Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

AWIG-AWIG DI LOMBOK BARAT DAN BALI

Disusun Oleh :

1. Arinda Sinta Dewi (P27220017127)


2. Asri Kesuma Trian (P27220017128)
3. Ayu Cahyaningtyas O. (P27220017129)
4. Dilla Meilasari W. (P27220017135)
5. Latifah Nur Lestiyani (P27220017145)
6. Oktavia Rahmawati (P27220017155)
7. Widha Listyaninggar (P27220017163)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN JURUSAN KEPERAWATAN


POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini. Di dalam makalah ini penulis sudah
berupaya semampunya, namun apabila ada kekurangan dan kesalahan baik dari segi isi
maupun bahasanya, penulis mengharapkan adanya masukan maupun saran perbaikan dari
para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini. Dalam hal ini penulis mengambil judul
“Makalah Pemberdayaan Masyarakat Awig-Awig di Lombok Barat dan Bali”

Dalam penyusunan makalah ini kami tidak lepas dari bantuan, bimbingan, baik moral
maupun material serta dukungan dari berbagai pihak, maka dengan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sunarto, SST,. Ns., M.Kes selaku dosen
pembimbing Mata Kuliah Pemberdayaan Masyarakat.
Akhirnya kami berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga ilmu yang diperoleh
dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Surakarta, 16 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG............................................................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................... 3
C. TUJUAN PENULISAN........................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

A. TREND DAN ISU PEMBERDAYAAN MASYARAKAT.................................... 4


B. PENGERTIAN AWIG-AWIG................................................................................. 6
C. CONTOH AWIG-AWIG......................................................................................... 9
D. HUBUNGAN AWIG-AWIG DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT......... 21

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN....................................................................................................... 24
B. SARAN................................................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masyarakat Bali mengenal adanya dua bentuk desa, yaitu desa dinas dan
desa desa pakraman (dulu disebut desa adat). Desa dinas didefinisikan sebagai
sebuah kelompok masyarakat yang secara struktural dan teritorial berkaitan dengan
tugas-tugas pemerintah pusat. Sedangkan desa adat diartikan sebagai suatu
kelompok masyarakat yang menjalankan aturan pemerintahannya secara otonom,
demokratis, mencakup wilayah tertentu (hak ulayat) yang jelas batas-batasnya,
memiliki pemimpin, peraturan (awig-awig) untuk warganya, memiliki kekayaan
dan secara hirarkis tidak berada di bawah satu kekuasaan yang lebih tinggi.
Perkembangan berikutnya muncul istilah otonomi desa pakraman. Otonomi
diartikan sebagai konsep bagaimana suatu daerah atau suatu kekuasaan dapat
mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri tanpa banyak dicampuri oleh
pihak-pihak luar. Otonomi sendiri berasal dari bahasa Latin, autos yang berarti
sendiri dan nomos yang berarti aturan. Jadi otonomi secara etimologis berarti
mengatur sendiri. Otonomi desa pakraman pun diartikan sebagai hak dan kewajiban
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan kebijaksanaan,
prakarsa, dan kemampuan sendiri. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003 dengan jelas mendefinisikan desa pakraman adalah kesatuan
masyarakat hukum adat di provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan
tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan
harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari
definisi ini sudah sudah ditegaskan desa pakraman merupakan suatu kesatuan
masyarakat sosial religius yang bersifat otonom, berhak mengurus rumah
tangganya sendiri. Hak ini selanjutnya disebut sebagai hak tradisional masyarakat
hukum adat yang diakui dan dihormati negara seperti diatur dalam Pasal 18B ayat 2

1
2

UUD NRI 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan


masyarakat 4 AA Gede Oka Parwata, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman”.
dalam: Ketut Sudantra dan Oka Parwata (Ed), Wicara lan Pamidanda, Udayana
University Press, Denpasar, h.52
Hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” Salah satu isi dari otonomi desa
pakraman adalah menetap aturan sendiri yang berlaku bagi mereka. Kewenangan
ini secara yuridis formal diatur dalam Pasal 5 Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003, “Desa Pakraman mempunyai tugas
membuat awig-awig.” Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa
pakraman dan atau banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam
pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di
desa pakraman/banjar pakraman masing-masing. Definisi ini ditegaskan lagi dalam
Bab VII Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2003. Pasal 11 mengatur (1) Setiap desa pakraman menyuratkan
awig-awig-nya. (2) Awig-awig desa pakraman tidak boleh bertentangan dengan
agama, Pancasila, UUD 1945, dan hak asasi manusia. Pasal 12 mengatur (1) Awig-
awig desa pakraman dibuat dan disahkan oleh krama desa pakraman melalui
paruman desa pakraman. (2) Awig-awig desa pakraman dicatatkan di Kantor
Bupati/Wali Kota masing-masing.
Sejak tahun 1969 ada kecenderungan desa pakraman menuliskan awig-
awig-nya dalam bentuk dan sistematika yang seragam. Tujuannya agar prajuru adat
dan generasi mendatang dapat lebih memahami isi awig-awig desanya. Istilah
awig-awig mulai memasyarakat di Bali tahun 1986 sejak dikeluarkannya Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan
Peranan Desa Pakraman sebagai Kesatuan Hukum Adat dalam Provinsi Daerah
Tingkat I Bali. Sebelumnya, istilah yang digunakan bermacam-macam, antara lain
pengeling-eling, paswara, geguat, awig, perarem, gama, dresta, cara, tunggul, kerta,
palakerta, dan sima. Proses penulisan awig-awig ini bukanlah proses kegiatan
3

sekali jadi. Pembuatan awig-awig tidak boleh awag-awag (sembarangan). Kalau


awag-awagmenulis awig-awig desa pakraman bisa menjadi uwug (rusak). Ada
empat tahapan yang harus dilalui dalam pembuatan awig-awig, tahap persiapan,
tahap penulisan rancangan awig-awig, tahap sosialisasi rancangan awig-awig, dan
tahap penyelesaikan penulisan awig-awig. Proses selanjutnya adalah
penandatanganan oleh Bupati/Wali Kota.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana trend dan isu pemberdayaan masyarakat di Indonesia?
2. Apa yang dimaksud dengan Awig-Awig?
3. Apa saja contoh dari Awig-Awig?
4. Apa hubungan Awig-Awig dengan pemberdayaan masyarakat?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui trend dan isu pemberdayaan masyarakat di Indonesia
2. Mengetahui pengertian Awig-Awig
3. Mengetahui contoh dari Awig-Awig
4. Mengetahui hubungan Awig-Awig dengan pemberdayaan masyarakat
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tren Dan Isu Pemberdayaan Masyarakat


