Produktivitas Pertanaman Jagung DI Lahan Pasang Surut Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi
Produktivitas Pertanaman Jagung DI Lahan Pasang Surut Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi
Abstrak. Lahan pasang surut di Desa Bram Itam Kanan Kecamatan Betara
Kabupaten Tanjung Jabung Barat, tanaman jagung merupakan komoditas yang
diusahakan sebagai tanaman campuran dan salah satu komoditas penunjang dalam
kegiatan usahatani. Potensi tanaman jagung di lahan pasang surut cukup baik dan
sebagai sumber pendapatan petani, namun rata-rata produktivitasnya rendah 2,21
t/ha. Rendahnya produktivitas tanaman jagung disebabkan karena masih
menggunakan benih lokal atau tidak bermutu, tanpa pemupukan, tanpa
penambahan bahan amelioran. Rendahnya produksi jagung mempengaruhi
kontribusi pendapatan petani. Hal ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan
produksi pertanaman jagung perlu diperbaiki teknis budidaya melalui pendekatan
PTT meliputi penggunaan benih bermutu, varietas unggul, pemupukan sesuai
anjuran dan dolomit.
PENDAHULUAN
225
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9
untuk pakan dan industri. Untuk pakan permintaan jagung sudah mencapai lebih dari 50
% kebutuhan nasional. Hal ini menuntut perlunya upaya peningkatan produksi secara
berkelanjutan (Deptan 2009). Di lahan pasang surut, khusunya di Kabupaten Tanjung
Jabung Barat, Kecamatan Betara, Desa Bram Itam Kanan, tanaman jagung merupakan
komoditas yang diusahakan sebagai tanaman campuran dan salah satu komoditas
penunjang dalam kegiatan usahatani. Luas pertanaman jagung di Kabupaten Tanjung
Jabung Barat 922 ha sedangkan di Kecamatan Betara 162 ha (BP4K Kabupaten
Tanjabbar 2010). Pertanaman jagung di lahan pasang surut diusahakan petani diberbagai
tipologi lahan diantaranya lahan potensial, sulfat masam dan bergambut. Teknologi
budidaya tanaman jagung yang dilakukan petani belum berdasarkan budidaya sesuai
anjuran dan pemupukan tidak sesuai rekomendasi serta tanpa penambahan bahan
amelioran. Usaha peningkatan produksi tanaman tidak akan mampu meningkatkan
pendapatan petani apabila tidak dibarengi perbaikan teknologinya. Keadaan ini tentunya
memerlukan dukungan teknologi spesifik lokasi (Lopulisa dan Ala 1998). Selanjutnya
Adnyana et al. (1993) dan Adnyana (2002) bahwa penerapan teknologi sesuai dengan
kondisi biofisik dan sosial ekonomi, tidak merusak lingkungan dan dapat dimanfaatkan
oleh produsen dalam meningkatkan nilai tambah. Untuk itu perlu pemahaman
permasalahan ditingkat petani sehingga memudahkan dalam merakit teknologi dan proses
adopsi teknologi tersebut dapat berlangsung lebih mudah. Pengkajian ini bertujuan
melihat produktivitas dan masalah pertanaman jagung di lahan pasang surut Desa Bram
Itam Kanan Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi.
Lahan rawa umumnya dinilai sebagai ekosistem yang marjinal dan rapuh, namun
lahan tersebut memiliki potensi untuk dimanfaatkan bagi pengembangan komoditas
tanaman pangan, perkebunan dan perikanan. Menurut Widjaya Adhi et al. (1992) bahwa
lahan rawa dibedakan berdasarkan sampainya pengaruh air pasang surut di musim hujan
dan pengaruh air laut di musim kemarau, terbagi atas tiga zone yaitu : (1) pasang surut
payau/salin (zone I), (2) pasang surut air tawar (zone II) dan (3) non pasang surut/lebak
(zone III). Selanjutnya Djafar (1992) mengatakan bahwa lahan pasang surut adalah
daerah rawa yang dalam proses pembentukannya dipengaruhi oleh pasang surutnya air
laut, terletak dibagian muara sungai atau sepanjang pantai. Lahan lebak adalah daerah
rawa yang dalam proses pembentukannya tidak dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut,
namun dipengaruhi oleh banjir air sungai atau genangan air hujan yang terlambat ke luar
terletak dibagian tengah dan hulu sungai.
