Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ALIRAN QODARIYAH

DOSEN PEMBIMBING : PIPIT AFIFAH,M.E

DISUSUN OLEH
NAMA : ANNISA NUR FADILAH
NIM : 0200271800024

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DARUSSALAM


LAMPUNG TIMUR
T/A.2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamuallaikum. Wr. Wb.


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
Makalah ” QODARIYAH”
Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi dan pembelajaran
kepada kita dan bisa berguna,Kesempurnaan hanyalah milik Allah swt. kami
menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan Makalah ini.
Wassalamuallaikum. Wr. Wb.

Braja caka,30 september 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUl......................................................................................1

KATA PENGANTAR .................................................................................2

DAFTAR ISI.................................................................................................3

BAB I PENDAHULAN................................................................................4

A.LATAR BELAKANG................................................................................4

B.RUMUS MASALAH..................................................................................5

C.TUJUAN ....................................................................................................5

B II PEMBAHASAN....................................................................................6

a.Pengertian aliran alqodariyah......................................................................6


b.Sejarah munculnya qodariyah......................................................................6
c.Ciri ciri penganut qodariyah........................................................................8
d.Ajaran ajaran qodariyah...............................................................................9

BAB III PENUTUP.....................................................................................21


A.KESIMPULAN........................................................................................21
B.SARAN....................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Aliran-aliran (Firqoh) muncul setelah Rasulullah SAW wafat, pada
zaman Nabi Muhammad SAW umat Islam dapat kompak dalam lapangan agama,
termasuk di bidang aqidah. Kalau ada hal-hal yang tidak jelas atau hal-hal yang
diperselisihkan di antara para sahabat, mereka mengembalikan persoalannya kepada
nabi. Maka penjelasan beliau itulah yang kemudian menjadi pegangan dan
ditaatinya.
Namun setelah Rasulullah wafat mulailah bermunculah aliran-aliran
(firqoh) ilmu kalam, terutama pada masa pemerintahan Kholifah Usman bin affan.
Syi’ah merupakan firqoh pertama yang kemudian disusul oleh firqoh-firqoh lainnya,
salah satunya adalah firqoh Qadariyah.
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran
Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini
dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di
Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang
cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-
Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada
masalah keimanan.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang
Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat
dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga
teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu
kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas
ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang
keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan
antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah

4
teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring
dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat
mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu
demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang
berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih
sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para
rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi
ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan
kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu
kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij,
Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Qadariyah. Dalam
makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran
Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan
ajaran-ajarannya secara umum. .

B.Rumusan Masalah
               Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka kami perlu merumuskan
masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana Awal kemunculan aliran Qadariyah?
b. Siapa tokoh-tokoh Aliran Qadariyah?
c. Bagaimana ajaran-ajaran aliran Qadariyah ?

C.Tujuan
a. Kita dapat mengetahui sejarah munculnya aliran Qadariyah
b. Memahami tokoh-tokoh faham qadariyah
c. Memahami ajaran-ajaran aliran Qadariyah

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN ALIRAN QADARIYAH


Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu
qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah
adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi
oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi
segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan
manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan
bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia
terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah,
orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa
manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam
melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua
perbuatan, yakni baik dan buruk.

B. SEJARAH MUNCULNYA QADARIYAH


Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti
dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada
sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70
H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh
orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan
kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat
Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen
lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan
ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M

