BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan kongenital atau bawaan adalah kelainan yang sudah ada sejak lahir dan dapat
disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik termasuk di dalamnya ialah kelainan
jantung. Data dari WHO tahun 2015 menunjukkan bahwa di seluruh dunia diperkirakan 3-6%
bayi lahir dengan kelainan kongenital. Insidensi yang terbanyak yaitu Penyakit Jantung Bawaan
(PJB). 1
PJB merupakan kelainan jantung yang sudah didapat sejak lahir dengan manifestasi klinis
bergantung dari berat ringan penyakit, mulai dari asimtomatis sampai dengan adanya gejala
gagal jantung pada neonatus. Insidens PJB berkisar 8-10 bayi per 1000 kelahiran hidup dan 30%
diantaranya memberikan gejala pada minggu pertama kehidupan. Angka kejadian PJB di
Indonesia cukup tinggi,yaitu 45.000 bayi Indonesia lahir dengan PJB tiap tahun. PJB asianotik
merupakan kelompok penyakit terbanyak yakni sekitar 75% dari semua PJB, sedangkan sisanya
merupakan kelompok PJB sianotik (25%).2,3
Pertumbuhan dan perkembangan pada anak merupakan suatu proses yang kontinu dan
berkelanjutan. Karena itu setiap anak harus melewati tahapan sebelumnya agar bisa berkembang
ke tahapan selanjutnya. Perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan sususan saraf
pusat dengan organ yang dipengaruhinya. Perkembangan anak sangat penting karena akan
mempengaruhi kehidupan anak di masa mendatang.4,5
Anak dengan PJB berpotensi untuk mengalami keterlambatan perkembangan akibat faktor
risiko biomedik, lingkungan psikososial atau sosial ekonomi. Faktor risiko tersebut secara
langsung atau tidak langsung dapat mengganggu perkembangan otak, sehingga mengganggu
perkembangan motorik, komunikasi, kognitif, emosi-sosial dan perilaku. Prevalensi dan
keparahan keterlambatan perkembangan meningkat dengan kompleksitas PJB dan dikaitkan
dengan beberapa sindrom genetik.6,7
Tumbuh kembang anak memerlukan pembinaan sejak dini, termasuk kesempatan untuk
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial. Tumbuh
kembang anak yang optimal dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya stimulasi. Stimulasi
merupakan hal yang penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang mendapatkan stimulasi
terarah, teratur dan dilakukan sejak lebih dini akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan
anak yang kurang atau terlambat mendapatkan stimulasi.8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
c) Bahasa
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara,
berbicara, berkomunikasi, mengikuti perintah dll. Bahasa merupakan segala bentuk
komunikasi, baik yang disampaikan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, gerak tubuh maupun
ekspresi wajah. Perkembangan bahasa meningkat sesuai dengan meningkatnya usia anak.
Perkembangan bahasa berhubungan dengan perkembangan kognitif seorang anak. Anak yang
intelektualnya belum berkembang dan masih sederhana akan memiliki kemampuan bahasa
yang sederhana pula. Bahasa juga merupakan hasil belajar dari lingkungan. Anak belajar
bahasa seperti halnya belajar hal lain, yaitu dengan meniru dan mengulang hasil yang
didapatkannya.
Perkembangan bahasa anak usia 0-28 hari diawali dengan adanya kemampuan bersuara
(menangis) dan bereaksi terhadap suara bel. Pada usia 1-4 bulan, perkembangan bahasa anak
ditandai dengan adanya kemampuan tersenyum dan bersuara, berceloteh, mengucapkan kata
“ooh/ahh”, mengucapkan huruf hidup, tertawa dan berteriak, mengoceh spontan, serta
bereaksi dengan mengoceh. Tahun pertama merupakan periode dimana anak mengucapkan
kata-kata yang belum dapat dimengerti seperti babbling atau cooing. Perkembangan bahasa
anak usia 8-12 bulan yaitu adanya kemampuan mengucapkan kata “papa” dan “mama yang
belum jelas, mengoceh, serta mengucapkan 1-2 kata.