Sejak tahun 2015, pemerintah Indonesia telah memberikan porsi aggaran yang
besar terhadap kebijakan pembangunan pedesaan dan wilayah pinggiran. Hal ini
dilakukan dalam upaya untuk mengatasi ketimpangan ekonomi dan menyejahterakan
masyarakat yang tergolong miskin. Strategi pemberdayaan masyarakat dan keijakan
yang mengutamakan akar rumput selalu dibicarakan di seminar nasional, televisi, surat
kabar, dan media online. Namun apa sebenarnya yang dimaksud pemberdayaan
masyarakat? Apa yang dimaksud dengan pembangunan desa?. Dalam pemberdayaan
masyarakat pelibatan masyarakat menjadi hal pokok dalam perencanaan hingga
evaluasi, namun yang menjadi kesalahan selama ini adalah pelibatan masyarakat
secara pasif dan bukan aktif, bila hal ini terus terjadi tentu akan membuat
pembedayaan masyarakat dikatakan gagal karena membuat masyarakat bergantung.
Lalu anggapan dari kebijakan revolusi hijau zaman Orde Baru samapai reformasi,
kata-kata pemberdayaan masyarakat selalu mengkootasikan masyarakat itu buruk,
tidak tahu apa-apa, sementara pemerintah dan ilmuwan sebagai masyarakat yang
pintar menganggap dirinya sebagai atasan, sementara rakyat adalah orang-orang yang
harus diatur.
1. Pendekatan Masyarakat
Jumlah sarjana di Indonesia sangat banyak bahkan meningkat setiap tahun,
hampir 800.000 orang mendaftar di perguruan tinggi. Namun adanya peningkatan
mahasiswa setiap tahun belum dapat membantu dalam pemberdayaan masyarakat,
karena sebagian besar mahasiswa memiliki pemikiran yang sama dengan para
pejabat yaitu merasa paling pintar dan rakyat tidak tahu apa-apa. sehingga ketika
ada pertemuan warga dengan mahasiswa, warga hanya menganggukkan
kepalanya, dan mengiyakan saja seluruh saran mahasiswa dan orang luar untuk
memecahkan problem mereka. Warga tidak diberikan kesempatan untuk

4
5

berbicara, berdiskusi, berinteraksi langsung dan membuka percakapan tentang hal


ini. Maka hal ini harus segera disingkirkan karena bagaimanapun masyarakat
sudah hidup ditanahnya selama berpuluh-puluh tahun yang mana “masyarakat
berwenang untuk mengatur, mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul/hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia”(UU No.6 thn 2014) maka dari itu hendaknya
melakukan penelitian lapangan selama mungkin sampai warga menerima orang
luar dengan terbuka dan bersama-sama memecahkan masalah.
1. Money Politic
Ada beberapa lembaga di Indonesia yang mulai menerapkan pemberdayaan
masyarakat yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Namun, selama ini kegiatan
pemberdayaan selalu bersandar pada anggaran keuangan yang besar. Padahal,
anggaran keuangan saja tidak cukup untuk membebaskan masyarakat dari jurang
ketidakberdayaan. Selama ini, kegiatan pemberdayaan selalu berbasiskan kepada
amplop. Amplop memberikan izin, amplop untuk perangkat desa, dan amplop-
amplop yang lain agar warga mau datang pada saat kegiatan pemberdayaan
masyarakat. Bila hal ini terus berlanjut maka masyarakat akan terus ketergatungan
sehingga hakikat dari masyarakat yang berdaya tidak akan pernah terwujud. Maka
hakikat pemberdayaan masyarakat akan dapat tercapai dimana peran masyarakat
diperkuat serta memberikan peluang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk
mencari solusi dan mengatasi persoalan mereka dengan caranya sendiri.
2. Pemanfaatan Media
Konsumsi Media diera Milineal saat ini cukup besar, dibanding tahun-tahun
sebelumnya dimana televisi merupakan media yang sangat diminati mulai
bergeser ke sosial media yang tela berkembang dengan berbagai fitur yang akan
memudahkan penggunanya. Namun, dalam pemberdayaan masyarakat
penggunaan media masih sangat kurag, padahal peran media jauh lebih dapat
menjangkau banyak kelompok sasaran dibandingkan pemberdayaan dilakukan di
ruang tertutup. Pada dasarnya media memiliki fungsi yaitu: memberikan nformasi
(to inform), mendidik masyarakat (to educate), menyajikan hiburan (to entertain),
dan mempengaruhi masyarakat (to influence) yang mana fungsi meda ini masuk
6

kedalam arti pemberdayaan masyarakat menurut UU No.6 tahun 2014 Pasal 1


Ayat 12 yang berbunyi “Pemberdayaan masyarakat Desa adalah upaya
mengembangkan kemandirian dan kesejateraan masyarakat dengan meningkatkan
pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta
memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan
pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan
masyarakat desa”. Beberapa penelitian mengatakan bahwa media juga mampu
mengubah persepsi, belief, moral bahkan perilaku tertentu. Dengan demikian
nyatanya telivisi maupun sosial media dapat menjadi kekuatan yang dahsyat untuk
memberdayakan masyarakat.

B. Pengertian Awig-Awig
Menurut KBBI Awig – awig adalah hukum yang berlaku dalam tradisi Bali.
Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang
umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku
sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan.
Dengan demikian, awig-awigadalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh
masyarakat berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam
masyarakat yang bersangkutan (Astiti, 2005).
Awig – awig merupakan hukum adat yang disusun dan harus ditaati oleh krama
(masyarakat) desa adat/pekraman di Bali untuk mencapai Tri Sukerta. Tri Sukerta
antara lain, Sukerta tata Parahyangan (keharmonisan hubungan manusia dengan
Tuhan), Sukerta tata Pawongan (keharmonisan hubungan manusia dengan manusia),
dan Sukerta tata Palemahan (keharmonisan hubungan manusia dengan
lingkungannya), yang merupakan perwujudan dari ajaran Tri Hita Karana.
Awig-awig berasal dari kata “wig” yang artinya rusak sedangkan “awig” artinya
tidak rusak atau baik. Jadi awig-awig dimaknai sebagai sesuatu yang menjadi baik.
Secara harfiah awig-awig memiliki arti suatu ketentuan yang mengatur tata krama
pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang ajeg di
masyarakat (Surpha, 2002:50). Sedangkan dalam Perda Nomor 3 Tahun 2001 Tentang
Desa Pakraman dan Lembaga Adat, menyatakan : Awig-awig adalah aturan yang
dibuat oleh krama desa pakraman dan atau krama banjar adat yang dipakai sebagai
7

pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara dan
Dharma Agama di desa pakraman atau banjar pakraman masing-masing.
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 disebutkan bahwa
Hukum Adat (awig-awig dan pararem) adalah hukum adat Bali yang hidup dalam
masyarakat Bali yang bersumber dari Catur Dresta serta dijiwai oleh Agama Hindu
Bali. Catur Dresta yakni, Sastra Dresta yakni ajaran-ajaran agama, Kuna Dresta yakni
nilai-nilai budaya, Loka Dresta yakni pandangan hidup dan Desa Dresta yakni adat
istiadat setempat (Windia, 2010:50).
Karakteristik yang dapat ditemui dalam awig-awig, diantaranya adalah:
1. Bersifat sosial religius, yang tampak pada berbagai tembang-tembang, sesonggan,
dan pepatah-petitih. Untuk membuat sebuah awig-awig harus menentukan hari
baik, waktu, tempat dan orang suci yang akan membuatnya, hal ini dimaksudkan
agar awig-awig itu memiliki kharisma dan jiwa/taksu. Awig-awig yang ada di desa
pakraman tidak saja mengatur masalah bhuwana alit (kehidupan sosial) tapi juga
mengatur bhuwana agung (kehidupan alam semesta). Hal inilah yang mendorong
Masyarakat Bali sangat percaya dan yakin bahwa awig-awig ataupun pararem tidak
saja menimbulkan sanksi sekala (lahir) juga sanksi niskala (batin).
2. Bersifat konkret dan jelas artinya disini hukum adat mengandung prinsip yang
serba konkret, nyata, jelas, dan bersifat luwes. Kaedah-kaedah hukum adat
dibangun berdasarkan asas-asas pokok saja, sedangkan pengaturan yang bersifat
detail diserahkan pada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memperhatikan
situasi dan kondisi masyarakat. Jadi dari sini akan muncul peraturan adat lain
seperti pararem sebagai aturan tambahan yang berisi petunjuk pelaksana, aturan
tambahan, dan juga bisa saja sanksi tambahan yang belum ada, sudah tidak efektif
atau belum jelas pengaturannya dalam awig-awig.
3. Bersifat dinamis, hukum adat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ketika
masyarakat berubah karena perkembangan jaman, hukum adat ikut berkembang
agar mampu mengayomi warga masyarakat dalam melakukan hubungan hukum
dengan sesamanya (Sirtha, 2008:152).
4. Bersifat kebersamaan atau komunal. Dalam Hukum Adat Bali tidak mengenal yang
namanya Hakim Menang Kalah, namun yang ada adalah Hakim Perdamaian.
Karena Hukum Adat Bali lebih mementingkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan.
8

5. Setiap individu mempunyai arti penting di dalam kehidupan bermasyarakat, yang


diterima sebagai warga dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian, hukum adat
menjaga keseimbangan kepentingan bersama dengan kepentingan pribadi. Dalam
awig-awig desa pakraman menjaga keseimbangan tiga aspek kehidupan manusia
merupakan hal terpenting serta inilah yang membedakan awig-awig dengan hukum
adat lainnya. Kita ketahui bersama masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat
yang memiliki sifat komunal dan kekeluargaan dalam kehidupan kesehariannya,
artinya manusia menurut hukum adat setiap individu mempunyai arti penting di
dalam kehidupan bermasyarakatmempunyai ikatan yang erat, rasa kebersamaan ini
meliputi seluruh lapisan hukum adat (Sudiatmaka, 1994:12).
6. Karakteristik lainnya dari awig-awig yakni tidak seperti hukum nasional atau
hukum barat yang jarang mengakomodir dimensi sosiologis, hukum adat sebaliknya
lebih mengakomodir dimensi sosiologis. Dengan demikian, dalam pembangunan
hukum nasional, hukum adat menjadi bahan-bahan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, sedangkan lembaga-lembaga hukum adat seperti lembaga
keamanan tradisional yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dapat
digunakan dalam penegakan hukum . (Sirtha, 2008:27)
Awig-awig yang hidup dalam masyarakat tidak hanya membedakan hak dan
kewajiban melainkan juga memberikan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi denda,
sanksi fisik, maupun sanksi psikologi dan yang bersifat sprirtual, sehingga cukup
dirasakan sebagai derita oleh pelanggarnya. Sanksi Adat adalah berupa reaksi dari
desa pakraman untuk mengembalikan keseimbangan magis yang terganggu. Jenis-
jenis sanksi adat yang diatur dalam awig-awig maupun pararem antara lain :
a. Mengaksama (minta maaf),
b. Dedosaan (denda uang),
c. Kerampang (disita harta bendanya),
d. Kasepekang (tidak diajak bicara) dalam waktu tertentu,
e. Kaselong (diusir dari desanya),
f. Upacara Prayascita (upacara bersih desa) (Sirtha, 2008:32).
9

C. Contoh Awig-Awig
1. Pendekatan Kearifan Lokal "Awig-Awig" dalam Pengentasan Kemiskinan
Masyarakat Pesisir Lombok
Kemiskinan dan keterbatasan masih dihadapi masyarakat nelayan serta
pesisir. Data Badan Pusat Statistik tahun 2016 mencatat bahwa komunitas pesisir
berkontribusi terhadap kemiskinan sekitar 25,14% atau 7,87 juta jumlah orang
miskin di Indonesia. Sebagai komitmen untuk memberikan solusi permasalahan
masyarakat melalui  kontribusi ilmiah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI)  kegiatan penelitian Prioritas Nasional (PN) “Peningkatan Kesejahteraan
Nelayan melalui Kegiatan Penyusunan Awig-Awig Kawasan yang Menunjang
Restocking Teripang,” yang dilakukan di Teluk Sunut dan Tanjung Ringgit,
Sekaroh, Jerowaru. Kegiatan penelitian dan implementasi melibatkan kelompok
masyarakat telah berhasil dalam mengelola kawasan pantai serta melakukan
restocking teripangokus penting dalam penelitian ini adalah kearifan lokal
masyarakat setempat dan dukungan dari pemerintah daerah yang menjadi pusat
kekuatan masyarakat dalam mencapai keberhasilan program. “Agar terjamin
pengelolaan kawasan Teluk Sunut dan Tanjung Ringgit berbasiskan kesepakan
masyarakat dalam bentuk awig-awig. Peraturan ini memuat aturan terkait dengan
pengelolaan teripang, seperti pola membagi hasil, hubungan antar nelayan dalam
menentukan prioritas pengambilan, zonasi penangkapan dan budidaya
Dalam upaya menjaga pengelolaan sumberdaya perikanan dan biota laut
juga dibentuk awig-awig pengelolaan kawasan dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan dan biota laut di Teluk Sunut. “Ada delapan desa di kawasan sekitar
perairan Teluk Sunut yang dijadikan batas sosial, karena warga desa tersebut
umumnya memiliki kepentingan dan memanfaatkan sumberdaya perairan yang
sama. Batas administratif desa-desa tersebut dijadikan batas sosial untuk
mengelola kawasan dengan aturan dalam bentuk awig-awig. Dalam menyusun
awig-awig, LIPI bekerjasama dengan Lembaga Pengembangan Sumberdaya
Nelayan (LPSDN) yang telah berpengalaman dalam penyusunan awig-awig
kawasan Teluk Jor.  
 “Penyusunan awig-awig pengelolaan teripang menetapkan zona inti,
dimana area zona inti akan ditentukan batas-batasnya dengan tanda tertentu.
10

