Anda di halaman 1dari 18

Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berkuasa di

Persia
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Islam Indonesia Masa
Pertengahan

Dosen pengampu Ibu Fatiyah, S.Hum.,M.A.

Disusun oleh :

1. Sabila Esa Arrofi (19101020020)


2. Muhammad Alfian (19101020027)
3. Muhammad Naim (17101020136)

SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA


1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh

Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah swt. Atas segala limpahan rahmat serta
karuniaNya sehingga penulis dapat menyampaikan materi yang dimuat dalam makalah ini. Tak
lupa Shalawat serta salam tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing
umat manusia dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen kami yaitu Ibu Herawati, S.Ag.,
M.Hum. yang sudah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. Dan penulis mengucapkan
terima kasih kepada teman – teman seperjuangan yang sudah membantu kami dan mendukung
kami dalan pembuatan makalah ini.

Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya dan apabila
ada kekurangan dalam makalah ini kami mohon maaf sebesar besarnya. Sekian yang dapat kami
sampaikan. Atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.

Wasalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 31 Desember 2020

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2

DAFTAR ISI................................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 4


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................. 4
1.3 Tujuan.................................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 5

2.1 Persia atas Khulafaur Rasyidin ............................................................................................. 5


2.2 Dinasti Abbasiyah ................................................................................................................. 7
2.3 Dinasti Buwaihiyah ............................................................................................................... 8
2.4 Dinasti Saljuk ........................................................................................................................ 9
2.5 Dinasti Thahiryah ............................................................................................................... 10
2.6 Dinasti Safariyah ..................................................................................................................... 12

2.7 Dinasti Samaniah .................................................................................................................... 13

2.8 Dinasti Timuriah ..................................................................................................................... 14

BAB III PENUTUP ...................................................................................................................... 16

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 16
3.2 Saran ............................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peradaban Persia adalah termasuk peradaban yang berpengaruh di dunia, termasuk dunia
Islam. Letak wilayah yang strategis mejadikan Persia mempunyai aneka ragam perkembangan
budaya baik agama, ilmu pengetahuan, atau perkembangan ilmu yang lain. Interaksi antara
budaya Persia dengan Islam menjadikan banyak Kerajaan Islam yang sempat meguasai
wilayah yang sekarang dikenal dengan sebutan Iran. Sebelum datangnya Dinasti Safawiyah
berkuasa, banyak dari Kerajaan-kerajaan Islam dari bangsa lain yang sempat singgah dan
berkuasa di wilayah tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Proses Kerajaan-kerajaan Islam di Persia berkuasa?
2. Bagaimana kondisi politik sebelum datangnya Dinasti Safawiyah?
3. Apa hikmah yang dapat diambil dari Kerajaan-kerajaan Islam yang berkuasa di
Persia?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Proses Kerajaan-kerajaan Islam di Persia berkuasa.
2. Untuk mengetahui kondisi politik sebelum datangnya Dinasti Safawiyah.
3. Agar dapat mengambil ibrah atau hikmah yang dapat diambil dari Kerajaan-kerajaan
Islam yang berkuasa di Persia.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Persia atas Khulafaur Rasyidin

Persia sesungguhnya sangat rentan dihabisi Bizantium. Akan tetapi, bukan kerajaan
Nasrani itu yang menyudahi riwayat Persia. Justru Islam-lah yang mampu merebut kedaulatan
negeri di Dataran Tinggi Iran itu pada abad ketujuh. Sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW
pada 632, kaum Muslimin dipimpin Abu Bakar ash-Shiddiq. Selama masa pemerintahannya, sang
khalifah berhasil mengukuhkan persatuan umat Islam di seluruh Jazirah Arab. Sahabat yang juga
mertua Rasulullah SAW itu memulai ekspedisi militer untuk melawan kekuatan Persia di sekitar
Sungai Eufrat dan Tigris pada 633. Satu tahun kemudian, ayahanda sang ummul mu`minin Aisyah
itu berpulang ke rahmatullah. Kepemimpinannya dilanjutkan Umar bin Khattab. Sosok bergelar
al-Faruq itu pun meneruskan kebijakan Abu Bakar untuk menghalau Persia. Orang Arab pertama
kali memasuki wilayah Sassaniyah pada tahun 633, ketika jenderal Khalid bin Walid menginvasi
daerah yang kini disebut Irak. Seiring dipindahkannya Khalid ke front Romawi di Levant, kaum
Muslim akhirnya kehilangan kekuasaan mereka akibat serangan balik Persia. Invasi kedua dimulai
pada tahun 636 di bawah Saad bin Abi Waqqas. Bagaimanapun, strategi yang diterapkannya
cenderung defensif, yakni semata-mata mempertahankan wilayah Mesopotamia atau Irak.

