Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

MATA KULIAH PENGELOLAAN TANAH DAN AIR

PENGAPURAN DI TANAH MASAM


DAMPAKNYA PADA TANAMAN

Disusun oleh :
Dhea Ananda Rosadi
(H0719049)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia melakukan pemanfaatan dan pembukaan tanah di lahan
kering umumnya pada Ultisol dan mungkin Oxisol. Permasalahan pada
Ultisol dan Oxisol adalah reaksi tanah yang masam, kandungan Al yang
sangat tinggi, dan unsur hara yang rendah, sehingga diperlukan
pengapuran dan pemupukan serta pengelolaan yang baik. Ultisol adalah
tanah berwarna merah kuning yang sudah mengalami proses hancuran
iklim yang sudah lanjut, basa-basanya tercuci sehingga tanah bereaksi
masam dan memiliki kejenuhan Al yang tinggi. Permasalahan pada tanah
yang bersuasana masam dapat ditanggulangi dengan pemberian kapur.
Sumber kemasaman tanah yaitu Al dapat ditekan dengan pengapuran dan
atau dengan pengembalian sisa tanaman ke dalam tanah tersebut. Di dalam
tanah bahan organik dapat mengikat senyawa atau unsur yang bersifat
racun (Al, Fe, Cd dan Hg) terhadap tanaman, bahan organik penting
karena dapat bereaksi dengan ion logam yang kemudian membentuk
senyawa komplek.
Bahan organik yang diberikan ke dalam tanah melalui proses
dekomposisi akan menghasilkan banyak asam organik yang mengandung
derivat-derivat asam fenolat dan asam karboksilat. Asam fenolat dan asam
karboksilat mempunyai gugus fungsional yang mengandung oksigen
merupakan tapak reaktif dalam mengikat logam, termasuk Al. Dengan
demikian aktivitas ion Al yang bersifat racun bagi tanaman menjadi
berkurang. Kompos memiliki sifat-sifat yang beragam tergantung pada
tingkat kematangan, komposisi bahan baku dan proses pengomposan pada
saat pembuatan kompos. Penggunaan kompos yang belum matang dapat
mengganggu pertumbuhan tanaman sehingga produktivitasnya menurun.
Besar pengaruh kapur dan pemberian kompos sisa tanaman terhadap ion
Al dapat ditukar Al di dalam tanah. Sejalan dengan usaha mengurangi
kehilangan hara dari sistem tanah pertanian dan usaha meningkatkan
produksi tanaman, maka dilakukan pemberian kapur dan pengembalian
bahan organik melalui pemberian kompos sisa tanaman ke dalam tanah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja sifat dan ciri tanah masam?
2. Bagaimana kendala yang terjadi di tanah masam?
3. Apa yang dimaksud dengan pengapuran?
4. Bagaimana respon tanaman terhadap pengapuran?

C. Tujuan
1. Mengetahui sifat dan ciri tanah masam
2. Mengetahui kendala apa saja yang akan terjadi di tanah masam
3. Mengetahui pengertian pengapuran
4. Mengetahui respon pengapuran yang terjadi terhadap tanaman
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tanah Masam
Tanah masam adalah tanah yang pada keseluruhan penampang
kontrolnya mempunyai pH-H2O kurang dari 5,5 atau pH-CaCl2 kurang dari 5,0.
Di Indonesia, tanah masam mempunyai penyebaran sangat luas mulai dari dataran
rendah sampai dataran tinggi dengan bentuk wilayah datar sampai bergunung,
umumnya beriklim basah (curah hujan tinggi >2.000 mm tahun-1) dan dapat
terbentuk dari berbagai macam bahan induk tanah. Kendala utama yang sering
dijumpai pada tanah masam di lahan kering beriklim basah adalah selain reaksi
tanah yang masam, juga miskin hara, kandungan bahan organik rendah,
kandungan besi dan aluminium tinggi melebihi batas toleransi tanaman serta peka
erosi sehingga tingkat produktivitasnya rendah. Selain faktor iklim dan topografi,
faktor bahan induk tanah merupakan faktor pembentuk tanah yang paling
dominan pengaruhnya di Indonesia terhadap sifat dan ciri tanah yang terbentuk
serta potensinya untuk pertanian. Proses pelapukan bahan induk pada kondisi
iklim basah dan suhu udara yang tinggi berjalan sangat intensif. Akibatnya tanah
cepat berkembang dan membentuk tanah-tanah berlapukan tinggi. Terdapat tiga
ordo tanah utama yang sebagian besar tergolong tanah masam yang potensial
untuk pertanian, yaitu Inceptisols, Ultisols, dan Oxisols atau setara dengan
Latosol, Podsolik Merah Kuning, dan Lateritik (Soepraptohardjo, 1961). Bila
dikelola dengan baik, sangat berpeluang untuk pengembangan berbagai komoditas
pertanian andalan dan akan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap
penyediaan pangan nasional.
