV.
Beirut: Dar Al-Kitab, 1990.
Ahmad, A. Kadir. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kualitatif. Makassar:
Indobis Media Centre, 2003.
Ahmad bin Hanbal. Musnad Imam Ah{mad bin H{anbal Juz III. Beirut: Yayasan
Misi, 1999.
Ahmed, Leila. Women and Gender in Islam: Historical Roots of Modern Debate.
Jakarta: Lentera, 2000.
Al-Azmi, Muhammad Zia Rahman. Al-Majna Al-Kubra Juz IX. Riyadh, Saudi
Arabia: Al-Rushd Library, 2001.
Al-Baihaqi, Ahmad bin Al-Husain. Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra Juz VI. Mekkah:
Dar Al-Baz, 1994.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah. Al-Ja>mi’ Al-S{ah{i>h{ Al-
Mukhtas{ir Juz VI. Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Al-Humaidi, Muhammad bin Fatah. Al-Jami’ Bayna Al-S{ah{i>h{i>n Al-Bukha>ri>
Wamuslim Juz 1. Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002.
Al-Humaidi, Muhammad bin Fatah. Al-Jami’ Bayna Al-S{ah{i>h{i>n Al-Bukha>ri>
Wamuslim Juz II. Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002.
Al-Humaidi, Muhammad bin Fattah. Al-Jami’ Baina Al-S{ah{i>h{i>n Al-Bukha>ri
Wamuslim Juz IV. Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002.
Al-Shaibani, Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah. Musnad Imam Ah{mad bin H{anbal
Juz I. Kairo: Yayasan Qurtuba, tt.
Al-Qazwini, Muhammad bin Yazid Abu Abdullah. Suna>n Ibnu Ma>jah Juz II.
Beirut: Dar Al-Fikr, tt.
Al-Quzaini, Muhammad bin Yazid Abu Abdullah. Suna>nu Ibnu Ma>jah Juz II.
Beirut: Dar Al-Fikr, tt.
Skripsi
Abidin, Zainal. “Perspektif Pemikiran Siti Musdah Mulia tentang Keadilan Gender
dalam Kewarisan (Studi Kasus di Desa Tumpuk Kecamatan Sawoo
Kabupaten Ponorogo).” Skripsi, Fakultas Syariah IAIN Ponorogo. 2018.
Faudzan, Mohamad. “Pembagian Hak Waris 1:1 bagi Ahli Waris Laki-laki dan
Perempuan (Analisis Putusan Pengadilan Agama Medan
No.92/Pdt.G/2009/PA. Mdn).” Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014.
Hidayatullah, Muhib. “Tinjauan Hukum Islam terhadap Pendekatan Gender dalam
Pembagian Warisan (Studi atas Pemikiran Siti Musdah Mulia).” Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2011.