Waktu itu, pasukan Islam yang dipimpin Sa’ad bin Abi Waqqash bertugas mengamankan
Irak. Panglima Persia, Hormuzan, sudah menyingkir bersama pasukannya ke timur. ketika suatu
kemenangan kunci pada Pertempuran Qadisiyyah berujung pada berakhirnya kendali Sassaniyah
di Persia barat secara permanen. Pegunungan Zagros kemudian menjadi penghalang alami
antara Kekhalifahan Rasyidin dan Kekaisaran Sassaniyah. Akibat serangan terus-menerus oleh
Persia terhadap daerah tersebut, Khalifah Umar memerintahkan dilancarkannya invasi penuh
terhadap Kekaisaran Persia Sassaniyah pada tahun 642, yang selesai dengan penaklukan penuh
Sassaniyah pada pertengahan tahun 644. Penaklukan cepat Persia dalam serangkaian serangan
bercabang banyak yang terkoordinasi secara baik, diarahkan oleh Khalifah Umar
dari Madinah ribuan mil dari medan perang di Persia, merupakan pencapaian terbesarnya,
menjadikannya dikenal sebagai seorang ahli strategi politik dan militer yang piawai.

5
Umar ingin agar Sa’ad tidak perlu mengejar balatentara Persia. Akan tetapi, kebijakan sang
amirul mu`minin dimaknai berbeda oleh Hormuzan, yang menyangka bahwa Muslimin takut
kepadanya. Ia lalu memprovokasi letupan-letupan konflik di perbatasan Irak sehingga
mengganggu ketenteraman penduduk setempat. Gelombang pertempuran pun tak terhindarkan.
Pasukan Islam berhasil mematahkan kekuatan tentara Hormuzan. Akhirnya, Persia terpaksa
memohon perjanjian damai dengan Muslimin. Sa’d membolehkan para prajurit yang sebelumnya
ditawan untuk dibebaskan dengan sejumlah tebusan. Namun, Hormuzan dan sejumlah
pendampingnya tetap ditahan, untuk kemudian dibawa ke Madinah. Sesampainya di Kota Nabi,
Hormuzan ternyata diperlakukan secara terhormat. Bahkan, kepadanya disediakan pakaian dari
sutra bertatahkan emas dan mahkota sebelum menghadap amirul mu`minin. Sebab, memang
demikianlah gaya busana para pembesar Persia umumnya, dan Muslimin pun membiarkannya
mengikuti tradisi itu.

Adapun Khalifah Umar berpakaian tak ubahnya rakyat biasa. Hormuzan gemetar ketakutan
tatkala melihat Umar. Akan tetapi, sang khalifah kemudian membebaskannya. Bekas panglima
Persia itu lantas menyatakan diri memeluk Islam. Sejak itu, ia tinggal di Madinah hingga akhir
hayatnya. Kelak, Hormuzan menjadi korban pembunuhan yang dilakukan Ubaidillah. Putra Umar
bin Khattab itu gelap mata sehingga menghabisi beberapa pendatang Madinah, termasuk
Hormuzan, yang ditudingnya berkomplot untuk membunuh ayahnya. Hormuzan sudah ditawan
dan bahkan menjadi Muslim. Bukannya mereda, Persia justru terus merongrong kedamaian
Muslimin di perbatasan Irak. Umar kemudian merestui pembentukan ekspedisi militer di bawah
pimpinan Nu’man bin Muqarrin. Kedua belah pihak lantas bertemu di Nahavand—dekat Kota
Hamadan, Iran. Perang pa Para ahli sejarah menjuluki Pertempuran Nahavand sebagai
“kemenangan dari segala kemenangan”. Sebab, perang tersebut membuka jalan bagi penaklukan
Islam atas seluruh Persia nantinya.

Sejak saat itu, militer para kaisar Majusi menjadi lemah sama sekali. Terlebih lagi,
kebanyakan pemimpinnya terlalu sibuk berkonflik satu sama lain demi memperebutkan takhta.
Maka nyatalah doa yang telah dipanjatkan Rasulullah SAW. Dengan izin Allah, Muslimin
menghancurkan Imperium Persia, sebagaimana Khosrow dahulu merobek-robek surat Nabi
SAW.da tahun 642 itu dimenangkan Muslimin meskipun yang syahid cukup banyak, termasuk
Nu’man sendiri.

6
2.2 Dinasti Abbasiyah
Bani Abbasiyah mewarisi imperium besar dari Bani Umayyah. Mereka dapat
memungkinkan untuk mencapai hasil lebih banyak karena landasannya telah dipersiapkan oleh
Bani Umayyah yang besar dan Abasiyyah yang pertama memanfaatkannya. Penggantian
Umayyah oleh Abasiyyah ini bukan sekedar penggantian dinasti, tetapi merupakan suatu revolusi
dalam sejarah Islam, suatu titik balik yang sama pentingnya dengan Revolusi Perancis dan
Revolusi Rusia di dalam Sejarah Barat.

