Anda di halaman 1dari 5

1.1.

Latar Belakang Masalah


Organisasi merupakan tempat bagi sekumpulan individu untuk
berinteraksi satu sama lain dengan maksud untuk mencapai tujuan bersama
yang telah ditetapkan oleh sekelompok individu tersebut. Organisasi yang
baik, selain harus memiliki tujuan yang jelas, harus juga memiliki sumber
daya manusia yang berkualitas agar tujuan dari suatu organisasi dapat
tercapai. Sumber daya manusia yang berkualitas juga memampukan sebuah
organisasi untuk membuat rencana yang terstruktur bagi organisasi agar dapat
mencapai tujuannya. Organisasi yang memiliki tujuan yang terstruktur dengan
baik, tetapi tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai tidak akan
pernah mencapai tujuan tersebut.
Melalui pemaparan di atas, sudah tergambar jika sumber daya
manusia yang memadai merupakan aset yang krusial bagi perusahaan. Sumber
daya manusia yang berkualitas tidak akan memberikan manfaat bagi
perusahaan apabila perusahaan tidak mengerti atau tidak mampu
memanfaatkan dan mengelola sumber daya manusia. Agar pengelolaan
sumber daya manusia bisa dilakukan dengan baik, diperlukan kepemimpinan
yang baik juga pada suatu organisasi. Pemimpin yang baik dalam suatu
organisasi bukan hanya berperan sebagai atasan yang hanya sekedar
menyampaikan pesan kepada bawahannya, tetapi pemimpin yang baik dalam
suatu perusahaan perlu memiliki kemampuan untuk dapat mengatur dan juga
mengambil keputusan yang tepat bagi karyawan agar tujuan perusahaan dapat
tercapai.
Kepemimpinan sendiri merupakan proses dalam mempengaruhi
aktivitas sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu dalam situasi
tertentu ( Hersey dan Blanchard, 1977).
Selain kompetensi sumber daya manusia yang menjadi prediktor
dalam suatu organisasi, salah satu faktor yang berperan dalam keberfungsian
sumber daya manusia dalam suatu organisasi adalah job satisfaction atau
kepuasan kerja. Karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya umumnya
akan menunjukkan performa kerja yang baik juga dan hal ini tentunya akan
menjadi modal yang baik bagi suatu organisasi untuk mencapai tujuannya.
Kepuasan kerja merupakan variabel yang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya,
agar karyawan merasa puas dengan pekerjaannya, diperlukan faktor-faktor
lainnya yang dapat menciptakan kondisi dimana karyawan merasa puas
dengan pekerjaannya. Kepuasan kerja juga merupakan salah satu faktor
mendasar yang penting untuk menunjang keberfungsian atau jalannya suatu
organisasi (Greenberg, 1990)
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan
adalah keadilan organisasi atau organizational justice. Komponen keadilan
sendiri sebenarnya sudah termasuk ke dalam karakteristik dari kepuasan kerja
itu sendiri. Organizational justice sendiri memiliki pengertian sebagai nilai-
nilai organisasi yang diasosiasikan dengan seberapa banyak hasil positif yang
di dapatkan dari kinerja seseorang (Niehoff and Moorman 1993: 531).
Kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dengan keadilan dalam
organiasi. Kepuasan kerja akan meningkat jika persepsi terhadap keadilan
organisasi juga meingkat. Sebaliknya, kepuasan kerja juga akan menurun jika
persepsi terhadap keadilan organisasi juga menurun (Cobb and Frey 1996;
Fryxell and Gordon 1989; Lawson et al. 2009).
Komponen pertama dari keadilan organisasi adalah distributive justice
yaitu bagaimana karyawan memahami hak-haknya atau perolehan yang
didapatnya dalam perusahaan. Sudah menjadi kewajiban bagi sebuah
organisasi untuk memberikan upah atau kompensasi bagi karyawan yang
bekerja dalam organisasi tersebut. Meskipun demikian, dalam prakteknya
setiap organisasi memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam menentukan
upah bagi karyawan yang bekerja. Distributive justice memiliki arti yang lebih
mendalam daripada hanya sekedar pemberian upah yang merata bagi seluruh
karyawan. Pemberian upah juga perlu disesuaikan dengna seberapa besar
tanggung jawab dan juga tingkatan jabatan karyawan.
Komponen kedua dari keadilan organisasi adalah procedural justice
yang merujuk pada pandangan karyawan terhadap seberapa adil prosedur
yang digunakan dalam membuat keputusan (Taskiran 2011, p. 106).
procedural justice memiliki makna kesamaan pemberlakuan prosedur bagi
semua karyawan dan juga kesempatan yang sama untuk berpartisipasi bagi
setiap karyawan.
Komponen ketiga dari keadilan organisasi adalah interactional justice
yaitu perlakuan organisasi yang adil kepada semua karyawan tanpa