Sementara itu, anak usia 1-2 tahun lebih berkembang ditandai dengan kemampuan anak
menyebutkan sepuluh perbendaharaan kata, meniru, mengenal, dan responsif terhadap orang
lain, mempu menunjukkan dua gambar, mengkombinasikan kata-kata dan mampu
menunjukkan lambaian anggota badan. Anak usia 18 bulan memiliki kosakata 5-20 kata, yang
kebanyakan adalah kata benda. Anak usia 24 bulan memiliki 150-300 kata dan dapat berespon
pada perintah.
Pada masa prasekolah anak mulai dapat menyebutkan hingga empat gambar, menyebutkan
satu hingga dua warna, menyebutkan kegunaan benda, menghitung, mengartikan dua kata,
mengerti empat kata depan, mengerti beberapa kata sifat dan jenis barang lainnya,
mengidentifikasi objek, orang dan aktivitas, menirukan kata, memahami larangan serta
merespons panggilan orang tua dan anggota keluarga dekat.
Anak usia 3 tahun memiliki 900-1000 kata, mengetahui bagian tubuh, dapat menyebutkan
nama, usia serta jenis kelaminnya. Sementara itu, anak usia 4 tahun mengerti tentang nama-
nama binatang, warna, dapat mengulang 4 digit angka, 4 suku kata, dan mengulang frase atau
bunyi. Anak usia 5 tahun bisa menggunakan kata-kata deskriptif, mengerti lawan kata, dapat
berhitung sampai 10, mengerti konsep waktu, dan dapat mengulang sepanjang 9 kata.
d) Personal sosial
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak, berpisah dengan ibu/pengasuh,
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Perkembangan sosial merupakan
pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat diartikan sebagai
proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral, tradisi, dan
meleburkan diri menjadi satu serta saling menjalin kerja sama dan komunikasi.
Perkembangan personal sosial anak usia 0-28 hari ditunjukkan dengan tanda-tanda tersenyum
dan mulai menatap mata seseorang untuk dikenali. Anak usia 1 bulan akan merespon dengan
senyum, tertawa atau memekik gembira. Ia juga akan bereaksi terhadap berbagai suara dengan
berbagai cara, seperti refleks terkejut, menangis, atau terdiam. Sementara itu, anak usia 1-4
bulan mampu mengamati tangannya, tersenyum spontan, membalas senyuman, mengenali
ibunya dengan penglihatan, penciuman dan kontak mata, waktu tidur dalam sehari lebih
sedikit daripada waktu terjaga, membentuk siklus tidur bangun, menangis apabila ada sesuatu
yang aneh, membedakan wajah-wajah yang dikenal dan tidak dikenal, senang menatap wajah-
wajah yang dikenal, serta terdiam apabila ada orang asing.
Bayi usia 2-3 bulan menyukai kebersamaan. Pada usia ini, bayi akan selalu mengawasi ibunya
atau menangis jika ditinggalkan sendiri terlalu lama. Pada usia 4-8 bulan, anak mulai merasa
takut dan terganggu dengan kedatangan orang yang belum dikenal, mulai bermain dengan
mainan, mudah frustasi, serta memukul-mukul lengan dan kaki jika sedang kesal. Anak usia
4-5 bulan akan menoleh ke suara-suara yang menarik dan minta gendong oleh siapa saja yang
mendekatinya. Anak usia 6-7 bulan akan tersenyum atau bahkan tertawa ketika bermain
dengan orang dewasa yang sudah akrab. Namun, ia akan menjaga jarak, malu, atau ketakutan
pada orang asing yang ditemuinya. Anak usia 8-12 bulan mulai dapat bertepuk tangan,
menyatakan keinginan, sudah mulai minum dengan cangkir, menirukan kegiatan orang,
bermain bola atau permainan lainnya dengan orang lain.
