Anda di halaman 1dari 24

DEFINISI DAN DASAR

KEWARISAN ISLAM

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas terstruktur
Matakuliah: Ilmu Waris
Dosen: Mohamad Rana, M.H.I

Oleh:

Novi Fitriani (1415201039)


Nur Ifanny Ariestya (1415201040)
Erna Priyana (1415201041)

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
1441 H/2020 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. karena atas


rahmat, karunia serta kasih sayang-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah mengenai Proses Jasa Pendidikan ini dengan sebaik mungkin.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi terakhir,
penutup para Nabi sekaligus satu-satunya uswatun hasanah kita, Nabi
Muhammad SAW. tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada
Bapak Mohamad Rana, M.H.I selaku dosen mata kuliah Pengantar
Hukum Islam.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak
terdapat kesalahan dan kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi
pembahasan maupun dengan teknik pengetikan, walaupun demikian,
inilah usaha maksimal kami selaku para penulis usahakan.
Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan
ilmu pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari para
pembaca guna memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.

Cirebon, 14 Mei 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Perumusan Masalah.................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian....................................................................... 9

BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 22
A. Pengertian Waris.................................................................... 22
B. Dasar Hukum Kewarisan Islam............................................. 27

BAB V PENUTUP....................................................................................... 183


A. Kesimpulan................................................................................. 183
B. Saran........................................................................................... 184

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 185


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Segi kehidupan yang telah di atur oleh Allah SWT dapat dibagi menjadi
dua kelompok. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia
dengan Allah SWT. Aturan tentang hal ini disebut dengan hukum ibadah.
Tujuannya untuk menjaga hubungan dengan Allah SWT sebagai pencipta.
Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan manusia
yang lainnya serta alam sekitar. Aturan tentang hal ini disebut hukum
muamalah.1
Di antara aturan yang berhubungan antar sesama manusia yang telah
diciptakan Allah SWT adalah aturan mengenai harta warisan. Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap
manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.
Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa hukum
kematian seseorang, di antaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia
tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat
meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris.2
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang yang mengatur pembagian
warisan, mengetahui bagian-bagian yang menerima dari harta peninggalan itu
untuk setiap ahli waris yang berhak. Ahli waris adalah mereka yang jelas-jelas
mempunyai hak waris ketika pewarisnya meninggal dunia, tidak ada halangan
untuk mewarisi.3 Warisan yang dalam istilah faraid dinamakan tirkah
(peninggalan) adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, baik
berupa uang atau materi lainnya yang dibenarkan oleh syariat Islam untuk
diwariskan kepada ahli warisnya.4

1
Amir Syarifuddin, Hukum Keluarga Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2004), 3.
2
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Cet.5
(Bandung: Refika Aditama, 2018), 1.
3
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 303.
4
Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 39.
Dasar aturan penyelesaian warisan yang disebut faraid atau hukum
kewarisan Islam adalah beberapa ayat Al-Quran dan sedikit tambahan dari hadis
Nabi Muhammad SAW.5 Muhammad Amin Suma memilah ayat-ayat waris ini
ke dalam tiga kelompok besar, yakni: Pertama, kelompok ayat induk inti yang
terdiri dari QS. An-Nisa>’/4: 7, 11, 12, 33, dan 176. Kedua, kelompok ayat
pendukung yang terdiri dari QS. An-Nisa>’/4: 9, 10, 13, 14, dan 32-34. Ketiga,
kelompok pendukung ayat terkait terdiri dari QS. Al-Baqarah/2: 228, QS. An-
Nisa>’/4: 19 dan QS. Al-Ah}za>b/33: 4.6

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka
dapat ditarik permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimanakah definisi waris dalam konsepsi Islam, baik dari tataran
etimologi maupun terminologi?
b. Bagaimanakah dasar disyari’atkannya kewarisan dalam Islam itu sendiri?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis dalam menyusun karya tulis ilmiah ini, yaitu sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui definisi waris dalam konsepsi Islam, baik dari tataran
etimologi maupun terminologi.
b. Untuk mengetahui dasar disyari’atkannya kewarisan dalam Islam.

5
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2004), 36.
6
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam: Dalam Pendekatan Teks dan
Konteks (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 24.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Waris
a. Secara Bahasa
Waris adalah bentuk isim fa‘il dari warisa\, yarisu\, irsa\n, fahuwa warisu\n
yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-kata itu berasal dari kata
warisa\ yang bermakna perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka.7 Kata
warasa\ memiliki beberapa arti:8 pertama, mengganti (QS. An-Naml/27: 16),
kedua, memberi (QS. Az-Zumar/39: 74) dan ketiga, mewarisi (QS. Maryam/19:
6).9
Waris juga sering disebut dengan faraid.10 Fara>>id{ (‫ )فراءض‬adalah jama‘ dari

kata fari>d}ah11 (‫ )فريضة‬yang menurut tinjauan bahasa memiliki banyak arti,

diantaranya sebagai berikut:12


1) ‘At}a’/ ‫ط ٌء‬
َ ‫ َع‬, artinya “pemberian”, sebagaimana kebiasaan orang Arab
bersemboyan dengan mengatakan:

ً‫ض ٌَو ٌالٌَقَ ْرضٌا‬ ِ ‫الٌَصب‬


ً ‫تٌمْنهٌُفَ ْر‬
ُ َْ

7
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 1.
8
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 1.
9
Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 281.
10
Secara etimologi faraid berasal dari kata ‫ فرضٌ–ٌيفرضٌ–ٌفريضةٌجٌفرائض‬yang berarti menduga,
mengira-ngirakan, menentukan, menetapkan, mewajibkan. Lihat pada Ahmad Warson Munawwir,
Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 2002), 1046. Sedangkan
secara terminologi, faraid adalah ilmu yang membahas tentang peralihan hak milik terhadap harta
kekayaan dalam hal ini penentuan siapa-siapa saja yang berhak menjadi ahli waris, berapa bagian
masing-masing ahli waris, kapan harta peninggalan itu bisa dibagi dan bagaimana pembagiannya.
Lihat juga pada Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam: Dalam Pendekatan Teks
dan Konteks, 11. Dan lihat juga pada NM. Wahyu Kuncoro, Waris: Permasalahan dan Solusinya
(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), 17.
11
Kata faraid adalah bentuk jamak dari fari>d}ah yang berasal dari kata fard}u yang berarti
ketetapan, pemberian (sedekah). Lihat pada Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2012), 49. Lihat juga pada Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum
Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, 15. Dan lihat juga pada Tamakiran, Asas-
asas Hukum Waris Menurut 3 Sistem Hukum (Bandung: Pionir Jaya, 2000), 84.
12
Ma’shum Zein, Fiqh Mawarits: Studi Metodologi Hukum Waris Islam, Cet.1 (Jombang:
Darul Hikmah, 2008), 9-10.
“Sungguh aku telah mendapatkan suatu pemberian artinya bukan
hanya janji”.