Lahan pasang surut berdasarkan agroekosistem dapat dibedakan ke dalam 4
tipologi utama yaitu lahan potensial, lahan sulfat masam, lahan gambut dan lahan salin.
(1) Lahan potensial adalah lahan yang lapisan atasnya 0-50 cm, mempunyai kadar pirit
rendah 2 persen dan belum mengalami proses oksidasi. (2) Lahan sulfat masam adalah
lahan yang mempunyai lapisan pirit atau sulfidik pada kedalaman < 50 cm dan semua
tanah yang memiliki lapisan sulfirik, walaupun kedalaman lapisan piritnya > 50 cm.
Lapisan pirit atau lapisan sulfidik adalah lapisan tanah yang kadar piritnya > 2 persen.
Horison sulfirik adalah lapisan yang menunjukkan adanya jerosite (brown layer) atau
proses oksidasi pirit pH (H2O) < 3,5. Lahan sulfat masam dibedakan dalam (i) lahan
sulfat masam aktual dan (ii) lahan sulfat masam potensial yang tidak atau belum
mengalami proses oksidasi pirit. (3) Lahan gambut adalah lahan rawa yang mempunyai
lapisan gambut dan digolongkan berdasarkan ketebalan gambut yaitu gambut dangkal
(ketebalan 50-100 cm), gambut sedang (ketebalan 100-200 cm), gambut dalam (200-300
cm) dan gambut sangat dalam (> 300 cm). Muktamar dan Adiprasetyo (1993)
226
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9
mengatakan bahwa lahan gambut mempuntai prospek yang besar untuk budidaya
tanaman. Untuk budidaya kelapa dan kelapa sawit dapat dilakukan pada gambut sedang
dan dalam. (4) Lahan salin adalah lahan yang mendapat pengaruh air asin, apabila
mendapat pengaruh air laut/asin lebih dari 4 bulan dalam setahun dan kandungan Na
dalam larutan tanah 8 persen sampai 15 persen.
Lahan pasang surut berdasarkan hidrotopografi dibedakan menjadi empat tipe yang
membutuhkan manajemen yang berbeda. Tipe A merupakan daerah rawa yang selalu
terluapai air pasang besar maupun pasang kecil. Tipe B adalah lahan yang hanya terluapi
oleh pasang besar. Tipe C merupakan lahan yang tidak terluapi air pasang, baik pasang
besar maupun pasang kecil tetapi kedalaman air tanah kurang dari 50 cm dari permukaan
tanah. Tipe D adalah lahan tidak terluapi air pasang baik pasang besar maupun pasang
kecil tetapi kedalaman air tanah lebih dari 50 cm dari permukaan tanah.
Penataan lahan dan sistem tata air merupakan salah satu faktor penentu
keberhasilan pengembangan pertanian dilahan pasang surut dalam kaitannya dengan
optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya lahan. Lahan pasang surut dapat
ditata sebagai sawah, tegalan dan surjan disesuaikan dengan tipe luapan air dan tipologi
lahan serta tujuan pemanfaatannya (Tabel 1). Sistem tata air yang yang teruji baik dilahan
pasang surut adalah sistem aliran satu arah (one way flow system) dan sistem tabat (dam
overflow). Penetapan sistem tata air disesuaikan dengan tipologi lahan dan tipe luapan air
serta komoditas yang diusahakan. Pada lahan tipe luapan air A dengan sistem aliran satu
arah, sedangkan tipe luapan air B diatur dengan sistem satu arah dan tabat. Tipe luapan
air C dan D dengan sistem tabat dengan pintu stoplog. dengan pembuatan saluran, pintu
air dan tanggul.
Tabel 1. Acuan penataan lahan masing-masing tipologi lahan dan tipe luapan air di lahan
pasang surut.
