Anda di halaman 1dari 12

STRUKTURALISME DAN PERKEMBANGANNYA

Oleh:
Rahmathias Jusuf
Email: rahmathiasjusuf@iain-manado.ac.id

PROGRAM STUDI PASCA SARJANA


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MANADO
2017
A. Prawacana
Jika seseorang hendak mempelajari Strukturalisme maka segera akan
terbentur pada berbagai kesulitan. Hal demikian dapat terjadi karena dalam
kalangan ilmiah, istilah ”Struktur” dan ”Strukturalisme” banyak dipakai dan tidak
selalu dalam arti yang sama. Istilah-istilah itu dipakai dalam bidang matematika,
logika, fisika, biologi, psikologi, sosiologi, ilmu bahasa, dan ilmu-ilmu
kemanusiaan lainnya.1 Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang
digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari
prinsip-prinsip linguistik yang dirintis oleh ferdinand de Saussure. Disini ilmu-
ilmu kemanusiaan dimaksudkan sebagai ilmu-ilmu yang dalam terminologi
Dilthey disebut Geisteswissenschaften, yang dibedakan dari ilmu-ilmu
pengetahuan alam atau Naturwissenschaften. Selanjutnya, Strukturalisme
merupakan suatu aliran filsafat yang hendak memahami sejumlah masalah yang
muncul dalam sejarah filsafat. Disini metodologi struktural dipakai untuk
membahas manusia, sejarah, kebudayaan, serta hubungan antara kebudayaan dan
alam, yaitu dengan membuka secara sistematik struktur-struktur mental universal
dan struktur-struktur sosial yang lebih luas, dalam kesusasteraan dan dalam pola-
pola psikologi tak sadar yang menggerakkan tindakan manusia.2
Dari uraian di atas, pengertian Strukturalisme yang pertama mempunyai
dimensi epistemologi. Aliran filsafat Strukturalisme pada pengertian pertama
ingin memberikan status ilmiah pada ilmu-ilmu kemanusiaan. Sedangkan
pengertian Strukturalisme yang kedua lebih bersifat mazhab atau aliran yang
berusaha menerapkan metode struktural dalam berbagai bidang ilmu. Pengertian
Strukturalisme yang kedua ini mempunyai dampak yang lebih luas sehingga
melahirkan berbagai macam bentuk dan corak filsafat Strukturalisme.3 Secara

1
K Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 176
pada bahasan yang lain, Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang
mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur
yang sama dan tetap. Selain itu Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan
aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh
waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan.
Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan
timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat).

2
E Kurzwell, The Age of Structuralism, (New York: Columbia University Press, 1980), h.
10 Strukturlism dalam bahasa Inggris dari latin Struere dengan arti membangun. Struktura berarti
bentuk bangunan. Jadi strukturalisme merupakan aliran yang lebih mementingkan sebuah sistem
yang menjadi latar belakang adanya Linguistik sebagai suatu konsep dasar, Sausure Prancis,
strukturalisme ajaran pokoknya adalah masyarakat dan kebudayaan memiliki suatu struktur yang
sama dan tetap. F. Sausure yang mendominasi munculnya strukturalisme dengan beberapa
penemuan-penemuan (pengkajian) yang dapat dicermati sebagai suatu bentuk analisa terstruktur
dalam pola kebahasaan diantaranya mengenai Signified (tinanda) dan signifier (penanda), form
(bentuk),Langue (bahasa) dan Parol (tuturan), serta sinkroni (peninjauanahistoris)dan diakroni (pe
ninjauan historis), sintagmatik dan paradigmatik. Lihat Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis
Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo, 2016), h. 175