6
Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa Qadariyah mula-mula
ditimbulkan pertama kali sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh seorang bernama
Ma’bad al-Juhani dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul
Malik bin Marwan (685-705 M). Menurut Ibn Nabatah, Ma’bad al-Juhani dan
temannya Ghailan al-Dimasyqi mengambil faham ini dari seorang Kristen yang
masuk Islam di Irak. Ma’ad al-Juhni adalah seorang tabi’in, pernah belajar kepada
Washil bin Atho’, pendiri Mu’tazilah. Dia dihukum mati oleh al-Hajaj, Gubernur
Basrah, karena ajaran-ajarannya. Dan menurut al-Zahabi, Ma’ad adalah seorang
tabi’in yang baik, tetapi ia memasuki lapangan politik dan memihak Abd al-Rahman
ibn al-Asy’as, gubernur Sajistan, dalam menentang kekuasaan Bani Umayyah.
Dalam pertempuran dengan al-Hajjaj, Ma’ad mati terbunuh dalam tahun 80 H.
Sedangkan Ghailan al-Dimasyqi adalah penduduk kota Damaskus.
Ayahnya seorang yang pernah bekerja pada khalifah Utsman bin Affan. Ia datang ke
Damaskus pada masa pemerintahan khalifah Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H).
Ghailan juga dihukum mati karena faham-fahamnya. Ghailan sendiri menyiarkan
faham Qadariyahnya di Damaskus, tetapi mendapat tantangan dari khalifah Umar
ibn Abd al-Aziz. Menurut Ghailan, manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya,
manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan
kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Dalam faham ini
manusia merdeka dalam tingkah lakunya.
Di sini tak terdapat faham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu, dan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya
hanya bertindak menurut nasibnya yang telah ditentukan semenjak azal. Selain
penganjur faham Qadariyah, Ghailan juga merupakan pemuka Murji’ah dari
golongan al-Salihiah. Tokoh-tokoh faham Qadariyah antara lain : Abi Syamr, Ibnu
Syahib, Galiani al-Damasqi, dan Saleh Qubbah
Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut
faham Qadaiyah, manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal
dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan.

7
Dalam istilah inggrisnya faham ini dikenal dengan nama free will dan
free act. Mereka, kaum Qadariyah mengemukakan dalil-dalil akal dan dalil-dalil
naqal (Al-Qur’an dan Hadits) untuk memperkuat pendirian mereka. Mereka
memajukan dalil, kalau perbuatan manusia sekarang dijadikan oleh Tuhan, juga
kenapakah mereka diberi pahala kalau berbuat baik dan disiksa kalau berbuat
maksiat, padahal yang membuat atau menciptakan hal itu adalah Allah Ta’ala.
Dikemukakan pula dalil dari ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan sendiri oleh kaum
Qadariyah sesuai dengan madzhabnya, tanpa memperhatikan tafsir-tafsir dari Nabi
dan sahabat Nabi ahli tafsir. Misalnya mereka kemukakan ayat, yang artinya :
“Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan
barang yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (QS. Al-Kahfi : 29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung
pada orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang
menentukan, bukan Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan
ajaran dengan Mu’tazilah.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat
menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah
kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin
Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara
saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung
dalam Muktazilah.

C. CIRI-CIRI PENGANUT ALIRAN QADARIYAH


Di antara cirri-ciri paham Qadariyah adalah sebagai berikut.
1. Manusia berkuasa penuh untuk menentukan nasib dan perbuatannya, maka
perbuatan dan nasib manusia itu dilakukan dan terjadi atas kehendak dirinya
sendiri, tanpa ada campur tangan Allah SWT.
2. Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak
mempengaruhi iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi
keimanannya.
3. Orang yang sudah beriman tidak perlu tergesa-gesa menjalankan ibadah dan
amal-amal kebajikan

8
D. AJARAN-AJARAN QADARIYAH
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa
manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan
perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang
melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya
sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan
dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh
karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga
berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran
kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran
siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan
mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep
yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang
mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam
perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak
azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum
yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang
tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain,
kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak
mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga
manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang
seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan
perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-
ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu  

9
Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang
kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).

Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman
maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi :
29).  

Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud),
Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu
(pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?"
Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga


mereka merobah keadaan [Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama
mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri
mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)

Secara terperinci asas-asas ajaran Qadariyah adalah sebagai berikut :

a. Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.


b. Melampau di dalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap
mereka bebas berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak
mempunyai pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia terlepas dari takdir
(qadar). Mereka menganggap bahawa Allah tidak mempunyai pengetahuan
mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.
c. Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada
pada makhluknya. Kerana ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih).
Oleh itu mereka menafikan sifat-sifat Ma'ani dari Allah Taala.
d. Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk. Ini disebabkan
pengingkaran mereka terhadap sifat Allah.
e. Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah.
f. Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada
penyerupaan (tasybih).