Bani Abbasiyah berada di tengah-tengah bangsa Persia, sehingga banyak dipengaruhi oleh
peradaban bangsa Persia. Jika bani Umayyah dengan Damaskus sebagai Ibu Kotanya
mementingkan kebudayaan Arab, maka bani Abbasiyah dengan memindahkan Ibu kotanya ke
Baghdad telah agak jauh dari pengaruh Arab. Baghdad terletak di daerah yang banyak dipengaruhi
oleh kebudayaan Persia. Di samping itu, tangan kanan yang membawa Bani Abbasiyah kepada
kekuasaan adalah orang-orang Persia. Dan setelah berkuasa, cendekiawan Persialah yang mereka
jadikan sebagai pembesar-pembesar di istana.

Dengan naiknya kedudukan orang-orang Persia dan kemudian orang-orang Turki dalam
pemerintahan bani Abbasiyah, kedudukan orang-orang Arab menurun. Masa ini bukanlah masa
ekspansi daerah kekuasaan seperti pada masa Umayyah tetapi masa pembentukan kebudayaan dan
peradaban Islam. Berbagai macam disiplin keilmuan meningkat pesat. Perguruan Tinggi yang
didirikan pada zaman ini antara lain Baitul Hikmah di Baghdad dan Al-Azhar di Kairo yang hingga
kini masih harum namanya sebagai universitas Islam yang termasyhur di seluruh dunia.

Periode ini adalah periode peradaban Islam yang tertinggi dan memiliki pengaruh
walaupun tidak secara langsung pada tercapainya peradaban modern di barat sekarang. Periode
kemajuan Islam ini menurut Christoper Dawson, bersamaan masanya dengan abad kegelapan di
Eropa. Pada abad ke-11 Eropa mulai sadar akan adanya peradaban Islam yang tinggi di Timur dan
melalui Spanyol, Sicilia dan Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit di transfer ke Eropa.
Dari Islam-lah Eropa mempelajari semua ilmu pengetahuan. Maka tidak mengherankan jika
Gustave Lebon mengatakan bahwa “orang Arab-lah yang menyebabkan kita mempunyai
peradaban, karena mereka adalah imam kita selama enam abad”.

7
2.3 Dinasti Buwaihiyah
Sejarah dinasti Buwaih dimulai dari tiga bersaudara keturunan Abu Syuja’ Buwaih,
seorang berkebangsaan Persia dari Daylam, pesisir Laut Kaspia. Abu Syuja’ mengaku sebagai
keturunan raja-raja Sasaniyah kuno. Dia adalah pemimpin sebuah gerombolan yang suka
berperang, yang sebagian besar terdiri atas orang-orang dataran tinggi Daylami. Pada awal abad
ke-10, ketiga anak Abu Syuja’: Ali (Imad al-Daulah), Hasan (Rukn al-Daulah), dan Ahmad
(Mu’izz al-Daulah) merupakan pendiri dinasti Buwaihiyah. Kemunculan mereka di sejarah dinasti
Abbasiyah bermula dari kedudukan panglima perang yang diraih Ali dan Ahmad dalam pasukan
Makan ibn Kali dari dinasti Samaniyah, tetapi mereka berpidah ke kubu Mardawij ibn Ziyar
pendiri dari dinasti Ziyariyyah untuk memerangi Samaniyah.

Ketika Mardawij terbunuh pada Januari 935 M, Ali yang tertua dari tiga bersaudara
Buwaih, telah menjadi penguasa Isfahan, dan tak berselang lama ia menjadi menguasai seluruh
Faris, Hasan telah menguasai daerah Jibal, dan Ahmad menguasai Karman dan Khuzistan. Syiraz
kemudian dipilih sebagai ibukota dinasti baru ini. Seperti kebanyakan orang-orang Daylam
lainnya, dinasti Buwaihiyah adalah penganut Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah yang moderat. Peringatan-
peringatan tradisional Syi’ah dibawa ke dalam wilayah-wilayah mereka, dan selama masa mereka
terjadi sistematisasi dan intelektualisasi teologi Syi’ah. Pada tahun 945, kemajuan besar terjadi
dalam dinasti Buwaih, tepatnya ketika Ahmad memasuki kota Baghdad.

Ketika Khalifah al-Mu’tasim dinobatkan sebagai Khalifah Abbasiyah ke-8, menggantikan


al-Makmun, memunculkan rasa tidak senang pasukan Muslim (Arab-Persia). Untuk membendung
pengaruh tentara Arab dan Persia, ia memperkejakan tentara bayaran Turki yang jumlahnya sangat
banyak. Tentara Turki tersebut bersikap ceroboh dengan melewati kota Baghdad, sehingga para
tentara Muslim yang dari awal menunjukan rasa keberatan atas kedatangan mereka, bersama-sama
rakyat Baghdad melawan tentara bayaran dari Turki. Sehingga pecahlah peperangan dan huru-
hara. Untuk meredakan situasi yang kacau di Baghdad, akhirnya khalifah mengeluarkan kebijakan
dengan mendirikan kota khusus untuk tentara Turki yang berjarak 60 mil arah barat laut Baghdad,
kota tersebut bernama Sammara, sekaligus sebagai ibu kota baru. Masuknya tentara Turki ke
dalam lingkungan khalifah, seakan menjadi bumerang bagi khalifah dan keturuannya. Karena para
tentara bayaran tersebut menguasai istana dan memerintah seenaknya sebagai amir al-umara. Para