3
Epistemologi adalah kata lain dari filsafat ilmu berasal dari bahasa Latin episteme, berarti
knowledge, yaitu pengetahuan dan logos, berarti theory. Jadi epistemologi berarti teori
umum juga dapat dikatakan bahwa Strukturalisme merupakan aliran dalam
filsafat, linguistik, psikiatri, fenomenologi agama, ekonomi dan politik. Pada
pemahaman tersebut, Strukturalisme menyelidiki pola-pola dasar yang tetap
(pattern) dalam bahasa-bahasa, agama-agama, sistem-sistem ekonomi dan politik,
serta dalam karya-karya kesusasteraan.4
Teori yang mendasari filsafat Strukturalisme adalah teori tentang bahasa,
khususnya teori linguistik modern yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure
(1957-1913), seorang linguis berkebangsaan Swedia. Karir akademisnya diawali
dengan mengajar di Paris, dan akhirnya menjadi professor di Jenewa, kota tempat
ia mendirikan Mazhab Jenewa. Selama hidupnya Saussure hanya
mempublikasikan sedikit karangan, sedangkan buku yang membuat namanya
menjadi terkenal di bidang linguistik diterbitkan oleh murid-muridnya dengan
judul Cours de Linguistique Generale (Kursus Tentang Linguistik Umum) yang
diterbitkan pada tahun 1916. Beberapa prinsip yang digunakan oleh para penganut

pengetahuan atau teori tentang metode, cara, dan dasar ilmu pengetahuan, atau studi tentang
hakikat tertinggi, kebenaran dan batasan ilmu manusia. Dalam filsafat epistemologi merupakan
cabang filsafat yang meneliti asal, struktur, metode-metode, dan kesahihan pengetahuan.
Epistemologi berbeda dengan logika. Jika logika merupakan sains formal yang berkenaan dengan
atau tentang prinsip-prinsip penalaran yang sahih, epistemology adalah sains filosofis tentang asal
usul pengetahuan dan kebenaran. Cermati Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung:
Pustaka Setia, 2011), h. 131 Lihat Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, (Bandung: Pustaka Setia,
2008), h. 30 Epistemologi adalah analisis filsafat terhadap sumber sumber pengetahuan. Dari mana
dan bagaimana pengetahuan diperoleh, menjadi kajian epistemology. Sementara itu, pengetahuan
mampu dikembangkan manusia disebabkan oleh dua hal utama, yakni pertama manusia
mempunyai bahasa yang mampu mengkomonikasikan informasi tersebut. Kedua, manusia mampu
mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap karena kemampuan berfikir menurut
suatu alur kerangka berfikir tertentu, yang dalam kajian ini penulis simpulkan sebagai konsep
dasar dari strukturalisme. Telaah Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 40 secara rinci tentang konsep pengetahuan, menurut
kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui
manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek)
memiliki yang diketahui (objek) didalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang
mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif. Lihat Lauren
Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 803. Penjelasan lainnya lihat juga
Burhanuddin Salam, Logika Materiil, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 28 Orang pragmatis,
tertuma John Dewey tidak membedakan pengetahuan dengan kebenaran (antara knowledge dengan
truth). Jadi pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar adalah kontradiksi. Sebagai pengantar
kajian, pengetahuan terdiri atas Pengetahuan ilmu (secience), yaitu ilmu dalam pengertian yang
sempit diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan
obyektif, dan Pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat
kontemplatif dan spekulatif. Filsafat membahas segala hal dengan kritis sehingga dapat diketahui
secara mendalam tentang apa yang sedang dikaji. Lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
Rajawali pres, 2012), h. 87-88
4
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat, (Yogyakarta: 1988), h. 92
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi
interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan
dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam bermacam bidang
pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem
filosofis.
aliran filsafat Strukturalisme berasal dari buku tersebut.5 Hal yang sangat penting
dari teori tentang bahasa dan mempunyai peranan besar dalam aliran filsafat
Strukturalisme seperti yang diuraikan dalam buku Saussure itu ialah masalah
distingsi (pembedaan) struktur bahasa. Hal-hal inilah yang menjadi bahasan dalam
kajian selanjutnya sebagai konstruksi dasar strukturalisme.

Pada prawacana sebelumnya telah di deskripsikan beberapa teori yang


mendasari kajian epistemologi strukturalisme. Epistemologi sebagai kontrol
struktural, mempunyai patron tersendiri dalam pembahasan ini. Pengetahuan
ilmiah dan filsafat mempengaruhi strukturalisme sebagai konstruksi pengetahuan.6
Pada deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-
sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara
fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Berangkat dari
seperangkat fakta yang akan diamati pada permulaannya, strukturalisme
menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu objek (hierarkinya, kaitan
timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat), dan lebih lanjut menciptakan
suatu model teoritis dari objek tersebut. Berdasarkan tahapan tersebut, penting
kiranya penulis memaparkan tokoh-tokoh dalam strukturalisme, untuk menelusuri
perkembangan strukturalisme.