wilayah zona inti merupakan perairan yang menjadi kawasan restocking teripang
dan merupakan wilayah eksklusif, karena pengambilan teripang diatur secara
khusus agar pertumbuhan dan perkembangan teripang dapat berjalan dengan baik.
Zona inti ini letaknya di Teluk Sunsak yang menjadi bagian dari kawasan Teluk
Sunut. Sementara perairan di luar zona inti tidak diatur pemanfaatannya dengan
awig-awig (Pudjiatuti,2019).
2. Pengelolaan sumber daya perikanan di Kecematan Gangga, Kabupaten Lombok
Barat, Nusa Tenggara Barat
Masyarakat Kecamatan Gangga telah melakukan praktik pengelolaan
sumberdaya perikanan yang berbasiskan kearifan lokal sejak dahulu kala, yaitu
upacara adat sawen yang dilakukan oleh orang-orang Islam Upacara adat sawen
tersebut berlaku hingga tahun 1965, menghilang dalam rentang waktu 1966-1999
yang disebabkan oleh perubahan pola pikir masyarakat dan situasi ekonomi-politik
yang berkembang, sedangkan pada tahun 2000, upacara adat sawen kembali
dilaksanakan, namun hanya sebatas menegakkan adat-istiadat suku sasak yang
lelah lama hilang. Terbentuknya awig-awig sebagai aturan bersama secara tertulis
dipengaruhi oleh munculnya konflik di masyarakat pesisir. Adapun konflik
tersebut disebabkan oleh kondisi ekologi, demografi, lingkungan politik legal,
proses distribusi pasar, mata pencaharian dan perubahan teknologi. Proses
terantuknya melalui tahapan informal hingga formal. Pelaksanaan awig-awig
mempunyai beberapa aturan, yaitu : (1) wilayah tangkapan sejauh 3 mil dari
daratan hanya diperunlukan nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional
(jala oras, jaring klitik), pancing, bubu dan rawe dasar kecil; (2) unit sosial
pemegang hak bersifat individual (terbuka); (3) sumber legalitasnya adalah dari
upacara adat sawen dan kesadaran masyarakat akan kerusakan sumberdaya
perikanan oleh aktvitas pengeboman dan pemotasan; dan (4) pelaksanaan awig-
awig ditegakkan secara tegas oleh Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara
(LMNLU) yang mempunyai sanksi, pertama denda meteri maksimal Rp
10.000.000,00; kedua pembakaran alat tangkap dan ketiga pemukulan massa
namun tidak sampai mati. Permasalahan yang terjadi pasca pelaksanaan awig-awig
adalah konflik antar nelayan lokal yang menggunakan alat langkap berbeda dan
konflik nelayan lokal dengan nelayan luar yang meggunakan bom dan potasium
11

sianida untuk melakukan penangkapan ikan (Solihin,2017). Pemberlakuan awig-


awigsangat efektif dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Lombok Barat
bagian Utara, hal ini tercermin dari kian menurunnya kegiatan nelayan yang
destruktif, seperti penggunaan bom, dinamit, potasium dan alat-alat yang merusak
lainnya.
3. Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah sebagai Solusi Pengelolaan Perikanan
Berkelanjutan:Kasus Awig-awig di Lombok Barat
Semakin menurunnya hasil tangkapan ikan akibat aktivitas penggunaan
alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, maka masyarakat nelayan menghendaki
suatu aturan yang tegas dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut,
sehingga dapat menciptakan kelestarian sumberdaya dan peningkatan
pendapatan masyarakat nelayan. Permasalahan-permasalahan yang kerap
muncul dan menjadi bahan perbincangan masyarakat nelayan tersebut,
langsung disikapi oleh para pimpinan kelompok untuk ditindaklanjuti
ditingkat skala kecil, yaitu dengan cara menyelenggarakan diskusi kelompok
nelayan di desa masing-masing. Agenda yang dibahas dalam diskusi kelompok
adalah mengusulkan beberapa aturan pokok yang akan disampaikan di rapat besar.
Adapun aturan pokok yang harus disampaikan adalah meliputi, yaitu: (a)
wilayah tangkapan dan alat tangkap yang diperbolehkan; (b) pengeboman,
potasium sianida dan bahan berbahaya beracun lainnya; dan (c) kelembagaan
yang mampu menegakan awig-awig beserta sanksinya. Sementara itu, dalam
proses rapat besar dimulai oleh masyarakat nelayan yang tergabung dalam
kelompok nelayan Patuh Angen (Kecamatan Tanjung) dan kelompok nelayan
Sumber Laut (Kecamatan Gangga) pada tanggal 6 Maret 2000 yang
melakukan pertemuan di Dusun Jambianom, Sokong, Kecamatan Tanjung.
Dalam pertemuan itu membahas masalah tentang nelayan yang masih
menggunakan bahan peledak, potas dan bahan beracun lainnya yang
mengancam kelestarian biota-biota laut.
Dalam rapat besar ini lebih difokuskan kepada penanggulangan
aktivitas pengeboman dan pemotasan, sehingga kesepakatan yang berhasil
ditetapkan secara tertulis hanya mengatur kedua alat tangkap yang sifatnya
destruktif saja, yaitu bom dan potasium. Sedangkan untuk operasional
12

wilayah dan alat tangkap lainnya, seperti alat tangkap sejenis pancing dan
jaring hanya bersifat kesepakatan tanpa tertulis. Adapun hasil kesepakatan atau
awig-awig yang disahkan secara tertulis dalam rapat besar tersebut adalah sebagai
berikut : 1. Apabila ditemukan dan terbukti ada oknum yang melakukan
pengeboman dan pemotasan serta penangkapan ikan dengan bahan beracun lainnya,
maka oknum tersebut ditangkap oleh kelompok nelayan kemudian diserahkan.
Dalam rapat besar ini lebih difokuskan kepada penanggulangan aktivitas
pengeboman dan pemotasan, sehingga kesepakatan yang berhasil ditetapkan
secara tertulis hanya mengatur kedua alat tangkap yang sifatnya destruktif saja,
yaitu bom dan potasium. Sedangkan untuk operasional wilayah dan alat
tangkap lainnya, seperti alat tangkap sejenis pancing dan jaring hanya bersifat
kesepakatan tanpa tertulis.
Adapun hasil kesepakatan atau awig-awig yang disahkan secara tertulis dalam
rapat besar tersebut adalah sebagai berikut :
a. Apabila ditemukan dan terbukti ada oknum yang melakukan pengeboman
dan pemotasan serta penangkapan ikan dengan bahan beracun lainnya, maka
oknum tersebut ditangkap oleh kelompok nelayan kemudian diserahkan
kepada pihak yang berwajib dimasing-masing wilayah kecamatan yang
bersangkutan untuk membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi
perbuatan tersebut serta dibebani denda uang maksimal Rp 10.000.000,00
untuk kemudian dilepas kembali.
b. Apabila oknum tersebut untuk kedua kalinya terbukti melakukan perbuatan ini
lagi, maka kelompok nelayan akan bersama-sama menangkap oknum
tersebut kemudian dilakukan pengrusakan atau pembakaran terhadap alat
serta sarana dukung yang dipergunakan dalam kegiatannya
c. Apabila setelah dikenakan sanksi pada point pertama dan kedua tersebut di atas,
oknum tersebut masih melakukan kegiatannya dan terbukti, maka
kelompok nelayan akan menghakiminya dengan pemukulan massal tidak
sampai mati.
4. Analisis Transformasi Awig-Awig dalam Pengelolaan Hutan Adat (Studi Kasus
Pada Komunitas Wetu Telu di Daerah Bayan, Lombok)
13

