Disusun Oleh :
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Di dalam makalah ini penulis sudah
berupaya semampunya, namun apabila ada kekurangan dan kesalahan baik dari segi isi
maupun bahasanya, penulis mengharapkan adanya masukan maupun saran perbaikan dari
para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini. Dalam hal ini penulis mengambil judul
“Makalah Pemberdayaan Masyarakat Awig-Awig di Lombok Barat dan Bali”
Dalam penyusunan makalah ini kami tidak lepas dari bantuan, bimbingan, baik moral
maupun material serta dukungan dari berbagai pihak, maka dengan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sunarto, SST,. Ns., M.Kes selaku dosen
pembimbing Mata Kuliah Pemberdayaan Masyarakat.
Akhirnya kami berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga ilmu yang diperoleh
dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG............................................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................... 3
C. TUJUAN PENULISAN........................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN....................................................................................................... 24
B. SARAN................................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Bali mengenal adanya dua bentuk desa, yaitu desa dinas dan
desa desa pakraman (dulu disebut desa adat). Desa dinas didefinisikan sebagai
sebuah kelompok masyarakat yang secara struktural dan teritorial berkaitan dengan
tugas-tugas pemerintah pusat. Sedangkan desa adat diartikan sebagai suatu
kelompok masyarakat yang menjalankan aturan pemerintahannya secara otonom,
demokratis, mencakup wilayah tertentu (hak ulayat) yang jelas batas-batasnya,
memiliki pemimpin, peraturan (awig-awig) untuk warganya, memiliki kekayaan
dan secara hirarkis tidak berada di bawah satu kekuasaan yang lebih tinggi.
Perkembangan berikutnya muncul istilah otonomi desa pakraman. Otonomi
diartikan sebagai konsep bagaimana suatu daerah atau suatu kekuasaan dapat
mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri tanpa banyak dicampuri oleh
pihak-pihak luar. Otonomi sendiri berasal dari bahasa Latin, autos yang berarti
sendiri dan nomos yang berarti aturan. Jadi otonomi secara etimologis berarti
mengatur sendiri. Otonomi desa pakraman pun diartikan sebagai hak dan kewajiban
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan kebijaksanaan,
prakarsa, dan kemampuan sendiri. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003 dengan jelas mendefinisikan desa pakraman adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan
tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari
definisi ini sudah sudah ditegaskan desa pakraman merupakan suatu kesatuan
masyarakat sosial religius yang bersifat otonom, berhak mengurus rumah
tangganya sendiri. Hak ini selanjutnya disebut sebagai hak tradisional masyarakat
hukum adat yang diakui dan dihormati negara seperti diatur dalam Pasal 18B ayat 2
1
2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana trend dan isu pemberdayaan masyarakat di Indonesia?
2. Apa yang dimaksud dengan Awig-Awig?
3. Apa saja contoh dari Awig-Awig?
4. Apa hubungan Awig-Awig dengan pemberdayaan masyarakat?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui trend dan isu pemberdayaan masyarakat di Indonesia
2. Mengetahui pengertian Awig-Awig
3. Mengetahui contoh dari Awig-Awig
4. Mengetahui hubungan Awig-Awig dengan pemberdayaan masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
4
5
B. Pengertian Awig-Awig
Menurut KBBI Awig – awig adalah hukum yang berlaku dalam tradisi Bali.
Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang
umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku
sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan.
Dengan demikian, awig-awigadalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh
masyarakat berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam
masyarakat yang bersangkutan (Astiti, 2005).
Awig – awig merupakan hukum adat yang disusun dan harus ditaati oleh krama
(masyarakat) desa adat/pekraman di Bali untuk mencapai Tri Sukerta. Tri Sukerta
antara lain, Sukerta tata Parahyangan (keharmonisan hubungan manusia dengan
Tuhan), Sukerta tata Pawongan (keharmonisan hubungan manusia dengan manusia),
dan Sukerta tata Palemahan (keharmonisan hubungan manusia dengan
lingkungannya), yang merupakan perwujudan dari ajaran Tri Hita Karana.