B. Epistemologi Strukturalisme dan Perkembangannya


Strukturalisme sebagai proses membangun dalam berinteraksi satu sama lain
dan mengembangkan kebudayaan sendiri dengan tujuan sebagai reaksi terhadap
evolusionisme positif dengan menggunakan metode-merode riset struktural yang
dihasilkan oleh matematika, fisika dan ilmu-ilmu alam lainnya. Terciptanya
berbagai dialektika dan usaha-usaha tersebut, sehingga strukturalisme mulai
dikembangkan oleh beberapa filsuf seperti Claude Levi-Strauss (linguistic
perancis), Jacques Lacan (Psikoanalisa), Roland Barthes (Kritik sastra) dan filsuf-
filsuf strukturalis yang lain. Oleh karena itu, strukturalisme tidak hanya digunakan
untuk bahasa saja sebagaimana Perkembangan struktururalisme yang digunakan
dalam berbagi bidang oleh beberapa filsuf mewujudkan pentingnya relasi-relasi
dan komunikasi (social-komunis) yang terstruktur dalam kehidupan manusia.
Relasi-relasi dan komunikasi yang inten serta continuemewujudkan berbagai
akumulasi, revolusi serta evolusi dalam sebuah komunitas (polis). Usaha dalam
membangun itulah yang dijadikan landasan oleh pemikir-pemikir dalam
menganalisa realitas kehidupan. Tidak mudah untuk membentuk peradaban dalam
kehidupan manusia, karena adanya beberapa kesulitan-kesulitan, kejadian yang
tidak diharapkan, serta kejadian yang diluar dugaan. Diantara faktor-faktor yang
memajukan strukturalisme di dalam beberapa ilmu ialah diciptikannya semiotika
(kombinasi pemikiran), ide-ide Saussure dalam Linguistik, ide-ide Levi-Strauss
dalam Etnologi, dan L.S. Vygotsk dan Piaget dalam Psikologi, serta tampilnya
metalogika dann metamatematika (Frege, Hillbert).
5
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo, 2016), h.
171

6
Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 60
Berikut ini adalah tokoh-tokoh strukturalisme:7
1. Claude Levi-Strauss
Claude Levi-Strauss, dilahirkan di Brussel, Belgia, tahun 1908 dari orang
tua Yahudi yang berkebangsaan Prancis. Sebagai bapak struturalisme perancis,
Levi-strauss memadukan antara sosiologi dengan mengikut sertakan ilmu bahasa
dengan tujuan agar supaya lebih maju, yang terjadi sekitar 1920-an. Fonologi
terutama ditandai tiga cirri yang ketiga-tiganya dapat dimanfaatkan dalam ilmu
antropologi yaitu sebagai berikut:

1) Bahasa seluruhnya merupakan suatu sistem tanda, demikian pun juga,


unsusr-unsur bahasa yang disebut fonem-fonem merupakan suatu sistem
yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi.
2) Sistem itu dipelajari secara sinkonis, sebelum orang menyelami masalah-
masalah diakronis.
3) Hukum-hukum Linguistik memperlihatkan suatu taraf tak sadar. Hukum-
hukum tata bahasa misalnya diterapkan orang tanpa ragu-ragu. Padahal
orang tidak mengenal hukum-hukum itu secara sadar. Itu berarti bahwa
sistem bahasa dibentuk oleh “fisik manusiawi” yang tidak reflektif dan tidak
sadar.

Levi-Strauss juga memecahkan problem yang sering muncul dalam ahli


antropologi budaya, yaitu tentag totemisme. Menurutnya, totemisme sebagai
sebagai sistem sosiu-religius yang terdapat di tempat-tempat yang berbeda
(Australia, Afrika, dan Amerika) tanpa relasi satu sama lain. Totemisme hanya
sebagai salah satu penerapan dalam pemikiran konkret yang dijalankan oleh
masyarakat-masyarakat primitif. Totemisme juga merupakan suatu pendekatan
teoritis yang pertama terhadap realitas di mana realitas-realitas di mana relasi-
relasi konkret yang diamati yang diterapkan pada realitas itu sendiri.