Kearifan lokal KWT dalam mengelola hutan adat di Bayan, disusun


dalam bentuk aturan-aturan adat (hukum adat) yang disebut awig-awig. Tidak
diketahui secara pasti, kapan sebetulnya awig-awigmulai dibuat dan
diberlakukan. Namun, yang jelas bahwa awig-awigmerupakan peninggalan
leluhur, yang diwariskan secara turun temurun, dan berlaku lintas generasi.
Hukum adat, pada hakekatnya adalah cerminan dari ciri-ciri, watak, sikap
hidup, dan andangan hidup masyarakat adat (Surangangga, 2006). Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan jika awig-awig tetap digunakan oleh masyarakat
adat Bayan sebagai pedoman dalam mengelola hutan adat, meskipun dalam
tahap perkembangan berikutnya seringkali mengalamidinamika seiring
perkembangan sosial politik. Hal ini disebabkan sumber pembentukan awig-
awigberasal dari berbagai aturan, norma, kebiasaan, dan nilai-nilai
peninggalan leluhur mereka; yang disusun dan disepakati bersama melalui
musyawarah/sidang adat yang disebut gundem, yang diselenggarakan oleh
Lembaga Adat Awig-awig yang merupakan produk hukum organisasi
tradisional dibuat secara musyawarah dan mufakat, untuk mengatur
masalah tertentu dengan maksud memelihara ketertiban dan keamanan
dalam kehidupan masyarakat (Solihin dan Satria, 2007). Dalam kasus
pengelolaan hutan adat oleh KWT, penggunaan awig-awig dimaksudkan
sebagai upaya untuk menciptakan harmonisasi hubungan manusia dengan
sesama, dengan tuhan, dan alam.
Aturan-aturan yang terdapat dalam awig-awig pengelolaan hutan di
Daerah Bayan mengatur 3 hal, yaitu larangan, sanksi, prosesi sidang adat
(Tim Peneliti dan Pengkaji Lombok Barat, 2006). Ketiga hal tersebut
merupakan pedoman yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang akan
memanfaatkan hutan adat di Daerah Bayan
Aturan-aturan yang tercantum dalam awig-awig pengelolaan hutan adat di Daerah
Bayan

No Ha-hal yang diatur Aturan-aturan adat yang tercantum


dalam awig-awig
14

1 Larangan 1. Dilarang membuka lahan di hutan adat


2. Dilarang menebang pohon di dalam
hutan adat
3. Dilarang berburu di dalam hutan adat
4. Dilarang menambatkan atau melepas
hewan ternak di dalam hutan adat
5. Dilarang melakukan pembakaran di
dalam kawasan hutan adat
2 Sanksi 1. Kepeng bolong (uang kuno) 10.000
2. Beras 1 kwintal
3. Kerbau 1 ekor
4. Ayam 1 ekor
5. Kelapa 2 buah
6. Gula 2 longsor
7. Menanam pohon sesuai dengan jenis
yang ditebang
3 Prosesi sidang adat 1. Jika terjadi pelanggaran awig-awig,
Pemangku (penjaga hutan) melaporkan
kepada Pembekel.
2. Pembekel menyelenggarakan sidang
adat (gundem) bersama dengan tokoh
adat yang lain.
3. Sidang adat yang dipimpin oleh
Pembekel dilaksanakan dengan
menghadirkan pelanggar, saksi-saksi,
dan disertai alat bukti

Sumber: Data Primer Diolah; Tim Peneliti dan Pengkaji Lombok Barat, 2006
5. Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran Awig-Awig Desa Adat Oleh Karma Desa
Di Desa Adat Mengwi Kecamawatan Mengwi Kabupaten Badung Propinsi Bali
Desa Adat sangat penting dalam kehidupan umat Hindu di Bali, hal
itu disebabkan semua umat Hindu yang merupakan penduduk mayoritas di
15

pulau Bali adalah anggota Desa Adat.. Dimana Desa Adat maupun Desa
Pakraman agar memiliki Awig-awig (peraturan desa) tertulis, supaya ada
kepastian tentang pelaksanaan awig-awig di Desa Adat dan Desa Pakraman.
Maka dari itu awig-awig di dalam Desa Adat sangat diperlukan, karena di
samping sebagai aturan-aturan pelaksana di dalam wadah dari kesatuan
masyarakat hukum adat di Bali berdasarkan satu kesatuan tradisi dan tata krama
pergaulan hidup yang diwariskan secara turun temurun dan diikat oleh
falsafah Tri Hita Karana, dimana Desa Adat dan awig-awignya sesuai
dengan fungsi dan posisinya, akan selalu berperanan aktif dalam rangka
menjaring nilai-nilai baru dalam pembangunan sehingga keberadaanya dan
penerapannya mutlak diperlukan, khusunya dalam hal penerapan sanksi jika
terjadi pelanggaran terhadap awig-awig oleh Krama Desa Adat Mengwi serta
hambatan-hambatan yang dialami dalam penerapannya tersebut di Desa
Adat Mengwi Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Propinsi Bali.
Dalam hal ini, beberapa hal dan istilah yang ada dalam isi pokok awig-awig desa
adat, adalah sebagai berikut:
a. Tentang Batas-batas Desa
Hendaknya dipastikan batas-batas berlakunya awig-awig dengan tegas dan
mudah diketahui atau dengan kata lain dipastikan wilayah serta ruang
lingkup dari desa adat dimana awig-awig tersebut diberlakukan karena
mengikat setiap desa adat akan mempunyai awig-awig tersendiri yang
satu dengan yang lainnya tersebut berbeda.
b. Tentang anggota desa dan kewajibannya menurut adat tradisional
masing-masing
Perlu juga untuk diketahui, bahwa dalam desa adat tersebut biasanya
terdapat anggota yang utama atau disebut juga menampung anggota
sampingan. Jadi karena adanya dua unsur berbeda ini, maka awig-awig
yang diberlakukan haruslah bersifat fleksibel sehingga satu sama lain tidak
merasa saling merugikan.
c. Tentang Parjuru atau Perangkat Desa
Prajuru atau perangkat desa tersebut adalah anggota atau krama desa adat
yang diberi kepercayan untuk mengatur pemerintahan yang diangkat
16