Awig-awig berasal dari kata “wig” yang artinya rusak sedangkan “awig” artinya
tidak rusak atau baik. Jadi awig-awig dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi baik.
Secara harfiah awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur tata krama
pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang ajeg di
masyarakat (Surpha, 2002:50). Sedangkan dalam Perda Nomor 3 Tahun 2001 Tentang
Desa Pakraman dan Lembaga Adat, menyatakan : Awig-awig adalah aturan yang
dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar adat yang dipakai sebagai
7
pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan
Dharma Agama di desa pakraman atau banjar pakraman masing-masing.
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 disebutkan bahwa
Hukum Adat (awig-awig dan pararem) adalah hukum adat Bali yang hidup dalam
masyarakat Bali yang bersumber dari Catur Dresta serta dijiwai oleh Agama Hindu
Bali. Catur Dresta yakni, Sastra Dresta yakni ajaran-ajaran agama, Kuna Dresta yakni
nilai-nilai budaya, Loka Dresta yakni pandangan hidup dan Desa Dresta yakni adat
istiadat setempat (Windia, 2010:50).
Karakteristik yang dapat ditemui dalam awig-awig, diantaranya adalah:
1. Bersifat sosial religius, yang tampak pada berbagai tembang-tembang, sesonggan,
dan pepatah-petitih. Untuk membuat sebuah awig-awig harus menentukan hari
baik, waktu, tempat dan orang suci yang akan membuatnya, hal ini dimaksudkan
agar awig-awig itu memiliki kharisma dan jiwa/taksu. Awig-awig yang ada di desa
pakraman tidak saja mengatur masalah bhuwana alit (kehidupan sosial) tapi juga
mengatur bhuwana agung (kehidupan alam semesta). Hal inilah yang mendorong
Masyarakat Bali sangat percaya dan yakin bahwa awig-awig ataupun pararem tidak
saja menimbulkan sanksi sekala (lahir) juga sanksi niskala (batin).
2. Bersifat konkret dan jelas artinya disini hukum adat mengandung prinsip yang
serba konkret, nyata, jelas, dan bersifat luwes. Kaedah-kaedah hukum adat
dibangun berdasarkan asas-asas pokok saja, sedangkan pengaturan yang bersifat
detail diserahkan pada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memperhatikan
situasi dan kondisi masyarakat. Jadi dari sini akan muncul peraturan adat lain
seperti pararem sebagai aturan tambahan yang berisi petunjuk pelaksana, aturan
tambahan, dan juga bisa saja sanksi tambahan yang belum ada, sudah tidak efektif
atau belum jelas pengaturannya dalam awig-awig.
3. Bersifat dinamis, hukum adat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ketika
masyarakat berubah karena perkembangan jaman, hukum adat ikut berkembang
agar mampu mengayomi warga masyarakat dalam melakukan hubungan hukum
dengan sesamanya (Sirtha, 2008:152).
4. Bersifat kebersamaan atau komunal. Dalam Hukum Adat Bali tidak mengenal yang
namanya Hakim Menang Kalah, namun yang ada adalah Hakim Perdamaian.
Karena Hukum Adat Bali lebih mementingkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan.