10
g. Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah
(fana'), selepas ahli syurga mengecap nikmat dan ali neraka menerima azab
siksa.

a. REFLEKSI ALIRAN QADARIYAH DAN ALIRAN JABARIYAH (Sebuah


Perbandingan Tentang Musibah)
Dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam khususnya dalam
hal aliran-aliran yang ada di dalamnya, aliran Qadariyah dan aliran Jabariyah selalu
dikaitkan, karena aliran keduanya ini sangatlah berbeda pandangan, di satu sisi
Aliran Qadariyah beranggapan  bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi
oleh Allah artinya segala tingkah laku manusia tidak ada campur tangan Allah SWT
sama sekali, di lain pihak Aliran Jabariyah berbeda pandangan dan bertolak
belakang yaitu aliran Jabariyah beranggapan bahwa segala tingkah laku manusia
semuanya ditentukan oleh Allah, manusia sangat tidak berdaya.
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia
digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun
daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus
angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia
ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah,
berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh
untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai
paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga
sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam
tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman
masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad)
- dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia,
yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah
merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa
dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang.
Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa
kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham

11
Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan
itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada
paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua
peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham
Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan
dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia
melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan
sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung
jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham
Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti
berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya
sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup
bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup
selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah,
meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia,
namun mengajukan pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam
"mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam "marah" dalam
bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah membenarkan suatu
investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit kawasan yang
dilanda musibah

b. KEKELIRUAN QADARIYAH TERHADAP TAKDIR ALLAH


Iman kepada taqdir  merupakan keyakinan yang harus dipegang teguh
oleh setiap muslim. Orang yang beriman kepada taqdir, dengan cara yang benar,
berarti telah merealisasikan tauhid kepada-Nya dan berjalan di atas petunjuk  Rabb-
nya. Sebab, beriman kepada qadar termasuk mendapatkan petunjuk.
Allah Azza wa Jalla berfirman, "Dan orang-orang yang mendapat
petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada
mereka (balasan) ketakwaannya." [Muhammad: 17]Dia juga berfirman, "Tidak ada

12
suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, Dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk
kepada hatinya … ." [At-Taghaabun: 11]
‘Alqamah rahimahullahu berkata tentang ayat ini, “Yaitu, mengenai
orang yang tertimpa musibah, lalu dia tahu bahwa hal itu berasal dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun pasrah dan ridha.”  ( Zaadul Masiir VIII/283,
Ibnul Jauzi)
Kemudian orang yang beriman kepada tadir akan sadar bahwa semua
makhluk berada dalam kekuasaan-Nya, diatur dengan qadar (ketentuan)-Nya.
Semua mahluk tidak memiliki suatu kekuasaan pun, termasuk  terhadap dirinya,
terlebih terhadap selainnya, baik kemanfaatan maupun kemudharatan. Karena itu
kita harus yakin bahwa segala urusan itu  berada di tangan Allah. Karena Dialah
yang memberi kepada siapa yang dikehendaki  dan mencegah dari siapa yang
dikehendaki. Tidak ada yang dapat menolak ketentuan dan ketetapan-Nya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
Rasulullah ditanya oleh Malaikat Jibril tentang iman. Beliau menjawab bahwa salah
satu tanda iman adalah percaya pada taqdir baik dan buruk yang telah ditentukan
Allah Ta'ala. (Arbain An-Nawawi hadits ke 2, Imam Nawawi)  Pemahaman seperti
inilah yang dipegang teguh oleh para ulama salaf.
Imam Syahrastani dalam kitabnya, al-Milal wa al-Nihal hal.61,
menyebutkan bahwa keyakinan terhadap taqdir sudah menjadi ijmak para sahabat.
Orang-orang yang dicintai Rasulullah ini berkeyakinan bahwa qadar yang baik dan
buruk pada hakekatnya berasal dari Allah SWT.
Dari keterangan inilah kemudian para ulama menyimpulkan bahwa
pada dasarnya manusia hanyalah punya kemampuan berusaha, namun yang
menentukan berhasil atau tidaknya ada di tangan Allah SWT.  Sebab tidak ada satu
kekuasaanpun diluar kekuasaan-Nya.   

