A. Pendahuluan
Dalam kekinian, peranan pranata hukum kontrak menjadi sangat penting untuk
mengakomodasi maraknya perdagangan yang terjadi secara global. Dinamika tersebut
tentu akan menimbulkan kesulitan dalam kontrak perdagangan. Kondisi yang tak dapat
disangkal adalah ketika pihak-pihak yang akan mengikatkan diri berasal dari negara
berbeda dan memiliki sistem hukum yang berbeda pula. Setiap sistem hukum memiliki
persamaan dan perbedaan baik secara fungsi maupun penamaan yang perlu ditelaah lebih
mendalam. Proses pengkajian melalui perbandingan hukum bertujuan untuk mencapai
penjelasan akan persamaan dan perbedaan antara sistem hukum tersebut serta aplikasi
dalam realita.
Sebelum menelusuri aspek hukum kontrak yang terdapat dalam Sistem Civil Law,Sistem
Common Law(Inggris),sistem hukum islam dan adat diperlukan wawasan antara sistem
sistem hukum tersebut. Dengan bantuan kajian historis,pemahaman dasar mengenai
Sistem Civil Law,Sistem Common Law, Hukum Islam dan Adat akan dapat
mengantarkan kepada alasan-alasan tersirat berkenaan dengan persamaan dan perbedaan
dalam hukum kontrak sistem sistem hukum tersebut. Untuk dapat memahami
karakteristik utama dari sitem sistem tersebut.
B. Pengertian perjanjian
1. Menurut KUH Perdata (civil law)
Istilah perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUH Perdata, bahkan didalam ketentuan
hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah
tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun
pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan. Istilah perjanjian dalam Pasal 1313 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Hukum perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa belanda di sebut
overeenscomstrecht sedangkan dalam bahasa inggris, yaitu contract of law,. Salim H.S
mengartikan hukum kontrak atau perjanjian adalah “ keseluruhan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum.”
a. Unsur unsurnya
1. Kapasitas Para Pihak
Kebebasan kehendak sangat dipengaruhi oleh kapasitas atau
kemampuan seseorang yang terlibat dalam perjanjian. Kemampuan ini
sangat menentukan untuk melakukan perjanjian sebagaimana diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Kapasitasyang dimaksudkan
dalam civil law antara lain ditentukan individu menurut umur seseorang. Di
Indonesia, Philipina, dan Jepang yang dianggap telah mempunyai kapasitas
untuk melakukan suatu kontrak harus telah berumur 21 tahun. Civil Code
Perancis yang merefleksikan pemikiran modern, menyatakan bahwa kehendak
individu yang bebas adalah sumber dari sistem hukum, yang meliputi hak dan
kewajiban. Namun kebebasan kehendak ini harus sesuai dengan hukum tertulis,
yaitu hukum perdata.
Di Indonesia, Jepang, Iran dan Philipina, di mana perusahaan sebagai
subjek hukum dapat melakukan kontrak melalui pengurus perusahaan. Di
Indonesia pengurus perusahaan terdiri dari anggota direksi dan komisaris.
Dalam melakukan kegiatannya, maka anggota direksi harus memenuhi
ketentuan anggaran dasar perusahaan dan peraturan perundang-undangan,
yang memberikan kepadanya kapasitas dalam melakukan penandatanganan
kontrak dan tindakan hukum lainnya. Hal inilah yang dikatakan dalam civil
law merupakan the code granted them full capacity.
2. Kebebasan Kehendak Dasar Dari Kesepakatan
Kebebasan kehendak yang menjadi dasar suatu kesepakatan, agar
dianggap berlaku efektif harus tidak dipengaruhi oleh paksaan
(dures), kesalahan (mistake), dan penipuan (fraud). Berkenaan dengan
kebebasan kehendak, pengadilan di Perancis menerapkan ketentuan civil Code
sangat kaku, yaitu tidak boleh merugikan pihak lain. Dalam kenyataan sehari-
hari, walaupun yang dianggap mampu melaksanakan kebebasan kehendak
ada pada orang yang sudah dewasa, namun diantara mereka tidak boleh
membuat kebebasan kehendak, yang dapat merugikan pihak lain.