8
tentara Turki ini dikenal kasar terhadap penduduk Baghdad, sehingga untuk melepaskan khalifah
dari dominasi pengaruh Turki, maka Khalifah al-Mustakfi Billah (944-946M) terpaksa meminta
bantuan kepada salah satu pemimpin dinasti Buwaihiyah, Ahmad Ibn Abu Shuza’ Buwaih di
Daylam. Pada tahun 945 M, dari ibu kota Shiraz, Ahmad menyerang Baghdad dan berhasil
mengusir tentara Turki dari Baghdad. Setelah berhasil mengusir tentara Turki, Ahmad justru
melihat kesempatan untuk menjadi penguasa yang baru di Baghdad.

2.4 Dinasti Saljuk


Dinasti Saljuk merupakan kelom- pok bangsa Turki yang berasal dari suku Ghuzz. Dinasti
Saljuk dinisbatkan kepada ne- nek moyang mereka yang bernama Saljuk ibn Tuqaq (Dukak).
Negeri asal mereka terletak di kawasan utara laut Kaspia dan laut Aral dan mereka memeluk agama
Islam pada akhir abad ke 4 H/10M dan lebih kepada mazhab sunni. Perkembangan Dinasti Saljuk
dibantu oleh situasi politik di wilayah Transoksania. Pada saat itu terjadi persaingan politik antara
dinasti Samaniyah dengan dinasti Khaniyyah, dalam persaingan ini Saljuk cenderung untuk
membantu dinasti Samaniyah. Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah,
Saljuk menyatakan memerdekakan diri.

Thugrul memproklamirkan berdirinya dinasti Saljuk. Pada tahun 432 H/1040 M dinasti ini
mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Disaat kepemimpinan Thugrul Bek
inilah, pada ta- hun 1055 M dinasti Saljuk memasuki Baghdad menggantikan dinasti Buwaihi.
Sebelumnya Thugrul berhasil merebut daerah Marwa dan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawi,
Balkh, Jurjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray dan Isfahan. Pada tahun ini juga Thugrul Bek mendap-
at gelar dari khalifah Abbasiyah dengan Rukh al-Daulah Yamin Amir al-Muminin. Meskipun
Bagdad dapat dikuasai, namun tidak dijadikan pusat pemerintahan. Thugrul Bek memilih kota
Naisabur dan kemudian kota Ray sebagai pusat pemerintahan. Dinasti-dinasti ini sebelumnya
memisahkan diri, setelah ditaklukkan dinasti Saljuk kembali mengakui kedudukan Bagdad.
Bahkan mereka menjalin keutuhan dan keamanan Abbasiyah.

9
2.5 Dinasti Thahiryah
Dinasti Thahiyah didirikan oleh Thahir ibn Husain, seorang yang berasal dari Persia, lahir
di desa Musanj dekat Marwa di Khurasan. Ia merupakan seorang panglima tentara pada masa
pemerintahan Khalifah al-Makmun. Ia dijuluki oleh Khalifah al-Makmun dengan sebutan Dzu al-
Yaminah.1

Thahir muncul ketika terjadi perselisihan antara dua pewaris tahta kekhalifahan Abbasiyah,
yaitu al-Amin dan al-Ma’mun. Dalam perselisihan itu, Thahir berpihak pada al-Ma’mun. ia diutus
oleh al-Ma’mun memimpin pasukan sebanyak 40.000 untuk melawan pasukan al-Amin yang
dipimpin oleh Ali ibn Isa yang berkekuatan 50.000. Pada peperangan itu pasukan yang dipimpin
Thahir menuai kemenangan di Rey, kota dekat Taheran pada tahun 811 M. Thahir juga berhasil
mengalahkan pasukan al-Amin yang dikirim berikutnya di bawah pimpinan ar-Rahman al-Jabal.
Melihat peluang bagus ini, Thahir mengarahkan pasukannya ke Baghdad, dengan Harsamah dan
Zubair yakni dua panglima yang dikirim oleh khalifah al-Ma’Mun. Pada peperangan itu Thahir
dapat menaklukan Baghdad selama dua bulan setelah melakukan pengepungan. Sedangkan al-
Amin sendiri terbunuh oleh pasukan Thahir.2

Berkat kemenangan tersebut, Thahir ibn Husain diangkat menjadi gubernur oleh Khalifah
al-Makmun pada tahu 820 M untuk memimpin wilayah timur Baghdad dengan pusat kekuasaan
Khurasan. Setelah kekuasaannya menguat, lama-lama namanya juga disebutkan dalam setiap
shalat Jum’at di daerah kekuasaannya. Setelah dua tahun berkuasa, Thahir wafat pada tahun 822
M.3