2) Al-Qat}‘u/ ‫اَلْ َقطْ ٌُع‬, artinya “ketetapan pasti”, sebagaimana Allah SWT

berfirman pada QS. An-Nisa>’/4: 7, yang artinya sebagai berikut:


ٌ‫صيب ٌِِمَّاٌتَ َرَكٌالْ َوالِ َد ِان ٌَو ْاْلَقٌَْربُو َن ٌِِمَّاٌقَ َّل‬
ِ َ‫صيب ٌِِمَّاٌتَرَكٌالْوالِ َد ِانٌو ْاْلَقْ ربو َنٌولِلنِس ِاءٌن‬
َ َ َُ َ َ َ
ِ َ‫لِ ِلرج ِالٌن‬
َ
‫وضا‬ ِ ِ
ً ‫اٌم ْفُر‬
َ ً‫مْنهٌُأ َْوٌ َكثَُرٌٌۚنَصيب‬
“...Dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang ditinggalkan
oleh kedua orangtua dan kerabat-kerabat, baik sedikit atau banyak,
sebagai suatu bagian yang telah ditetapkan...” (QS. An-Nisa>’ /4:
7).13

3) Taqdi>r/ ‫تَ ْق ِديْر‬, artinya “ketentuan”, sebagaimana firman Allah SWT

dalam QS. Al-Baqarah/2: 237 sebagai berikut:


ٌ‫ضتُ ْم‬
ْ ‫ٌماٌفَ َر‬ ِ ‫ضتمٌ ََل َّنٌفَ ِر‬
َ‫ف‬ ُ ‫ص‬
ْ ‫يضةًٌفَن‬
َ ُ ْ ُ ْ ‫َوقَ ْدٌفَ َر‬
“...Padahal kamu telah menentukan bagi mereka suatu ketentuan
(mas kawin), maka karena itu bayarlah separuh dari (jumlah) uang
yang telah kamu tentukan...” (QS. Al-Baqarah/2: 237).14

4) At-Tabyi>n/ ‫الت َّْبيِني‬, artinya “penjelasan”, sebagaimana Allah SWT

berfirman dalam QS. At-Tah}ri>m/66: 2 sebagai berikut:


ٌ‫ٌَتلَّةٌَأَْْيَانِ ُك ْم‬
َِ ‫ٌاَّللٌلَ ُكم‬
ْ َُّ ‫ض‬ َ ‫قَ ْدٌفَ َر‬
“Sesungguhnya Allah SWT telah menjelaskan kepada kamu tebusan
sumpah-sumpahmu....” (QS. At-Tah}ri>m/66: 2).15

5) Al-Inza>l/ ‫االنزال‬, artinya “menurunkan”, sebagaimana firman Allah SWT

dalam QS. Al-Qas}as}/28: 85 sebagai berikut:


ِ ‫اِ َّنٌالَّ ِذ ۡیٌف رضٌعلَ ۡيک ٌۡالق ۡراٰنٌلَرآ ُّد‬
َ ‫کٌاٰل‬
ٌ‫یٌم َعاد‬ َ َ َ ُ َ َ َ ََ
“Sesungguhnya Dzat yang menurunkan Al-Quran kepadamu benar-
benar akan mengembalikan kamu ke tempat pengembalian....” (QS.
Al-Qas}as/28: 85).16

13
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 78.
14
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 38.
15
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 560.
16
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 396.

1
6) Al-Ih}la>l/ ‫االحالل‬, artinya “menghalalkan”, sebagaimana yang

difirmankan Allah SWT dalam QS. Al-Ah}za>b/33: 38 sebagai berikut:


ِۡ ِۡ ِ
ٌُ‫ضٌهللاٌله‬ َ ‫ٌعلَیٌالنَّب ِیٌمن‬
َ ‫ٌحَرجٌفي َماٌفَ َر‬ َ ‫َماٌ َکا َن‬
“Tidak ada suatu dosa pun atas Nabi Muhammad SAW tentang apa
yang telah dihalalkan Allah SWT padanya...” (QS. Al-Ah}za>b/33:
38).17

Ilmu faraid dinamakan juga dengan ilmu al-mi>ra>s\ (‫)املرياث‬.18 Kata al-

mi>ra>s\ memiliki dua pengertian. Pertama, artinya kekal abadi (al-baqa‘),


seperti nama yang dilekatkan untuk Allah SWT yaitu al-wa>ris\ (‫)الوارث‬,

maksudnya al-baqi> (Yang Maha Kekal). Kedua, al-mi>ra>s\ diartikan dengan


peralihan dari seseorang kepada oranglain, apakah sesuatu yang dialihkan itu
berwujud immaterial maupun bentuk material seperti perpindahan harta
kekayaan dari seseorang (pewaris) kepada ahli waris, maupun berbentuk
maknawi seperti peralihan ilmu pengetahuan, kemuliaan, akhlak dan
lainnya.19
Sedangkan arti kata waris dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.20
b. Secara Istilah
Secara istilah, ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang
proses perpindahan harta pusaka peninggalan mayit kepada ahli
warisnya.21 Menurut istilah, faraid berarti suatu bagian ahli waris yang

17
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 423.
18
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, 11-12.
19
Seperti dalam ungkapan “waras\a majda abi>hi” yang artinya dia mewarisi kemuliaan
bapaknya; atau “waras\a ‘an abi>hi al-‘ilma wa al-khuluqa” yang artinya dia mewarisi ilmu dan akhlak
bapaknya. Dan di sinilah pula terletak pemaknaan hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan:
“al-‘ulama> waras\ah al-anbiya>” artinya para ulama itu adalah ahli-ahli waris para Nabi mengingat
ilmu itulah yang menjadi keabadian (dan diabadikan) para Nabi. Lihat pada Muhammad Amin
Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan Konteks, 12. Lihat juga pada
Saifuddin Masykuri, Ilmu Faraidl: Pembagian Harta Warisan Perbandingan 4 Madzhab (Kediri:
Santri Salaf Press, 2016), 8.
20
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Pusat Bahasa
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 1556.
21
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, 1.
telah ditentukan nilai besar-kecilnya oleh syariat.22 Akan tetapi jika kata
faraid ini digabungkan dengan kata ilmu, maka berarti:23
ِ ِ ِ ‫كٌومع ِرفَةٌَقَ ْد ِر‬
ِ ‫ٌمنٌالتَّرَك‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ٌاْلِس‬ ِ ِ ِ ِ‫اَلْ ِف ْقهٌاَلْمت علِقٌاب‬
ٌ‫ت‬ ْ َ ٌ ‫ٌالوجب‬ َ ْ َ َ َ ‫ىلٌم ْع ِرفَةٌذَل‬
َ ‫بٌاَلْ ُموص َلٌا‬ َ ْ ‫الرث ٌَوَم ْعرفَة‬
ْ ُ َ َُ ُ
‫ىٌح ٌِق‬ ِ ِ
َ ‫ل ُك ِلٌذ‬
“Ilmu faraid adalah suatu disiplin ilmu hukum Islam (ilmu fikih)
yang erat sekali hubungannya dengan masalah pembagian harta
warisan, pengetahuan tentang metode perhitungan yang dapat
menyampaikan kepada pembagian harta warisan dan pengetahuan
tentang bagian-bagian harta warisan yang wajib bagi setiap orang
yang memiliki hak untuk mewarisinya”.

Ilmu waris disebut juga ilmu faraid, diambil dari kata mafru>d}a> yang
terdapat dalam QS. An-Nisa>’/4: 7 sebagai berikut:
ٌ‫صيب ٌِِمَّاٌتَ َرَكٌالْ َوالِ َد ِان ٌَو ْاْلَقٌَْربُو َن ٌِِمَّاٌقَ َّل‬
ِ َ‫اْلَقْ ربو َنٌولِلنِس ِاءٌن‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ
َ َ َُ ٌْ ‫للر َجالٌنَصيبٌِمَّاٌتَ َرَكٌالْ َوال َدان ٌَو‬
‫وضا‬ ِ ِ
ً ‫اٌم ْفُر‬
َ ً‫مْنهٌُأ َْوٌ َكثَُرٌٌۚنَصيب‬
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (QS. An-Nisa>’/4:
7).24

Mafru>d}a> pada ayat di atas diartikan bagian yang telah ditetapkan


(bagian yang telah dipastikan kadarnya). Menurut Al-Imam Takiyuddin
Abi Bakar bin Muhammad Al-Husain, faraid adalah bagian yang telah
ditentukan oleh syariat kepada yang berhak menerimanya, hal ini sesuai
dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Sesungguhnya Allah Azza Wazalla
telah memberikan kepada orang yang berhak akan haknya, ingatlah tidak
ada wasiat kepada ahli waris”.
Secara terminologi, hukum kewarisan Islam adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)25