Tanah masam mempunyai kendala fisik maupun kimia yang menghambat
pertumbuhan tanaman. Pemupukan dan pengapuran merupakan penanganan tanah
masam yang dapat menjadikan tanah produktif (Rochayati et al., 1986). Kapur
yang merupakan kelompok karbonat seperti kalsit (CaCO3) dan Dolomit
(CaMg(CO3)2) lazim digunakan dalam upaya meningkatkan pH tanah karena
akan terdisosiasi menjadi ion Ca2+, Mg 2+ dan CO3 2- di dalam tanah. Kendala
teknis lainnya adalah ketersediaan air terutama di musim kemarau, sehingga
indeks pertanaman di lahan kering relatif masih rendah dibandingkan di lahan
sawah yang tersedia fasilitas air irigasinya. Saat ini memang belum banyak yang
dapat dilakukan petani, bahkan peran pemerintah untuk penyediaan irigasi di
lahan kering masih belum terlihat. Pada umumnya petani lebih sering
memberakan lahannya pada musim kemarau, kecuali pada beberapa wilayah
sentra produksi yang telah lebih maju pertaniannya, dengan menggunakan air
permukaan ataupun air tanah dengan pompanisasi.
Kemasaman tanah terjadi karena proses pelapukan mineral dan batuan
serta pencucian yang sangat cepat. Proses pelapukan yang intensif akan
melepaskan unsur-unsur hara yang akhirnya hilang tercuci dan hanya menyisakan
produk akhir pelapukan dan mineral-mineral tahan lapuk, yang pada umumnya
kurang menyumbangkan unsur hara bagi tanaman. Sumber kemasaman tanah
dapat berasal dari Al dan Fe oksida, Al-dd, liat alumino silikat dan dekomposisi
bahan organik. Al, Fe oksida serta Al-dd akan melepaskan ion H+ ke larutan
tanah apabila unsur-unsur tersebut mengalami hidrolisis. Makin banyak unsur-
unsur tersebut dalam tanah maka H+ yang dilepaskan ke larutan tanah juga makin
banyak sehingga tanah akan menjadi lebih masam. Dekomposisi bahan organik
akan menghasilkan gugus-gugus karboksil dan fenolik yang apabila terdisosiasi
akan melepaskan H+ ke larutan tanah (Tisdale et al. 1987). Kemasaman tanah
juga dapat terjadi melalui penggunaan pupuk anorganik dalam dosis tinggi secara
terus menerus. Tanah masam umumnya berkembang dari bahan induk tua dan
mempunyai kendala kemasaman tanah yang berhubungan dengan pH tanah
kurang dari 5,5, tingginya aluminium yang dapat ditukar (Al-dd) dalam tanah,
terjadinya kekahatan unsur fosfor dan kalsium, serta keracunan mangan (Erfandi
dan Nursyamsi, 1996). Tanah masam Ultisol dan Oxisols merupakan tanah yang
didominasi mineral-mineral kaolinit, oksida besi dan aluminium, serta kandungan
Al yang semakin meningkat pada lapisan tanah bawah (Hairiah et al. 2000).
Bentuk Al yang beracun bagi akar tanaman adalah Almonomerik, yaitu Al3+,
Al(OH)2+, Al(OH)2 +, Al(OH)3 dan Al(SO4)+. Aktivitas Al-monomerik
semakin meningkat pada pH lebih rendah dari 5,5 dan keracunan Al ini akan
semakin meningkat dengan meningkatnya kandungan mineral liat silikat 2:1.