memandang perbedaan interpersonal behavior karyawan dalam organisasi
(Güçel (2013). Interactional justice menuntut agar perusahaan
memperlakukan semua karyawan dengan sopan, dan juga memberikan
penjelasan terhadap keputusan yang diambil oleh karyawan itu sendiri.
Seperti yang sudah dipaparkan di atas yaitu organizational justice
memiliki keterkaitan dengan job satisfaction. Job Satisfaction atau kepuasan
kerja sendiri adalah variabel yang merefleksikan bagaimana perasaan
seseorang terhadap pekerjaan mereka secara keseluruhan ( Spector, 2012).
Job Satisfaction sendiri dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
environmental dan faktor internal. Faktor environmental atau faktor
lingkungan terdiri atas aspek karakteristik pekerjaan, upah, dan juga keadilan.
Sementara untuk faktor personality sendiri yaitu kepribadian dari individu itu
sendiri ( seperti kecenderungan individu untuk merasakan emosi negatif dan
juga locus of control individu itu sendiri), usia, gender, dan juga latar
belakang budaya.
Survei awal yang dilakukan dalam penelitian ini ditujukan kepada
karyawan Rumah Sakit “X” di Kota Bandung divisi rekam medis. Dari 50
karyawan divisi rekam medis di Rumah Sakit “X” ini, diambil 10 orang untuk
dijadikan sampel penelitian. Survei awal dilakukan dengan metode
menyebarkan kuesioner google form kepada 10 orang karyawan rekam medis
di Rumah Sakit “X”. Dari 10 orang yang dijadikan sampel, 7 orang (70 %)
karyawan divisi rekam medis menyatakan jika mereka puas dengan pekerjaan
mereka. Sementara 3 orang( 30%) menyatakan jika mereka merasa cukup
puas dengan pekerjaan mereka. 7 orang dari 10 karyawan yang dijadikan
sampel merasa cocok dengan pekerjaan mereka. 2 orang (20%) karyawan
mengatakan jika mereka tidak cocok dengan pekerjaan mereka dan 1 oran
(10%) mengatakan jika dalam pekerjaan ini ia mau tidak mau merasa cocok
dengan pekerjaan karena ia tidak memiliki pilihan lain. Sebanyak 6 orang
(60%) mengatakan jika tuntutan pekerjaan dalam divis rekam medis sendiri
berat. Tuntutan pekerjaan yang berat juga diperkuat oleh pernyataan –
peryataan dari karyawan divisi rekam medis. Kebanyakan karyawan
mengatakan jika dalam pembagian kerja, pembagian kerja kurang merata
sehingga ada yang mendapatkan pekerjaan yang banyak dan ada juga yang
mendapatkan pekerjaan dengan jumlah yang sedikit. Selain itu ada juga
keluhan terkait dengan overlap dari pekerjaan divisi rekam medis itu sendiri
dimana sering kali divisi rekam medis perlu mengerjakan pekerjaan dari uni
lain karena adanya kemiripan job desc. Keluhan tentang beban kerja dan
pembagian pekerjaan yang tidak merata juga diperkuat dengan pernyataan jika
pembagian kerja yang tidak merata sering kali menyebabkan adanya pekerja
yang menganggur, sehingga pekerja tersebut sibuk dengan urusannya sendiri,
bukan membantu temannya dalam mengerjakan pekerjaan dari divisi rekam
medis itu sendiri. Keluhan lain terkait dengan pekerjaan dalam divisi rekam
medis adalah peran kepala bagian yang kurang aktif dan juga ketegasan dan
kedisiplinan yang kurang dari kepala bagian.
Keluhan lain terkait dengan keadilan dalam Rumah Sakit “x” adalah
pemberian kompensasi dan upah yang dirasa tidak adil. Ada karyawan yang
mengeluhkan tentagn pemberian kompensasi tidak disesuaikan dengan jumlah
pekerjaan yang diberikan, sehingga baik karyawan yang memiliki pekerjaan
yang banyak maupun yang memiliki pekerjaan sendiri mendapatkan
kompensasi yang sama. Meskipun demikian, dalam pemberian kompensasi di
rumah sakit “X” karyawan merasa jika ada kompensasi tambahan yang
mereka terima seperti bonus. Selain itu meskipun dalam pekerjaan, karyawan-
karyawan tersebut sering merasakan pembagian tugas yang tidak merata dan
juga pemberian upah yang tidak sebanding dengan jumlah pekerjaan, tetapi
karyawan tetap merasa puas dengan pekerjaan mereka.
Rasa puas karyawan terhadap pekerjaannya meskipun dengan masalah
pembagian kerja yang tidak merata dan pemberian upah yang tidak sesuai
dengan jumlah pekerjaan mereka, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui
seperti apa hubungan antara kepuasan kerja dan juga keadilan organisasi
dalam perusahaan, mengingat dari apa yang peneliti temukan di lapangan
berbanding terbalik dengan teori. Dalam teori dikemukakan jika persepsi
keadilan organisasi berbanding lurus dengan kepuasan kerja, sementara data
yang ditemukan di lapangan menunjukan jika karyawan masih merasa tetap
puas dengan pekerjaan meskipun ada ketidakadilan dalam pembagian tugas
dan pemberian kompensasi.

Anda mungkin juga menyukai