22
Ma’shum Zein, Fiqh Mawarits: Studi Metodologi Hukum Waris Islam, 10. Lihat juga
pada Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Cet.3 (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), 233.
23
Ma’shum Zein, Fiqh Mawarits: Studi Metodologi Hukum Waris Islam, 10. Lihat juga
pada Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, 2.
24
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 78.
25
Tirkah (harta peninggalan pewaris) yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik
berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya. Lihat Pasal 171 huruf d Kompilasi
Hukum Islam.
pewaris,26 menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris27 dan berapa
bagian masing-masing.28 Hukum waris bisa dikatakan sebagai himpunan
peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban seseorang
yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya.29
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian hukum kewarisan yaitu
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya.30
Dari beberapa definisi di atas, maka secara singkat ilmu faraid atau
ilmu waris ialah ilmu yang mengatur peralihan harta orang yang telah
meninggal kepada orang yang masih hidup berdasarkan ketentuan syariat
Islam (Al-Quran, sunah, ijmak ulama dan ijtihad ulama).31
c. Pendapat Para Ahli
Menurut Prof. Muhammad Amin Suma, hukum kewarisan Islam
yaitu hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris,
menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan
pembagian harta kekayaan pewaris dilaksanakan.32
Menurut M. Idris Ramulyo, wirasa\h atau hukum waris adalah
hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris,
ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian yang lazim disebut hukum
faraid.33

26
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan Agama, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Lihat
Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam.
27
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli waris. Lihat Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam.
28
Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam.
29
Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam: Dinamika dan
Perkembangannya di Indonesia (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008), 223.
30
Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam.
31
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 3. Hukum waris adalah hukum yang
mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal, serta
akibatnya bagi para ahli warisnya. Lihat pada Effendi Perangin, Hukum Waris (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008), 3.
32
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), 108.
33
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 2.
Menurut Muhammad Syahrur, kewarisan adalah proses perpindahan
harta yang dimiliki seseorang yang sudah meninggal dunia kepada pihak
penerima yang jumlah dan ukuran bagian yang diterimanya telah
ditentukan dalam mekanisme wasiat, atau jika tidak ada wasiat maka
penentuan pihak penerima, jumlah dan ukuran bagiannya ditentukan
dalam mekanisme pembagian waris.34

B. Dasar Hukum Kewarisan Islam


Waris adalah bagian dari syariat Islam35 dan lebih khusus lagi sebagai
bagian dari aspek muamalah sub hukum perdata, tidak dapat dipisahkan
dengan aspek-aspek lain dari ajaran Islam. Karena itu, penyusunan kaidah-
kaidahnya harus didasarkan pada sumber yang sama seperti halnya aspek-
aspek yang lain dari ajaran Islam tersebut.36 Oleh karenanya, Islam mengatur
secara sempurna masalah-masalah yang berkaitan dengan waris. Adapun
sebab turunnya ayat waris diceritakan dalam suatu riwayat Bukhari dan
Muslim bahwa istri Sa’ad bin Rabi’ datang membawa kedua anak
perempuannya kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian ia berkata: “Wahai
Muhammad, ini adalah kedua putri Sa’ad bin Rabi’. Bapak mereka mati
syahid di Uhud dalam pasukanmu. Pamannya telah mengambil seluruh
hartanya dan tidak meninggalkan harta bagi mereka berdua. Padahal kedua
anak ini membutuhkan biaya untuk keperluan pernikahan mereka”. Lalu
Nabi Muhammad SAW memanggil sang paman (saudara laki-laki Sa’ad) dan
berkata kepadanya, “Berikan dua pertiga harta Sa’ad kepada anak
perempuannya, seperdelapan buat istrinya, dan sisanya buat kamu”.37 Maka

34
Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Cet.2 (Yogyakarta: ElsaQ
Press, 2004), 334.
35
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, 6. Syariat tentang warisan adalah salah satu
bentuk kepedulian Islam dalam pendistribusian harta. Lihat pada Mahmudunnasir, Islam Konsepsi
dan Sejarahnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 401. Lihat juga pada Abdul Ghofur Anshori,
Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, 19.
36
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan
Adaptabilitas, Cet.2 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2017), 6.
37
Faqihuddin Abdul Kodir, Qira>‘ah Muba>dalah, Cet.1 (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), 272.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Allah SWT akan memutuskan hal itu”.
Kemudian turunlah QS. An-Nisa>’/4 ayat 11-12.38
1. Al-Quran
ٌ‫صيب ٌِِمَّاٌتٌََرَكٌالْ َوالِ َد ِان ٌَو ْاْلَقْ َربُو َن ٌِِمَّاٌقَ َّل‬
ِ َ‫صيب ٌِِمَّاٌتَرَكٌالْوالِ َد ِانٌو ْاْلَقْ ربو َنٌولِلنِس ِاءٌن‬
َ َ َُ َ َ َ
ِ َ‫لِ ِلرج ِالٌن‬
َ
ٌ ‫وضا‬ ِ ِ
ً ‫اٌم ْفُر‬
َ ً‫مْنهٌُأ َْوٌ َكثَُرٌٌۚنَصيب‬
“Bagi kaum laki-laki, ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya; dan bagi kaum perempuan, (juga) ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (QS.
An-Nisa>’/4: 7).39

Kalau dilihat pada ayat 7, nampak ayat ini masih bersifat global, karena
belum ada pernyataan pembagian atau porsi setiap ahli waris. Ayat ini
sebagai usaha awal Islam merombak tradisi Arab jahiliah, yang tidak
memberikan hak mewarisi pada pihak perempuan dan laki-laki yang
belum dewasa. Hal ini didasarkan pada tradisi perikehidupan mereka yang
gemar mengembara dan berperang, dan kewajiban berperang itu
ditanggung oleh kaum laki-laki yang sudah dewasa.40
Sementara dalam ayat 7 ini menandaskan, perempuan dan laki-laki
yang belum dewasa sama-sama mempunyai hak untuk mewarisi harta
peninggalan. Perbedaannya hanya terletak pada bagian masing-masing
ahli waris.41
Sebelum turun ayat ini, perempuan dan anak-anak tidak mendapat
pembagian sedikitpun dari harta yang ditinggalkan oleh ibu, bapak atau
kerabat. Maka Al-Quran mengubah sistem yang cenderung menindas