Setelah Thahir ibn Husain wafat, maka jabatan gubernur diserahkan kepada putranya,
Thalhah ibn Thahir. Yang memerintah selama enam tahun yaitu pada tahun 822-829 M. pada masa
pemerintahannya, Thalhah ibn Thahir berupaya meingkatkan hubungan kerja sama dengan
pemerintah pusat. Adapun gubernur-gubernur yang memerintah pada dinasti Thahiriyah adalah
Thahir ibn Husain, Thalhah ibn Thahir, Abdullah ibn Thahir, Thahir ibn Abdullah, dan
Muhammad ibn Thahir.4

1
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 145.
2
Depdikanas, Ensiklopedia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hive, 2002), hlm. 33.
3
Muzaiyana, Sejarah Peradaban Islam-2 (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hlm. 101
4
Dedi Supriadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 150.

10
Dinasti Thahiriyah mengalami masa kejayaan pada masa Abdullah ibn Thahir. Ia memiliki
pengaruh dan kekuasaan yang besar di mata masyarakat dan pemerintah Baghdad. Oleh karena
itu, ia terus menjalin komunikasi dan kerja sama dengan Baghdad sebagai bagian dari bentuk
pengakuannya terhadap peran dan keberadaan khalifah Abbasiyah. Perjanjian dengan pemerintah
Baghdad yang pernah dirintis ayahnya terus ditingkatkan. Peningkatan keamanan di wilayah
perbatasan terus dilakukan guna menghalau pemberontak yang ingin mengacau. Ia juga memberi
ruang yang cukup luas bagi upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan perbaikan moral atau
akhlak di lingkungan masyarakatnya di wilayah timur Baghdad. Dalam rangka mengembangkan
ilmu pengetahuan dunia Islam, kebudayaan dan memajukan ekonomi, dinasti ini menjadikan kota
Naisabur sebagai pusatnya, sehingga pada masa itu, Khurasan dalam keadaan makmur dengan
pertumbuhan ekonomi yang baik. Adanya pertumbuhan ekonomi yang baik inilah yang sangat
mendukung terhadap kegiatan ilmu pengetahuan dan budaya.

Pada masa selanjutnya dinasti Thahiriyah justru mengalami kemunduran saat dipimpin
oleh Muhammad ibn Thahir. Adapun faktor yang menyebabkan kemunduran dinasti Thahiriyah
antara lain: pertama, pemerintahannya sudah dianggap tidak loyal terhadap pemerintahan
Baghdad, karena itu Baghdad memanfaatkan kelemahannya sebagai alasan untuk menggusur
dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis diserahkan kepada pemerintahan baru yaitu dinasti
Safariyah; kedua, pola dan gaya hidup penguasa yang terlalu berlebihan, sehingga menimbulkan
dampak tidak terurusnya pemerintahan dan kurangnya perhatian terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam; ketiga, keamanan dan keberlangsungan kepemerintahan tidak
terpikirkan secara serius, sehingga keadaan ini dapat dimanfaatkan kelompok lain yang sejak lama
mengincar posisi strategis di pemerintahan lokal, seperti kolompok Safariyah. Kelompok baru ini
mendapat kepercayaan dari pemerintahan Abbasiyah untuk menumpas sisa-sisa tentara Thahiriyah
yang berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Abbasiyah dan melakukan maker. Dengan
demikian, berakhirlah masa Dinasti Thahiriyah yang pernah menjadi kaki tangan penguasa
Abbasiyah di wilayah timur Baghdad.5

5
Muzaiyana, Sejarah Peradaban Islam-2 (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hlm. 104.

11
2.6 Dinasti Safariyah
Dinasti Safariyah didirikan oleh Ya’kub ibn Layts al-Saffar pada tahun 868 M. Ya;kub
merupakan salah seorang pemimpin Khawarij di wilayah provinsi Sijistan. Wilayah kekuasaan
dinasti Safariyah meliputi kawasan Sijistan dan Iran (Persia).6 Dalam sumber lain disebutkan
bahwa dinasti Safariyah berkuasa di Persia sekitar 41 tahun (867-908 M).7