B.Pengapuran
Pengapuran merupakan upaya untuk menaikkan pH tanah dengan cara
menambahkan kapur ke dalam tanah. Tanah menjadi faktor penting dalam budi
daya tanaman. Selain sebagai media tanam, tanah juga menyuplai makanan dalam
bentuk unsur hara. Tingkat kemasaman (pH) yang tidak sesuai dengan tanaman
budidaya menyebabkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman menjadi
terhambat.Rendahnya pH tanah disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
adanya unsur-unsur tertentu seperti aluminium (Al), besi (Fe), dan mangan (Mn)
yang bersifat racun bagi tanaman.
Pengapuran tampaknya dapat mengatasi masalah kejenuhan Al dan
kemasaman pada tanah Ultisol. Untuk mengatasi kendala kemasaman dan
kejenuhan Al yang tinggi dapat dilakukan pengapuran. Kemasaman tanah
berhubungan erat dengan kejenuhan Al. Kandungan Al yang tinggi berasal dari
pelapukan mineral mudah lapuk. Kemasaman dan kejenuhan Al yang tinggi dapat
dinetralisir dengan pengapuran. Pemberian kapur bertujuan untuk meningkatkan
pH tanah dari sangat masam atau masam ke pH agak netral atau netral, serta
menurunkan kadar Al. Untuk menaikkan kadar Ca dan Mg dapat diberikan
dolomit, walaupun pemberian kapur selain meningkatkan pH tanah juga dapat
meningkatkan kadar Ca dan kejenuhan basa.
Pada tanaman kedelai, pemberian kapur hingga kedalaman 30 cm dapat
memberikan hasil tertinggi, tetapi residu kapur tidak mempengaruhi tinggi
tanaman jagung yang ditanam setelah kedelai, dan hanya berpengaruh pada bobot
tongkol basah. Pemberian kapur dapat mengatasi masalah kemasaman tanah dan
juga menjamin tanaman dapat bertahan hidup dan berproduksi bila terjadi
kekeringan (Amien et al. 1990). Takaran kapur didasarkan pada persentase
kejenuhan Al, karena setiap jenis tanaman khususnya tanaman pangan
mempunyai toleransi yang berbeda terhadap kejenuhan Al. Semakin besar
persentase kejenuhan Al dalam tanah, makin banyak kapur yang harus diberikan
ke dalam tanah untuk mencapai pH agak netral sampai netral. Namun di beberapa
daerah seperti di Kalimantan dan Sumatera, ketersediaan kapur relatif terbatas,
dan bila tersedia harganya belum tentu terjangkau oleh petani. Pengapuran
sebaiknya hanya dilakukan bila pH tanah di bawah 5 karena pada pH di atas 5,50,
respons Al rendah karena sudah mengendap menjadi Al (OH)3 . Pengapuran pada
tanah masam adalah untuk meningkatkan pH tanah. Selain dapat meningkatkan
pH tanah, pengapuran juga dapat meningkatkan ketersediaan kalsium dan fosfor,
mengurangi keracunan Al serta meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK). Pada
umumnya bahan kapur untuk pertanian adalah kalsium karbonat (CaCO3),
kalsium magnesium karbonat atau dolomit (CaMg(CO3)2) dan hanya sedikit yang
berupa CaO atau Ca(OH)2.
Jenis tanah di Lampung terutama adalah Ultisol dan Oxisol, yang
didonimasi oleh mineral liat kaolinit dan fraksi pasir kwarsa (>90%), pH 4,3, dan
kemasaman tertukar 57,2 cmol+/kg. Hambatan utama pengembangan lahan
masam adalah kesuburan tanah rendah, kadar P potensial dan tersedia serta K
potensial sangat rendah, kation basa sangat rendah, kandungan bahan organik
rendah. Tanah Ultisol Lampung mengandung Al monomerik 1,89 mM pada
lapisan 0-15 cm dan 2,29 mM pada lapisan 15-45 cm. Pada pH 5-5,5, sebanyak
1% Al dalam larutan tanah Ultisol Lampung berada dalam bentuk Al monomerik.