38
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, 6. Lihat juga pada Nurjannah Ismail,
Perempuan dalam Pasungan, Cet.1 (Yogyakarta: LkiS, 2003), 198.
39
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 78.
40
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan
Adaptabilitas, 12. Kedatangan Islam juga memicu revolusi besar dalam kehidupan kaum
perempuan. Mereka yang dalam masyarakat Arab sebelum Islam diperlakukan hampir seperti
barang atau benda dan dapat diwarisi, kemudian oleh Islam diangkat martabatnya dengan diberi
kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki di hadapan Tuhan, tidak dapat diwarisi namun
mendapat atau berhak menerima warisan. Lihat pada Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, Cet.1
(Jakarta: Paramadina, 1997), 2.
41
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan
Adaptabilitas, 12. Anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kedudukan yang sama sebagai
ahli waris. Keberadaan keduanya mandiri tanpa ketergantungan satu dengan lainnya. Lihat pada
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin,
Cet.2 (Yogyakarta: UII Press, 2010), 165.
kaum lemah ini. Ayat 7 surat An-Nisa>’ di atas menetapkan bahwa semua
karib kerabat mendapatkan bagian dari harta warisan, baik laki-laki,
perempuan, maupun anak-anak, walaupun pembagiannya tidak sama
banyak antara satu dengan yang lain, sesuai fungsi dan tanggung jawab
masing-masing.42
ِ ْ َ‫نيٌٌۚفَِإ ْنٌ ُك َّنٌنِساءٌفَو َقٌاثْنَت‬ ْ ‫ٌح ِظ‬
ِ ْ َ‫ٌاْلُنْثَي‬ ِ َّ ِ‫ٌاَّلل ٌِِفٌأَوَال ِد ُكمٌٌۖل‬ ِ
ٌ‫اٌما‬
َ َ‫نيٌفَلَ ُه ٌَّنٌثُلُث‬ ْ ًَ َ ‫لذ َك ِرٌمثْ ُل‬ ْ ْ َُّ ‫يُوصي ٌُك ُم‬
ٌُ‫س ٌِِمَّاٌتَ َرَكٌٌإِ ٌْنٌ َكا َنٌلَه‬ ُّ ‫احد ٌِمْن ُه َم‬
ُ ‫اٌالس ُد‬
ِ ‫اح َد ًةٌفَلَهاٌالنِصفٌٌۚوِْلَب وي ِهٌلِ ُك ِلٌو‬
َ ْ ََ َ ُ ْ َ
ِ ‫تَرَكٌٌۖوإِ ْنٌ َكانَتٌو‬
َ ْ َ َ
ٌِ‫ولَدٌٌۚفَِإ ْنٌ ََلٌي ُكنٌلَهٌولَدٌووِرثَهٌأَب واهٌفَِِل ُِم ِهٌالثُّلُثٌٌۚفَِإ ْنٌ َكا َنٌلَهٌإِخوةٌفَِِل ُِم ِهٌال ُّسدسٌ ٌِۚمنٌب عد‬
َْ ْ ُ ُ َْ ُ ُ ُ ََ ُ َ َ َ ُ ْ َ ْ َ
ِ ِ
ٌ‫ٌاَّللٌٌۗإ َّن‬ ِ
َّ ‫يضةًٌم َن‬ ِ ِ ِ ِ
َ ‫بٌلَ ُك ْمٌنَ ْف ًٌعاٌٌۚفَر‬ ُ ‫ٌۗآاب ُؤُك ْم ٌَوأَبْنَا ُؤُك ْم ٌَالٌتَ ْد ُرو َنٌأَيُّ ُه ْمٌأَقٌَْر‬
َ ٌ‫ٌديْن‬
َ ‫َوصيَّةٌيُوصيٌِبَاٌأ َْو‬
ٌ‫اج ُك ْمٌإِ ْنٌ ََلٌْيَ ُك ْنٌ ََلُ َّن ٌَولَدٌٌۚفَِإ ْنٌ َكا َنٌ ٌََلُ ٌَّن ٌَولَد‬ ِ ِ ‫اَّللٌ َكا َنٌعلِيم‬
ُ ‫ٌماٌتَ َرَكٌأ َْزَو‬َ‫ف‬ ُ ‫ص‬ ْ ‫ا۞ٌولَ ُك ْمٌن‬
َ ‫يم‬ً ‫اٌحك‬ َ ً َ ََّ
ٌ‫ٌالربُ ُع ٌِِمَّاٌتٌََرْكتُ ْمٌإِ ْنٌ ََلٌْيَ ُك ْنٌلَ ُك ْم‬
ُّ ‫ٌديْنٌ ٌَۚوََلُ َّن‬ ِ ‫وص‬
َ ‫نيٌِبَاٌأ َْو‬
ِ ِ ِ ِ ِ
َ ُ‫ٌالربُ ُعٌِمَّاٌتَ َرْك َنٌٌۚم ْنٌبَ ْعد ٌَوصيَّةٌي‬ ُّ ‫فَلَ ُك ُم‬
ٌ‫ٌديْنٌٌۗ َوإِ ْنٌ َكا َن‬ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫وصو َنٌِبَاٌأ َْو‬ ُ ُ‫َولَدٌٌۚفَِإ ْنٌ َكا َنٌلَ ُك ْم ٌَولَدٌفَلَ ُه َّنٌالث ُُّم ُنٌِمَّاٌتَ َرْكتُ ْمٌٌۚم ْنٌبَ ْعد ٌَوصيَّةٌت‬
ٌ‫سٌٌۚفَِإ ْنٌ َكانُواٌأَ ْكثَ َر ٌِم ْن‬ ُّ ‫احد ٌِمْن ُه َم‬ ِ ‫ثٌ َك َاللَةًٌأَ ِوٌامٌرأَةٌولَهٌأَخٌأَوٌأُختٌفَلِ ُك ِلٌو‬
ُ ‫اٌالس ُد‬ َ ْ ْ ُ َ َْ ُ ‫َر ُجلٌيُ َور‬
َّ ‫ٌاَّللٌِ ٌَۗو‬
ٌُ‫اَّلل‬ ٌَّ ‫ضارٌ ٌَۚو ِصيَّةً ٌِم َن‬ َ ‫ٌم‬ُ ‫ٌديْنٌ َغْي َر‬
ِ
َ ‫وص ٰىٌِبَاٌأ َْو‬
ِ ِ ِ ِ
َ ُ‫ٌشَرَكاءُ ٌِِفٌالثُّلُثٌٌۚم ْنٌبَ ْعد ٌَوصيَّةٌي‬ ُ ‫كٌفَ ُه ْم‬
ِ
َ ‫َٰذل‬
ٌ‫ٌحلِيم‬
َ ‫َعليم‬
ِ

“Allah SWT mewasiatkan bagi kamu tentang (pembagian pusaka


untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan, dan lebih dari dua orang, maka bagi mereka
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang diri, maka ia (berhak) memperoleh separuh harta (1/2).
Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagian masing-masingnya adalah
seperenam (1/6) dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal
itu mempunyai anak. Jika orang yang meninggal itu tidak
mempunyai anak, dan dia hanya diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga (1/3); jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapatkan
seperenam (1/6). Pembagian-pembagian harta tersebut dilakukan
sesudah (lebih dulu) dipenuhi wasiat yang ia (si mayit) buat dan/
atau sesudah dilunasi utangnya. Tentang orangtua dan anak-
anakmu, itu kamu tidak akan mengetahui siapa di antara mereka (itu
sesungguhnya) yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagi kamu.
Ini adalah ketetapan (hukum) dari Allah SWT. Sesungguhnya Allah
SWT Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagi kamu
(suami-suami), seperdua (1/2) dari harta yang ditinggalkan oleh
42
Kadar M. Yusuf, Tafsir Ayat Ahkam (Jakarta: Amzah, 2011), 279. Inilah reformasi
gender yang dibawa Islam. Ketiadaan hak mewarisi pada kaum perempuan sebelum Islam dirombak
oleh tatanan baru yang tidak saja memberikan hak mewarisi, tetapi juga memberikan bagian
terhadap perempuan sesuai dengan proporsinya. Lihat pada Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih
Perempuan Kontemporer, Cet.1 (Bandung: Ghalia Indonesia, 2010), 47.
istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri
kamu itu mempunyai anak, maka kamu mendapatkan seperempat
(1/4) bagian dari harta yang ditinggalkannya, sesudah dipenuhi
(dulu) wasiat yang mereka buat dan/ atau sesudah dibayar lunas
utangnya. Para istri memperoleh seperempat (1/4) harta yang kamu
(suami) tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu
mempunyai anak, maka para istri/ istri-istri (kamu) memperoleh
seperdelapan (1/8) dari harta yang kamu tinggalkan itu sesudah
dipenuhi (lebih dulu) wasiat yang kamu buat dan/ atau sesudah
dibayar (lebih dulu) utang-utang kamu. Jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan bapak dan
tidak (pula) meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
(mendapatkan) seperenam (1/6) harta. Tetapi, jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga (1/3) itu, sesudah dipenuhi (lebih dulu) wasiat yang dibuat
olehnya dan/atau sesudah dibayar (dilunasi) utangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). Allah SWT menetapkan
yang demikian itu sebagai syariat yang benar-benar dari Allah SWT,
dan Allah SWT Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”. (QS. An-
Nisa>’/4: 11-12).43

Ayat 11 dan 12 QS. An-Nisa>’ di atas sebab turunnya masing-masing


jelas mendongkrak tradisi hukum Yahudi, hukum Romawi, hukum adat
bangsa Arab pra Islam bahkan hukum adat mana pun yang mengabaikan
bagian waris kaum perempuan. Ayat ini menentukan bagian konkret
yang harus diterima kaum perempuan.44