Kesepakatan di antara para pihak menjadi dasar terjadinya perjanjian.
Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menetukan bahwa perjanjian atau kontrak
tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak
yang membuatnya. Ketentuan tersebut memberikan petunjuk bahwa hukum
perjanjian dikuasai oleh asas konsensualisme. Ketentuan Pasal 1320 ayat (1)
tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk
menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya.
3. Subjek yang pasti
Merujuk pada kesepakatan, terdapat dua syarat di hadapan juristic act,
suatu perjanjian dapat diubah menjadi efektif yaitu harus dengan ada antara
lain suatu subyek yang pasti. Sesuatu yang pasti tersebut, dapat berupa hak-
hak, pelayanan (jasa), barang -barang yang ada atau akan masuk
keberadaannya, selama mereka dapat menentukan. Para pihak, jika perjanjian
telah terbentuk tidak mungkin untuk melakukan prestasi, maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan.
4. Suatu sebab yang diijinkan (A Premissible Cause)
Perjanjian tidak boleh melanggar ketentuan hukum. Suatu sebab yang
halal adalah syarat terakhir untuk berlakunya suatu perjanjian. Pasal 1320 ayat
4 jo 1337 KUH Perdata menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk
membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-Undang
atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan
ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh
Undang -Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan
dengan undang-undang adalah tidak sah.
2. Menurut hukum kontrak Amerika (common law)
Istilah kontrak dalam bahasa inggris yaitu contrak of law. Lawrence M. Friedman
mengartikan hukum kontrak adalah perangkat hukum yang mengatur aspek tertentu dari
pasar dan mengatur jenis jenisnya
Unsur unsurnya
1. Bargain
Unsur bargain dalam kontrak common law dapat memiliki sifat memaksa.
Sejarah menunjukkan bahwa pemikiran mengenai bargain , dalam hubungannya dengan
konsep penawaran (offer)dianggap sebagai ujung tombak dari sebuah perjanjiandan
merupakan sumber dari hak yang timbul dari suatu kontrak. Penawaran dalam konteks ini
tidak lebih adalah sebuah transaksi di mana para pihak setuju untuk melakukan
pertukaran barang-barang, tindakan-tindakan, atau janji-janjiantara satu pihak dengan
pihak yang lain. Karena itu, maka ukuran dari pengadilan terhadap perjanjian tersebut
dilakukan berdasarkan penyatuan pemikiran dari para pihak, ditambah dengan sumber
dari kewajiban mereka,dan kemudian memandang ke arah manifestasi eksternal dari
pelaksanaan perjanjian tersebut. Pengertian penawaran merupakan suatu kunciyang
digunakan untuk lebih mengerti tentang penerapan aturan-aturan common law mengenai
kontrak.
2. Agreement
Suatu proses transaksi yang biasa disebut dengan istilah offer and acceptance,
yang ketika diterima oleh pihak lainnya akan memberikan akibat hukum dalam kontrak.
Dalam perjanjian sering ditemukan, di mana satu pihak tidak dapat menyusun fakta-fakta
ke dalam suatu offer yang dibuat oleh pihak lainnya yang telah diterima sebagai
acceptance oleh pihak tersebut. Karena penawaran dan penerimaan adalah hal yang
fundamental, maka dalam sistem common law, sangat diragukan apakah suatu pertukaran
offer (cross-offer) itu dapat dianggap sebagai kontrak. Berdasarkan sistem common law,
pada saat suatu kontrak dibuat, saat itulah hak dan kewajiban para pihak muncul, hal
yang demikian itu diatur dalam statute. Karena bisa saja terjadi suatu kontrak yang dibuat
berdasarkan keinginan dari para pihak dan pada saat yang sama juga kontrak tersebut
tidak ada. Hal ini disebabkan karena aturan mengenai acceptance dan revocation ini
memiliki akibat-akibat yang berbeda pada setiap pihak.