2. Jacques Lacan
Jacques Lacan adalah salah satu tokoh dari strukturalisme yang menganggap
Levi-Strauss telah meninggalkan psikoanalisa Freud sebagai satu-satunya sumber
inspirasi bagi usahanya di bidang strukturalisme dan lebih memntingkan taraf tak
sadar. Ia dilahirkan di Paris dan belajar ilmu kedokteran serta psikiatri di kota
asalnya (1901-1981). Tahun 1932 ia meraih gelar “doktor dalam ilmu kedokteran”
dengan disertai la psychose paranoque dans ses rapport avec la
personalite (dicetak ulang tahun 1975) (Psikosa Paranoia dalam Hubungan
dengan Kepribadian). Tahun 1936 ia member ceramah pada kongres ke-14 dari
“Himpunan internasional untukpsikoanalisa” di Marienbad tentang teorinya yang
disebut “fase cermin” ia menolak sikap emperistis dan sientestis, ia menentang
bertambah pentingnya Ego psychology dikalangan mereka (Hartmann, Kris,
Loewenstein dan mempersoalkan tendensi “medikalisasi” pada analisis-analisis
Amerika. Dalam hal terakhir ia dekat dengan ikhtiar Freud sendiri dalam Masalah
analisa awam (1927). Di Paris is mendirikan suatu himpunan baru Societe

7
http://www.tokoh-tokoh strukturalisme, diakses rabu 1 Januari 2017
Francaise de Psychanalyse (1953). Tahun 1964 himpunan baru itu dibubarkan
dan diganti dengan Ecole Freudienne de Paris (sekolah Freudian di Paris).

Sejarah Lacan mengatakan bahwa Lacan sedikit banyak dipengaruhi oleh


Psikonalisa Freud Hegel dan juga Heidegger Dalam Spikonalisa Freud, ia
memperlihatkan suatu decentrement (dalam bahasa Inggris telah diterjemahkan)
pada manusia. ia memperkenalkan kita dengan kenyataan bahwa manusia
“seakan-akan tergeser dari pusatnya”. “manusia tidak lagi tuan atau penguasa
dalam rumahnya sendiri”, ini yang dikatakan Freud. Anggapan tersebut bukan
sebuah revolusi dalam cara memandang manusia yang dimainkan oleh kesadaran
dalam seluruh pemikiran Barat sejak Deskartes dan Lacan menjelaskan
ketidaksadaran itu dalam cahaya penemuan-penemuan Sausure
antara significant dan signifie, antara “penanda” dan “yang ditandakan”, juga
dibuat landasan oleh Lacan. Bahasa (langue seperti yang dimengerti Sausure )
merupakan suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang
mempunyai prioritas terhadap subyek yang berbicara. Manusia tidak membuat
sistem itu tapi sebaliknya takluk padanya. Menurut Lacan hal yang sama berlaku
juga untuk ketidaksadaran. Ketidaksadaran semacam Logos yang mendahului
manusia perseorangan.

Lacan juga membahas ketidak sadaran dalam konteks percakapan


psikoanalitis atau percakapan seorang psikoanalis sama pasiennya atau
analisannya. Merupakan pendapat Lacan akan hal itu ketidaksadaran mempunyai
struktur yang sama seperti bahasa. Ia juga sependapat dengan Freud bahwa
manusia “telah tergeser dari pusatnya. Dalam percakapan psikoanalitis subyek
tidak berbicara, tetapi dibicarakan: le sujet y est parle plutot qu’il ne
parle (Ecrits, hlm. 280). Bukan saya yang berbicara; ada yang bicara dalam diri
saya (it speeks in me). Ketidaksadaran merupakan le discours de
l’Autre (diskursus dari yang Lain) (Ecrist, hlm. 379). Dari beberapa uraian di atas,
sudah jelas bahwa Lacan tidak mempercayai dengan adanya peran subyek, oleh
karena itu ia beranggapan ada orang lain dalam diri manusia.

