Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Leukemia adalah penyakit keganasan dari sumsum tulang dan darah ditandai

dengan proliferasi sel darah putih dengan manifestasi adanya sel abnormal dalam

darah tepi (Permono dan Ugrasena, 2006). Leukemia limfoblastik akut (LLA)

merupakan penyakit keganasan yang paling sering terjadi pada anak. Faktor

predisposisi LLA belum dapat diidentifikasi secara pasti, namun terdapat

beberapa faktor yang diduga sebagai faktor predisposisi yaitu genetik, sinar

radioaktif dan infeksi virus (American Cancer Society, 2015).

Di dunia, ribuan anak dan remaja terdiagnosis LLA. Leukemia Limfoblastik

Akut merupakan jenis leukemia yang sering ditemukan yaitu sekitar 2-3 kasus

per 100.000 orang dengan angka kematian sebesar 4%. Di negara maju, leukemia

merupakan penyebab kematian ke 4 pada anak berusia kurang dari 15 tahun

(WHO, 2010).

Insiden leukemia di Indonesia adalah 2,5-4,0 per 100.000 anak dengan

estimasi 200-320 kasus baru LLA tiap tahunnya (Chandrayani, 2009). Penelitian

yang dilakukan di RSCM ditemukan bahwa leukemia merupakan jenis kanker

yang paling banyak terjadi pada anak (30-40 %). Penelitian yang dilakukan di

RSUP Sanglah didapatkan LLA merupakan kasus hemato onkologi terbanyak

yaitu sebesar 23,7 % kasus (Mudita, 2007).

Kanker pada anak berbeda dibandingkan kanker pada orang dewasa.

Perbedaan tersebut misalnya terletak pada terapi dan efek samping terapi. Terapi

1
kanker pada anak biasanya menggunakan dosis yang lebih tinggi dan efek

samping terapi lebih berbahaya dibandingkan orang dewasa, karena tubuh anak masih

tumbuh dan berkembang (National Cancer Institute, 2010). Pada pasien leukemia

akut, terapi intervensi seperti kortikosteroid, kemoterapi dan radiasi serta adanya

peningkatan risiko terkena infeksi akan menurunkan kualitas hidup anak tersebut.

Anak yang terdiagnosis LLA saat memulai terapi akan berhadapan dengan prosedur

invasif, gangguan pada aktifitas sosial dan sekolah, keterbatasan aktifitas untuk

rekreasi, perubahan diet, nyeri, perpisahan dengan anggota keluarga lainnya, adaptasi

dengan suasana rumah sakit serta ketidakpastian kemajuan terapi (American Cancer

Society, 2015). Gejala-gejala efek kemoterapi seperti mual, muntah, kehilangan nafsu

makan, kelelahan akan memengaruhi aspek fisik dan psikososial pasien LLA.

Gangguan pada aspek fisik dan psikososial ini akan berpengaruh langsung terhadap

kualitas hidup pasien LLA (Arslan dkk., 2013).

Kualitas hidup pasien LLA memerlukan perhatian yang besar. Pemeriksaan

kualitas hidup pada pasien LLA penting dilakukan, bertujuan agar pasien LLA dan

orang tua pasien bisa mengantisipasi kejadian-kejadian yang terjadi selama terapi.

Pemeriksaan kualitas hidup juga dapat membantu orangtua dan petugas kesehatan

terkait memilih strategi untuk meningkatkan kualitas hidup penderita LLA (National

Cancer Institute, 2010).

Selain pemeriksaan kualitas hidup, identifikasi faktor determinan kualitas hidup

pasien LLA juga penting untuk diketahui. Beberapa determinan kualitas hidup pasien

2
LLA adalah umur, jenis kelamin, suku, status gizi, penghasilan orang tua dan

kelompok risiko.