3. Consideration
Dasar hukum yang terdapat dalam suatu kontrak adalah adanya unsur penawaran
yang kalau sudah diterima, menjadi bersifat memaksa, bukan karena adanya janji-janji
yang dibuat oleh para pihak. Aturan dalam sistem common law tidak akan memaksakan
berlakunya suatu janji demi kepentingan salah satu pihak kecuali ia telah memberikan
sesuatu yang mempunyai nilai hukum sebagai imbalan untuk perbuatan janji tersebut.
Hukum tidak membuat persyaratan dalam hal adanya suatu kesamaan nilaiyang adil.
Prasyarat atas kemampuan memaksa ini dikenal dengan istilah consideration .
Consideration adalah isyarat, tanda dan merupakan simbol dari suatu penawaran. Tidak
ada definisi dan penjelasan yang memuaskan dari sistem common law mengenai konsep
ini. Hal demikian ini telah di mengerti atas dasar pengalaman.
4. Capacity
Kemampuan termasuk sebagai syarat tentang, apakah para pihak yang masuk
dalam perjanjian memiliki kekuasaan. Suatu kontrak yang dibuat tanpa adanya kekuasaan
untuk melakukan hal tersebut dianggap tidak berlaku.
Sebagai illustrasi dapat diuraikan putusan pengadilan dalam Quality Motors, Inc.
V. Hays di mana memutuskan bahwa kontrak tidak sah karena dilakukan oleh
individuyang belum dewasa, walaupun transaksi dilakukan oleh melalui orang lain yang
telah dewasa, dan surat jual belinya di sahkan oleh notaris. Dalam kasus ini terlihat
bahwa pengadilan menerapkan secara tegas dan kaku ketentuan umur untuk seseorang
dapat melakukan perbuatan hukum. Walaupun jual beli akhirnya dilakukan oleh orang
dewasa, namun fakta menunjukkan ternyata hal tersebut dilakukan dengan sengaja untuk
melanggar ketentuan kontrak, akhirnya pengadilan membatalkan ketentuan kontrak
tersebut.
Di dalam menjelaskan pengertian hukum perjanjian syariah terdapat 2 arti, baik secara
etimologi maupun secara istilah. Dalam bahasa Arab perjanjian itu diartikan sebagai
Mu’ahadah Ittifa’. Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai
kontrak. Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat
antar keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.
Istilah itu dalam al-Quran terdapat 2 macam yang berhubungan dengan perjanjian yaitu
akad dan ‘ahdu (al-‘ahdu). Akad itu hubungannya dengan perjanjian. Sedangkan ‘ahdu
merupakan pesan, masa, penyempurnaan dan janji. Dalam hal ini, akad itu disamakan
dengan seperti halnya perikatan, sedangkan kata Al-‘Ahdu disamakan dengan perjanjian.
Maka dari itu, perjanjian juga dapat diartikan yaitu pernyataan dari seseorang untuk
melakukan ataupun tidak melakukan apa- apa dan tidak berkaitan dengan kemauan orang
lain.
Sedangkan dalam KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi: “perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih lainnya”.
Dalam pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak
yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Di dalam melakukan suatu
perjanjian itu harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Yang mana terdapat ijab
qabul. Agar perjanjian yang telah disepakati dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan
tujuan. Dengan adanya ijab qabul ini, suatu perjanjian dapat dinyatakan sebagai
perjanjian yang sah sesuai dengan syariat islam. Yang mana terjadi pemindahan suatu
kepemilikan antara orang yang satu kepada orang yang lain yang manfaatnya bisa
dirasakan oleh kedua belah pihak yang melakukan suatu perjanjian.
Terdapat beberapa pendapat antara lain, menurut Ahmad Azhar Basyir, dia mengatakan
akad merupakan perikatan antara ijab dan qabul, yang mana keduanya dapat menetapkan
adanya akibat- akibat hukum yang ada yang mengacu kepada obyeknya. Di dalam
Peraturan Indonesia Nomor 7/ 46/ PBI/ 2005 yang di dalamnya menetapkan dalam hal
Akan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Dalam hal ini setelah pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwasannya akad adalah
suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban untuk berprestasi antara pihak yang satu
dengan pihak yang lainnya, yang mana antara keduanya terdapat hubungan timbal balik.