c. BANTAHAN TERHADAP KAUM QADARIYAH  


Meski ayat dan hadits tentang iman kepada taqdir sudah jelas, namun
masih ada sekelompok orang yang tidak mempercayainya. Terutama berkaitan
dengan taqdir buruk. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak mungkin memberi
taqdir buruk kepada hamba-Nya. Sebab jika itu dilakukan, berarti Allah telah

13
berbuat dhalim. Dan ini tidak mungkin dilakukan Allah. Kalau ada seseorang
tertimpa musibah berarti itu karena kesalahannya semata, bukan taqdir Allah.
Pendapat ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam wacana pemikiran
Islam. Kelompok yang berpendapat seperti itu adalah kaum Qadariyyah yang
muncul  pada akhir masa sahabat. Keyakinan seperti ini disebarkan oleh Ma'bad al-
Juhani, Gilan al-Damisqi dan Yunus al-Ashwa yang mengingkari terhadap
penyandaran baik dan buruk terhadap qadar. Mereka juga berpendapat bahwa segala
sesuatu mempunyai sebab, sebagaimana pemahaman para filosof Yunani .  Menurut
kelompok ini, Allah wajib mewujudkan yang baik (al-ashlah) untuk kemaslahatan
manusia. Bisa saja Allah bertindak zalim dan berdusta, tetapi mustahil akan berbuat
begitu. Sebab kalau Dia mentakdirkan atau membuat yang buruk bagi seseorang dan
menghukum orang tersebut, maka berarti hilanglah keadilan-Nya.  Intinya, menurut
kaum Qadariyyah,  Allah hanya membuat yang baik dan  tidak yang buruk. Mereka
berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan kecuali yang baik, karena Allah
berkewajiban memelihara kepentingan hamba-Nya.
Pendapat sesat ini telah dijawab oleh para ulama. Yang benar, segala
yang terjadi di jagad raya ini adalah taqdir dan ciptaan-Nya. Allah berbuat sesuai
kehendak-Nya. Dan karena yang diperbuat adalah milik-Nya sendiri, maka tidak
ada alasan untuk mengatakan Allah berlaku aniaya. Karena tidak ada milik atau hak
orang lain yang dirampas atau ditindas-Nya. Mengenai paham Qadariyyah ini
Rasulullah bersabda, 
ُ ‫وس َه ِذ ِه األُ َّم ِة إِنْ َم ِر‬
ْ َ‫ضوا فَالَ تَ ُعودُو ُه ْم َوإِنْ َماتُوا فَالَ ت‬
 ‫ش َهدُو ُه ْم‬ ُ ‫ا ْلقَ َد ِريَّةُ َم ُج‬ 

  "Al-Qadariyyah adalah Majusinya umat (Islam) ini. Jika mereka sakit jangan
dijenguk. Jika mereka mati jangan disaksikan" (HR. Sunan Abu Daud, Sunan
Baihaqi)  

Dalam kitab Al Ibana al-Kubra Li Ibni Batha.  disebutkan bahwa Imam Al- Au'zai
mengatakan

 "Qadariyyah adalah musuh Allah di dunia"

Yang dimaksud musuh Allah di sini adalah musuh mengenai taqdir


Allah, karena taqdir Allah terdiri dari kebaikan dan keburukan. Demikian pula
perbuatan manusia terdiri dari dua macam yaitu baik dan buruk.

14
Dalam kitab As-Sunnah,  Ibn Abi 'Ashim meriwayatkan dari Sa'ad bin
Abd al-Jabbar, katanya: "Saya mendengar Imam Malik bin Anas berkata: Pendapat
saya tentang kelompok Qadariyyah adalah, mereka itu disuruh bertaubat. Apabila
tidak mau, mereka harus dihukum mati".