ٌِ َ‫وه ْمٌٌن‬
َّ ‫صيبَ ُه ْمٌٌۚإِ َّن‬
ٌٌَ‫ٌاَّلل‬ ِ َّ ِ ِ ِ ِ‫ولِ ُكلٌجعلْناٌمو‬
ُ ُ‫تٌأَْْيَانُ ُك ْمٌفَآت‬
ْ ‫ٌع َق َد‬
َ ‫ين‬
َ ‫اِلٌِمَّاٌتَ َرَكٌالْ َوال َدان ٌَو ْاْلَقْ َربُو َنٌ ٌَۚوالذ‬
َ ََ َ َ َ َ
‫يدا‬ ِ
ً ‫ٌشه‬ َ ‫ٌش ْيء‬ َ ‫ٌعلَ ٰىٌ ُك ِل‬
َ ‫َكا َن‬
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan
ibu-bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dan
(jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan
mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya
Allah SWT menyaksikan segala sesuatu”. (QS. An-Nisa>’/4: 33).45

Pada ayat 33, berkaitan dengan ahli waris pengganti atau mawa>li.
Keadaan ini terjadi apabila salah satu dari orang yang mesti menjadi

43
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 78-79.
44
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 10. Lihat juga pada Saifuddin dan
Wardani, Tafsir Nusantara, Cet.1 (Yogyakarta: LkiS, 2017), 116.
45
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 83.
ahli waris meninggal terlebih dahulu, sehingga haknya jatuh pada orang
lain yang satu keturunan dengan ahli waris yang meninggal dunia
tersebut.
ِ ِ ِ ِ َّ ‫كٌقُ ِل‬
ٌ‫ٌما‬َ‫ف‬ ُ ‫ص‬ ْ ‫سٌلَهُ ٌَولَد ٌَولَهٌٌُأُ ْختٌفَلَ َهاٌن‬ َ ‫كٌلَْي‬ َ َ‫ٌهل‬
َ ‫ٌامُرؤ‬ْ ‫ٌاَّللٌُيُ ْفتي ُك ْم ٌِِفٌالْ َك َاللَةٌٌۚإِن‬ َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬
ٌ‫ان ٌِِمَّاٌتَ َرَكٌٌۚ ٌَوإِ ْنٌ َكانُواٌإِ ْخ َوًة‬
ِ َ‫نيٌفَلَهماٌالثُّلُث‬ ِ ِ
َ ُ ْ َ‫اٌولَدٌٌۚفَإ ْنٌ َكانَتَاٌاثْنَت‬
ِ
َ َ‫تَ َرَكٌ ٌَۚوُه َوٌيَِرثُ َهاٌإ ْنٌ ََلٌْيَ ُك ْنٌ ََل‬
ٌ‫ٌعلِيم‬
َ ‫ٌش ْيء‬ َ ‫اَّللٌُبِ ُك ِل‬ٌَّ ‫ضلُّواٌ ٌَۗو‬ ِ َ‫ٌاَّللٌلَ ُكمٌأَ ْنٌت‬
ْ َُّ ‫ني‬ ُ ِ َ‫نيٌٌۗيُب‬ ْ ‫ٌح ِظ‬
ِ ْ َ‫ٌاْلُنْثَي‬ ِ َّ ِ‫ِرج ًاالٌونِساءٌفَل‬
َ ‫لذ َك ِرٌمثْ ُل‬ ًَ َ َ
“Mereka meminta fatwa kepada kamu—Nabi Muhammad SAW—
(tentang kala>lah). Katakanlah: “Allah SWT memberi fatwa kepada
kamu tentang kala>lah, (yaitu): “Jika seseorang meninggal dunia,
dan ia tidak mempunyai anak dan (hanya) mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu (mendapat)
seperdua (1/2) bagian dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki, mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; dan, jika saudara
perempuan itu (sebanyak) dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga (2/3) dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) beberapa orang
saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara
laki-laki, sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah
SWT menerangkan (hukum ini) kepada kamu, supaya kamu tidak
sesat. Dan Allah SWT Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-
Nisa>’/4: 176).46

Sahabat Jabir adalah orang yang menanyakan perihal kewarisan


kala>lah. Kala>lah adalah jika seorang meninggal dunia tanpa
meninggalkan anak laki-laki atau bapak, dia hanya meninggalkan
saudara kandung atau saudara sebapak. Jika yang ditinggalkannya
adalah seorang saudara perempuan, saudaranya itu mendapat ½ harta.
Jika yang ditinggalkannya adalah dua orang saudara perempuan,
masing-masing mendapat 1/3 warisan. Sedangkan jika yang
ditinggalkan itu adalah tiga atau lebih saudara perempuan, menurut
jumhur ulama, mereka mewarisi seluruh harta.47
Apabila di antara saudara-saudara kandung atau saudara sebapak itu
ada yang laki-laki, otomatis mereka mewarisi seluruh harta
sebagaimana jika yang ditinggalkan adalah seorang saudara laki-laki.

46
Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran Terjemah dan Tajwid, 106.
47
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 12.
Bagian setiap saudara laki-laki adalah dua kali bagian setiap saudara
perempuan. Jika misalnya seseorang meninggalkan tiga orang saudara
perempuan dan seorang saudara laki-laki, maka bagian masing-masing
perempuan adalah 1/5, sedangkan bagian laki-laki adalah 2/5.48
Kasus kala>lah ini berlaku untuk seseorang yang meninggalkan
saudara kandung atau saudara sebapak. Jika yang ditinggalkan saudara
seibu, baik laki-laki atau perempuan bagiannya adalah 1/6 harta.49
Ayat 176 dan bagian akhir dari ayat 12 seperti tersebut di atas,
khusus membicarakan kala>lah, yaitu suatu kasus (abnormal) di mana
pewaris mati tanpa adanya keturunan.
Ayat-ayat induk tentang waris di atas secara jelas atau gamblang,
tegas dan bahkan lugas menentukan bahwa semua dan setiap ahli waris,
oleh ayat 7 surat An-Nisa>’ dijamin mendapatkan hak bagian warisan
tanpa membeda-bedakan jenis kelamin (laki-laki atau perempuan),
maupun usia (anak-anak, dewasa atau tua) dan atau perbedaan-
perbedaan lainnya. Ayat 11 dan 23 surat An-Nisa>’, lalu menetapkan dan
memastikan siapa-siapa saja yang berhak menjadi ahli waris, berapa
bagian masing-masing, dan kapan tirkah si mayit itu bisa dibagi-
bagikan. Semua ditentukan dan dibagi habis di dalam kedua ayat ini.50
Dari beberapa ayat induk tentang waris di atas, para pakar
menyebutkan 15 orang ahli waris berjenis kelamin laki-laki dan 10
orang ahli waris berjenis kelamin perempuan,51 sementara langkah