3. Roland Barthes
Tokoh ini yang memainkan peran penting dalam aliran strukturalisme pada
tahun 60-an dan 70-an di Paris (1915-1980). Ia dilahirkan di Cherbourg dan
dibesarkan di Bayonne serta Paris. Dan ia mempelajari sastra dan klasik (Yunani
dan Romawi) di Universitas Sorbonne, ia lama berobat di beberapa sanatoria
(1942-1947). Ia mengajar bahasa dan sastra Prancis di Bukarest (Rumania) dan
Kairo (Mesir). Sesudah kembali di Prancis ia bekerja untuk Centre national de
recherché scientique (Pusat rasional untuk penelitian ilmiah) dan menulis artikel-
artikel tentang sastra. Dari tahun 1960 ia menjadi asisten dan kemudian “direktur
studi” dari seksi keenamEcole pratique deshautes etudes. Pada tahun 1976 ia
diangkat sebagai professor untuk “semiologi literer” di College de Frauce. Tahun
1980 ia meninggal pada umur 64 tahun, akibat ditabrak mobil di jalanan Prancis
sebulan sebelumnya. Roland Barthes dipengaruhi oleh para filsuf yang menandai
zamannya, seperti misalnya eksistensialisme, marxisme, dan strukturalisme,
sehingga pemikirannya menentang segala macam kontinuitas serta kesatuan dan
sebaliknya menekankan diskontinuitas serta pluralitas.

Pemikiran-pemikirannya tidak jauh dari beberapa filusf yang menjadi


pengaruh dalam hidupnya. Seperti halnya Barthes mengikuti pendapat E.
Benveniste, ahli linguistik Prancis besar yang berasal dari Libanon. Benveniste
menekankan bahwa sekolompok tanda baru berarti bila dapat dibahasakan.
Karena itu bahasa mempunyai perioritas di atas semua sistem tanda-tanda yang
lain. Dalam karang yang telah dijelaskan di atas dalam buku yang berjudul Sistem
Mode, Barthes memperlihatkan bahwa dibelakangnya terdapat suatu sistem yang
mengatur kehidupan manusia dalam berinteraksi satu dengan yang lainya. Berthes
mempersoalkan pandangan tradisional, karena menurut Balzac sering
dibandingkan dengan melukis, akan tetapi Barthes memprlihatkan bahwa realisme
Balzac itu sebetulnya tidak melukiskan kehidupan, tetapi hanya pandangan-
pandangan yang sudah fixedtentang kehidupan. Ia melukiskan steroip-steroip
tentang kehidupan. Dengan demikian Barthes menganggap realisme terdiri bukan
atas meniru yang real, melainkan atas meniru suatu tiruan dari yang real. Sehingga
Barthes mulai penyelidikannya dengan membagi bukuSarrasine atas yang
disebutnya 561 lexies yang semua diberi nomor. Istilah lexie dipergunakan untuk
menunjukkan “satuan bacaan”. Ada Lexie yang terdiri dari beberapa kata dan
ada Lexie yang terdiri dari beberapa kalimat. Setelah teks dipotong-potong
menjadi satuan-satuan itu dapat dikombinasikan satu dipertentangkan. Untuk itu
ia menggunakan lima kode: kode hermeneutis dan aksional, kode semantik dan
simbolis, dan akhirnya kode referensial. Kode terahir misalnya menjadi relasi-
relasi dengan realitas di luar teks.

4. Louis Althusser
Pemikiran Althusser bertentangan dengan pemikiran tradisional, karena ia
menganggap bahwa Marx kelihatan keretakan epistemologis, suatu coupure
epistemologique. Keretakan itu berlangsung sekitar tahun 1845-1850. Hal itu
menjadi kebiasaan membagikan karya-karya Marx ke dalam dua kelompok, yaitu
karya mudanya dan karya pada waktu matangya sehingga menimbulkan definisi
Marx Tua dan Marx Muda. Asumsi-asumsi orang menganggap karya mudanya
diperdalam dan dikembangkan pada masa matangnya. Dengan kata lain, karya-
karya masa mudanya dengan dasar pengolahan teknis (berdasar ilmu
ekonomi) dari pandangan manusia pada masa mudanya. Akan tetapi menurut
Althusser kontinuitas semacam itu tidak ada. Antara kira-kira tahun 1845-1850. Ia
mengatakan Marx sudah berpaling dari pendapat-pendapat terdahulu. Sampai saat
itu Marx melukiskan suatu pandangan humanistik. Dalam konteks itu kerap kali ia
menggunakan konsep-konsep seperti: subyek, kodrat manusiawi, makna,
aliensi, dan sejarah. Dengan demikian, ia meneruskan pendirian antropologis dari
Kant, Hegel, Fiche, dan Feuerbach. Tapi dengan berpaling dari pemikiran
humanistik ini Marx menghadapi suatu problematik yang sama sekali baru. Dan
bagi Althusser, itulah permulaan filsafat Marx memakai suatu terminology baru.
Konsep-konsep yang dipergunakan sekarang adalah konsep yang boleh disebut
“ilmiah” obyek, bentuk, struktur dan sebagainya. Dapat dipahami bahwa menurut
Althusser buku yang berjudul Das Kapital mulai menjadi sebuah reformasi dalam
perkembangan strukturalisme pada tahun 1850 dan memuat ajaran Marx yang
sebenarnya.