Pada awalanya, Ya’qub ibn Layts bersama saudaranya, Amr ibn Layts, membantu pasukan
Abbasiyah dalam memberantas pemberontakan yang dilakukan oleh sisa tentara dinasti Thahiriyah
di wilayah Sijistan. Keberhasilannya di Sijistan membawa Ya’qub ke puncak kepemimpinan
pasukan sebagai komandan penaklukan wilayah Harat, Sind, dan Makran. Kemudian Kirman dan
Persia yang digabungkan dengan Balkh. Atas jasanya tersebut, Khalifah al-Mu’tamid
mengangkatnya menjadi gubernur yang membawahi wilayah Balkh, Turkistan, Kirman, Sijistan,
dan Sind. Namun, ambisi Ya’qub tidak sampai di situ, ia terus bergerak menuju wilayah lain untuk
mengalahkan Fars pada 869 M, serta menduduki Syiraj (ibu kota Fars). Kemudian pada tahun 873
M, ia bergerak menuju Baghdad dan berusaha mendudukinya. Tetapi pada saat mereka bergerak
menuju Baghdad, pasukan mereka dihadang oleh pasukan Muwaffak pada 876 M sehingga mereka
gagal memasuki Baghdad. Tetapi meskipun mereka gagal namun ambisi Ya’qub untuk menguasai
Baghdad tidaklah surut. Namun, sebelum dapat menguasai Baghdad, Ya’qub terlebih dahulu
meninggal pada pada 879 M. meskipun ia dianggap sebagai gubernur yang tidak loyal dan
melampaui batas mandate yang diberikan Khalifah, namun jabatan gubernur wilayah tetap
dipercayakan kepada saudaranya, Amr ibn Layts.

Perkembangan Dinasti Shaffariyah mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Amr


ibn Layts, ia berhasil melebarkan wilayah kekuasaannya sampai ke Afghanistan Timur.8 Dalam
masa pemerintahan Amr, terdapat perkembangan yang menarik, terutama perkembangan civil
society yang berkaitan dengan keadilan. Dinasti Shaffariyah meletakkan dasar-dasar keadilan dan
kesamaan hak di antara orang-orang miskin di Sijistan.9

Selanjutnya, Dinasti Shaffariyah mengalami kehancuran juga ketika pemerintahannya di


pegang oleh Amr pada tahun 900 M, karena ambisinya yang ingin memperluas wilayah kekuasaan

6
Muzaiyana, Sejarah Peradaban Islam-2 (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hlm. 104.
7
Philip K. Hitti, The History of the Arabs, terjemah: R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 586.
8
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 275.
9
Ibid., hlm. 132.

12
hingga Transoxiana. Namun di wilayah ini gerakannya dihambat oleh Dinasti Samaniyah, kecuali
di Sijistan. Meskipun begitu, kekuasaan di Sijistan tidak sepenuhnya merdeka, karena ia harus
tunduk di bawah kekuasaan Dinasti Samaniyah namun posisi gubernur tetap berada di bawah bani
Safariyah hingga abad ke-15 M, meskipun sering kali terjadi pergantian penguasa. Terkadang Bani
Shaffariyah silih berganti berada di bawah penguasa lain setelah dinasti Samaniyah, seperti
menjadi penguasa lokal yang tunduk pada pemerintahan Ghaznawiyah, Bani Saljuk, dan Bangsa
Mongol, dan tidak lagi menjadi kepanjangan tangan pemerintahan Abbasiyah.

2.7 Dinasti Samaniah


Dinasti Samaniyah didirikan oleh Bani Saman yang berhasil menggeser dan menggantikan
dinasti Shafariyah. Nama Bani Saman sendiri dinisbahkan dari nama Saman Khadah yang
memeluk Islam dan pernah diangkat menjadi gubernur Khurasan.

Berdirinya dinasti ini bermula dari pengangkatan empat anak Asad ibn Saman, gubernur
Transoxiana, oleh Khalifah al-Ma’mun menjadi gubernur di Samarkand, Farghana, Shash, dan
Harat.10 Adapun nama dari empat cucunya ialah Nuh ibn Asad (gubernur Samarkand), Ahmad ibn
Asad (gubernur Farghanah), Yahya ibn Asad (gubernur Shash dan Asyurnah), dan Ilyas ibn Asad
(gubernur Harat).

Pada saat keempat cucu Saman menjadi gubernur, mereka mendapat banyak simpati dari
warga Persia. Awalnya simpati rakyat itu hanya di kota-kota kekuasaannya, namun kemudian
menyebar ke seluruh wilayah Persia, termasuk Sijistan, Karman, Jurjan, Ar-Ray, dan Tabanistan,
ditambah lagi daerah Transoxiana di Khurasan.11 Tegaknya Dinasti Samaniyah bisa jadi berkat
manifestasi dari hasrat masyarakat Persia pada waktu itu. Adapun yang pertama kali
memproklamirkan Dinasti Samaniyah ini adalah Nasr Ibn Ahmad, putra Ahmad ibn Saad, pada
tahun 874 M dan dicetuskan di Transoxiana.

Kemudian kepemimpinan setelah Nasr dilanjutkan oleh saudaranya yang bernama Ismail
bin Ahmad yang menjabat pada tahun 892-907 M. Pada masa pemerintahan Ismail ini, ia berhasil
mengokohkan kekuatan Dinasti Samaniyah. Wilayah kekuasaannya bahkan mencapai Khurasan
setelah ia mengalahkan Amr ibn al-Laits dari Bani Shafariyah pada tahun 900 M. setelah itu, Ismail

10
Brockelmann, History Of The Islamic People (London: Rotledge and Kegan Paul, 1980), hlm. 165.
11
Philip K. Hitti, The History of the Arabs, terjemah: R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2006), hlm. 462.