48
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 12.
49
Imtihan Asy-Syafi’i, Tafsir Ayat-ayat Wanita (Solo: Aqwam, 2009), 53-54.
50
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, 28.
51
Ke-15 orang ahli waris berjenis kelamin laki-laki adalah: (1) bapak; (2) kakek; (3) anak
laki-laki; (4) cucu laki-laki; (5) paman sekandung; (6) anak paman sekandung; (7) paman sebapak;
(8) anak dari paman sebapak; (9) saudara laki-laki kandung sebapak dan seibu; (10) anak laki-laki
paman sekandung; (11) saudara laki-laki sebapak; (12) anak laki-laki dari saudara sekandung; (13)
saudara laki-laki seibu; (14) suami; (15) orang yang memerdekakan budak. Adapun 10 orang ahli
waris perempuan adalah: (1) ibu; (2) nenek dari pihak ibu; (3) nenek dari pihak bapak; (4) anak
perempuan; (5) cucu perempuan dari anak laki-laki; (6) saudara perempuan kandung; (7) saudara
perempuan sebapak; (8) saudara perempuan seibu; (9) istri; (10) orang perempuan yang
memerdekakan budak. Khusus untuk perbudakan, sesungguhnya sudah dihapuskan oleh Al-Quran
sendiri, dan karenanya maka ahli waris laki-laki hanya 14 orang dan ahli waris perempuan hanya 9
orang mengingat secara de jure, hukum perbudakan itu di zaman modern sekarang ini sudah
dihapuskan sama sekali meskipun perilaku atau perlakuan perbudakan dalam praktik bisa saja masih
selanjutnya menentukan secara rinci bagian masing-masing ahli waris
dengan menggunakan rumus pembagian yang lazim dikenal dengan
sebutan al-furu>d} al-muqaddarah (pembagian yang sudah ditentukan)
atau pembagian yang enam (al-furu>d} al-sittah) yakni: ½, ¼, 1/8, 2/3,
1/3, dan 1/6. Ketika disebutkan bilangan pembagiannya secara
progresif (berjenjang), maka akan tampak juga hal yang sama bahwa
1/8 kelipatannya adalah ¼, dan kelipatan ¼ adalah ½. Sedangkan 1/6,
kelipatannya adalah 1/3, dan kelipatan dari 1/3 adalah 2/3.52
Berdasarkan ayat-ayat induk kewarisan di samping ayat-ayat
pendukung maupun ayat-ayat terkait yang juga diperkuat dan diperkaya
oleh hadis, para ulama bisa mengelompokkan ahli waris ke dalam dua
kelompok besar dan mendasar. Dua kelompok besar dan mendasar yang
dimaksudkan ialah kelompok as}h}a>b al-furu>d} dan kelompok as}a>bah.
As}ha} >b al-furu>d} ialah ahli waris yang secara pasti dan meyakinkan
mendapatkan bagian tertentu dari harta waris yang ditinggalkan (tirkah)
si mayit, sementara kelompok as}a>bah adalah kelompok ahli waris yang
berhubungan langsung dengan si mayit, yakni setiap laki-laki yang
antara dia dengan si mayit dalam silsilah nasabnya yang tidak pernah
terselang dengan ahli waris perempuan.53
Di samping itu, ada kelompok z\awil arh}a>m yang belum tentu apalagi
selalu mendapatkan bagian dari harta warisan si mayit; namun Al-
Quran sesungguhnya tetap melindungi hak “kerahiman” mereka atas
dasar kesukarelaan ahli-ahli waris si mayit untuk memberikan bagian
sekadarnya kepada z\awil arh}a>m ini. Kehadiran QS. An-Nisa>’/4: 7 yang
menengahi ayat 6 dan ayat 8 surat yang sama, justru memberikan
jaminan tali silaturahim z\awil arh}a>m dengan para ahli waris z\awil furu>d}
dan as}a>bah melalui tirkah si mayit. Ini pula di antara rahasia kehebatan
hukum faraid yang mendahulukan bagian orang-orang lain (non-z\awil

tetap terjadi di mana-mana. Praktik trafficking yang pada umumnya menimpa kaum perempuan dan
anak-anak, mengisyaratkan eksistensi perbudakan yang sangat melanggar HAM itu.
52
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, 29.
53
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 114.
furu>d} dan non-as}a>bah) yang sesungguhnya tidak seberapa banyak itu;
dibandingkan dengan as}a>bah dan terutama z\awil furu>d} yang selain pasti
memperoleh bagian juga bagiannya tentu akan lebih banyak atau besar
daripada keluarga non ahli waris yang tidak seberapa itu. Namun,
secara psikologis, penyebutan z\awil arh}a>m yang didahulukan, secara
psikologis tentu akan membuat mereka merasa diperhatikan oleh para
ahli waris melalui perantaraan “uang kerahiman” z\awil arh}a>m. Melalui
ayat 7 itu pula hukum faraid justru memberikan penghormatan dan
“hiburan” kepada ahli waris z\awil arh}a>m sebelum ahli-ahli waris z\awil
furu>d} yang dipastikan mereka aman dan nyaman lantaran jaminan
hukum kewarisan kepada mereka.54

2. Hadis
Sebagai sumber legislasi kedua setelah Al-Quran, hadis atau sunah
memiliki fungsi sebagai penafsir atau pemberi bentuk konkrit terhadap Al-
Quran, sebagai penguat hukum dalam Al-Quran dan terakhir membentuk
hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Quran.55 Beberapa hadis kewarisan
yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:56
ِ ِ‫ٌاَّلل‬
َ ‫ٌهَريْ َرةٌَتٌَ ٌَعلَّ ُمواٌال َفَرائ‬
ٌ‫ض‬ ُ َ‫ٌعليهٌوسلمٌايٌأَاب‬
َ ٰ
‫ٌصلىٌاَّلل‬ ٰ ‫ال ٌَر ُس ْو ُل‬
َ َ‫الٌق‬ ُ ‫َع ِن‬
َ َ‫ٌأيبٌهَريْ َرةٌَرضيٌاَّللٌعنهٌق‬
ٌ ِ ‫ىٌوُه َوأ ََّو ُلٌماٌَيُْن َزعُ ٌِم ْنٌأ َُّم‬ ِ ِِ ُ ‫ص‬ ِ ِ
ٌ‫ت–ٌرواهٌابنٌماجهٌودارقطىنٌو‬ َ ‫فٌالع ْلم ٌَوإنَّهٌُيُْن َس‬ ْ ‫َو َعل ُم ْوٌهاٌَفَِإنَّهٌُن‬
ٌ‫اْلاكم‬
“Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Wahai Abu Hurairah, pelajarilah ilmu faraid dan lalu ajarkanlah.
Karena dia separuh dari ilmu dan akan (mudah) dilupakan orang. Dan
dia adalah ilmu yang pertama kali akan dicabut dari umatku”. (HR.
Ibnu Ma>jah, Al-Da>ruqut}ni> dan Al-H{a>kim).57

ٌٰ
ٌ ٌ ٌ‫ٌصلىٌاَّللٌعليهٌوسلمٌقال‬ ٌٰ
‫رسولٌاَّلل‬ ٌٰ
ٌ‫ٌرضىٌاَّللٌعنهماٌأن‬ ٌٰ
‫عنٌعبدٌاَّللٌبنٌعمروٌابنٌالعا‬
‫ٌأوٌفريضةٌعادلة –ٌرواهٌاْلاكم‬,‫ٌأوٌسنةٌقاٌئمة‬,‫العلمٌثالثةٌفماٌسوىٌذلكٌفضلٌاٌيةٌحمكمة‬

54
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, 30.
55
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: Eksistensi dan
Adaptabilitas, 15.
56
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, 49.
57
Muhammad bin Abdullah Abu Abdullah, Al-Mustadrik ‘Ala> Al-S{ah{i>h{i<n Juz IV (Beirut:
Dar Al-Kitab, 1990), 369.
“Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash ra berkata bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda, “Ilmu (yang primer) itu ada tiga, selain
yang tiga itu hanyalah bersifat tambahan (sekunder), yaitu ayat-ayat
muhakhamat (yang jelas ketentuannya), sunah Nabi Muhammad SAW
yang dilaksanakan, dan ilmu faraid yang adil”. (HR. Al-H{a>kim).58

ٌ‫ٌصلىٌاَّللٌعليهٌوسلمٌتٌَ َعلَّ ُمواٌال ُقٌْرآ َن‬


ٌٰ ِ‫ٌاَّلل‬
ٌٰ ‫الٌ َر ُس ْو ُل‬ ٌٰ ٌِٰ ‫عنٌعب ِد‬
َ َ‫الٌق‬
َ َ‫ٌرضيٌاَّللٌعنهٌق‬ َ ‫ٌاَّللٌبْ ِن‬
‫ٌم ْس ُعود‬ َْ ْ َ
ِ ِ
ٌ ‫ٌوٌإِ َّن‬ ِ ِ ِ
ٌَ
َُ ‫ض ٌَوتَْْ َهُرٌالف‬ُ َ‫ٌسيُ ْقب‬ َ ‫ٌالع ْل َم‬ ٌَ ‫ٌم ْقبُ ْوض‬
َ ‫ٌامُرؤ‬ْ ‫َّاسٌٌفٌَِإٌِّن‬
َ ‫ض ٌَو َعل ُموهٌُالن‬َ ‫َّاس ٌَوتَ َعلَّ ُمواٌال َفَرائ‬
َ ‫َو َعل ُموهٌُالن‬
ِ ‫ض‬ ِ ‫اٌنٌمنٌي ْق‬ ِ َ َ‫ض ِةٌ ٌال‬ ِ َ‫ٌاالٌثْن‬ِ ‫ٌَيْتلِف‬
‫يٌِبَاٌ–ٌرواهٌاْلاكم‬ َ ْ َ ‫ٌدج َد‬ َ ْ‫ان ٌِِفٌال َف ِري‬ َ َ َ ‫َح ََّّت‬
“Dari Ibnu Mas’ud ra, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Pelajarilah
Al-Quran dan (kemudian) ajarkanlah (Al-Quran itu) kepada orang
lain. Dan pelajarilah ilmu faraid, dan (kemudian) ajarkanlah kepada
orang banyak. Karena, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia
yang (juga) akan meninggal. Dan sesungguhnya ilmu waris itu akan
dicabut, lalu fitnah-pun akan menyebar, sampai-sampai ada dua orang
yang berseteru (berdebat) dalam masalah warisan ini, sayangnya tidak
menemukan orang lain yang bisa memutuskannya”. (HR. Al-H{a>kim).59