oleh krama desa sendiri serta mengatur hubungan antar krama,


lingkungannya dan hubungan keagamaan. Mulai dari persyaratan untuk
menjadi prajuru adat sampai penertiban wewenang yang perlu diperinci
secara pasti otoritas yang merupakan otonomi asli perlu dikembalikan
sehingga prinsip kewenangan menyelesaikan sanksi-sanksi adat dapat
dipertanggung jawabkan.
d. Tentang Paruman.(Rapat Desa)
Perihal paruman atau rapat-rapat didasarkan atas musyawarah mufakat.
Dan mengenai ketentuan tempat rapat pada awig-awig itu sendiri, pakaian
serta sarana-sarana yang lainnya.
e. Tentang Kulkul atau Kentongan.
Ketentuan bunyi kulkul perlu dipastikan sesuai dengan ketentuan menurut
penggunaanya kecuali untuk menyatakan bahaya perlu diseragamkan
untuk masing-masing Banjar dalam suatu Desa Adat.
f. Tentang Upacara-upacara Agama (Yadnya)
Kewajiban utama desa adalah menjunjung tinggi agama itulah sebabnya
seluruh isi awig-awig hendaknya memperlancar pelaksanaan Upacara
Agama.
g. Tentang Ketertiban Status Orang-orang (Anggota krama desa)
Mengenai masalah perkawinan, perceraian, dan sentana ditandai
dengan upacara yang disaksikan oleh Prajuru Desa Adat dan disiarkan ke
seluruh wilayah desa kepada masyarakat, pula mengenai ahli waris
hendaknya dihitung dari Pancer Purusa.Maksud dari diambilnya garis
keturunan dari Pancer Purusa sudah kita ketahui bersama bahwa ahli waris
yang sah di Bali dominannya terletak pada laki-laki (patrilineal) dalam
pengertian ini, anak laki-laki sedemikian juga disebut anak sentana,
sebutan atau istilah mana berasal dari sentana yang berarti pelanjut
keturunan. Mengenai kata sentana ini, dikenal pula dalam penyebutan
terhadap selain di atas seperti “Sentana Rajeg” yaitu anak wanita
ditingkatkan kedudukannya menjadi anak sentana, berarti ia dianggap
telah beralih status dari status perempuan ke status laki-laki. Sedangkan
dalam bentuknya yang lain ada pula penyebutan terhadap perkawinan,
17

dimana seoarng laki-laki itu berdiam serta masuk kerumpun keluarga


mempelai perempuan disebut “Kawin Nyentana”. Tetapi dalam arti
sempit dimaksudkan atau disebutkan pula istilah yang dapat dipakai
untuk menaikkan anak angkat dalam kedudukannya yang sudah disamakan
dengan anak kandung setelah sah dilakukan pengangkatan itu lewat
upacara meperas dan anak ini disebut “Sentana Perasan”. Anak terakhir
ini haruslah anak laki-laki atau setidaknya status anak yang
diangkat setidaknya ditingkatkan menjadi laki-laki, sehingga tujuan
pengangkatan anak yaitu untuk melanjutkan keturunan dapat dipenuhi.
Sebab, menurut pengertian diatas, hanya anak sentana (anak laki-laki,
anak wanita yang kedudukannya ditingkatkan menjadi anak laki-laki sentana
rajeg) yang akan meneruskan keturunan keluarga dan menumbuhkan garis
keturunan dari laki-laki (Status laki-laki yang purusa). Garis keturunan inilah
yang dalam Hukum Adat Bali, akan tergambar jelas garis keturunan
inilah yang nantinya mewaris. Di dalam kehidupan orang Bali, dikenal
bebrapa istilah atau pengertian dan macam anak. Anak sentana rajeg,
seperti diuraikan di atas yaitu bila di dalam suatu keluarga hanya dapat
dilahirkan satu anak dan wanita, maka anak ini diangkat statusnya
menjadi berstatus laki-laki. Hal ini akan terjadi bila anak perempuan itu
kawin keceburin (menarik suaminya masuk ke keluarga ayahnya atau tidak
kawin). Sedangkan anak dalam arti anak kandung sendiri adalah anak
laki-laki dan perempuan yang lahir dari perkawinan yang sah, dimana anak
laki-laki adalah berstatus sama anak sentana rajeg di diatas. Sedangkan
anak-anak perempuan adalah anak-anak yang tidak mewaris. Disamping itu
di Bali dikenal juga istilah anak angkat anak ini sama kedudukannya
dengan anak kandung sendiri karena status ini bisa mewaris dari harta
kekayaan orang tuanya yang mengangkatnya sebagai anak kandung.
h. Tentang Harta Kekayaan Desa.
Segenap kekayaan desa seperti khayangan dengan tanah
pelaba pura, karang desa seperti setra (kuburan) dan bangunan yang
perlu mendapat kepastian, baik itu tempat, penggunaan maupun
penyuciaanya, untuk lebih mengingat sejauh mana harta kekayaan itu
18

sendiri, maksudnya mengenai tanah yang menjadi pokok di dalam kita


membicarakan Harta Kekayaan Desa di atas. Tanah ayahan desa bukanlah
menjadi hak milik perseorangan. Tiap-tiap warga desa yang
memegang tanah ayahan desa hanya memegang hak pakai secara turun
temurun, sedang hak milik atau status hak milik dari tanah ayahan desa
masing-masing dipegang oleh desa, karena itu tanah ayahan desa pada
prinsipnya tidak boleh dijual. Dijual dalam arti warga pemegang tanah
ayahan itu, mengalihkan tanah ayahan desa itu kepada orang lain
sebagai pengalihan hak milik namun demikian, penjualan tanah ayahan
desa dalam arti yang dijual bukan hak milik tetapi hak pakainya, terbatas
kepada hanya untuk orang-orang warga desa, dan seterusnya diberi
batasan kepada mereka yang belum memegang tanah ayahan desa dan
terbatasnya kepada mereka yang sudah turun ngayah.
i. Tentang Hakim Perdamaian Desa
Prajuru terutama Kelian Desa dianggap sebagai hakim
perdamaian desa, dapat mengurus perkara-perkara warga desa yang
berkenaan dengan adat, dan berhak memberi keputusan-keputusan besar
kecilnya ketentuan denda yang diserahkan kepada musyawarah desa
dengan tidak mengabaikan unsur-unsur pertimbangan peri kemanusiaan
yang lebih utama adalah dimaksudkan untuk memegang teguh
kesucian dan kekompakkan desa.
Berbicara tentang hakim perdamaian desa merupakan suatu
unsur yang sangat begitu prinsip oleh karena masalah adat Bali adalah
keberadaan masyarakat adat. Hakim perdamaian desa disini berfungsi sebagai
tempat untuk mengadukan masalah adat yang mana prajuru yang berhak
untuk memutuskan segala sesuatunya yang dimaksudkan dengan prajuru
tiada lain adalah Kelian Desa Adat yang memegang teguh dari keputusan
yang telah menjadi pedoman oleh para prajuru sendiri. Sesuai dengan hasil
sangkepan atau yang lebih dikenal dengan peparuman desa.
Sanksi-sanksi dalam Awig-awig Desa Adat yang dimaksud terdapat pada
pawos 63 indik pamindanda adalah:
19