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman seperti


kelompok Qadariyyah itu sesat dan menyesatkan. Karena itu kaum muslimin
hendaklah berhati-hati terhadap orang atau kelompok yang memiliki pendapat
seperti mereka. Allah yang Maha Suci,  tidak mungkin kekuasaan-Nya ditembus
oleh sesuatu tanpa kehendak-Nya. Memang seorang hamba memiliki keinginan dan
kehendak, akan tetapi semua itu tetap mengikut kehendak dan keinginan Allah.
Manusia memiliki kebebasan untuk berbuat, namun kebebasan yang mengikuti
kehendak dan keinginan yang memberi kebebasan yaitu Allah.  

      
SEJARAH SINGKAT PERPECAHAN DALAM ISLAM
Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan aliran
Qadariyah, karna aliran tersebut dapat dikatakan dari perpecahan itu sendiri, berikut
ini adalah tokoh-tokoh bid’ah yang termasuk didalamnya tokoh pencetus aliran
Qadariyah :
a. Pelopor perpecahan : Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba' Al-Yahudi, seorang
Yahudi yang mengaku-ngaku beragama Islam. berikut pengikut dan konco-
konconya. Ide kotornya pertama kali muncul sekitar tahun 34H. Ibnu Sauda' ini
memadukan antara bid'ah Khawarij dan Syi'ah.
b. Setelah itu Ma'bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80H) meluncurkan
pemikiran bid'ah seputar masalah takdir sekitar tahun 64H. Ia menggugat ilmu
Allah dan takdirNya. Ia mempromosikan pemikiran sesat itu terang-terangan
sehingga banyak meninggalkan ekses. Disamping orang-orang yang
mengikutinya juga banyak. Namun bid'ahnya ini mendapat penentangan yang
sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya para sahabat yang masih
hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma.
c. Kemudian muncullah Ghailan Ad-Dimasyqi yang mengibarkan pengaruh cukup
besar seputar masalah-masalah takdir sekitar tahun 98H. Dan juga dalam
masalah ta'wil, ta'thil (mengingkari sebagian siaft-sifat Allah) dan masalah irja

15
[2] Para salaf pun menentang pemikirannya itu. Termasuk diantara yang
menentangnya adalah Khalifah Umar bin Abdil Aziz. Beliau menegakkan
hujjah atasnya, sehingga Ghailan menghentikan celotehannya sampai Umar bin
Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan kembali meneruskan aksinya. Ini
merupakan ciri yang sangat dominan bagi ahli bid'ah, yaitu mereka tidak akan
bertaubat dari bid'ah. Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap
kembali menentang dan kembali kepada bid'ahnya. Ghailan ini akhirnya
dibunuh setelah dimintai taubat namun menolak bertaubat pada tahun 105H.
d. Setelah itu muncullah Al-Ja'd bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H). Ia
mengembangkan pendapat pendapat sesat itu. Dan meracik antara bid'ah
Qadariyah dengan bid'ah Mu'aththilah [3] dan ahli ta'wil. Kemudian ia
menyebarkan pemikiran rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum muslimin.
Sehingga para ulama Salaf memberi peringatan kepadanya dan menghimbaunya
untuk segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama membantah
pendapat-pendapat Al-Ja'd ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap
bersikeras. Maka semakin banyak kaum muslimin yang terkena racun
pemikirannya, para ulama memutuskan hukuman mati atasnya demi
tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun dibunuh oleh Khalid bin Abullah Al-
Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja'd ini sangat mashur, Khalid berpidato seusai
menunaikan shalat 'Idul Adha : "Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga
Allah menerima sembelihan kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja'd
bin Dirham, karena telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala
tidak menjadikan Ibrahim sebagai khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi
Musa berbicara ...... dan seterusnya". Kemudian beliau turun dari mimbar dam
menyembelihnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 124H.
e. Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga
kemudian marak kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang
mengoleksi bid'ah dan kesesatan generasi pendahulunya serta menambah bid'ah
baru. Akibat ulahnya muncullah bid'ah Jahmiyah serta kesesatan dan
penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini
banyak mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja'd, bahkan ia menambah
lagi dengan bid'ah ta'thil (penolakan sifat-sifat Allah), bid'ah ta'wil, bid'ah irja',
bid'ah Jabariyah [4], bid'ah Kalam [5], tidak meyakini Allah bersemayam di