Anak usia 1 tahun dapat melambaikan tangannya dan berkata “da-da” ketika ibunya pergi dan
senang jika menerima ciuman. Anak usia 1-2 tahun menunjukkan adanya kemampuan
membantu kegiatan di rumah, menyuapi boneka, mampu menggosok gigi, dan mencoba
memakai baju sendiri. Sementara, di usia prasekolah anak mampu bermain dengan permainan
sederhana, membuat permintaan sederhanan dengan gaya tubuh, menangis jika dimarahi,
cemas ketika berpisah dan mampu mengenali anggota keluarga.
Kedua, kecemasan dan kekhawatiran pada anak yang sakit sering menyebabkan orang tua
overprotektif. Sejumlah ibu-ibu mengaku menjaga anak-anak mereka jauh dari orang lain
(misalnya, karena takut infeksi), sehingga membatasi interaksi sosial dan membatasi gerakan
anak mereka. Hal ini mempengaruhi perkembangan bicara dan keterampilan sosialisasi
khususnya, konsisten dengan penelitian bahwa anak-anak dengan PJB dilakukan secara
signifikan kurang baik dari rekan-rekan sehat mereka pada skala pribadi / sosial dan
berbicara dan mendengar. Sejumlah penelitian telah menyelidiki toleransi latihan pada anak
dengan berbagai bentuk penyakit jantung bawaan. Tergantung pada keparahan malformasi,
keberhasilan prosedur korektif dan keberadaan gejala-gejala sisa, menyebabkan kinerja fisik
menjadi terbatas. Bahkan anak-anak dengan lesi yang tidak dikoreksi / masih ringan, atau
mereka yang tidak ada gejala sisa setelah operasi sebelumnya, dapat terlihat pengurangan
dalam kinerja fisik mereka. Dampak dari kelainan jantung bawaan pada perkembangan anak,
tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta waktu dan keberhasilan terapi. Untuk
beberapa malformasi yang komplek, solusi yang tersedia hanya paliatif. Lesi seperti
Tetralogy of Fallot, Defek Septum Atria, dan Transposisi Arteri Besar dapat diperbaiki pada
masa bayi dengan waktu jangka panjang. Setelah koreksi berhasil baik pada masa bayi,
kebanyakan anak yang lahir dengan malformasi kongenital sianotik dapat melakukan
kegiatan fisik yang normal. Sementara pembatasan aktivitas fisik dapat direkomendasikan
pada anak dengan temuan klinis yang signifikan pasca-operasi, sementara kelompok anak
tanpa gejala klinik setelah operasi tidak memerlukan pembatasan dan harus melakukan
aktifitas fisik normal.
Hal ini tidak menjelaskan defisit perkembangan motorik yang diamati pada anak-anak
dengan PJB. Orang tua dan pengasuh lainnya memainkan peran penting dalam
perkembangan anak. Status kesehatan anak merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
gaya asuh orang tua. Sikap orang tua secara signifikan dapat mempengaruhi seluruh
perkembangan anak. Orang tua dari anak-anak dengan PJB dapat mengubah dan
membesarkan mereka untuk mengasimilasi kebutuhan anak. Sebuah penelitian baru
mengungkapkan bahwa ibu yang anak-anaknya dengan PJB dilaporkan mempunyai tingkat
kewaspadaan yang tinggi daripada ibu dari anak yang sehat. Bahkan ada penelitian yang
melaporkan peningkatan kadar stress pada orang tua dengan anak yang terkena PJB. Stres
orang tua cenderung lebih tinggi dengan bertambahnya usia anak, hal ini disebabkan dengan
bertambahnya usia membuat orang tua sulit untuk menentukan batas-batas dan menjaga
kontrol terhadap anak mereka.
Ketiga, efek dari sakit yang berkepanjangan dan rawat inap yang mungkin penting. Beberapa
anak dalam kelompok jantung telah menghabiskan jangka waktu yang lama di rumah sakit,
mengakibatkan inkonsistensi dari lingkungan fisik dan jumlah orang yang terlibat dengan
anak, yang selanjutnya bisa dikompromikan perkembangan mereka .
