Anda di halaman 1dari 14

MANUSIA JAWA

DALAM TETRALOGI PRAMOEDYA ANANTA TOER

I. Darmawanto

Pendahuluan
Gambaran tentang kebudayaan suatu masyarakat tidak hanya dapat diperoleh melalui
tulisan-tulisan ilmiah saja. Demikian juga, gambaran itu tidak harus diperoleh dengan terjun
masuk ke dalam masyarakat yang bersangkutan. Gambaran itu dapat diperoleh dengan cara
menggali karya-karya fiksi atau non-ilmiah seperti buku-buku sastra atau novel-novel.
Bahkan, dari tulisan-tulisan fiksi itu, banyak sekali terungkap pandangan-pandangan dari
suatu kebudayaan tertentu yang hidup dalam suatu masyarakat pada masa-masa tertentu. Hal
ini dapat dimengerti mengingat bahwa karya-karya fiksi adalah suatu produk kehidupan yang
banyak mengandung nilai-nilai sosial, politis, etika, religi, filosofis, dan sebagainya, yang
bertolak dari pengungkapan kembali suatu fenomena kehidupan (Sardjono, 1992: 10). Dapat
dikatakan pula bahwa karya fiksi adalah suatu potret realitas yang terwujud melalui bahasa.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menggali gagasan dan gambaran tentang manusia
Jawa yang terdapat dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Metode pendekatan yang
dilakukan penulis adalah melihat fenomena-fenomena yang langsung tampak dalam tetralogi
tersebut, yang mengatakan tentang segala hal yang berkaitan dengan gambaran manusia Jawa.
Novel tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer merupakan sebuah novel sejarah.
Tetralogi ini terdiri dari empat jilid yang berjudul Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa,
Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Bumi Manusia melingkupi masa kejadian tahun 1898
sampai 1918, masa periode Kebangkitan Nasional, masa yang hampir tak pernah dijamah oleh
sastra Indonesia, masa awal masuknya pengaruh pemikiran rasio, awal pertumbuhan
organisasi-organisasi modern yang juga berarti awal kelahiran demokrasi pola Revolusi
Perancis. Anak Semua Bangsa berkisah tentang pengenalan si tokoh pada lingkungannya
sendiri dan dunia, sejauh pikirannya dapat menjangkaunya. Jejak Langkah berkisah tentang
kelahiran organisasi-organisasi modern Pribumi pertama-tama. Dan Rumah Kaca berkisah
tentang usaha Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda dalam menjadikan Hindia sebagai rumah
kaca, di mana setiap gerak-gerik penduduk di dalamnya dapat mereka lihat dengan jelas, dan
dengan hak exorbitant dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap para penghuni dalam
rumah itu.