16
atas Arsy, menolak sifat Al-'Uluw (yang maha tinggi) bagi Allah, menolak
ru'yah
[6]. Al-Jahm dihukum mati pada tahun 128H
f. Dalam waktu yang bersamaan, munculah pula Washil bin Atha' dan Amr bin
Ubeid. Mereka berdua meletakkan dasar-dasar pemikiran Mu'tazilah Qadariyah.
Setelah itu terbukalah pintu perpecahan. Kelompok Rafidhah mulai berani
menyatakan terang-terangan aqidah dan keyakinannya. Kemudian sekte Syi'ah
ini terpecah belah menjadi beberapa golongan. Lalu muncullah kaum
Musyabbihah
g. dari kalangan Syi'ah melalui tokoh-tokohnya seperti Daud Al-Jawaribi, Hisyam
bin Al-Hakam, Hisyam bin Al-Jawaliqi dan lain-lain. Mereka itulah peletak
dasar ajaran Musyabbihah dan pelopornya. Mereka juga termasuk pengikut
ajaran Syi'ah.
h. Kemudian muncullah Al-Mutakallimun (Ahli Kalam) seperti Al-Kullabiyah,
Al-Asy'ariyah dan Al-Maturidiyah. Lalu muncul pula aliran-aliran sufi dan ahli-
ahli filsafat. dengan demikian, pintu perpecahan terbuka luas bagi setiap orang
sesat, ahli bid'ah dan pengiku hawa nafsu. Sehingga tertancaplah dasar-dasar
perpecahan di antara kaum muslimin sekarang ini.
Sampai hari ini, ekses-ekses perpecahan masih terlihat di antara kaum
muslimin. Bahkan terus bertambah dengan muculnya bid'ah-bid'ah dan
penyimpangan-penyimpangan baru di samping perpecahan yang sudah ada, sejalan
dengan hawa nafsu manusia yang sudah begitu akrab dengan bid'ah kesesatan.
Sebagian orang mengira bahwa kelompok-kelompok bid'ah ini sudah sirna
dan sudah menjadi koleksi sejarah masa lalu. Entah karena kejahilan mereka atau
karena pura-pura tidak tahu! Asumsi seperti itu jelas keliru. Setiap golongan sesat
yang besar dan berbahaya di masa lalu masih tetap ada sampai sekarang di tengah-
tengah kaum muslimin. Bahkan semakin banyak, semakin berbahaya dan semakin
menyimpang. Rafidhah dengan sekte-sektenya yang batil serta golongan Syi'ah
lainnya, Khawarij, Qadariyah, Mu'tazilah, Jahmiyah, Ahli Kalam, Kaum Sufi dan
Ahli Filsafat, masih berusaha menyesatkan umat. Bahkan mereka mulai berani
menampakkan taring, mempromosikan aqidah mereka dengan cara yang lebih keji
dari pada sebelumnya. Karena pada hari ini mereka mengklaim ajaran mereka
sebagai ilmu pengetahun, wawasan dan pemikiran. Disamping minimnya pemaham

17
kaum muslimin tentang agama mereka dan kejahilan mereka tentang aqidah yang
benar. Cukuplah Allah sebagai pelindung kita, dan Dia adalah sebaik-baik
pelindung
      