Pasien LLA yang terdiagnosis pada usia sekolah menunjukkan fungsi psikososial

yang lebih buruk. Anak usia sekolah dikatakan memiliki kualitas hidup lebih buruk

dibandingkan anak yang lebih muda (Sung dkk., 2010) Penelitian mengenai kualitas

hidup pasien kanker usia sekolah mengungkapkan bahwa anak usia sekolah dengan

leukemia memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan anak usia

pra sekolah (Sidabutar dkk., 2012). Hal ini kemungkinan disebabkan anak usia

sekolah yang menderita kanker menghadapi situasi yang berbeda dibandingkan

dengan pasien di usia kanak-kanak awal atau remaja. Dengan kemampuan kognitif

yang semakin berkembang namun belum matang anak usia sekolah harus

menghadapi isu tentang kematian, perpisahan, kehilangan, serta perjuangan untuk

tetap hidup (Munir dan Rehman, 2013).

Gangguan mood banyak terjadi pada pasien LLA yang berjenis kelamin

perempuan sehingga dapat menurunkan kualitas hidup pasien LLA berjenis kelamin

perempuan. Penelitian mengenai kualitas hidup penderita kanker menjelaskan anak

perempuan berusia 7-18 tahun memiliki skor kualitas hidup lebih rendah

dibandingkan lelaki. Hal ini disebabkan karena citra yang buruk terhadap bentuk

tubuh yang ditimbulkan oleh penyakit kanker itu sendiri (Saad dkk., 2013). Penelitian

lain mengenai kualitas hidup pasien LLA anak dan remaja di Yunani juga

mendapatkan hal yang sama yaitu kualitas hidup pasien berjenis kelamin perempuan

lebih rendah dibandingkan lelaki. Pada penelitian tersebut dijelaskan penyebab

3
rendahnya kualitas hidup pada pasien berjenis kelamin perempuan adalah akibat citra

diri yang buruk akan bentuk tubuh. Pasien berjenis kelamin perempuan biasanya

lebih memperhatikan bentuk tubuh dibandingkan lelaki (Vlachioti dkk., 2016).

Pasien LLA yang memiliki orang tua berpenghasilan rendah lebih banyak

mengalami stress dibandingkan yang berasal dari orang tua berpenghasilan tinggi

(Litzelman dkk., 2013). Penghasilan rendah berkaitan dengan risiko depresi dan

distress somatik pada pasien LLA (Warner dkk., 2014).

Penelitian mengenai kualitas hidup pasien LLA anak pada fase aktif pengobatan

menunjukkan bahwa pasien LLA dalam kelompok risiko tinggi memiliki kualitas

hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok risiko standar. Skor kualitas

hidup anak dengan ALL dalam fase aktif umumnya lebih buruk daripada fase non

aktif. Perbedaan signifikan ditemukan pada aspek fisik, rasa sakit, dan kecemasan

prosedural. Hal ini disebabkan karena pengobatan kemoterapi lebih agresif diberikan

pada fase intensif atau karena penyakit itu sendiri (Sitaresmi dkk., 2008).

Beberapa penelitian menunjukkan luaran yang berbeda pada pasien LLA yang

memiliki suku yang berbeda. Faktor yang menyebabkan perbedaan luaran

pengobatan LLA pada suku yang berbeda adalah varian genetik yang berpengaruh

terhadap toleransi toksisitas obat kemoterapi dan kejadian relaps. Hal ini akan

berakibat terhadap kualitas hidup pasien LLA (Pui dkk., 2012). Selain itu faktor suku

dan kebudayaan akan memengaruhi waktu pertama kali diagnosis ditegakkan, akses

menuju layanan kesehatan dan kepatuhan pengobatan, sehingga akhirnya akan

memengaruhi kualitas hidup pasien LLA (Lottick dkk., 2003).

4
Status nutrisi merupakan faktor determinan penting dalam menentukan hasil

pengobatan. Pasien leukemia limfoblastik akut dengan gizi buruk dikatakan memiliki

risiko kematian tiga kali lebih besar dibandingkan bukan gizi buruk pada saat induksi

kemoterapi (Hazarika dan Dwivedi, 2015).