pH tanah pada lapisan 0-20 adalah 5,15, Al-dd dan H-dd tanah masing-masing
0,33 dan 0,53 me/100 g. Tanaman kedelai pada tanah Oxisol dan Ultisol masih
dapat tumbuh pada kisaran pH 4-5,5 (Follet at al. 1981). Kedelai sangat respon
terhadap kapur pada tanah Oxisol dan Inceptisol yang telah dibuka lebih dari 5
tahun,pH 4,4-4,7, dan Al+H 2,6-4,3 me/100 ml, tetapi tidak respon pada Ultisol
yang baru dibuka meskipun pH tanah 4,2 dan Al+H 1,9 me/100 ml (Wade dan
WidjayaAdhi 1989). Pengapuran 0,5 dan 0,75 x Al-dd pada tanah Ultisol dengan
Al-dd rendah hingga tinggi (2,3-24,87 me/ 100 g) cukup efisien menurunkan
kejenuhan Al dan Aldd tanah (Amien et al. 1985). Pengapuran 1-2 x Al-dd pada
tanah Podsolik Sitiung dengan pH 4,3, kejenuhan Al 85,2% dan KTK 9,1 me/100
g mampu menurunkan kejenuhan Al hingga di bawah batas toleransi untuk
tanaman kedelai, yaitu <29%. Takaran optimal pengapuran untuk memperoleh
hasil dan serapan hara tertinggi pada pola tanam padi gogo-kedelai-jagung di
tanah Podsolik (Ultisol) adalah 2t/ha CaCO3 setiap meq Al/100 g tanah.
Pemberian 4 t/ha CaCO3 setiap meq Al/100 g termasuk berlebihan.
Percobaan lapang dilaksanakan pada lahan kering masam di Lampung dan
Tulang bawang. Menurut Taufiq (2005),rancangan percobaan varietas kedelai dan
perlakuan pupuk sama dengan percobaan di rumah kaca. Tanah diolah sesuai
kebiasaan petani. Petak percobaan berukuran 4 x 6 m, antar petak dipisahkan
saluran drainase selebar 50 cm. Jarak tanam 40 cm x 15 cm, dua tanaman per
rumpun. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan pestisida kimia sesuai
kebutuhan. Penyiangan dilakukan pada umur 30 dan 45 hari. Dolomit diberikan
sesaat sebelum tanam dengan cara disebar rata, kemudian dicampur dengan tanah.
Pupuk dasar 75 kg urea/ha diberikan seminggu setelah tanam pada jarak 5-7 cm di
sebelah barisan tanaman dan ditutup dengan tanah. Pupuk P dan K diberikan pada
saat tanam. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa varietas berpengaruh
terhadap tinggi tanaman dan berat biji kering, tetapi tidak berpengaruh terhadap
jumlah polong isi. Kombinasi pengapuran dan pemupukan berpengaruh terhadap
tinggi tanaman, jumlah polong isi, dan berat biji kering. Tidak terdapat interaksi
antara varietas dengan kombinasi pemupukan dan pengapuran terhadap tinggi
tanaman, jumlah polong isi, dan berat biji kering. Hal ini menunjukkan bahwa
antara varietas toleran lahan masam (Tanggamus dan Sibayak) dan tidak toleran
(Wilis) mempunyai respon yang sama terhadap pengapuran dan pemupukan.
Pada lahan kering masam Tulang Bawang, kombinasi pengapuran,
pemupukan P dan K berpengaruh nyata terhadap bobot 100 biji, hasil, berat kering
tajuk tanaman, jumlah polong isi dan tinggi tanaman, namun tidak berpengaruh
terhadap jumlah polong hampa. Interaksi antara varietas dengan kombinasi
perlakuan tersebut tidak nyata. Ukuran biji menjadi lebih besar dengan
penambahan dolomit (Tabel 13). Pengapuran 0,5 x Al-dd (setara 518 kg CaO/ha)
yang tidak disertai pemupukan P dan K atau sebaliknya menyebabkan rendahnya
hasil kedelai (0,5-0,9 t/ha), meskipun pertumbuhan tanaman secara umum
menjadi lebih baik. Pemberian dolomit 0,5 x Al-dd yang disertai pemupukan 45
kg K2 O dan 36 kg P2 O5 /ha meningkatkan hasil kedelai hingga 1,4 t/ha atau
meningkat 75% dibanding tanpa dolomit dan 180% dibanding kontrol.