PERSEPSI KELIRU TENTANG PERPECAHAN DALAM ISLAM
Aliran Qadariyah termasuk yang cukup cepat berkembang dan
mendapat dukungan cukup luas di kalangan masyarakat, sebelum akhirnya
pemimpinnya, Ma’bad dan beberapa tokohnya, berhasil ditangkap dan dihukum
mati oleh penguasa Damsyiq pada tahun 80 H/699 M, karena menyebarkan ajaran
sesat. Sejak terbunuhnya pentolan Qadariyah tersebut, aliran Qadariyah mulai
pudar, sehingga akhirnya sirna dimakan zaman dan kini tinggal sebuah nama yang
tertulis di dalam buku. Namun, sebagai pahamnya masih dianut oleh sebagian
orang.
Banyak sekali faidah yang dapat dipetik dari pembicaraan seputar
sejarah perpecahan umat. Berbagai peristiwa yang terjadi di awal Islam tersebut
sarat dengan ibrah (pelajaran). Tentunya kami tidak mampu menyuguhkan sejarah
perpecahan itu secara terperinci, akan tetapi ada beberapa point yang dapat kita
jadikan pelajaran. Sembari meluruskan beberapa persepsi keliru sebagian orang
sekitar masalah tersebut dewasa in.
Pertama Sumbu perpecahan yang pertama kali muncul hanyalah
berupa i'tiqad dan pemikiran yang tidak begitu didengar dan diperhatikan. Yang
pertama kali di dengar oleh kaum muslimin dan para sahabat adalah aqidah
Saba'iyah yang merupakan cikal bakal aqidah Syi'ah dan Khawarij. Itulah benih
awal perpecahan yang ditaburkan di tengah-tengah kaum muslimin. Aqidah ini
disebarkan oleh penganutnya secara terselubung nyaris tanpa suara. Orang pertama
yang memunculkan juga asing, nama dan identitasnya tidak jelas. Orang
menyebutnya Ibnu Sauda' Abdullah bin Saba'. Ia mengacaukan barisan kaum
muslimin dengan aqidah sesat itu. Sehingga aqidah tersebut diyakini kebenarannya
oleh sejumlah kaum munafikin, oknum-oknum yang merancang makar jahat
terhadap Islam, orang-orang jahil dan pemuda-pemuda ingusan. Begitu pula
sekelompok barisan sakit hati yang negeri, agama dan kerajaan mereka telah
ditundukkan oleh kaum muslimin, yaitu orang-orang yang baru memeluk Islam dari
kalangan bangsa Parsi dan Arab Badui. Mereka membenarkan hasutan-hasutan Ibnu

18
Saba', membuat makar tersembunyi atas kaum muslimin, hingga muncullah cikal
bakal Syi'ah dan Khawarij dari mereka.
Hal ini ditinjau dari sudut pandang aqidah dan keyakinan sesat yang pertama
kali muncul yang menyelisihi asas Islam dan Sunnah.
Adapun kelompok sempalan yang pertama kali muncul yang memisahkan diri
dari imam kaum muslimin adalah kelompok Khawarij. Benih-benih Khawarij ini
sebenarnya berasal dari aqidah Saba'iyah. Banyak orang yang mengira keduanya
berbeda, padahal sebenarnya cikal bakal Khawarij berasal dari pemikiran kotor
Saba'iyah. Perlu diketahui bahwa Saba'iyah ini terpecah menjadi dua kelompok
utama : Khawarij dan Syi'ah.
Kendati antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok,
namun dasar-dasar pemikirannya setali tiga uang. Baik Khawarij maupun Syi'ah
meuncul pada peristiwa fitnah atas diri Amirul Mukminin Utsman bin Affan
Radhiyallahu 'anhu. Fitnah diprakarsai oleh Abdullah bin Saba' lewat ide, keyakinan
dan gerakannya. Dari situlah muncrat aqidah sesat, yaitu aqidah Syi'ah dan
Khawarij.
Perbedaan antara Khawarij dan Syi'ah direkayasa sedemikian rupa oleh tokoh-
tokohnya supaya dapat memecah belah umat. Ibnu Saba' dan konco-konconya
menabur beragam benih untuk menyuburkan kelompok-kelompok pengikut hawa
nafsu itu. Kemudian membuat trik seolah-olah antara kelompok-kelompok itu
terjadi permusuhan guna memecah belah umat sebagaimana yang terjadi dewasa ini.
Itulah yang diterapkan oleh musuh-musuh Islam untuk mengadu domba kaum
muslimin, yakni dengan istilah yang mereka namakan blok kanan dan blok kiri.
Mereka mengkotak-kotakan kaum muslimin menjadi berpartai-partai, partai sayap
kanan dan partai sayap kiri. Begitu berhasil melaksanakan program, mereka
munculkan babak permainan baru dengan istilah sekularisme, fundamentalisme,
modernisme, primitif, ekstrimisme, radikalisme dan lain-lain. Semuanya adalah
permainan yang sama, dari sumber yang sama pula. Para pencetusnya juga itu-itu
juga demikian pula tujuannya, hanya saja corak ragamnya berbeda-beda. Jadi secara
keseluruhan ini mencerminkan kuatnya kebatilan, kendati satu sama lain saling
bermusuhan.
Kedua ada satu point penting yang perlu diperhatikan, yakni dalam
sejarah tidak kita temui para sahabat saling berpecah belah satu sama lain. Yang