Keempat, status gizi anak yang baik diperlukan untuk mempertahankan derajat kebugaran
dan kesehatan, serta membantu pertumbuhan bagi anak. Status gizi merupakan ukuran
keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi, yang dapat diukur dengan mengukur berat badan dan
panjang badan.
Kelima, hipoksia seluler. Beberapa bukti menunjukkan bahwa konsumsi oksigen PJB
sianotik lebih rendah daripada PJB non sianotik. Hipoksia menyebabkan kegagalan
pertumbuhan diduga karena efek langsung pada pertumbuhan dan multiplikasi sel. Hipoksia
diduga menyebabkan berkurangnya pembelahan sel akibat berkurangnya sintesa protein.
Mekanisme yang menyebabkan berkurangnya sel lemak pada penderita diduga akibat
hipoksia kronis pada saat fase pertumbuhan cepat (awal kehidupan).
Anak-anak dengan PJB juga menunjukkan kekuatan otot berkurang secara signifikan dan
gangguan keseimbangan. Kekuatan otot dan keseimbangan merupakan komponen penting
dari keterampilan motorik yang beberapa tingkat tertentu kekuatan otot dan keseimbangan
diperlukan untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Di sisi lain, kemampuan untuk melakukan
tugas motorik beberapa keterampilan digunakan sebagai indikator aspek spesifik kekuatan
dan keseimbangan.
Selain itu, faktor- faktor lain yang mempengaruhi keterlambatan perkembangan anak adalah:
Pekerjaan orang tua
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang
tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder.
Pendidikan ibu
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang
anak. Karena pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari
luar terutama tentang cara pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan
anaknya, pendidikannya, dan sebagainya.
d. Lakukan stimulasi dengan cara bermain, bernyanyi, dan melakukan hal menyenangkan lainnya
dengan tanpa paksaan dan hukuman
Orangtua menyediakan stimulasi melalui 2 cara yaitu melalui pengaturan lingkungan yang
merangsang kegiatan sensorimotor, atau dengan langsung berinteraksi dengan bayinya.
Stimulasi penglihatan
Rangsang visual sebaiknya terdiri dari warna yang mencolok, kontras gelap dan terang (garis-
garis, lingkaran-lingkaran sepusat, bentuk geometrik), obyek yang bergerak dan permukaan di
sekitarnya. Wajah manusia adalah obyek yang paling disukai untuk menarik perhatian,
bentuknya, gerakannya dan suaranya. Tatapan wajah yang sangat dekat dan bersuara
memungkinkan stimulasi visual, auditori dan taktil secara bermakna. Perubahan posisi yang
sering (dari telentang ke tengkurap, dari tempat tidur ke gendongan, dari kursi ke ayunan)
memungkinkan bayi mendapatkan berbagai stimulasi penglihatan dan pemandangan yang
berbeda.
Stimulasi pendengaran
Untuk merangsang pendengaran: bersuara (menirukan suara bayi, berbicara, bernyanyi)
adalah sangat penting. Banyaknya dan tipe bahasa yang digunakan di rumah selama periode
bayi merupakan faktor penting dalam perkembangan kecerdasan anak. Pemaparan terhadap
berbagai musik, membacakan dongeng untuk bayi akan membantu rangsang pendengaran,
tetapi jangan terlalu ramai dan mengganggu. Bayi yang dihujani dengan berbagai suara (suara
TV, radio, teriakan, kegaduhan yang konstan) kelak sulit untuk membedakan dengan
menggunakan pendengaran dan perhatian.
Stimulasi taktil (perabaan, sentuhan)
Rangsang raba (taktil) adalah rangsang sensori yang paling penting untuk perkembangan yang
sehat. Sensasi sentuhan adalah yang paling berkembang pada saat lahir, dan telah berfungsi
sejak sebelum lahir, jauh sebelum fungsi sensasi lainnya berkembang. Memegang, menimang,
mengurut, menepuk, menggoncang dan gerakan adalah sangat penting, termasuk memijat dan
memandikan. Mainan yang mempunyai permukaan yang bervariasi (lembut, licin, fleksibel
dan kaku) juga memungkinkan pengalaman perabaan yang beragam.
