PENDAHULUAN
Leukemia adalah penyakit keganasan dari sumsum tulang dan darah ditandai
dengan proliferasi sel darah putih dengan manifestasi adanya sel abnormal dalam
darah tepi (Permono dan Ugrasena, 2006). Leukemia limfoblastik akut (LLA)
merupakan penyakit keganasan yang paling sering terjadi pada anak. Faktor
beberapa faktor yang diduga sebagai faktor predisposisi yaitu genetik, sinar
Akut merupakan jenis leukemia yang sering ditemukan yaitu sekitar 2-3 kasus
per 100.000 orang dengan angka kematian sebesar 4%. Di negara maju, leukemia
(WHO, 2010).
estimasi 200-320 kasus baru LLA tiap tahunnya (Chandrayani, 2009). Penelitian
yang paling banyak terjadi pada anak (30-40 %). Penelitian yang dilakukan di
Perbedaan tersebut misalnya terletak pada terapi dan efek samping terapi. Terapi
1
kanker pada anak biasanya menggunakan dosis yang lebih tinggi dan efek
samping terapi lebih berbahaya dibandingkan orang dewasa, karena tubuh anak masih
tumbuh dan berkembang (National Cancer Institute, 2010). Pada pasien leukemia
akut, terapi intervensi seperti kortikosteroid, kemoterapi dan radiasi serta adanya
peningkatan risiko terkena infeksi akan menurunkan kualitas hidup anak tersebut.
Anak yang terdiagnosis LLA saat memulai terapi akan berhadapan dengan prosedur
invasif, gangguan pada aktifitas sosial dan sekolah, keterbatasan aktifitas untuk
rekreasi, perubahan diet, nyeri, perpisahan dengan anggota keluarga lainnya, adaptasi
dengan suasana rumah sakit serta ketidakpastian kemajuan terapi (American Cancer
Society, 2015). Gejala-gejala efek kemoterapi seperti mual, muntah, kehilangan nafsu
makan, kelelahan akan memengaruhi aspek fisik dan psikososial pasien LLA.
Gangguan pada aspek fisik dan psikososial ini akan berpengaruh langsung terhadap
kualitas hidup pada pasien LLA penting dilakukan, bertujuan agar pasien LLA dan
orang tua pasien bisa mengantisipasi kejadian-kejadian yang terjadi selama terapi.
Pemeriksaan kualitas hidup juga dapat membantu orangtua dan petugas kesehatan
terkait memilih strategi untuk meningkatkan kualitas hidup penderita LLA (National
pasien LLA juga penting untuk diketahui. Beberapa determinan kualitas hidup pasien
2
LLA adalah umur, jenis kelamin, suku, status gizi, penghasilan orang tua dan
kelompok risiko.
Pasien LLA yang terdiagnosis pada usia sekolah menunjukkan fungsi psikososial
yang lebih buruk. Anak usia sekolah dikatakan memiliki kualitas hidup lebih buruk
dibandingkan anak yang lebih muda (Sung dkk., 2010) Penelitian mengenai kualitas
hidup pasien kanker usia sekolah mengungkapkan bahwa anak usia sekolah dengan
leukemia memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan anak usia
pra sekolah (Sidabutar dkk., 2012). Hal ini kemungkinan disebabkan anak usia
dengan pasien di usia kanak-kanak awal atau remaja. Dengan kemampuan kognitif
yang semakin berkembang namun belum matang anak usia sekolah harus
Gangguan mood banyak terjadi pada pasien LLA yang berjenis kelamin
perempuan sehingga dapat menurunkan kualitas hidup pasien LLA berjenis kelamin
perempuan berusia 7-18 tahun memiliki skor kualitas hidup lebih rendah
dibandingkan lelaki. Hal ini disebabkan karena citra yang buruk terhadap bentuk
tubuh yang ditimbulkan oleh penyakit kanker itu sendiri (Saad dkk., 2013). Penelitian
lain mengenai kualitas hidup pasien LLA anak dan remaja di Yunani juga
mendapatkan hal yang sama yaitu kualitas hidup pasien berjenis kelamin perempuan
3
rendahnya kualitas hidup pada pasien berjenis kelamin perempuan adalah akibat citra
diri yang buruk akan bentuk tubuh. Pasien berjenis kelamin perempuan biasanya
Pasien LLA yang memiliki orang tua berpenghasilan rendah lebih banyak
mengalami stress dibandingkan yang berasal dari orang tua berpenghasilan tinggi
(Litzelman dkk., 2013). Penghasilan rendah berkaitan dengan risiko depresi dan
Penelitian mengenai kualitas hidup pasien LLA anak pada fase aktif pengobatan
menunjukkan bahwa pasien LLA dalam kelompok risiko tinggi memiliki kualitas
hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan kelompok risiko standar. Skor kualitas
hidup anak dengan ALL dalam fase aktif umumnya lebih buruk daripada fase non
aktif. Perbedaan signifikan ditemukan pada aspek fisik, rasa sakit, dan kecemasan
prosedural. Hal ini disebabkan karena pengobatan kemoterapi lebih agresif diberikan
pada fase intensif atau karena penyakit itu sendiri (Sitaresmi dkk., 2008).
