Organisasi merupakan tempat bagi sekumpulan individu untuk berinteraksi satu sama lain dengan maksud untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan oleh sekelompok individu tersebut. Organisasi yang baik, selain harus memiliki tujuan yang jelas, harus juga memiliki sumber daya manusia yang berkualitas agar tujuan dari suatu organisasi dapat tercapai. Sumber daya manusia yang berkualitas juga memampukan sebuah organisasi untuk membuat rencana yang terstruktur bagi organisasi agar dapat mencapai tujuannya. Organisasi yang memiliki tujuan yang terstruktur dengan baik, tetapi tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai tidak akan pernah mencapai tujuan tersebut. Melalui pemaparan di atas, sudah tergambar jika sumber daya manusia yang memadai merupakan aset yang krusial bagi perusahaan. Sumber daya manusia yang berkualitas tidak akan memberikan manfaat bagi perusahaan apabila perusahaan tidak mengerti atau tidak mampu memanfaatkan dan mengelola sumber daya manusia. Agar pengelolaan sumber daya manusia bisa dilakukan dengan baik, diperlukan kepemimpinan yang baik juga pada suatu organisasi. Pemimpin yang baik dalam suatu organisasi bukan hanya berperan sebagai atasan yang hanya sekedar menyampaikan pesan kepada bawahannya, tetapi pemimpin yang baik dalam suatu perusahaan perlu memiliki kemampuan untuk dapat mengatur dan juga mengambil keputusan yang tepat bagi karyawan agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Kepemimpinan sendiri merupakan proses dalam mempengaruhi aktivitas sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu dalam situasi tertentu ( Hersey dan Blanchard, 1977). Selain kompetensi sumber daya manusia yang menjadi prediktor dalam suatu organisasi, salah satu faktor yang berperan dalam keberfungsian sumber daya manusia dalam suatu organisasi adalah job satisfaction atau kepuasan kerja. Karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya umumnya akan menunjukkan performa kerja yang baik juga dan hal ini tentunya akan menjadi modal yang baik bagi suatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Kepuasan kerja merupakan variabel yang tidak dapat berdiri sendiri. Artinya, agar karyawan merasa puas dengan pekerjaannya, diperlukan faktor-faktor lainnya yang dapat menciptakan kondisi dimana karyawan merasa puas dengan pekerjaannya. Kepuasan kerja juga merupakan salah satu faktor mendasar yang penting untuk menunjang keberfungsian atau jalannya suatu organisasi (Greenberg, 1990) Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja karyawan adalah keadilan organisasi atau organizational justice. Komponen keadilan sendiri sebenarnya sudah termasuk ke dalam karakteristik dari kepuasan kerja itu sendiri. Organizational justice sendiri memiliki pengertian sebagai nilai- nilai organisasi yang diasosiasikan dengan seberapa banyak hasil positif yang di dapatkan dari kinerja seseorang (Niehoff and Moorman 1993: 531). Kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif dengan keadilan dalam organiasi. Kepuasan kerja akan meningkat jika persepsi terhadap keadilan organisasi juga meingkat. Sebaliknya, kepuasan kerja juga akan menurun jika persepsi terhadap keadilan organisasi juga menurun (Cobb and Frey 1996; Fryxell and Gordon 1989; Lawson et al. 2009). Komponen pertama dari keadilan organisasi adalah distributive justice yaitu bagaimana karyawan memahami hak-haknya atau perolehan yang didapatnya dalam perusahaan. Sudah menjadi kewajiban bagi sebuah organisasi untuk memberikan upah atau kompensasi bagi karyawan yang bekerja dalam organisasi tersebut. Meskipun demikian, dalam prakteknya setiap organisasi memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam menentukan upah bagi karyawan yang bekerja. Distributive justice memiliki arti yang lebih mendalam daripada hanya sekedar pemberian upah yang merata bagi seluruh karyawan. Pemberian upah juga perlu disesuaikan dengna seberapa besar tanggung jawab dan juga tingkatan jabatan karyawan. Komponen kedua dari keadilan organisasi adalah procedural justice yang merujuk pada pandangan karyawan terhadap seberapa adil prosedur yang digunakan dalam membuat keputusan (Taskiran 2011, p. 106). procedural justice memiliki makna kesamaan pemberlakuan prosedur bagi semua karyawan dan juga kesempatan yang sama untuk berpartisipasi bagi setiap karyawan. Komponen ketiga dari keadilan organisasi adalah interactional justice yaitu perlakuan organisasi yang adil kepada semua karyawan tanpa memandang perbedaan