Kalau sekarang ilmu-ilmu manusia seperti lingustik, psikoanalisa dan


antropologi telah memberitahuakan kepada kita bahwa “manusia sudah tergeser
dari pusatnya” maka menurut Althusser kita harus membaca Marx juga dalam
cahaya itu. Dan hal itu memungkinkan, karena tujuan Marx dalam Das
Kapital adalah memperlihatkan bahwa manusia merupakan produk dari struktur-
struktur sosio-ekonomis. Syarat-syarat manusia “dari luar”. Manusia tidak
merupakan subyek otonom dari ekonominya alat-alat konseptual yang cocok
dengan tujuan itu. Juga dalam Das Kapital masih terdapat sisa-sisa dari
pandangan humanistis. Justru karena itulah filsafat Marx harus diinterpretasikan
kembali. Dan lagi Althusser interpretasi serupa itu baru sekarang menjadi
mungkin.

Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi


manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang
mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud,
keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi
Marx, strukturnya adalah ekonomi; dan bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa.
Kesemuanya mendahului subyek manusia individual atau human agent dan
menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan.8

Strukturalisme terutama berkembang sejak Claude Levy-Strauss Hubungan


antara bahasa dan mitos menempati posisi sentral dalam pandangan Lévi-
Strauss tentang pikiran primitif yang menampakkan dirinya dalam struktur-
struktur mitosnya, sebanyak struktur bahasanya. Mitos biasanya dianggap sebagai
„impian‟ kolektif, basis ritual, atau semacam „permainan‟ estetika semata, dan
figur-figur mitologisnya sendiri dipikirkan hanya sebagai wujud abstraksi, atau
para pahlawan yang disakralkan, atau dewa yang turun ke bumi
sehingga mereduksi mitologi sampai pada taraf semata sebagai „mainan anak-
anak‟, serta menolak adanya relasi apapun dengan dunia dan pranata-pranata
masyarakat yang menciptakannya. Perhatian Lévi-Strauss terutama terletak pada
berkembangnya struktur mitos dalam pikiran manusia, baik secara normatif
maupun reflektif, yaitu dengan mencoba memahami bagaimana manusia
mengatasi perbedaan antara alam dan budaya. Tingkah laku struktur mitos yang
tak disadari ini membawa Lévi-Strauss pada analisis fonemik, di mana berbagai
fenomena yang muncul direduksi ke dalam beberapa elementer-struktural dasar,
namun dengan satu permasalahan yang mendasar.9

Penelusuran historis berdasarkan kajian ketokohan dalam strukturalisme


memberikan pemahaman lebih mendalam pada pembahasan epistemologi
8
K Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 124
9
K Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, h. 66
strukturalisme. Konstruksi strukturalisme dan poststrukturalisme linguistik10 dapat
ditelaah pada pandangan Lévi-Strauss yang menetapkan suatu kesamaan antara
spesies-spesies alam dengan segolongan masyarakat.11

Para strukturalis seperti Claude Levi-Struss, atau setidaknya para pemikir


yang sejalan dengan pemikiran strukturalisme, misalnya Max Weber, Emile
Durkheim, dan Ferdinand de Soussaure memiliki berbagai pandangan mengenai
relasi fenomena sosial. Levi-Strauss mengkonsepkan oposisi biner pada struktur
kesadaran manusia yang yang membentuk transformasi antara struktur nirsadar
(unconsciouss structure) dalam pikiran manusia yang memepengaruhi struktur
permukaan (surface structure). Weber dalam hipotesisnya menyatakan bahwa ada
makna yang tunggal atau yang sama yang merupakan produk kesepakatan.