Beberapa penelitian menunjukkan luaran yang berbeda pada pasien LLA yang
pengobatan LLA pada suku yang berbeda adalah varian genetik yang berpengaruh
terhadap toleransi toksisitas obat kemoterapi dan kejadian relaps. Hal ini akan
berakibat terhadap kualitas hidup pasien LLA (Pui dkk., 2012). Selain itu faktor suku
dan kebudayaan akan memengaruhi waktu pertama kali diagnosis ditegakkan, akses
4
Status nutrisi merupakan faktor determinan penting dalam menentukan hasil
pengobatan. Pasien leukemia limfoblastik akut dengan gizi buruk dikatakan memiliki
risiko kematian tiga kali lebih besar dibandingkan bukan gizi buruk pada saat induksi
Studi mengenai kualitas hidup pasien LLA beserta faktor determinan yang
memengaruhi kualitas hidup pada fase aktif terapi khususnya pada fase induksi masih
sedikit. Fase induksi bertujuan membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam
darah dan sumsum tulang (Permono dan Ugrasena, 2006). Terapi induksi kemoterapi
memerlukan perawatan di rumah sakit dalam jangka waktu yang panjang. Perawatan
di rumah sakit memberikan efek buruk bagi anak maupun keluarga. Stresor yang
dihadapi anak saat rawat inap yang lama, lingkungan yang asing, kebiasaan yang
berbeda, nyeri karena proses perawatan, atau efek perawatan, perpisahan dengan
anggota keluarga serta teman sebaya akan memengaruhi kualitas hidup (Sidabutar
dkk., 2012). Penelitian yang membandingkan kualitas hidup pasien LLA pada 6
minggu terapi awal di rumah sakit dibandingkan terapi rawat jalan memperlihatkan
kualitas hidup pasien LLA pada 6 minggu terapi di rumah sakit lebih buruk
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah:
1. Apakah anak dengan LLA yang berjenis kelamin lelaki memiliki skor
2. Apakah anak dengan LLA usia prasekolah memiliki skor kualitas hidup
3. Apakah anak dengan LLA yang memiliki orang tua berpenghasilan tinggi
memiliki skor kualitas hidup lebih baik daripada orang tua berpenghasilan
memiliki skor kualitas hidup lebih baik daripada kelompok risiko tinggi
5. Apakah anak dengan LLA yang memiliki status gizi baik memiliki skor
kualitas hidup lebih baik daripada gizi kurang, gizi lebih, dan gizi buruk
6. Apakah anak dengan LLA yang merupakan suku Bali memiliki skor
kualitas hidup lebih baik daripada suku bukan Bali setelah kemoterapi fase
induksi?
6
7. Apakah anak dengan LLA yang memiliki orang tua berpendidikan tinggi
memiliki skor kualitas hidup lebih baik daripada orang tua berpendidikan
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui skor kualitas hidup anak
b. Tujuan Khusus
skor kualitas hidup lebih baik daripada anak berjenis kelamin perempuan
hidup lebih baik daripada usia sekolah setelah kemoterapi fase induksi.
tinggi memiliki skor kualitas hidup lebih baik daripada orang tua
memiliki skor kualitas hidup lebih baik daripada kelompok risiko tinggi
7
- Membuktikan anak dengan LLA yang memiliki status gizi baik memiliki
skor kualitas hidup lebih baik daripada gizi kurang, gizi lebih, dan gizi
- Membuktikan anak dengan LLA yang merupakan suku Bali memiliki skor
kualitas hidup lebih baik daripada suku bukan Bali setelah kemoterapi fase
induksi.
tinggi memiliki skor kualitas hidup lebih baik daripada orang tua
a. Manfaat teoritis
faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak dengan LLA setelah
tersebut selanjutnya.
b. Manfaat praktis
8
Tabel 1. Keaslian penelitian
9
hospitals in
Tehran, Iran : A
prospective
study
10