1
Manusia-manusia Jawa dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer
Minke
Minke adalah tokoh utama dalam tetralogi ini. Minke adalah seorang pelajar Indonesia
pada sekolah menengah Belanda (H.B.S.) di Surabaya. Pengalaman intelektual di lingkungan
asing ini, membebaskan dirinya dari belenggu latar belakang Jawa keturunan bangsawan.
Minke adalah keturunan satria Jawa, masih memiliki darah raja-raja Jawa; ayahandanya
adalah seorang bupati (Ananta Toer, 2001a: 134). Sementara dengan bernafsu menyerap
gagasan-gagasan Eropa yang maju, ia juga mengalami bahwa ia adalah seorang warga negara
kelas dua di negeri kelahirannya sendiri. Ini mendorongnya untuk menonjol dalam
penguasaan bahasa Belanda dan munjukkannya dengan menulis untuk sebuah koran
berbahasa Belanda. Minke memiliki tekad untuk menjadi manusia bebas. Tekad inilah yang
menjiwai seluruh hidup dan perjuangannya; bahkan ia sangat mengagungkan semboyan
Revolusi Perancis, liberte, egalite, fraternite. Menjadi manusia bebas berarti tidak mau
tunduk di bawah penguasa kolonial.
Sejak awal, Minke sudah harus berurusan dengan pengadilan putih (Pengadilan di
mana para pejabatnya adalah orang-orang Eropa dan di dalamnya berlaku hukum Eropa.
Tentu saja orang Eropa memiliki derajat dan hak serta prioritas yang lebih tinggi
dibandingkan orang pribumi), yaitu dalam kasus Nyai Ontosoroh dan Annelies (Nyai
Ontosoroh adalah seorang gundik Belanda, dan Annelies adalah anak Nyai Ontosoroh dari
Herman Mellema, seorang Belanda totok. Annelies kemudian menjadi istri Minke. Annelies
akhirnya meninggal di Nederland setelah diambil paksa oleh keturunan sah ayahnya setelah
Herman Mellema tewas). Dalam kasus ini, Minke telah mengerahkan segala upaya, baik lewat
pengadilan maupun tulisan-tulisannya. Meskipun mendapat simpati dari masyarakat, segala
upaya Minke dan kawan-kawannya gagal. Mereka kalah di hadapan pengadilan putih.
Dalam perjalanan hidupnya, ia berhadapan dengan kenyataan eksploitasi kolonial dan
ketidakadilan yang dilakukan terhadap massa petani yang menderita. Berang terhadap apa
yang dilihat dan didengarnya, ia menulis serangkaian karangan untuk surat kabarnya. Lewat
tulisan itu, ia membela nasib Trunodongso (Ananta Toer, 2001b: 174-194). Namun,
tulisannya itu tidak diterima oleh redakturnya. Kemudian ia menyadari bahwa surat kabar itu
adalah milik pengusaha perkebunan gula yang sangat berkuasa, dan bahwa selama ini ia telah
bekerja untuk salah satu alat eksploitasi kolonial. Perjuangannya tidak berhenti sampai di sini.
Kemudian ia mendirikan surat kabar sendiri, yaitu harian “Medan” yang berusaha
menampung dan membela semua kasus penindasan atau ketidakadilan yang diadukan oleh

2
orang-orang pribumi. Perjuangan ini mendekatkan Minke pada realitas penderitaan
bangsanya.
Perjuangan Minke tidak hanya lewat tulisan. Dia juga berjuang lewat organisasi
modern yang didirikannya. Pembentukan organisasi ini sangat penting karena satu organisasi
modern di Hindia sama harganya dengan satu orang Eropa di hadapan hukum. Pertama kali,
Minke mendirikan Serikat Priyayi yang beranggotakan para priyayi, yang pasti termasuk
golongan terpelajar. Organisasi ini kurang berhasil karena rupanya tidak memiliki kepedulian
sama sekali tentang keadaan bangsa Hindia. Kemudian Minke mendirikan Serikat Dagang
Islam. Serikat ini bisa berjalan dan berkembang dengan baik karena beranggotakan kelompok
mayoritas dari masyarakat pribumi, yaitu para pedagang dan kaum Islam. Dalam
perkembangannya, pemerintah kolonial berusaha menggoncang dan memecah belah SDI.
Minke kemudian dibuang ke Ambon oleh pemerintah kolonial dengan tuduhan yang
tidak benar. Setelah bebas dari pembuangan, Minke menemukan bahwa segala miliknya tidak
ada lagi. Dan akhirnya, ia meninggal karena sakit, tanpa diketahui oleh seorang pun kecuali
seorang pengikutnya yang masih setia.