Studi mengenai kualitas hidup pasien LLA beserta faktor determinan yang

memengaruhi kualitas hidup pada fase aktif terapi khususnya pada fase induksi masih

sedikit. Fase induksi bertujuan membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam

darah dan sumsum tulang (Permono dan Ugrasena, 2006). Terapi induksi kemoterapi

memerlukan perawatan di rumah sakit dalam jangka waktu yang panjang. Perawatan

di rumah sakit memberikan efek buruk bagi anak maupun keluarga. Stresor yang

dihadapi anak saat rawat inap yang lama, lingkungan yang asing, kebiasaan yang

berbeda, nyeri karena proses perawatan, atau efek perawatan, perpisahan dengan

anggota keluarga serta teman sebaya akan memengaruhi kualitas hidup (Sidabutar

dkk., 2012). Penelitian yang membandingkan kualitas hidup pasien LLA pada 6

minggu terapi awal di rumah sakit dibandingkan terapi rawat jalan memperlihatkan

kualitas hidup pasien LLA pada 6 minggu terapi di rumah sakit lebih buruk

dibandingkan terapi rawat jalan (Landolt dkk., 2006).

5
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini

adalah:

1. Apakah anak dengan LLA yang berjenis kelamin lelaki memiliki skor

kualitas hidup lebih baik daripada anak berjenis kelamin perempuan

setelah kemoterapi fase induksi?

2. Apakah anak dengan LLA usia prasekolah memiliki skor kualitas hidup

lebih baik daripada usia sekolah setelah kemoterapi fase induksi?

3. Apakah anak dengan LLA yang memiliki orang tua berpenghasilan tinggi

memiliki skor kualitas hidup lebih baik daripada orang tua berpenghasilan

rendah setelah kemoterapi fase induksi?

4. Apakah anak dengan LLA yang merupakan kelompok risiko standar

memiliki skor kualitas hidup lebih baik daripada kelompok risiko tinggi

setelah kemoterapi fase induksi?

5. Apakah anak dengan LLA yang memiliki status gizi baik memiliki skor

kualitas hidup lebih baik daripada gizi kurang, gizi lebih, dan gizi buruk

setelah kemoterapi fase induksi?

6. Apakah anak dengan LLA yang merupakan suku Bali memiliki skor

kualitas hidup lebih baik daripada suku bukan Bali setelah kemoterapi fase

induksi?

6
7. Apakah anak dengan LLA yang memiliki orang tua berpendidikan tinggi

memiliki skor kualitas hidup lebih baik daripada orang tua berpendidikan

rendah setelah kemoterapi fase induksi?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui skor kualitas hidup anak

LLA setelah kemoterapi fase induksi berdasarkan instrumen PedsQL3.0

Cancer Module dan faktor-faktor determinan kualitas hidup tersebut.

b. Tujuan Khusus

- Membuktikan anak dengan LLA yang berjenis kelamin lelaki memiliki

skor kualitas hidup lebih baik daripada anak berjenis kelamin perempuan

setelah kemoterapi fase induksi.

- Membuktikan anak dengan LLA usia prasekolah memiliki skor kualitas

hidup lebih baik daripada usia sekolah setelah kemoterapi fase induksi.

- Membuktikan anak dengan LLA yang memiliki orang tua berpenghasilan

tinggi memiliki skor kualitas hidup lebih baik daripada orang tua

berpenghasilan rendah setelah kemoterapi fase induksi.

- Membuktikan anak dengan LLA yang merupakan kelompok risiko standar

memiliki skor kualitas hidup lebih baik daripada kelompok risiko tinggi

setelah kemoterapi fase induksi.

7
- Membuktikan anak dengan LLA yang memiliki status gizi baik memiliki

skor kualitas hidup lebih baik daripada gizi kurang, gizi lebih, dan gizi

buruk setelah kemoterapi fase induksi.