ٌ‫ٌِب َْهلِ َهاٌفَ َما‬


ِ‫ض‬ ِ ِْ ‫ٌصلىٌاَّللٌعليهٌوسلمٌأ‬
َ ‫َْل ُقواٌال َفَرائ‬ ٰ ِ‫ٌاَّلل‬
ٰ ‫ول‬ ُ ‫ال ٌَر ُس‬
َ َ‫الٌق‬ ٰ
َ َ‫ٌرضيٌاَّللٌعنهٌق‬ ‫ٌعبَّاٌس‬َ ‫َع ٌِنٌابْ ِن‬
ٌَ َ‫بَِق َيٌفٌَ ٌُه ٌَوٌ ٌْل‬
‫وىلٌ َر ُجلٌذَ َكرٌٌ–ٌرواهٌالبخاري‬
“Dari Ibnu Abbas ra, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) itu kepada (ahli waris) yang berhak, dan
apa yang tersisa (daripadanya) maka itu menjadi hak laki-laki yang
paling dekat nasabnya”. (HR. Al-Bukha>ri>).60

ٌ‫اٌس ْع ِدبْ ِن‬ ِ ِ َ ‫ٌه‬


َ َ‫اتٌإِّنٌٌإبٌْنَ ت‬
ِ ٰ ‫نيٌ ََلافَ َقاٌللَتٌايٌرسو َل‬
َ ‫ٌاَّلل‬ ُْ َ َ ْ
ِ
َ ِ ْ َ‫ٌجائَتٌالْ َم ْرأَةٌُِبِِبْنَ ت‬
َ ‫ال‬ َ َ‫ٌعْب ِد ٰاَّللٌق‬
َ ‫ٌجابِ ِربْ ِن‬
َ ‫َع ْن‬
ِ ‫ٌش ِهي ًداٌوإِ َّنٌع َّمهماٌأَخ َذٌماٌ ََلماٌفَلَمٌي َد ْعٌ ٌََلماٌماالًٌوالٌَتَْنكِن‬ ِ َّ
ٌ‫ان‬ َ َ َ َُ َ ْ َُ َ َ َ ُ َ َ ْ َ ‫ُحد‬ ُ ‫كٌيَ ْوَمٌأ‬ َ َ‫الربِيعٌقُت َلٌأَبُ ْوُُه‬
َ ‫اٌم َع‬
ٌ‫ىٌاَّللٌُ َعلَْي ِه ٌَو َسلَّ َم‬ ِ ٰ ‫اثٌفَب عثٌرسو ُل‬ ِ ِ ِ ِ ‫الٌي ْق‬ ِ
ٌٰ َّ‫ٌصل‬ َ ‫ٌاَّلل‬ ْ ُ َ َ َ َ ‫تٌأَيَةٌُاملْي َر‬ ْ َ‫كٌفَنَ َزل‬ َ ‫ىٌاَّللُ ٌِِفٌذَل‬
ٰ ‫ض‬ َ َ َ‫اٌمالٌق‬ َ ‫إالَّ ٌَوََلَُم‬
‫كٌ–رواهٌأبوٌداود‬ ٌَ َ‫ني ٌَو ْاع ِطٌأ ٌَُّم ُه َماٌالث ُُّم َن ٌَوَماٌبَِق َيٌفَ ُه َوٌل‬
ِ ْ َ‫ٌس ْعدٌالثُّلُث‬ ِ ِ ِ َ ‫ٌع ِم ِهماٌفَ َق‬
َ ‫الٌإ ْعطٌإبْنَ َ ْت‬ َ َ ‫ىل‬ َ‫إ‬
ِ
“Dari Jabir Ibnu Abdullah berkata: “Janda Sa’ad datang kepada Nabi
Muhammad SAW bersama dua orang anak perempuannya. Lalu ia
berkata: “Ya Muhammad, ini dua orang anak perempuan Sa’ad yang
telah gugur secara syahid bersamamu di Perang Uhud, paman mereka
mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-
apa pada mereka. Keduanya tidak bisa kawin kalau tidak mempunyai
harta”. Nabi Muhammad SAW berkata: “Allah SWT akan menetapkan
hukum dalam kejadian ini”. Kemudian turun ayat-ayat tentang
kewarisan. Kemudian Nabi Muhammad SAW memanggil si paman dan

58
Abu Dawud, Suna>nu Abu> Da>wud Juz III (Beirut: Dar Al-Kitab,tt), 78.
59
Ad-Din bin Husam Ad-Din Al-Mutaqi Al-Hindi Al-Burhan Fawari, Kanzul Ma>la fi>
Sunan Al-Aqwa>l Wal-Af’a>l Juz I (Beirut: Yayasan Misi, 1981), 530.
60
Abu Bakar Ahmad Ahmad bin Al-Husein bin Ali Al-Baihaqi, Sunan Al-Baihaqi Al-
Kubra Juz VI (Mekkah: Dar Al-Baz, 1994), 234.
berkata: “Berikanlah dua pertiga untuk dua anak perempuan Sa’ad,
seperdelapan untuk istri Sa’ad dan selebihnya ambil untukmu”. (HR.
Abu> Da>wud).61

ٌ‫ف‬ ِ ِ ٌِْ ِ‫الٌل‬ َ ‫تٌٌإِبْن ٌٌَوٌأُ ْختٌفَ ٌَق‬ٌِ َ‫ىٌع ْنٌٌإِبْنَت ٌَوٌٌإِبْن‬ ِ ‫ال‬ ِ ‫ٌهَزيْ ِلٌبْ ِن‬
ُ ‫ص‬ ْ ‫ٌْبْنَتٌالن‬ َ ‫ٌم ْو َس‬
ُ ‫ٌسئ َلٌأٌَبُ ْو‬
ُ َ َ‫ٌسَر ْحبْيلٌق‬ ُ ُ ‫َع ْن‬
ِ ِ ْ ‫تٌٌإِبنٌمسعودٌفَاسئَ ٌلٌٌإِبنٌمسعودٌوأ‬ ِ ِ ِ ٌْ ِ‫ول‬
ٌ‫ت‬ ُ ‫ٌضلَْل‬ َ ‫الٌلَ َق ْد‬
َ َ‫ٌم ْو ٌَسىٌق‬ُ ‫َخبَ َرٌب َق ْولٌأٌَِيب‬ َ ُْ َ َْ ْ ْ ُ ْ َ َ ْ ْ‫فٌوٌأ‬ ُ ‫ص‬ْ ‫ِلٌُ ٌْختٌالن‬ َ
ٌِ‫تٌالنِصفٌوٌِْلبٌنٌَة‬ ِ َ‫ٌْب ن‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ْ َ ُ ْ ِ َّ
ْ ٌْ ‫ٌعلَْيه ٌَو َسل َم ٌٌل‬ ٰ
َ ُ‫ىٌاَّلل‬
ٌ َ‫ٌصل‬ َ ‫َِّب‬ ِ
ُّ ‫ضىٌالن‬ َ َ‫ٌإِذاً ٌَوَماٌأ َََنٌم ٌْنٌالْ ُم ْهتَديْ ٌَنٌأَقْديٌف َيهاٌِبَاٌق‬
‫ُْ ْخةٌٌ–ٌٌرواهٌابنٌماجه‬ ٌ َ‫ني ٌَوَماٌبَِق َيٌف‬ِ ْ َ‫ْمْي لَةًٌلِلثُّلُث‬
ِ ‫ٌالس ُدسٌتَك‬
ُ ُّ ‫البْ ِن‬ ٌِْ
“Dari Huzail bin Surahbil berkata: “Abu Musa ditanya tentang kasus
kewarisan seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-
laki dan seorang saudara perempuan. Abu Musa berkata: “Untuk anak
perempuan setengah, untuk saudara perempuan setengah. Datanglah
kepada Ibnu Mas’ud, tentu dia akan mengatakan seperti itu juga. Saya
menetapkan berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi
Muhammad SAW yaitu untuk anak perempuan setengah, untuk cucu
perempuan seperenam, sebagai pelengkap dua pertiga, sisanya untuk
saudara perempuan”. (HR. Ibnu Ma>jah).62