10
Post-strukturalisme menolak gagasan kualitas penting dari hubungan yang dominan dalam
hirarki, dan lebih memilih untuk mengekspos hubungan-hubungan dan ketergantungan istilah
dominan padanya tampak tunduk pada pasangannya. Satu-satunya cara untuk benar memahami
makna adalah mendekonstruksi asumsi dan sistem pengetahuan yang menghasilkan ilusi makna
tunggal. Post-strukturalisme dalam kesusasteraaan Strukturalisme dibangun atas prinsip saussure,
bahwa bahasa sebagai sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tehapan tunggal sementara
(single temporal plane). Aspek diakronis bahasa yakni bagaimana bahasa berkembang dan
berubah dari masa ke masa, dilihat sebagai bagian yang kurang penting. Dalam pemikiran post-
strukturalis berpikir sementara menjadi hal yang utama.
11
Strukturalisme memiliki asumsi bahwa dalam suatu fenomena terdapat konstruksi tanda-
tanda. Penelitian dengan strukturalisme mensyaratkan kemampuan memandang keterkaitan inner
structure agar mampu memberi makna yang tepat pada fenomena yang tengah menjadi studi.
Dalam perkembangannya strukturalisme memasuki berbagai ranah dalam disiplin ilmu dan
berbagai aspek kehidupan. Perkembangan langsung dari strukturalisme adalah fungsionalisme
yang melihat relasi sistemis menjadi relasi fungsional. Roman Jacobson, salah satu ahli linguistik
yang meneliti secara serius pembelajaran dan fungsi bahasa, memberi penekanan pada dua aspek
dasar struktur bahasa yang diwakili oleh gambaran metafor retoris (kesamaan) dan metonimia
(kesinambungan). Bagi Jacobson, bahasa memiliki enam macam fungsi. fungsi referensial,
pengacu pesan;, Fungsi emotif, pengungkap keadaan pembicara;, Fungsi konatif, pengungkap
keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak;,
fungsi metalinguistik, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan;, Fungsi fatis, pembuka,
pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak; dan, fungsi
puitis, penyandi pesan. Lihat K Bertens, Filsafat Barat Kontemporer, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2001) penjelasan terkait mendeskripsikan bahwa, Istilah post-strukturalisme sebenarnya
jarang digunakan. Post-strukturalisme sebenarnya lebih ditujukan pada munculnya pemikiran-
pemikiran yang mengembangkan strukturalisme lebih jauh. Beberapa yang dikategorikan post-
struktralis antara lain Jacques Lacan, Jacques Derrrida. Michel Foucault sempat dikategorikan
sebagai post-strukturalis namun kemudian orang menggolongkan sebagai beyond struktutralis.
Durkheim beranggapan bahwa fakta sosial terbentuk dari suatu kesadaran
kolektif.12

Soussaure memastikan bahwa ada hubungan yang jelas


antara signified dan signifier. Selain para strukturalis, Marx dan Marxis
menyatakan bahwa ekonomilah sebagai base-structure yang telah
mempengaruhi super-structure seperti politik, budaya, sosial. Bila dirangkum
pandangan dari para strukturalis dan Marxis tersebut, maka dinyatakan bahwa
terdapat komunikasi satu arah dengan pemaknaan tunggal yang membentuk
fenomena sosial. Kebenaran dipandang bersifat univokal. Strukturalisme lebih
tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna
merupakan produk dari struktur atau regularitas-regularitas yang dapat diramalkan
yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents). Sebagaimana
ditunjukkan Chris Barker (2000), strukturalisme sebenarnya bisa dilacak kembali
pada karya-karya Emille Durkheim yang menolak anggapan empirisis bahwa
pengetahuan merupakan derivasi langsung dari pengalaman.

Tetapi strukturalisme yang dikenal sekarang adalah strukturalisme


Ferdinand deSaussure dan Levi-Strauss yang menjelaskan bahwa produksi makna
merupakan efek dari struktur terdalam dari bahasa, dan kebudayaan bersifat
analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara internal dalam oposisi
biner: hitam-putih, baik-buruk, lelaki-perempuan dan lain sebagainya. Dalam
konteks pengabaian human agents, strukturalisme bersifat antihumanis. Konsep
strukturalisme tentang kebudayaan lebih memusatkan perhatiannya pada sistem-
sistem relasi dari struktur-struktur yang mendasari sesuatu (umumnya bahasa) dan
aturan-aturan bahasa yang memungkinkan terjadinya makna. Sementara menurut
Williams (1980), teks hanyalah bagian dari cara berpikir yang diproduksi oleh
perubahan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi. Kata Williams, “Kita harus
berhenti dari prosedur umum untuk mengisolir objek dan kemudian menyelidiki
komponen-komponennya. Sebaliknya kita harus menyelidiki praktek-praktek dan
kemudian kondisi-kondisinya”.13