Nyai Ontosoroh
Nyai adalah perempuan yang hidup sebagai selir/wanita simpanan lelaki non-
pribumi/Eropa. Pada masa itu, seorang Nyai dipandang sebagai manusia yang bermartabat
dan bermoral rendah, yang hanya mempunyai kewajiban memuaskan nafsu tuannya tanpa
pernah diakui pernikahannya secara sah (Ananta Toer, 2001a: 50).
Nyai Ontosoroh digambarkan sebagai seorang sosok yang sangat berbeda dengan
sosok seorang nyai pada umumnya. Nyai Ontosoroh ditampilkan sebagai pribadi yang kuat,
tidak menyerah pada nasib. Ini terungkap melalui tekadnya, “Akan kubuktikan pada mereka,
apa pun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus lebih berharga daripada mereka,
sekalipun hanya sebagai nyai” (Ananta Toer, 2001a: 91) . Ia adalah seorang perempuan
pribumi yang kuat, terpelajar, walaupun secara otodidak, dan berjiwa modern. Kemauannya
dan usahanya untuk belajar dan tekadnya untuk mandiri menjadikannya sosok yang begitu
mempesona bagi ukuran wanita pribumi pada masa itu.
Nyai Ontosoroh juga digambarkan sebagai sosok yang gigih memperjuangkan hak-
haknya. Bahkan, ketika tak mungkin lagi menang dalam pengadilan putih ketika ia harus
berhadapan dengan Ir. Maurits Mellema, ia berkata, “Memang kita tidak mempunyai kekuatan
untuk melawan Hukum dan dia, tapi kita masih punya mulut untuk bicara. Dengan mulut itu
saja kita akan hadapi dia” (Ananta Toer, 2001b: 360).

3
Ibunda Minke
Ibunda Minke adalah gambaran sosok wanita Jawa priyayi. Dia masih menjunjung
tinggi adat, tradisi, dan kebudayaan Jawa. Dia tetap berusaha memelihara nilai-nilai Jawa
dalam menghadapi nilai-nilai yang ditawarkan oleh para penguasa kolonial. Dia tak henti-
hentinya menasihati Minke supaya ingat jati dirinya sebagai seorang Jawa, tetapi ia juga
memberi kebebasan sepenuh-penuhnya pada Minke untuk memilih dan menentukan arah
hidupnya sendiri, walaupun ia sebenarnya menginginkan Minke menjadi seorang bupati
(Ananta Toer, 2001a: 137-138, 142).
Ibunda Minke dapat dikatakan sebagai sosok ideal bagi wanita Jawa. Hidupnya
diabdikan untuk kebahagiaan suami dan anak-anaknya.

Ayahanda Minke
Ayahanda Minke adalah seorang laki-laki Jawa dari kalangan priyayi. Ia masih
keturunan raja-raja Jawa. Semula, ia adalah seorang mantri pengairan, kemudian, ia diangkat
menjadi bupati Bojonegoro. Selanjutnya ia dipindah ke Blora. Sebagai seorang Jawa tulen,
dan lebih-lebih lagi sebagai seorang bupati yang hidup pada masa itu, tentu saja ayahanda
Minke ini tidak lepas dari sikap feodalistik. Sebagai seorang bupati, seperti halnya dengan
bupati-bupati lain pada masa itu, ia juga memimpikan karunia gelar Pangeran, suatu gelar
yang sangat jarang dimiliki oleh bupati di seluruh Jawa (Ananta Toer, 2001c: 342-343).
Ia sulit untuk mengerti dan memahami pikiran dan tingkah laku, angan-angan dan
sepak terjang Minke, bahkan ia menentang segala kegiatan Minke yang berkaitan dengan
perjuangan Minke menghadapi pemerintah kolonial melalui tulisan maupun organisasi.
Namun akhirnya, ia memutuskan untuk berpihak pada Minke, bahkan menjadi pelindung
Sjarikat di dalam kawasannya (Ananta Toer, 2001c: 540-541). Lebih lagi, ia telah mendirikan
sebuah sekolah gadis yang cukup bagus di Blora (Ananta Toer, 2001d: 397).