3. Ijmak dan Ijtihad para Sahabat Nabi, Imam Mazhab dan Imam
Mujtahid
Ijmak yaitu kesepakatan para ulama atau sahabat sepeninggalan
Nabi Muhammad SAW tentang ketentuan warisan yang terdapat dalam
Al-Quran maupun sunah. Karena telah disepakati oleh para sahabat dan
ulama, ia dapat dijadikan sebagai referensi hukum.63 Misalnya terdapat
masalah radd dan aul. Di dalamnya terdapat perbedaan pendapat, sejalan
dengan hasil ijtihad masing-masing sahabat, tabiin dan ulama.64
Ijtihad para sahabat, Imam-imam mazhab dan mujtahid kenamaan
mempunyai peran yang tidak kecil sumbangannya terhadap pemecahan-
pemecahan masalah waris yang belum dijelaskan oleh nas}-nas} s}a>rih.
Misalnya:65
1) Status ketentuan bagian kakek yang sedang bersama-sama dengan
saudara-saudara padahal ketentuan dalam Al-Quran tidak ada, yang ada

61
Abu Dawud, Suna>nu Abu> Da>wud Juz II (Kairo: Mustafa Al-Babiy, tt), 109.
62
Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah Al-Shaibani, Musnad Imam Ah{mad bin H{anbal Juz I
(Kairo: Yayasan Qurtuba, tt), 389.
63
Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 300.
64
Ahmad Rofik, Hukum Perdata Islam di Indonesia, 300.
65
Ma’shum Zein, Fiqh Mawarits: Studi Metodologi Hukum Waris Islam, 12.
hanyalah saudara-saudara bersama-sama dengan bapak atau anak laki-
laki.66
2) Status bagian cucu laki-laki yang bapaknya lebih dahulu meninggal
dunia dari pada kakek.67 Menurut ketentuan, mereka tidak mendapat
apa-apa lantaran dihijab oleh saudara bapaknya, tetapi menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir yang mengistinbat}kan dari
ijtihad para ulama mutaqaddimin, mereka diberi bagian berdasarkan
wasiat wajibah.68

66
Muhammad bin ‘Umar Al-Baqriy & Al-Syafi’iy, Hasyiyah Syarkh Matan Al-
Roha>biyyah (Semarang: Maktabah Karya Thoha Putra, tt), 19.
67
Ma’shum Zein, Fiqh Mawarits: Studi Metodologi Hukum Waris Islam, 12.
68
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 15. Lihat juga pada Moh. Muhibbin
dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, 22.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Secara bahasa, kata waris adalah bentuk isim fa‘il dari warisa\, yarisu\,
irsa\n, fahuwa warisu\n yang bermakna orang yang menerima waris. Kata-
kata itu berasal dari kata warisa\ yang bermakna perpindahan harta milik
atau perpindahan pusaka.69 Kata warasa\ memiliki beberapa arti:70
pertama, mengganti (QS. An-Naml/27: 16), kedua, memberi (QS. Az-
Zumar/39: 74) dan ketiga, mewarisi (QS. Maryam/19: 6). Sedangkan
menurut istilah ilmu yang mengatur peralihan harta orang yang telah
meninggal kepada orang yang masih hidup berdasarkan ketentuan syariat
Islam (Al-Quran, sunah, ijmak ulama dan ijtihad ulama).
2. Dasar kewarisan dalam Islam, didasarkan pada al-Qur'an, Sunnah Nabi,
Saw., dan Ijma’.
B. Saran
Kewarisan dalam Islam memiliki landasan yang kokoh baik dari al-Qur'an,
Sunnah, dan juga ijma’. Keadilan yang terdapat dalam sistem waris Islam,
bersifat keadilan yang hakiki, karena ketentuan-ketentuannya langsung
ditetapkan oleh Sang Syāri’. Oleh sebab itu, kewajiban umat Islam untuk
mengamalkan sistem kewarisan dalam Islam dan tanpa mempertanyakan
terkait keadilannya.

69
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 1.
70
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, 1.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abu Abdullah, Muhammad bin Abdullah. Al-Mustadrik ‘Ala> Al-S{ah{i>h{i<n Juz IV.
Beirut: Dar Al-Kitab, 1990.
Ahmad, A. Kadir. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kualitatif. Makassar:
Indobis Media Centre, 2003.
Ahmad bin Hanbal. Musnad Imam Ah{mad bin H{anbal Juz III. Beirut: Yayasan
Misi, 1999.
Ahmed, Leila. Women and Gender in Islam: Historical Roots of Modern Debate.
Jakarta: Lentera, 2000.
Al-Azmi, Muhammad Zia Rahman. Al-Majna Al-Kubra Juz IX. Riyadh, Saudi
Arabia: Al-Rushd Library, 2001.
Al-Baihaqi, Ahmad bin Al-Husain. Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra Juz VI. Mekkah:
Dar Al-Baz, 1994.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail Abu Abdullah. Al-Ja>mi’ Al-S{ah{i>h{ Al-
Mukhtas{ir Juz VI. Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987.
Al-Humaidi, Muhammad bin Fatah. Al-Jami’ Bayna Al-S{ah{i>h{i>n Al-Bukha>ri>
Wamuslim Juz 1. Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002.
Al-Humaidi, Muhammad bin Fatah. Al-Jami’ Bayna Al-S{ah{i>h{i>n Al-Bukha>ri>
Wamuslim Juz II. Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002.
Al-Humaidi, Muhammad bin Fattah. Al-Jami’ Baina Al-S{ah{i>h{i>n Al-Bukha>ri
Wamuslim Juz IV. Beirut: Dar Ibn Hazm, 2002.
Al-Shaibani, Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah. Musnad Imam Ah{mad bin H{anbal
Juz I. Kairo: Yayasan Qurtuba, tt.
Al-Qazwini, Muhammad bin Yazid Abu Abdullah. Suna>n Ibnu Ma>jah Juz II.
Beirut: Dar Al-Fikr, tt.

Al-Quzaini, Muhammad bin Yazid Abu Abdullah. Suna>nu Ibnu Ma>jah Juz II.
Beirut: Dar Al-Fikr, tt.

Skripsi
Abidin, Zainal. “Perspektif Pemikiran Siti Musdah Mulia tentang Keadilan Gender
dalam Kewarisan (Studi Kasus di Desa Tumpuk Kecamatan Sawoo
Kabupaten Ponorogo).” Skripsi, Fakultas Syariah IAIN Ponorogo. 2018.
Faudzan, Mohamad. “Pembagian Hak Waris 1:1 bagi Ahli Waris Laki-laki dan
Perempuan (Analisis Putusan Pengadilan Agama Medan
No.92/Pdt.G/2009/PA. Mdn).” Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014.
Hidayatullah, Muhib. “Tinjauan Hukum Islam terhadap Pendekatan Gender dalam
Pembagian Warisan (Studi atas Pemikiran Siti Musdah Mulia).” Skripsi,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2011.

Anda mungkin juga menyukai