4. Perjanjian menurut adat
Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan
ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan
pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
d. Asas Obligatoir
Asas obligatori adalah suatu asas yang menetukan bahwa jika suatu kontrak telah
dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatan itu hanya sebatas timbulnya hak
dan kewajiban semata-mata, sedangkan prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak
kebendaan (zakelijke overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual beli
misalnya, maka dengan kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi baru terjadi kontrak
obligatoir saja. Hak milik tersebut baru dapat berpindah setelah adanya kontrak
kebendaan atau sering disebut serah terima (levering). Hukum kontrak di Indonesia
memberlakukan asas obligatoir ini karena berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Kalaupun hukum adat tentang kontrak tidak mengakui asas obligatoir karena
hukum adat memberlakukan asas kontrak riil,
b. Prinsip Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari akar kata “konsensus” yang berarti sepakat. Apabila
dijabarkan secara lebih lanjut, konsensualisme memiliki pemahaman sebagai kesepakatan
akan suatu hal yang sama. Prinsip konsensualisme berarti bahwa perjanjian dan perikatan
yang timbul oleh karenanya telah dilahirkan sejak detik sepakat terjadi. Prinsip
konsensualisme berangkat dari moral manusia untuk senantiasa memegang janjinya.
Menurut sitem Civil Law
Kesepakatan antar para pihak yang membuat perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 BW,
dianggap tidak ada apabila terdapat tiga halangan yang ditentukan dalam Pasal 1321 BW,
yakni:
Perjanjian yang terbentuk karena ada tiga hal tersebut, bukan merupakan suatu perjanjian.
Kesepakatan dianggap tidak terjadi apabila terdapat:
1. Mistake (kekeliruan/kekhilafan);
a. Common mistake: kekhilafan yang sama dari kedua belah pihak
b. Mutual mistake: kekhilafan yang berlainan dari kedua belah pihak
c. Unilateral mistake: kekhilafan yang terjadi pada salah satu pihak saja
2. Dures (paksaan);
Paksaan haruslah memenuhi dua unsur:
a. Paksaan terhadap kemauan dari korban dan
b. Paksaan tersebut melawan hukum.
3. Misrepresentation (kebohongan, penipuan).
a. Innocent misrepresentation: suatu misrepresentation yang oleh pelakunya dianggap
sebagai perilaku yang benar;
b. Fraudulent misrepresentation: misrepresentation yang oleh pelakunya memang diyakini
sebagai perilaku yang tidak benar.
Dari penjelasan mengenai prinsip konsensualisme antara Sistem Civil Law dan
Sistem Common Law, terlihat persamaan unsur mengenai halangan terhadap kesepakatan
perjanjian. Namun terdapat persamaan mendasar yang juga mencerminkan perbedaan
kedua sistem hukum tersebut, yakni pola perumusan peraturan. Pola perumusan peraturan
dalam Civil Law cenderung bersifat umum dan abstrak, dibutuhkan penafsiran tambahan
dalam memecahkan suatu persoalan berkaitan dengan prinsip konsensualisme. Sementara
dalam Common Law, pola perumusan peraturan lebih bersifat pragmatis dan konkrit.
Faktor metode pendekatan deduktif dari Civil Law dan metode pendekatan induktif dari
Common Law memiliki pengaruh yang signifikan.
c. KUH dagang
d. Undang Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan
Tidak Sehat.
Yang diatur dalam undang undang ini meliputi ketentuan umum,asas dan
tujuan,perjanjian yang dilarang,kegiatan yang dilarang,posisi domain,
e. Undang Undang No 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi.
Mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam
penyelengaraan pekerjaan konstruksi
Dalam hukum Eropa kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur dalam pasal 1320
KUH Perdata atau pasal 1365 buku IV NBW (BW Baru) Belanda. Pasal 1320 KUH
Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu
c. Adanya Obyek
Yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa
yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri
dari perbuatan positif dan perbuatan negatif. Prestasi terdiri dari;
a) Memberikan sesuatu
b) Berbuat sesuatu, dan
c) Tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata)
Kesimpulan
Semua Hukum perjanjian pada dasarnya sama yaitu dibuat oleh para dan untuk
disepakati oleh para pihak yang membuatnya dan bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum bagi para pihak yang membuatnya