Gadis Jepara, Siti Soendari, dan Surati


Ketiga gadis ini memiliki satu kesamaan, yaitu tidak mau menyerah begitu saja pada
nasib. Dengan caranya masing-masing, ketiga gadis itu berusaha memperjuangkan cita-
citanya, walaupun kesudahan yang dialami ketiganya sangat berbeda.
Gadis Jepara adalah seorang putri bupati Jepara. Ia hidup dalam lingkungan di mana
sistem feodalisme berlaku dengan ketat. Ia hanya mengalami kebebasannya pada masa kecil
sampai menanti masa pingitan, di mana hidupnya kemudian hanya berkisar di dalam rumah.
Meskipun dalam situasi demikian, ia tekun sekali belajar. Ia memiliki pemikiran yang bagus

4
untuk perempuan bangsanya, dan ia menuangkannya lewat tulisan-tulisan dan surat-suratnya
yang membuat kagum banyak orang, termasuk Minke. Oleh karena pemikirannya yang cukup
tajam, pemerintah kolonial Hindia-Belanda berusaha membungkamnya dengan mendesak
ayahnya supaya segera menikahkannya. Akhirnya dia menikah dengan bupati Rembang. Ia
mati pada usia yang masih sangat muda.
Siti Soendari adalah seorang gadis dari Pemalang, putri dari seorang teman Minke
pada saat masih bersekolah (Ananta Toer, 2001d: 306). Soendari tidak dididik dalam suasana
dan lingkungan feodalistik. Ia mengatakan, “Sudah sejak kecil sahaya ditimang-timang oleh
ayahanda untuk menjadi wanita bebas. Tak pernah ayahanda melarang apapun yang sahaya
perbuat asalkan tidak membahayakan keselamatan dan kehormatan keluarga dan diri
sendiri” (Ananta Toer, 2001d: 327). Ia adalah seorang nasionalis muda yang membenci
kolonialisme. Ia berjuang bersama para nasionalis muda lainnya melalui tulisan-tulisannya
dalam koran maupun melalui orasi-orasinya di depan publik. Pemerintah merasa bahwa gadis
jelita itu punya keyakinan dan pendapat yang berlainan dari keinginan Gubermen. Oleh
karena itu, Gubernur Jawa Tengah memberi isyarat pada asisten residen Pekalongan, agar
ayah Soendari sudi mengendalikan putrinya dengan segera mengawinkannya. Prosedur ini
telah dilaksanakan terhadap gadis Jepara dengan berhasil, tetapi Soendari tidak mau
mengalami nasib yang sama dengan gadis Jepara. Ia menghindari rencana itu dengan
melarikan diri.
Surati adalah putri Paiman, kakak Nyai Ontosoroh. Karena ambisi ayahnya, ia
terpaksa harus menjadi gundik Tuan Besar Plikemboh. Namun, Surati tetap tidak ingin
selama-lamanya menjadi nyai. Surati mempunyai tekad untuk ‘menyelesaikan sendiri
kesudahannya’ (Ananta Toer, 2001b: 163). Akhirnya Surati menempuh jalan menulari dirinya
sendiri dengan wabah cacar. Dia datang kepada Plikemboh dengan harapan mati segera.
Akhirnya, Plikemboh yang mati tertulari cacar dari Surati, sedangkan Surati sendiri
terselamatkan.

Sastrotomo dan Paiman


Dua tokoh ini mewakili manusia Jawa yang ambisius. Sastrotomo tidak puas dengan
jabatannya sebagai jurutulis. Ia impikan jabatan yang lebih tinggi kendati jabatannya sudah
cukup tinngi dan terhormat. Ia memimpikan jabatan sebagai jurubayar, kassier pemegang kas
pabrik gula Tulangan, Sidoarjo. Demi jabatan itu, berbagai jalan ditempuhnya. Sanikem
bercerita tentang sikap ayahnya itu, “Tindakannya yang menjilat dan merugikan teman-
temannya menjadikannya tersisih dari pergaulan. Ia terpencil di tengah lingkungannya