227
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9
KARAKTERISTIK WILAYAH
228
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9
Tabel 2. Luas tanam, luas panen, produktivitas dan produksi tanaman jagung Kecamatan
Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat tahun 2008-2009
229
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9
penerapan inovasi teknologi tepat guna spesifik lokasi diharapkan dapat dicapai
peningkatan produksi, produktivitas, efisiensi dan mutu produk yang selanjutnya akan
membawa peningkatan nilai tambah agribisnis bagi kesejahteraan petani. Menurut Siregar
(1999) bahwa kondisi sosial ekonomi petani sangat berpengaruh terhadap adopsi
teknologi budidaya tanaman. Selanjutnya Santoso et al. (2003) bahwa agar adopsi
teknologi budidaya tanaman dapat berlanjut, perlu adanya bantuan modal berupa kredit
sehingga petani dapat menambah pembelian pupuk terutama P dan K serta dorongan
pemerintah daerah. Adopsi teknologi merupakan suatu proses mental dan perubahan
perilaku baik yang berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan petani sejak mengenal
sampai memutuskan untuk menerapkannya (Taryoto 1996)
KESIMPULAN
• Tanaman jagung di Desa Bram Itam Kanan diusahakan sebagai tanaman campuran
dan salah satu komoditas penunjang dalam kegiatan usahatani.
• Potensi tanaman jagung di lahan pasang surut cukup baik dan sebagai sumber
pendapatan petani, namun rata-rata produktivitasnya rendah yaitu 2,21 t/ha.
• Rendahnya produktivitas tanaman jagung disebabkan petani masih menggunakan
varietas lokal/benih unggul bermutu, tidak dilakukan pemupukan sesuai anjuran, dan
tanpa penambahan bahan. Pendekatan PTT, diantaranya penggunaan varietas
unggul, benih bermutu/berlabel, pemberian pupuk dan dolomite dianjurkan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2008. Tanjung Jabung Barat dalam angka. Bappeda dan BPS Kabupaten Tanjung Jabung
Barat. Provinsi Jambi
Deptan. 2009. Pedoman umum PTT Jagung. Depatemen Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Jakarta
230
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009 ISBN :978-979-8940-27-9
Djafar ZR. 1992. Potensi lahan rawa lebak untuk pencapaian dan pelestarian swasembada pangan.
Makalah Seminar Nasional Teknologi Pemanfaatan Lahan Rawa untuk Pencapaian dan
Pelestarian Swasembada Pangan. UNSRI Palembang.
Ismail IG, T Alihamsyah, IPG Widjaja Adhi, Suwarno, T Herawati, R Taher dan DE Sianturi.
1993. Sewindu penelitian pertanian di lahan rawa (1985-1993) Kontribusi dan prospek
pengembangan. Swamps II. Badan Litbang Pertanian. Jakarta
Lopulisa C dan A Ala. 1998. Klasifikasi tipologi sumberdaya lahan menuju penerapan teknologi
spesifik lokasi untuk pengembangan hortikultura. Dalam Prosiding Seminar Hortikultura
kerjasama Faperta Universitas Hasanuddin dengan IPPP Janeponto
Manwan I, IG Ismail, T Alihamsyah dan S Hardjono. 1992. Teknologi untuk pengembangan
pertanian lahan rawa pasang surut. Dalam Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan
Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Cisarua 3-4 Maret. Puslitbangtan. Bogor
Muktamar Z dan T Adiprasetyo. 1993. Studi potensi lahan gambut di Provinsi Bengkulu untuk
tanaman semusim. Prosiding Seminar Nasional Gambut II.
Santoso, P., A. Suryadi, H. Subagiyo dan Yuniarti. 2003. Kajian Adopsi Paket Teknologi Sistem
Usaha Pertanian Kedelai di Jawa Timur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian 6 (1): 50-63.
Sinukaban N. 1999. Pembangunan pertanian berkelanjutan di lahan rawa. Lokakarya Nasional
Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan rawa, 23-26 Nopember 1999. Jakarta
Siregar M. 1999. Pembinaan Sistem Perbenihan Terpadu; kasus komoditas kedelai. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. Bogor
Taryoto, AH. 1996. Telaah, Teoritik dan Empirik Difusi Inovasi Pertanian. Forum Penelitian Agro
Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Widjaja Adhi IPG. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumber daya lahan rawa
untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Karang Agung. Palembang.
Widjaya Adhi IPG, K Nugroho, D Ardi dan AS Karama. 1992. Sumber daya lahan rawa : Potensi,
keterbatasan dan pemanfaatan. Prosiding: Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa
Pasang Surut dan Lebak.
231