Pada lahan kering masam Lampung, kombinasi pengapuran, pemupukan P
dan K berpengaruh nyata terhadap bobot 100 biji, hasil, berat kering tajuk
tanaman, jumlah polong isi, tinggi tanaman, dan jumlah polong hampa. Interaksi
antara varietas dengan kombinasi perlakuan tersebut tidak nyata. Hal ini berarti
ketiga varietas kedelai yang diuji mempunyai respon yang sama. Kedelai sangat
respon terhadap pemberian kapur pada tanah Oxisol yang telah dibuka lebih dari 5
tahun, pH 4,4-4,7, dan Al+H 2,6-4,3 me/100 ml.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tanah masam adalah tanah yang pada keseluruhan penampang
kontrolnya mempunyai pH-H2O kurang dari 5,5 atau pH-CaCl2 kurang
dari 5,0. Di Indonesia, tanah masam mempunyai penyebaran sangat luas
mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi dengan bentuk wilayah
datar sampai bergunung, umumnya beriklim basah (curah hujan tinggi
>2.000 mm tahun-1) dan dapat terbentuk dari berbagai macam bahan
induk tanah. Pengapuran merupakan upaya untuk menaikkan pH tanah
dengan cara menambahkan kapur ke dalam tanah. Tanah menjadi faktor
penting dalam budi daya tanaman. Selain sebagai media tanam, tanah juga
menyuplai makanan dalam bentuk unsur hara. Tingkat kemasaman (pH)
yang tidak sesuai dengan tanaman budidaya menyebabkan pertumbuhan
dan produktivitas tanaman menjadi terhambat.
DAFTAR PUSTAKA

Amien, L.I., C.L.I., Evensen, and R.S. Yost. 1990. Performance of some
improved peanut cultivars on an acid soil of West Sumatra.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 9: 1−7.
Erfandi, D. dan D. Nursyamsi. 1996. Rehabilitasi tanah masam pada areal
transmigrasi Sitiung dengan cara pembuatan teras gulud dan
pengelolaan pupuk. Pros. Pertemuan Pembahasan dan
Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Hal. 1–13
Hairiah, K., Widianto, SR. Utami, D. Suprayogo, Sunaryo, SM. Sitompul,
B. Lusiana, R. Mulia, MV. Noordwijk dan G. Cadisch. 2000.
Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi ; Refleksi
Pengalaman dari Lampung Utara. SMT Grafika Desa Putera,
Jakarta. 187 hlm.
Mulyani, A., 2006. Perkembangan potensi lahan kering masam. Jurnal
Litbang Pertanian, 24(2).
Prasetyo, B.H. and Suriadikarta, D.A., 2006. Karakteristik, potensi, dan
teknologi pengelolaan tanah ultisol untuk pengembangan
pertanian lahan kering di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian,
25(2), pp.39-46.
Rochayati, S., Adiningsih, J.S., Didi Ardi, S. 1986. Pengaruuh pupuk
fosfat dan pengapuran terhadap hasil kedelai dan jagung pada
tanah Ultisol Rangkasbitung. Pemberitaan Penelitian Tanah dan
Pupuk (5) : 13-18
Sagala, D., 2010. Peningkatan pH tanah masam di lahan rawa pasang surut
pada berbagai dosis kapur untuk budidaya kedelai. Jurnal
Agroqua: Media Informasi Agronomi dan Budidaya
Perairan, 8(2), pp.1-5.
Soepraptohardjo, M. 1961. Klasifikasi Tanah Kategori Tinggi. Balai
Penyelidikan Tanah. Bogor.
Taufiq, A. and Manshuri, A.G., 2005. Pemupukan dan pengapuran pada
varietas kedelai toleran lahan masam di Lampung. Jurnal
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 24(3), pp.147-158.
Tisdale, SL., WL. Nelson and JD. Beaton. 1985. Soil Fertility and
Fertilizers. New York. p. 751.

Anda mungkin juga menyukai