8
C. Contoh Awig-Awig
1. Pendekatan Kearifan Lokal "Awig-Awig" dalam Pengentasan Kemiskinan
Masyarakat Pesisir Lombok
Kemiskinan dan keterbatasan masih dihadapi masyarakat nelayan serta
pesisir. Data Badan Pusat Statistik tahun 2016 mencatat bahwa komunitas pesisir
berkontribusi terhadap kemiskinan sekitar 25,14% atau 7,87 juta jumlah orang
miskin di Indonesia. Sebagai komitmen untuk memberikan solusi permasalahan
masyarakat melalui kontribusi ilmiah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) kegiatan penelitian Prioritas Nasional (PN) “Peningkatan Kesejahteraan
Nelayan melalui Kegiatan Penyusunan Awig-Awig Kawasan yang Menunjang
Restocking Teripang,” yang dilakukan di Teluk Sunut dan Tanjung Ringgit,
Sekaroh, Jerowaru. Kegiatan penelitian dan implementasi melibatkan kelompok
masyarakat telah berhasil dalam mengelola kawasan pantai serta melakukan
restocking teripangokus penting dalam penelitian ini adalah kearifan lokal
masyarakat setempat dan dukungan dari pemerintah daerah yang menjadi pusat
kekuatan masyarakat dalam mencapai keberhasilan program. “Agar terjamin
pengelolaan kawasan Teluk Sunut dan Tanjung Ringgit berbasiskan kesepakan
masyarakat dalam bentuk awig-awig. Peraturan ini memuat aturan terkait dengan
pengelolaan teripang, seperti pola membagi hasil, hubungan antar nelayan dalam
menentukan prioritas pengambilan, zonasi penangkapan dan budidaya
Dalam upaya menjaga pengelolaan sumberdaya perikanan dan biota laut
juga dibentuk awig-awig pengelolaan kawasan dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan dan biota laut di Teluk Sunut. “Ada delapan desa di kawasan sekitar
perairan Teluk Sunut yang dijadikan batas sosial, karena warga desa tersebut
umumnya memiliki kepentingan dan memanfaatkan sumberdaya perairan yang
sama. Batas administratif desa-desa tersebut dijadikan batas sosial untuk
mengelola kawasan dengan aturan dalam bentuk awig-awig. Dalam menyusun
awig-awig, LIPI bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Sumberdaya
Nelayan (LPSDN) yang telah berpengalaman dalam penyusunan awig-awig
kawasan Teluk Jor.
“Penyusunan awig-awig pengelolaan teripang menetapkan zona inti,
dimana area zona inti akan ditentukan batas-batasnya dengan tanda tertentu.
10
wilayah zona inti merupakan perairan yang menjadi kawasan restocking teripang
dan merupakan wilayah eksklusif, karena pengambilan teripang diatur secara
khusus agar pertumbuhan dan perkembangan teripang dapat berjalan dengan baik.
Zona inti ini letaknya di Teluk Sunsak yang menjadi bagian dari kawasan Teluk
Sunut. Sementara perairan di luar zona inti tidak diatur pemanfaatannya dengan
awig-awig (Pudjiatuti,2019).
2. Pengelolaan sumber daya perikanan di Kecematan Gangga, Kabupaten Lombok
Barat, Nusa Tenggara Barat
Masyarakat Kecamatan Gangga telah melakukan praktik pengelolaan
sumberdaya perikanan yang berbasiskan kearifan lokal sejak dahulu kala, yaitu
upacara adat sawen yang dilakukan oleh orang-orang Islam Upacara adat sawen
tersebut berlaku hingga tahun 1965, menghilang dalam rentang waktu 1966-1999
yang disebabkan oleh perubahan pola pikir masyarakat dan situasi ekonomi-politik
yang berkembang, sedangkan pada tahun 2000, upacara adat sawen kembali
dilaksanakan, namun hanya sebatas menegakkan adat-istiadat suku sasak yang
lelah lama hilang. Terbentuknya awig-awig sebagai aturan bersama secara tertulis
dipengaruhi oleh munculnya konflik di masyarakat pesisir. Adapun konflik
tersebut disebabkan oleh kondisi ekologi, demografi, lingkungan politik legal,
proses distribusi pasar, mata pencaharian dan perubahan teknologi. Proses