13
juga memasukkan wilayah Ray dan Laut Kaspia ke dalam wilayahnya, kemudian diwarisi ke
keturunannya.

Kemudian kepemimpinan berikutnya dipegang oleh Ahmad bin Ismail yang memerintah
pada tahun 907-913 M. Ahmad adalah seorang pemberani yang berhasil menaklukan Sijistan.
Kemudian dilanjutkan terus hingga pemimpin yang terakhir adalah Abdul Malik II ibn Nuh II.

Kekuasaan Dinasti Samaniyah membentang sampai perbatasan India dan Turkstan. Ada
sembilan orang yang pernah memimpin dinasti Samaniyah. Adapun pada masa pemerintahan Nash
I, Nuh I, dan Nuh II peradaban dan kebudayaan Islam menjadi semakin diakui. Bukhara dan
Samarkand pun menjadi pusat kebudayaan Islam yang penting, di samping Baghdad. Banyak
cendekiawan yang muncul pada masa itu contohnya seperti al-Raudaki, al-Firdausi, dan Ibnu Sina.

Setelah mencapai puncak kegemilangannya bagi bangsa Persia, semangat kesukuan pun
meningkat pada dinasti ini. Oleh karena itu, ketika banyak imigran Turki yang mendapat jabatan
pada pemerintahan banyak orang-orang dari bangsa Persia yang merasa tidak senang. Pada
akhirnya karena hal itu, orang-orang Turki tersebut dicopot. Akibat kejadian ini pula yang menjadi
faktor kehancuran dinasti Samaniyah karena mendapat penyerangan dari bangsa Turki. Setelah
keruntuhannya ini, tumbuh dinasri kecil baru, yaitu dinasti Ghaznawi yang terletak di India dan
Turki.

Dinasti Samaniyah habis tenggelam di tangan Abdul Malik II ibn Nuh II yang sewaktu
dibaiat menjadi pemimpin masih di bawah umur, sedangkan musuh yang dihadapi sangat kuat
yaitu Sultan Mahmud Ghaznawi (berkebangsaan Turki). Akhirnya kekuasaannya jatuh ke tangan
dinasti Ghaznawi.12

2.8 Dinasti Timuriah


Salah satu kerajaan yang pernah berkuasa di Persia adalah dinasti Timuriah. Dinasti
Timuriah didirikan oleh Timur. Timur terlahir pada 9 April 1336 di Kish, dekat Samarkand. Di
dalam nadinya mengalir darah bangsa Turki dari ayahnya, Amir Turghai (Taraghai), dan juga
bangsa Mongol dari ibunya, Takinah, keturunan Genghis Khan. Timur mengumumkan bahwa
dirinya adalah penerus Chagatai (salah satu dinasti yang berada di bawah kekuasaan Mongol)

12
Koeh, Atlas Sejarah Islam (Jakarta: Kaysa Media, 2011), hlm 107-109.

14
karena Timur berasal dari Suku Barlas, cabang dari Chagatai, di Tansoxiana. Pada tahun 1360,
TImur diserahi kepemimpinan Transoxiana oleh Tughluq Temu Khan, penguasa Chagatai.
Namun, persekongkolan politik menjadikan Timur terpaksa meninggalkan Samarkand, kemudian
menuju Khurasan dan Mazandar. Kemudian, bersama Amir Husain, iparnya, Timur diajak
bergabung oleh Gubernur Sistan yang bernama Jalaluddin Mahmud untuk mengatasi
pemberontakan di wilayahnya. Hubungan mereka berakhir konflik ketika Jalaluddin kemudian
menyerang Timur. Walaupun kemenangan di Sistan diterima Timur, tetapi kakinya terkena panah
yang menyebabkannya pincang sehingga ia mendapatkan julukan Lang (Lame) yang artinya
pincang.

Dengan perjuangan keras, Timur dan Husain dapat menguasai Transoxiana sepenuhnya.
Namun, hubungan keduanya berujung peperangan, terutama setelah kematian istrinya, Aljai
Khatun. Perseteruan mereka dimenangkan Timur, dan Husain terbunuh pada 1370. Selanjutnya,
Timur menikahi janda-janda Husain dan menyatakan pengukuhannya sebagai penguasa tunggal
Asia Tengah, Pada 10 April 1370 ia menjadikan Samarkand sebagai ibu kotanya, sehingga ia
menjadi penerus dari penguasa-penguasa Mongol cabang Chaghatay di Transoxania. Sama seperti
Genghis Khan maupun Alexander Agung, maka TImur juga mempunyai ambisi ekspansi
kekuasaan yang luar biasa. Pada tahun 1372 M, Timur menaklukan Khawarizm, kemudian pada
1381 menguasai Heart (Afghanistan) yang sebelumnya dikuasai Ilkhaniyah. Penguasaan atas
wilayah Iran (Persia) pada tahun 1393 M kemudian dilanjutkan ke penaklukan Baghdad. Ekspansi
dilanjutkan ke Sijiztan, Azerbaijan, Georgia, Armenia, dan wilayah Golden Horde, sehingga
Astrakhan dan Saray dihancurkan oleh pasukan Timur pada 1395.