Stimulasi pengecapan dan pembauan
Variasi rasa dan tekstur makanan memungkinkan rangsang pengecapan dan pembauan.
Koordinasi visual dan gerak
Koordinasi mata dan tangan dapat diperkuat dengan mainan, penempatan mainan di luar
jangkauan anak yang masih memungkinkan bayi menggeser tubuhnya untuk meraihnya,
menyediakan obyek yang dapat dipukulkan, ditumpahkan dan dimasukkan kembali (dumped
and filled).
e. Lakukan stimulasi secara bertahap dan berkelanjutan sesuai dengan usia anak
f. Gunakan alat bantu atau permainan yang aman dan sederhana yang ada di sekitar anak
g. Berikan kesempatan yang sama pada anak laki-laki dan perempuan
h. Berikan selalu anak pujian atas keberhasilan anak
BAB III
KESIMPULAN
Pertumbuhan dan perkembangan pada anak merupakan suatu proses yang kontinu dan
berkelanjutan. Perkembangan anak sangat penting karena akan mempengaruhi kehidupan anak di
masa mendatang. Anak dengan PJB berpotensi untuk mengalami keterlambatan perkembangan
motorik, komunikasi, kognitif, emosi-sosial dan perilaku.
Anak-anak dengan penyakit jantung sering kemampuan fisiknya kurang mampu untuk
berinteraksi dengan lingkungan mereka, sehingga mereka membatasi aktivitasnya. Kecemasan
dan kekhawatiran pada anak yang sakit sering menyebabkan orang tua overprotektif dan efek
dari sakit yang berkepanjangan dan rawat inap yang mungkin penting. Status gizi anak yang baik
diperlukan untuk mempertahankan derajat kebugaran dan kesehatan serta membantu
pertumbuhan bagi anak. Keadaan hipoksia dan kesulitan bernapas yang menyebabkan persoalan
makan pada anak. Pendapatan keluarga yang memadai dan pendidikan orang tua terutama
tentang cara pengasuhan anak yang baik merupakan salah satu faktor yang penting dalam
menunjang tumbuh kembang anak.
Pada bayi, penilaian perkembangan untuk mengidentifikasi permasalahan sejak dini
dengan harapan permasalahan itu bisa ditangani secepat mungkin. Kemudian pada masa kanak-
kanak, penilaian perkembangan dapat membantu menggambarkan kemampuan akademik dan
permasalahan sosial, dan diharapkan masih bisa diperbaiki. Stimulasi pada anak dapat dilakukan
oleh orang tua, pengasuh, keluarga atau orang-orang yang berada di sekitar anak. Stimulasi yang
diberikan dapat berupa verbal, auditori, visual, taktil, dan lain-lain. Kasih sayang yang diberikan
oleh orang tua menjadi hal penting pada awal tahap perkembangan. Stimulasi yang diberikan
akan memberikan dampak optimal apabila diberikan pada masa peka dan disesuaikan dalam
segala aspek tumbuh kembang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mari MA, Cascudo MM, Alchieri JC. Congenital Heart Disease and Impacts on Child
Development. Braz J Cardiovasc Surg 2016; 31(1): 31-37.
2. Hoffman IJ, Kaplan S. The Incidence of Congenital Heart Disease. American Collage of
Cardiology 2002:39(12):1890-900.
3. Van der Linde D, Konings EEM, Slager MA et al. Birth Prevalence of Congenital Heart
Disease Worldwide. Journal of the American College of Cardiology 2011; 58(21): 2241–
2247.
4. Marino BS, Lipkin PH, Newburger JW et al. Neurodevelopmental Outcomes in Children
With Congenital Heart Disease: Evaluation and Management A Scientific Statement From
the American Heart Association. Circulation 2012;126:1143-1172.
5. Rollins CK, Newburger JW. Neurodevelopemental Outcomes in Congenital Heart Disease.
Circulation 2014; 130: 124-126.