Jika kulturalisme menekankan sejarah, maka strukturalisme justru


menekankan pendekatan sinkronik, relasi-relasi struktur dianalisa dalam
potongan-potongan peristiwa yang bersifat khusus. Di sini strukturalisme sangat
menekankan aspek kekhususan kebudayaan yang tidak bisa direduksi begitu saja
ke dalam fenomena lainnya. Dan jika kulturalisme memfokuskan diri pada
interpretasi sebagai jalan untuk memahami makna, maka strukturalisme justru
menegaskan perlunya sebuah ilmu tentang tanda yang bersifat objektif.
Pandangan strukturalisme tentang makna yang diorganisasikan secara internal
dalam oposisi biner, sama dengan mengatakan bahwa makna bersifat stabil.

12
Heddy Sri, Strukturalisme Levi-Strauss ? Mitos dan karya sastra; (Yogyakarta : Galang
Press, 2001), h. 56
13
Heddy Sri, Strukturalisme Levi-Strauss ? Mitos dan karya sastra; h. 88
Kestabilan makna inilah yang menjadi pusat serangan pascastrukturalisme atas
strukturalisme.

Tokoh-tokoh utama poststrukturalisme, seperti Derrida dan Foucault,


menyatakan bahwa makna tidaklah stabil, ia selalu dalam proses. Makna tidak
bisa dibatasi dalam satu kata, kalimat atau teks khusus, tetapi ia merupakan hasil
dari hubungan antarteks: intertektualitas. Sama seperti strukturalisme,
poststrukturalisme juga bersifat antihumanis. Derrida (1976) menyatakan bahwa
kita berpikir hanya dengan tanda-tanda, tidak ada makna asli yang bersirkulasi di
luar representasi. Dan Foucault menyatakan (1984) menyatakan bahwa manusia
hanyalah produk dari sejarah. Dalam hal politik kebenaran, setiap masyarakat
dianggap memiliki rezim kebenaran.14

C. Kesimpulan
Berdasarakan pembahasan, maka kesimpulan epistemologi strukturalisme
adalah struturalisme di latar belakangi oleh aliran linguistik yang dimotori oleh
filsuf F. Desaussure, sehingganya dari berbagai kalangan tokoh menjadikan
prinsip-prinsip Sauusure sebagai dasar berfikir. Strukturalisme menurut prespektif
filsuf adalah adanya interaksi yang sistematis, sehingganya menciptakan ralasi-
relasi dan oposisi-oposisi serta menjadi sistem yang disepakati oleh suatu
komonitas. Strukturalisme dibangun atas prinsip Saussure, bahwa bahasa sebagai
sebuah sistem tanda harus dilihat ke dalam tahapan tunggal sementara (single
temporal plane). Aspek diakronis bahasa, yakni bagaimana bahasa berkembang
dan berubah dari masa ke masa.

14
Heddy Sri, Strukturalisme Levi-Strauss ? Mitos dan karya sastra; h. 70
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Saebani, Beni, Filsafat Ilmu, Bandung: Pustaka Setia, 2008

Bagus, Lauren, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali pres, 2012

Bertens, K, Filsafat Barat Kontemporer, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001

Heddy Sri, Strukturalisme Levi-Strauss ? Mitos dan karya sastra; Yogyakarta :


Galang Press, 2001

Kurzwell, E, The Age of Structuralism, New York: Columbia University Press,


1980

Mudhofir, Ali, Kamus Teori dan Aliran Dalam Filsafat, Yogyakarta: 1988

S. Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan, 1998

Salahudin, Anas, Filsafat Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2011

Salam, Burhanuddin, Logika Materiil, Jakarta: Rineka Cipta, 1997

Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011

Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo,


2016

http://www.tokoh-tokoh strukturalisme, diakses rabu 1 Januari 2017

Anda mungkin juga menyukai