terantuknya melalui tahapan informal hingga formal. Pelaksanaan awig-awig
mempunyai beberapa aturan, yaitu : (1) wilayah tangkapan sejauh 3 mil dari
daratan hanya diperunlukan nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional
(jala oras, jaring klitik), pancing, bubu dan rawe dasar kecil; (2) unit sosial
pemegang hak bersifat individual (terbuka); (3) sumber legalitasnya adalah dari
upacara adat sawen dan kesadaran masyarakat akan kerusakan sumberdaya
perikanan oleh aktvitas pengeboman dan pemotasan; dan (4) pelaksanaan awig-
awig ditegakkan secara tegas oleh Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara
(LMNLU) yang mempunyai sanksi, pertama denda meteri maksimal Rp
10.000.000,00; kedua pembakaran alat tangkap dan ketiga pemukulan massa
namun tidak sampai mati. Permasalahan yang terjadi pasca pelaksanaan awig-awig
adalah konflik antar nelayan lokal yang menggunakan alat langkap berbeda dan
konflik nelayan lokal dengan nelayan luar yang meggunakan bom dan potasium
11
wilayah dan alat tangkap lainnya, seperti alat tangkap sejenis pancing dan
jaring hanya bersifat kesepakatan tanpa tertulis. Adapun hasil kesepakatan atau
awig-awig yang disahkan secara tertulis dalam rapat besar tersebut adalah sebagai
berikut : 1. Apabila ditemukan dan terbukti ada oknum yang melakukan
pengeboman dan pemotasan serta penangkapan ikan dengan bahan beracun lainnya,
maka oknum tersebut ditangkap oleh kelompok nelayan kemudian diserahkan.
Dalam rapat besar ini lebih difokuskan kepada penanggulangan aktivitas
pengeboman dan pemotasan, sehingga kesepakatan yang berhasil ditetapkan
secara tertulis hanya mengatur kedua alat tangkap yang sifatnya destruktif saja,
yaitu bom dan potasium. Sedangkan untuk operasional wilayah dan alat
tangkap lainnya, seperti alat tangkap sejenis pancing dan jaring hanya bersifat
kesepakatan tanpa tertulis.
Adapun hasil kesepakatan atau awig-awig yang disahkan secara tertulis dalam
rapat besar tersebut adalah sebagai berikut :
a. Apabila ditemukan dan terbukti ada oknum yang melakukan pengeboman
dan pemotasan serta penangkapan ikan dengan bahan beracun lainnya, maka
oknum tersebut ditangkap oleh kelompok nelayan kemudian diserahkan
kepada pihak yang berwajib dimasing-masing wilayah kecamatan yang
bersangkutan untuk membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi
perbuatan tersebut serta dibebani denda uang maksimal Rp 10.000.000,00
untuk kemudian dilepas kembali.
b. Apabila oknum tersebut untuk kedua kalinya terbukti melakukan perbuatan ini
lagi, maka kelompok nelayan akan bersama-sama menangkap oknum
tersebut kemudian dilakukan pengrusakan atau pembakaran terhadap alat
serta sarana dukung yang dipergunakan dalam kegiatannya
c. Apabila setelah dikenakan sanksi pada point pertama dan kedua tersebut di atas,
oknum tersebut masih melakukan kegiatannya dan terbukti, maka
kelompok nelayan akan menghakiminya dengan pemukulan massal tidak
sampai mati.
4. Analisis Transformasi Awig-Awig dalam Pengelolaan Hutan Adat (Studi Kasus
Pada Komunitas Wetu Telu di Daerah Bayan, Lombok)
13
Sumber: Data Primer Diolah; Tim Peneliti dan Pengkaji Lombok Barat, 2006
5. Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran Awig-Awig Desa Adat Oleh Karma Desa
Di Desa Adat Mengwi Kecamawatan Mengwi Kabupaten Badung Propinsi Bali
Desa Adat sangat penting dalam kehidupan umat Hindu di Bali, hal
itu disebabkan semua umat Hindu yang merupakan penduduk mayoritas di
15
pulau Bali adalah anggota Desa Adat.. Dimana Desa Adat maupun Desa
Pakraman agar memiliki Awig-awig (peraturan desa) tertulis, supaya ada
kepastian tentang pelaksanaan awig-awig di Desa Adat dan Desa Pakraman.