- Membuktikan anak dengan LLA yang merupakan suku Bali memiliki skor

kualitas hidup lebih baik daripada suku bukan Bali setelah kemoterapi fase

induksi.

- Membuktikan anak dengan LLA yang memiliki orang tua berpendidikan

tinggi memiliki skor kualitas hidup lebih baik daripada orang tua

berpendidikan rendah setelah kemoterapi fase induksi.

1.4 Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai faktor-

faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak dengan LLA setelah

kemoterapi fase induksi sehingga dapat berguna dalam tatalaksana penyakit

tersebut selanjutnya.

b. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi petugas terkait

(keluarga, staf medis, konselor) dalam memberikan komunikasi, edukasi, dan

informasi terkait faktor determinan kualitas hidup sehingga dapat membantu

meningkatkan kualitas hidup pasien LLA.

8
Tabel 1. Keaslian penelitian

No Peneliti Metode Judul Hasil


1 Lilian Sung, Multi Quality Of Life Penelitian mengenai
Rocheix, Sheila institusional studi During Active kualitas hidup dengan
Pitchard Naomi crossectional. Treatment For faktor prediktor yang
winick, Sarah Tempat Pediatric Acute diteliti adalah usia,
Alexander, Anne penelitian di Lymphoblastic jenis kelamin,
Klassen Kanada, tahun Leukemia. kelompok risiko dan
2011 penghasilan orang tua
pada berbagai fase
pengobatan aktif LLA.
Anak-anak yang
sedang dalam
pengobatan LLA
memiliki kualitas
hidup lebih rendah
dibandingkan anak
yang normal.
Pada anak LLA risiko
tinggi, pasien berjenis
kelamin perempuan
memiliki kualitas
hidup yang lebih
buruk.

2 Julie Hicks, Joy Studi Qualitatif Quality Of Life Menjelaskan efek


Bartholomew, deskriptif. Among penyakit leukemia dan
Peggy Tempat Childhood efek pengobatan
Wardsmith, Hutto penelitian di Leukemia terhadap kualitas hidup
CJ Children Mercy Patients melalui perspektif
Hospital, pasien.
University of
Missouri,
Kansas. Tahun
2003

3 Malini, Studi prospektif. Nutritional Terdapat penurunan


Khandiah, Tempat status and kualitas hidup dan
Hossein Zadeh, penelitian quality of life in penurunan status gizi
Sohanaki azad, Tehran, Iran patients with setelah fase induksi
Zarif Yeganeh Tahun 2013 acute leukemia kemoterapi
prior to and
after induction
chemotherapy
in three

9
hospitals in
Tehran, Iran : A
prospective
study

4 William Furlong, Studi Kasus Health Related Rata-rata skor kualitas


Charlene Rae, control. Quality Of Life hidup meningkat dari
David Feeny, Tempat Among fase induksi ke fase
Richard D penelitian Children with maintenance.
Gelber, Caroline Kanada. Acute Terdapat perbedaan
Laverdiere, Tahun 2012 Lymphoblastic skor kualitas hidup
Bruno Michon, Leukemia pada fase induksi
Louis Silverman antara kasus dan
control. Tidak terdapat
perbedaan skor
kualitas hidup pada
fase maintenance
antara kasus dan
control

5 Markus Landolt, Studi prospektif. Health related Penurunan skor


Margareth Tempat quality of life in kualitas hidup terjadi
Vollrath, Felix K penelitian children with pada 6 bulan setelah
Niggli, Hanspeter Norwegia. newly diagnosis dan skor
E Gnehm, Felix Tahun 2006 diagnosed kualitas hidup
Senhauser cancer a one membaik setelah 1
year follow up tahun.
study.

6 Mila Rahmawati, Studi Kualitatif. Leukemia and Menjelaskan efek


Yusti Probowati, Tempat its Impact on penyakit leukemia
Nanik penelitian the quality of terhadap kualitas hidup
Surabaya life of a child. melalui perspektif
Tahun 2011 pasien.

10

Anda mungkin juga menyukai