a. Desa miwah banjar wenang niwakang pamindanda ring krama/warga


desa/banjar sane sisip (Desa dan Banjar juga bisa
memidanda/memberikan sanksi kepada warga desa/warga banjar yang
bersalah).
b. Tatiwak danda inucap kalaksanayang olih Kelihan Desa Adat /Kelihan
Banjar, manut kawentenan. (Sanksi/denda itu dilaksanakan oleh Kelihan
Adat Banjar dan Kelihan Desa Adat sesuai dengan situasi).
c. Bacakan pamidanda luwire ( Macam-macam sanksi /denda ) :
1) Antuk ayahan maka penukun sisip (Denda dengan tenaga,
denda/sanksi yang dimaksud yaitu ; melakukan kegiatan gotong
royong).
2) Danda artha mawit saking dadosan, pamindanda, urunan, seselangun
miwah keteke tekeng penikel-tikelnya. (Denda artha, denda /sanksi
yang dimaksud yaitu : berupa pembayaran sejumlah uang atau harta
benda).
3) Rerampangan (Denda pengasilan, denda / sanksi yang dimaksud yaitu ;
berupa pembayaran sejumlah barang dan uang).
4) Keadut karang ayahanya (Denda kecabut tanah ayahannya,
denda/sanksi yang dimaksud yaitu : karang atau tanah yang
ditempatinya diambil oleh desa adat melalui prajuru adat dan krama
yang menempati tanah tersebut tidak memiliki hak dan kewajiban
sebagai krama desa).
5) Kesepekang. Denda kesepekang (dikucilkan), denda / sanksi yang
dimaksud yaitu : tidak diajak ngomong / mekrama desa bagi krama
yang melanggar ketentuan awig-awig.
6) Peyanggaskara. Denda peyanggaaskara (melakukan pamarisuda),
denda/sanksi yang dimaksud yaitu : hukuman dalam bentuk upacara
agama seperti, melakukan upakara pakeling di Pura Kahyangan Tiga
untuk menyucikan dan menyeimbangkan unsur skala dan
niskala.(dunia akhirat) 4.
20

d. Pamidanda sane katiwakan patut madudonan, masor singgih manut


kaiwangan (sanksi yang dikenakan supaya dibeda-bedakan sesuai dengan
kesalahannya).
e. Jinah pamidanda / raja berana olih-olihan pamidanda inucap kengin
ngeranjing dados druwen Desa/Banjar. (sanksi berupa arta kekayaan
menjadi milik desa atau banjar) (Aryawan,2015).
6. Pemanfaatan Awig-Awig Dalam Pengelolaan Keuangan Desa Untuk
Meningkatkan Pendapatan Desa Pakraman Banjar, Di Desa Banjar, Kecamatan
Banjar, Kabupaten Bulelen
Tiap desa adat di Bali mempunyai aturan (tertulis maupun tidak terlulis)
yang berlaku bagi semua masyarakat, bentuk aturan ini disebut dengan awig-awig.
Awig-awig adalah peraturan adat yang dipergunakan oleh prajuru desa pakraman
dalam menjalankan kegiatan-kegiatan di desa pakraman. Desa adat sebagai salah
satu bentuk pemerintahan yang masih berbentuk tradisional, dalam segala hal yang
masih berpegang teguh dengan kebersamaan antar krama desa adat. Salah satunya
dalam menentukan sebuah keputusan, desa adat biasanya melakukan sebuah
pertemuan yang disebut dengan paruman untuk memperoleh sebuah kata mufakat
untuk kepentingan bersama. Segala sesuatu yang dimiliki oleh desa adat dan atau
dikelola oleh desa adat harus di atur dalam peraturan adat yaitu berupa awig-awig,
salah satunya aturan yang tertuang dalam awig-awig mengenai iuran pengampel.
Pengurus atau prajuru desa adat dari yang paling tinggi yaitu kepala desa
adat hingga kelian dusun desa pakraman memiliki hak dalam memberikan sanksi
kepada warga atau krama yang melanggar aturan dalam awig-awig. Terdapat
beberapa jenis sanksi yang diberikan kepada krama yang melanggar aturan iuran
pengampel, yaitu:
a. Sanksi sosial yang berupa pengasingan dari interaksi warga, tidak dilayani
disaat pelanggar memiliki pernikahan, dan tidak dilayani pada saat
persembahyangan di pura yang ada di desa adat.
b. Sanksi berupa pelarangan penggunaan kuburan desa adat jika pelanggar iuran
pengampel tidak mampu melunasi kewajibannya hingga pelanggar tersebut
meninggal dunia.
21

Sanksi ini diberikan dimaksudkan untuk mengikat krama adat agar


senantiasa menaati peraturan yang telah disepakati dari awal munculnya desa
pakraman itu sendiri. Selain hal itu, sanksi mengikat ini lebih di takuti oleh krama
adat karena mereka bertanggungjawab atas urusan secara niskala maupun sekala
yang berhubungan langsung dengan desa adat. Jika ada krama yang melanggar
maka sanksinya pun tidak senantiasa secara langsung dirasakan namun sanksi
tersebut juga mampu memberikan efek jangka panjang ketika krama adat
melakukan pelanggaran adat. Penggunaan awig-awig dalam pengelolaan keuangan
desa adat untuk meningkatkan suatu pendapatan desa adat telah dilakukan dari
awig-awig itu dibentuk. Alasan pemanfaatan awig-awig dalam peningkatan
pendapatan desa adat, menurut Bapak Artawan selaku Bendahara desa pakraman
banjar sebagai berikut:

“Kami menggunakan awig-awig sebagai dasar pungutan iuran pengampel,


walaupun desa adat telah mendapatkan dana Bantuan Keuangan Khusus namun
iuran pengampel tetap dilakukan karena iuran pengampel itu sendiri telah ada
semenjak awig-awig dibentuk.”

Iuran pengampel ini merupakan salah satu sumber pendapatan desa


pakraman banjar selain dari dana BKK dan dana punia. Dasar penggunaan awig-
awig itu sendiri sangat berpengaruh dalam peningkatan pendapatan desa adat, hal
ini dikarenakan kewajiban krama dalam membayar iuran pengampel sebagai
sumbang bakti krama terhadap desa adat. Jika awig-awig tidak mengatur mengenai
iuran pengampel, maka pola pikir krama yang ada di desa adat dapat
menumbuhkan pemikiran yang mementingkan diri sendiri. Sehingga pemanfaatan
awig-awig sangat penting dalam pengelolaan keuangan di desa adat, selain
memberikan manfaat dalam hal peningkatan pendapatan desa adat, manfaat lain
juga dirasakan sebagai pengikat tingkah laku krama desa adat.

D. Hubungan Awig-Awig Dengan Pemberdayaan Masyarakat


Seperti telah diuraikan di atas bahwa begitu derasnya tekanan pengaruh
globalisasi yang mengakibatkan perubahan disegala aspek/bidang kehidupan manusia
yaitu perubahan pola pikir, perubahan pola sikap dan pola tindak terhadap manusia
22

Indonesia umumnya dan khususnya masyarakat Bali. Apa lagi Bali sebagai daerah
Pariwisata Indonesia bagian tengah, sudah barang tentu masyakat Bali tidak bisa
menghindari terhadap pengaruh dari globalisasi itu karena keseharian bergaul dengan
orang asing. Masyarakat Bali sudah mulai kehilangan jati dirinya karena orientasi
sudah dipengaruhi oleh serba uang/provit. Peradaban orang Bali sudah mengalami
perubahan seperti hilangnya sifat gotong royong, saling asah, saling asuh, saling asuh,
salulung sabayantaka, hidup kebersamaan (briak-briuk), parasparos sarpanaya sudah
semakin menipis. Persoalan ini sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat serius
bagi Masyarakat Bali itu sendiri, karena Bali sebagai daerah Pariwisata Indonesia
bagian tengah hanya memiliki modal budaya saja, kalau tidak akan ditangani dengan
serius Bali akan kehilangan Balinya, secara otomatis tidak akan menarik lagi bagi para
wisatawan.
Apabila kita perhatikan dalam hal wewenang Desa Adat membuat aturan
desa/Awig-awig yang akan diberlakukan dalam desa Adat ada dasar hukumnya yaitu
Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam Pasal 103 Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 dinyatakan dimana Desa Adat diberikan kewenangan
berdasarkan hak-hak yang meliputi:

1. Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan


susunan asli;
2. Pengaturan dan pengurusan ulayat/wilayah desa adat;
3. Pelestarian nilai sosial budaya adat;
4. Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa
Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan
mengutamakan penyelesaian musyawarah mufakat;
5. Penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan
ketentuan peraturan perudang-undangan;
6. Pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan
hukum adat yang berlaku di desa Adat; dan
7. Pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat Desa Adat.
Demikian pula dalam pasal 104 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
mengatur pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan
23

berskala lokal Desa Adat, sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf (a) dan Huruf
(b) serta pasal 103 diatur dan diurus oleh Desa Adat dengan memperhatikan prinsip
keberagaman. Kalau dicermati bunyi pasal 104 ini mengatur pelaksanaan kewenangan
berdasarkan asal-asul serta kewenangan berskala lokal ini berarti secara tegas
pemerintah memberikan Desa Adat otonomi dalam menjalankan Adat itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut masaing-masing Desa adat di bali wajib menyusun
peraturan Desa Adat/Awig-Awig serta memperhatikan perubahan yang terjadi di
masyarakat. Sedangkan awig-awig merupakan suatu ketentuan yang mengatur tata
krama pergaulan hidup dalam masyarakat baik mewujudkan suatu tata kehidupan yang
ajeg di masyarakat. Sedangkan awig- awig itu dibuat oleh anggota masyarakat/krama
desa adat/ krama Banjar yang dipakai sebagai pedoman dalam melaksanakan interaksi
kehidupan sosial sehari-hari dalam masyarakat. Dalam awig-awig diatur hak dan
kewajiban dari krama di desa adat dengan disertai sanksi yang tegas, lebih nyata dan
lazimnya dalam bentuk tulisan. Awig-awig menjadi pedoman/patokan, atau batasan-
batasan tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, selakigus
mempunyai pearanan menetukan bentuk reaksi bagi pelanggarnya. Berbicara
mengenai awig-awig yang terdapat di desa adat merupakan perujudan hukum adat,
sangat memegang peranan penting dalam mengatur tata kehidupan/ sebagai filter
pengaruh negatif terhadap masyarakat dalam bidang agama, kebutaan, dan sosial
ekonomi .
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitasi yang bersifat
musyawarah, guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
masyarakat, agar mampu mengidentifikasi masalah yang dihadapi, potensi
yang dimiliki, merencanakan dan melakukan penyelesaiannya dengan
memanfaatkan potensi masyarakat setempat. Pemberdayan masyarakat
(Community Empowerment) menjadi isu utama dalam program dan
orientasi masyarakat secara aktif melalui pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat adalah komitmen dalam memberdayakan
masyarakat lapis bawah sehingga mereka memiliki berbagai pilihan nyata
yang menyangkut masa depannya.
Seperti adanya tradisi awig-awig (hukum adat) yang berada di Bali dan di
Lombok barat, tradisi ini merupakan ketentuan yang mengatur tata krama
pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan
yang ajeg di masyarakat Sehingga dengan aturan-aturan yang ada
membuat masyarakat setempat mematuhi aturan dan mereka membuat
usaha-usaha mandiri tanpa merusak kelestairan alam.

B. Saran
Kepada pemerintah daerah dan masyarakat setempat agar tetap menjaga
dan melestarikan tradisi awig-awig. Tidak hanya di Bali dan Lombok
Barat, supaya daerah-daerah lain juga meniru tradisi ini dikarenakan
tradisi ini sangat membanu masyarakat untuk meningkatkan tingkat
kemandirian desa atau daerah setempat.

24
DAFTAR PUSTAKA

Aryawan,Budi.2015. Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran Awig-Awig Desa Adat


Oleh Krama Desa Di Desa Adat Mengwi Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung
Propinsi Bali. Jurnal sosial.
http://eprints.undip.ac.id/16843/1/BUDI_KRESNA_ARYAWAN%2C_SH.pdf.
(Diakses 18 Maret 2020 Jam 2:16 WIB)

Gusti,Ayu,dkk..2018. Pemanfaatan Awig-Awig Dalam Pengelolaan Keuangan Desa


Untuk Meningkatkan Pendapatan Desa Pakraman Banjar, Di Desa Banjar,
Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Jurnal Sosial. Universitas
Ganesha.Indonesia.https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/S1ak/article/download
/20434/13028 (Diakses : 18 Maret 2020 jam 2:39 WIB)

Herdiaa,ike.2010.Pemberdayaan dan Fungsi Media dalam Pemberdayaan Masyarkat.


Insan Media Psikologi vol.12-No.3

Jayadi, Edi dan Soemarno. 2016. Analisis Transformasi Awig-Awig dalam Pengelolaan
Hutan Adat (Studi Kasus Pada Komunitas Wetu Telu di Daerah Bayan, Lombok )
Indonesian Green Technology Journal (Diakses : 18 Maret 2020 jam 2:39 WIB)
Pamungkas,Danang. 2017. Problem Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Jakarta : PRP INDONESIA.org
Pudjiastuti, Tri. 2019 . Pendekatan Kearifan Lokal "Awig-Awig" dalam Pengentasan
Kemiskinan Masyarakat Pesisir Lombok. Artikel. Biro Kerja Sama, Hukum,
dan Humas LIPI. http://lipi.go.id/berita/single/Pendekatan-Kearifan-Lokal-Awig-
Awig-dalam-Pengentasan-Kemiskinan-Masyarakat-Pesisir-Lombok/21683.
(Diakses : 18 Maret 2020 jam 10:41 WIB)

Peraturan daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Peraturan
daerah Propinsi Bali.
Ridwan,I ketut. 2017. Peranan Awig-Awig Dalam Melestarikan Adat Dan Budaya Di
Bali. http://ejourn
al.undwi.ac.id/index.php/widyaaccarya/article/download/433/399 . (Diakses pada
tanggal 18 Maret 2020)

Solihin,Akhmad.2017. Analisis awig-awig dalam pengelolaan sumber daya perikanan di


Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. IPB Bogor.
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/22047 (Diakes : 18 Maret 2020
jam : 11:11 WIB)
Solihin, Akhmad dan Arif Satria. 2017. Hak Ulayat Laut di Era Otonomi Daerah sebagai
Solusi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan:Kasus Awig-awig di Lombok Barat.
Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia
https://media.neliti.com/media/publications/181046-ID-hak-ulayat-laut-di-era-
otonomi-daerah-se.pdf (Diakses : 18 Maret 2020 jam 12:05 WIB)

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa


Yanti.2016. “Awig-Awig Dalam Desa Pakraman”. http://www.jdih.karangasemkab.
go.id/kegiatan/awig-awig-dalam-desa-pakraman. Diakses pada 18/03/2020.

Undang-Undang NO.6. 2014. tentang Desa

Anda mungkin juga menyukai