interpersonal behavior karyawan dalam organisasi (Güçel (2013). Interactional justice menuntut agar perusahaan memperlakukan semua karyawan dengan sopan, dan juga memberikan penjelasan terhadap keputusan yang diambil oleh karyawan itu sendiri. Seperti yang sudah dipaparkan di atas yaitu organizational justice memiliki keterkaitan dengan job satisfaction. Job Satisfaction atau kepuasan kerja sendiri adalah variabel yang merefleksikan bagaimana perasaan seseorang terhadap pekerjaan mereka secara keseluruhan ( Spector, 2012). Job Satisfaction sendiri dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor environmental dan faktor internal. Faktor environmental atau faktor lingkungan terdiri atas aspek karakteristik pekerjaan, upah, dan juga keadilan. Sementara untuk faktor personality sendiri yaitu kepribadian dari individu itu sendiri ( seperti kecenderungan individu untuk merasakan emosi negatif dan juga locus of control individu itu sendiri), usia, gender, dan juga latar belakang budaya. Survei awal yang dilakukan dalam penelitian ini ditujukan kepada karyawan Rumah Sakit “X” di Kota Bandung divisi rekam medis. Dari 50 karyawan divisi rekam medis di Rumah Sakit “X” ini, diambil 10 orang untuk dijadikan sampel penelitian. Survei awal dilakukan dengan metode menyebarkan kuesioner google form kepada 10 orang karyawan rekam medis di Rumah Sakit “X”. Dari 10 orang yang dijadikan sampel, 7 orang (70 %) karyawan divisi rekam medis menyatakan jika mereka puas dengan pekerjaan mereka. Sementara 3 orang( 30%) menyatakan jika mereka merasa cukup puas dengan pekerjaan mereka. 7 orang dari 10 karyawan yang dijadikan sampel merasa cocok dengan pekerjaan mereka. 2 orang (20%) karyawan mengatakan jika mereka tidak cocok dengan pekerjaan mereka dan 1 oran (10%) mengatakan jika dalam pekerjaan ini ia mau tidak mau merasa cocok dengan pekerjaan karena ia tidak memiliki pilihan lain. Sebanyak 6 orang (60%) mengatakan jika tuntutan pekerjaan dalam divis rekam medis sendiri berat. Tuntutan pekerjaan yang berat juga diperkuat oleh pernyataan – peryataan dari karyawan divisi rekam medis. Kebanyakan karyawan mengatakan jika dalam pembagian kerja, pembagian kerja kurang merata sehingga ada yang mendapatkan pekerjaan yang banyak dan ada juga yang mendapatkan pekerjaan dengan jumlah yang sedikit. Selain itu ada juga keluhan terkait dengan overlap dari pekerjaan divisi rekam medis itu sendiri dimana sering kali divisi rekam medis perlu mengerjakan pekerjaan dari uni lain karena adanya kemiripan job desc. Keluhan tentang beban kerja dan pembagian pekerjaan yang tidak merata juga diperkuat dengan pernyataan jika pembagian kerja yang tidak merata sering kali menyebabkan adanya pekerja yang menganggur, sehingga pekerja tersebut sibuk dengan urusannya sendiri, bukan membantu temannya dalam mengerjakan pekerjaan dari divisi rekam medis itu sendiri. Keluhan lain terkait dengan pekerjaan dalam divisi rekam medis adalah peran kepala bagian yang kurang aktif dan juga ketegasan dan kedisiplinan yang kurang dari kepala bagian. Keluhan lain terkait dengan keadilan dalam Rumah Sakit “x” adalah pemberian kompensasi dan upah yang dirasa tidak adil. Ada karyawan yang mengeluhkan tentagn pemberian kompensasi tidak disesuaikan dengan jumlah pekerjaan yang diberikan, sehingga baik karyawan yang memiliki pekerjaan yang banyak maupun yang memiliki pekerjaan sendiri mendapatkan kompensasi yang sama. Meskipun demikian, dalam pemberian kompensasi di rumah sakit “X” karyawan merasa jika ada kompensasi tambahan yang mereka terima seperti bonus. Selain itu meskipun dalam pekerjaan, karyawan- karyawan tersebut sering merasakan pembagian tugas yang tidak merata dan juga pemberian upah yang tidak sebanding dengan jumlah pekerjaan, tetapi karyawan tetap merasa puas dengan pekerjaan mereka. Rasa puas karyawan terhadap pekerjaannya meskipun dengan masalah pembagian kerja yang tidak merata dan pemberian upah yang tidak sesuai dengan jumlah pekerjaan mereka, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui seperti apa hubungan antara kepuasan kerja dan juga keadilan organisasi dalam perusahaan, mengingat dari apa yang peneliti temukan di lapangan berbanding terbalik dengan teori. Dalam teori dikemukakan jika persepsi keadilan organisasi berbanding lurus dengan kepuasan kerja, sementara data yang ditemukan di lapangan menunjukan jika karyawan masih merasa tetap puas dengan pekerjaan meskipun ada ketidakadilan dalam pembagian tugas dan pemberian kompensasi.