Maka dari itu awig-awig di dalam Desa Adat sangat diperlukan, karena di
samping sebagai aturan-aturan pelaksana di dalam wadah dari kesatuan
masyarakat hukum adat di Bali berdasarkan satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup yang diwariskan secara turun temurun dan diikat oleh
falsafah Tri Hita Karana, dimana Desa Adat dan awig-awignya sesuai
dengan fungsi dan posisinya, akan selalu berperanan aktif dalam rangka
menjaring nilai-nilai baru dalam pembangunan sehingga keberadaanya dan
penerapannya mutlak diperlukan, khusunya dalam hal penerapan sanksi jika
terjadi pelanggaran terhadap awig-awig oleh Krama Desa Adat Mengwi serta
hambatan-hambatan yang dialami dalam penerapannya tersebut di Desa
Adat Mengwi Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Propinsi Bali.
Dalam hal ini, beberapa hal dan istilah yang ada dalam isi pokok awig-awig desa
adat, adalah sebagai berikut:
a. Tentang Batas-batas Desa
Hendaknya dipastikan batas-batas berlakunya awig-awig dengan tegas dan
mudah diketahui atau dengan kata lain dipastikan wilayah serta ruang
lingkup dari desa adat dimana awig-awig tersebut diberlakukan karena
mengikat setiap desa adat akan mempunyai awig-awig tersendiri yang
satu dengan yang lainnya tersebut berbeda.
b. Tentang anggota desa dan kewajibannya menurut adat tradisional
masing-masing
Perlu juga untuk diketahui, bahwa dalam desa adat tersebut biasanya
terdapat anggota yang utama atau disebut juga menampung anggota
sampingan. Jadi karena adanya dua unsur berbeda ini, maka awig-awig
yang diberlakukan haruslah bersifat fleksibel sehingga satu sama lain tidak
merasa saling merugikan.
c. Tentang Parjuru atau Perangkat Desa
Prajuru atau perangkat desa tersebut adalah anggota atau krama desa adat
yang diberi kepercayan untuk mengatur pemerintahan yang diangkat
16
Indonesia umumnya dan khususnya masyarakat Bali. Apa lagi Bali sebagai daerah
Pariwisata Indonesia bagian tengah, sudah barang tentu masyakat Bali tidak bisa
menghindari terhadap pengaruh dari globalisasi itu karena keseharian bergaul dengan
orang asing. Masyarakat Bali sudah mulai kehilangan jati dirinya karena orientasi
sudah dipengaruhi oleh serba uang/provit. Peradaban orang Bali sudah mengalami
perubahan seperti hilangnya sifat gotong royong, saling asah, saling asuh, saling asuh,
salulung sabayantaka, hidup kebersamaan (briak-briuk), parasparos sarpanaya sudah
semakin menipis. Persoalan ini sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat serius
bagi Masyarakat Bali itu sendiri, karena Bali sebagai daerah Pariwisata Indonesia
bagian tengah hanya memiliki modal budaya saja, kalau tidak akan ditangani dengan
serius Bali akan kehilangan Balinya, secara otomatis tidak akan menarik lagi bagi para
wisatawan.