6. Park, Myung K. Pediatric Cardiology for Practitioner. 5th edition. 2008. Elsevier Mosby’s.
Page 206-211.
7. Djer MM, Madiyono B. Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Sari Pediatri. 2000; 2(3):
155-162.
8. Soedjatmiko. Pentingnya Stimulasi Dini untuk Merangsang Perkembangan Bayi dan Balita
Terutama pada Bayi Risiko Tinggi. Sari Pediatri 2006; 8(3) : 164-173
9. Donofrio MT, Massaro AM. Impact of Congenital Heart Disease on Brain Development
and Neurodevelopemental Outcome. International Journal of Pediatrics 2010; 1-13
10. Weinberg S, Kern J, Weiss K, Ross G. Developemental Screening of Children Diagnosed
with Congenital Heart Defect. Clinical Pediatric 2001; 40: 497-501
11. Matos SM., Sarmento S., Moreira, S., Pereira MM., Quintas J., Peixoto B., Areias, MEG.
Impact of Fetal Development on Neurocognitive Performance of Adolescents with Cyanotic
and Acyanotic Congenital Heart Disease. Congenital Heart Disease 2014; 9(5): 373–381
12. Holm I, Frederiksen PM, fosdahl MA. Impaired Motor Competence in School-aged
Children With Complex Congenital Heart Disease. Arch Pediatr Adolesc Med 2007; 161
(10); 945-950
13. Kourkoutas E, Georgiadi M, Plexousakis S. Quality of Life of Children with Chronic
Illnesses : A Review of the Literature. Procedia Social and Behavioral Sciences 2010; 2:
4763-4767
14. Utens EM, Verhults FC, Duivenvoorden HJ. Prediction of Behavioural and Emotional
Problems in Children and Adolescent with Operated Congenital Heart Disease. European
Heart Journal 1998; 19: 801-807
15. Cohen M, Mansoor D, Langut H, Lorber A. Quality of Life, Depressed Mood, and Self
Esteem in Adolescent with Heart Disease. Psychosomatic Medicine 2007; 69: 313-318
16. McMurray R, Kendall L, Parsons M, Quirk J. A Life Less Ordinary : Growing Up and
Coping with Congenital Heart Disease. Coronary Health Care 2001; 5(1): 51-57
17. Laane KM, Meberg A, Otterstad JE, Froland G. Quality of Life in Children with Congenital
Heart Defects. Acta Paediatr 1997; 86: 975-980
18. Uzark K, Jones K, Slusher J, Limbers CA. Quality of Life in Children with Heart Disease as
Perceived by Children and Parents. Pediatrics 2008; 121(5): 1060-1066
19. Lantin-Hermoso MR, Berger S, Bhatt AB, Richerson JE. The Care of Children With
Congenital Heart Disease in Their Primary Medical Home. Pediatrics Oct 2017;140(5):
2607-2677
20. Mheen MV, Beynum IM, Dulfer K, Ende J. The CHIP-Family Study to Improve the
Psychosocial Wellbeing of Young Children with Congenital Heart Disease and Their
Families: Design of A Randomized Controlled Trial. BMC Pediatrics 2018; 18: 230-239
21. Longmuir PE, Brothers JA, Ferranti SD, Hayman LL. Promotion of Physical Activity for
Children and Adults with Congenital Heart Disease. Circulation 2013; 127: 2147-2159
22. Dulfer K, Helbing WA, Utens EMWJ. The Influence of Exercise Training on Quality of Life
and Psychosocial Functioning in Children with Congenital Heart Disease : A Review of
Intervention Studies.Sports 2017; 5: 13
23. Dulfer K, Helbing WA, Duppen N. Associations between Exercise Capacity, Physical
Activity, and Psychosocial Functioning in Children with Congenital Heart Disease : A
Systemic Review. European Journal of Preventive Cardiology 2013; 21(10): 1200-1215
24. Carey, L. K., Nicholson, B. C., & Fox, R. A. Maternal Factors Related to Parenting Young
Children with Congenital Heart Disease. Journal of Pediatric Nursing 2002; 17(3): 174–183