19
terjadi diantara mereka hanyalah perbedaan pendapat yang kadang kala diselesaikan
dengan ijma' (kesepakatan), atau salah satu pihak tunduk kepada pendapat jama'ah
serta tetap komitment terhadap imam. Itulah yang terjadi dikalangan sahabat. Tidak
ada seorang sahabat-pun yang memisahkan diri dari jama'ah. Tidak ada satupun
diantara mereka yang melontarkan ucapan bid'ah atau mengada-ada perkara baru
dalam agama. Sungguh, para sahabat merupakan imam dalam agama yang mesti
diteladani oleh kaum muslimin. Tidak satupun dari kalangan sahabat yang memecah
dari jama'ah. Dan tak satupun ucapan mereka yang menjadi sumber bid'ah dan
sumber perpecahan. Adapun beberapa ucapan dan kelompok sempalan yang
dinisbatkan oleh sejumlah oknum kepada para sahabat adalah tidak benar! Hanyalah
dusta dan kebohongan besar yang mereka tujukan terhadap para sahabat. Sangat
keliru bila Ali bin Abi Thalib disebut sebagai sumber Syi'ah, Abu Dzar Al-Ghifari
sebagai sumber sosialisme, para sahabat Ahlus Suffah sebagai cikal bakal kaum
sufi, Mua'wiyah diklaim sebagai sumber Jabariyah, Abu Darda' dituduh sebagai
sumber Qadariyah, atau sahabat lain menjadi sumber pemikiran sesat ini dan itu,
mengada-adakan bid'ah dan perkara baru, atau punya pendirian yang menyempal!
Jelas itu semua merupakan kebatilan murni!
Iftiraq (perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Utsman bin Affan
Radhiyallahu 'anhu terbunuh. Pada masa kekhalifahan Utsman, belum terjadi
perpecahan yang serius. Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada
masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan
Syi'ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dan Umar
Radhiyallahu 'anhu, bahkan pada masa kekhalifahan Utsman Radhiyallahu 'anhu,
belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya. Selanjutnya, para sahabat
justru melakukan penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira
para sahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini.
Dan jangan pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini,
baik seputar masalah pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan
mereka tampil terdepan menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji
dengan baik dalam sepak terjang menghadapi perpecahan tersebut dengan segala
tekad dan kekuatan. Akan tetapi ketentuan Allah pasti terjadi

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bagi aliran Qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga
keburukan, keimanan dan juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari
keterangan ajaran-ajaran Qodariyah tersebut di atas yang terpenting harus kita
pahami bahwa mereka (Penganut Aliran Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan
dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk
menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam
kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan
sesempurna-sempurnanya. Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-
lamanya, bahkan jika dirasanya akan berbahaya pula, mereka pun tentu akan
mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat

B. Saran
               Berdasarkan kesimpulan diatas, maka kami memberi saran sebagai berikut:
a. Organisasi NU ini harus bisa membentengi dirinya sendiri agar tidak lagi
dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki nafsu politik.
b. Mengembalikan NU ke dalam ruh-nya semula, sebagaimana yang tercantum
dalam Qonun Asasi pendirian organisasi, bahwa NU adalah jam’iyah diniyah
ijtima’iyah, organisasi sosial keagamaan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2
2. Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan
Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
3. Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
4. Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran
Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
5. Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam,
(Bangil: al-Izzah, 2002)
6. Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5

22

Anda mungkin juga menyukai