Setelah itu, TImur kembali ke Samarkand pada 1396. Pada 1398, ia meneruskan ekspansi
ke Delhi, India, dengan 90.000 tentara. Bahkan kekuasaannya bertambah setelah Timur menklukan
Aleppo, Hama, dan Damaskus yang sebelumnya dikuasai oleh Dinasti Mamluk. Tidak hanya itu,
pada 1402, Timur dengan jumlah pasukan yang besar mengalahkan pasukan Sultan Bayazid dari
Dinasti Utsmaniyah dalam pertempuran di Ankara, Anatolia, yang mengakibatkan Bayazid
meninggal di dalam tahanan pada 1403. Ekspedisi militer Timur terhenti ketika kematiannya pada
18 Februari 1405 di tepi Sungai Jaxartes, dekat Utrar, sewaktu perjalanan untuk menyerang Cina.

Secara umum, kepemimpinan Dinasti Timuriyah berikutnya sepeninggal Timur hingga


berakhir pada Badi’ al-Zaman (1506-1507) tidak mempunyai kualitas seperti kepemimpinan

15
Timur, meskipun pada masa Shah Rukh (1409-1447) dan Ulugh Beg (1447-1449) terdapat
kemajuan dalam pengembangan kebudayaan dan pendidikan dengan pembangunan lembaga
pendidikan dan obsevatorium. Akhirnya, wilayah kekuasaan Timuriyah jatuh ke genggaman
Dinasti Safawiyah. Selanjutnya, dari garis keturunan Timur, yakni putra Umar Syekh Mirza
(penguasa Farghanah) yang bernama Babur, mendirikan Dinasti Mughal di India pada 1526.13

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Banyak dari Kerajaan-kerajaan Islam yang menguasai Persia sebelum
Dinasti Safawiyah datang, tak sedikit pengaruh Persia mulai masuk dalam
kerajaan-kerajaan Islam yang berkuasa di Persia, pun dengan Persia yang akhirnya
dapat ditemukan bukti-bukti keislamannya disaat Dinasti Safawiyah datang,
sebelum itu kondisi politik masih dipengaruhi oleh berbagai Kerajaan dari berbagai
Negara.

Perebutan wilayah dan pergantian pemimpin adalah hal yang paling


mendominasi untuk menggambarkan kondisi politik sebelum Dinasti Safawiyah
berlangsung.

3.2 Saran
Dalam penulisan makalah akan sangat dibutuhkan saran dan kritik dari pembaca
dikarenakan banyak kekurangan referensi dan kesalahan penulisan yang ada

13
Ahmad Choirul Rafiq, Cara Mudah Memahami Sejarah Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), hlm. 309-310.

16
DAFTAR PUSTAKA

Spuler, Bertold (2003). Persian Historiography and Geography: Bertold Spuler on Major
Works Produced in Iran, the Caucasus, Central Asia, India and Early Ottoman Turkey.
Singapore: Pustaka Nasional. ISBN 978-9971-77-488-2.

Daniel, Elton (2001). The History of Iran. Greenwood Press. ISBN 978-0-313-30731-7.

Donner, Fred (1981). The Early Islamic Conquests. Princeton. ISBN 978-0-691-05327-1.

Supriyadi, Dedi. 2016. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Maryam, Siti, dkk. 2003. Sejarah Peradaban Isma dari Masa Klasik hingga Modern.
Yogyakarta: Lesfi.

Abdul Karim, M. 2014. Bulan Sabit di Gurun Gobin: Sejarah Dinasti Mongol Islam di
Asia Tengah. Yogyakarta: Suka Press.

Syed Mahmudunnashir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Remaja Rosda


Karya, 1994.

Manan, Nuraini.2018. Dinasti Saljuk dalam Sejarah Peradaban Islam. Adabiya: UIN
Sultan Ar-Raniry, Volume 20. Diakses pada tanggal 31 Des 2020 melalui www.jurnal.ar-
raniry.ac.id
Supriadi. 2006. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Depdiknas. 2002. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hive.

Muzaiyana. 2014. Sejarah Peradaban Islam-2. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.

Hitti, PK. 2006. The History Of The Arabs. Terj. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta:
Serambi.

Amin, SM. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah

Brockelmann. 1980. History Of The Islamic People. London: Rotledge and Kegan Paul.

Koeh. 2011. Atlas Sejarah Islam. Jakarta: Kaysa Media.

17
Rafiq, AC. 2019. Cara Mudah Memahami Sejarah Islam. Yogyakarta: IRCiSoD.

18

Anda mungkin juga menyukai