Apabila kita perhatikan dalam hal wewenang Desa Adat membuat aturan
desa/Awig-awig yang akan diberlakukan dalam desa Adat ada dasar hukumnya yaitu
Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Pasal 103 Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 dinyatakan dimana Desa Adat diberikan kewenangan
berdasarkan hak-hak yang meliputi:
berskala lokal Desa Adat, sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf (a) dan Huruf
(b) serta pasal 103 diatur dan diurus oleh Desa Adat dengan memperhatikan prinsip
keberagaman. Kalau dicermati bunyi pasal 104 ini mengatur pelaksanaan kewenangan
berdasarkan asal-asul serta kewenangan berskala lokal ini berarti secara tegas
pemerintah memberikan Desa Adat otonomi dalam menjalankan Adat itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut masaing-masing Desa adat di bali wajib menyusun
peraturan Desa Adat/Awig-Awig serta memperhatikan perubahan yang terjadi di
masyarakat. Sedangkan awig-awig merupakan suatu ketentuan yang mengatur tata
krama pergaulan hidup dalam masyarakat baik mewujudkan suatu tata kehidupan yang
ajeg di masyarakat. Sedangkan awig- awig itu dibuat oleh anggota masyarakat/krama
desa adat/ krama Banjar yang dipakai sebagai pedoman dalam melaksanakan interaksi
kehidupan sosial sehari-hari dalam masyarakat. Dalam awig-awig diatur hak dan
kewajiban dari krama di desa adat dengan disertai sanksi yang tegas, lebih nyata dan
lazimnya dalam bentuk tulisan. Awig-awig menjadi pedoman/patokan, atau batasan-
batasan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, selakigus
mempunyai pearanan menetukan bentuk reaksi bagi pelanggarnya. Berbicara
mengenai awig-awig yang terdapat di desa adat merupakan perujudan hukum adat,
sangat memegang peranan penting dalam mengatur tata kehidupan/ sebagai filter
pengaruh negatif terhadap masyarakat dalam bidang agama, kebutaan, dan sosial
ekonomi .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitasi yang bersifat
musyawarah, guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
masyarakat, agar mampu mengidentifikasi masalah yang dihadapi, potensi
yang dimiliki, merencanakan dan melakukan penyelesaiannya dengan
memanfaatkan potensi masyarakat setempat. Pemberdayan masyarakat
(Community Empowerment) menjadi isu utama dalam program dan
orientasi masyarakat secara aktif melalui pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat adalah komitmen dalam memberdayakan
masyarakat lapis bawah sehingga mereka memiliki berbagai pilihan nyata
yang menyangkut masa depannya.
Seperti adanya tradisi awig-awig (hukum adat) yang berada di Bali dan di
Lombok barat, tradisi ini merupakan ketentuan yang mengatur tata krama
pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan
yang ajeg di masyarakat Sehingga dengan aturan-aturan yang ada
membuat masyarakat setempat mematuhi aturan dan mereka membuat
usaha-usaha mandiri tanpa merusak kelestairan alam.
B. Saran
Kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat agar tetap menjaga
dan melestarikan tradisi awig-awig. Tidak hanya di Bali dan Lombok
Barat, supaya daerah-daerah lain juga meniru tradisi ini dikarenakan
tradisi ini sangat membanu masyarakat untuk meningkatkan tingkat
kemandirian desa atau daerah setempat.
24
DAFTAR PUSTAKA
Jayadi, Edi dan Soemarno. 2016. Analisis Transformasi Awig-Awig dalam Pengelolaan
Hutan Adat (Studi Kasus Pada Komunitas Wetu Telu di Daerah Bayan, Lombok )
Indonesian Green Technology Journal (Diakses : 18 Maret 2020 jam 2:39 WIB)
Pamungkas,Danang. 2017. Problem Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Jakarta : PRP INDONESIA.org
Pudjiastuti, Tri. 2019 . Pendekatan Kearifan Lokal "Awig-Awig" dalam Pengentasan
Kemiskinan Masyarakat Pesisir Lombok. Artikel. Biro Kerja Sama, Hukum,
dan Humas LIPI. http://lipi.go.id/berita/single/Pendekatan-Kearifan-Lokal-Awig-
Awig-dalam-Pengentasan-Kemiskinan-Masyarakat-Pesisir-Lombok/21683.
(Diakses : 18 Maret 2020 jam 10:41 WIB)
Peraturan daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan
daerah Propinsi Bali.
Ridwan,I ketut. 2017. Peranan Awig-Awig Dalam Melestarikan Adat Dan Budaya Di
Bali. http://ejourn
al.undwi.ac.id/index.php/widyaaccarya/article/download/433/399 . (Diakses pada
tanggal 18 Maret 2020)