5
sendiri. Tapi ia tidak peduli” (Ananta Toer, 2001a: 82). Pada akhirnya, ia tega menjual
anaknya sendiri, Sanikem, kepada administratur pabrik gula, Tuan Herman Mellema, demi
jabatan jurubayar yang diimpikannya.
Tidak jauh beda dengan Paiman. Ia menyerahkan Surati, anaknya kepada Tuan Besar
Vlekkenbaaij (oleh masyarakat diplesetkan menjadi Plikemboh), administratur pabrik gula
saat itu, sebagai ganti jabatan. Walaupun dikisahkan bahwa Paiman dijebak oleh Tuan Besar
Plikemboh sehingga ia harus memilih antara membayar kembali uang yang hilang atau
menyerahkan Surati, toh Paiman tetap saja menyimpan ambisi besar untuk mempertahankan
jabatannya sebagai jurubayar, suatu jabatan yang sangat bergengsi dan dihormati banyak
orang. Ia menyatakan:
Tapi jabatan:-dia segala dan semua bagi Pribumi bukan tani dan bukan
tukang. Harta benda boleh punah, keluarga boleh hancur, nama boleh
rusak, jabatan harus selamat. Dia bukan hanya penghidupan, di dalamnya
juga kehormatan, kebenaran, hargadiri, penghidupan sekaligus. Orang
berkelahi, berdoa, bertirakat, memfitnah, membohong, membanting tulang,
mencelakakan sesama, demi sang jabatan. Orang bersedia kehilangan apa
saja untuk dia, karena, juga dengan dialah segalanya bisa ditebus kembali.
Semakin jabatan mendekatkan orang pada lingkungan orang Eropa,
semakin terhormatlah orang (Ananta Toer, 2001b: 146).

Golongan Petani
Penjajahan selama tiga ratus tahun membuat kaum petani pada umumnya menjadi
terpuruk dan tidak berdaya. Kekalahan terus-menerus yang mereka alami selama itu membuat
mereka begitu takut dan tunduk pada penguasa kolonial. Penindasan yang mereka alami
bukan hanya dari pemerintah kolonial, tetapi juga dari penguasa pribumi. Ketakutan kaum
petani Jawa ini ditunjukkan melalui sebuah brosur dari Magda Peters yang mengatakan:
Petani Jawa takut pada semua yang bukan petani, karena dari pengalaman
berabad mereka mengerti tanpa sadarnya, semua yang berada di luar
mereka secara sendiri-sendiri atau bersama adalah perampas segala apa
dari diri mereka... Maka setiap orang dari golongan apa saja, yang tampil,
dapat menghibur dan mengambil hatinya, akan mereka ikuti, baik dalam
beribadah, berangkat ke medan-perang atau pun tumpas dari kehidupan...
mereka bisa membikin amock, bukan karena hendak membela diri,
menyerang atau membalas dendam, hanya karena tak tahu apa lagi yang
harus diperbuatnya setelah kesempatan hidupnya yang terakhir dirampas
juga (Ananta Toer, 2001b: 184-185) .

Situasi terpuruk ini membuat sebagian besar dari mereka kehilangan harapan dan
kepercayaan akan diri sendiri. Mereka lebih suka bermimpi bahwa pada suatu hari nanti

6
penguasa akan bermurah hati kepada mereka dan membebaskan mereka dari belenggu
penjajahan ini.

Golongan Terpelajar
Kaum terpelajar adalah mereka yang mendapat pengetahuan Eropa melalui sekolah-
sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Mereka dididik untuk mengabdi kepada
Gubermen. Akibatnya, sangat sedikit orang terpelajar yang mengenal bangsa dan kebutuhan
bangsanya. Kebanyakan mereka hanya mengenal kebutuhan nafsu mereka sendiri. Mereka
kurang peduli bahwa maju-mundurnya bangsa ini sangat ditentukan oleh penguasaan ilmu
pengetahuan.
Sikap jelek kaum terpelajar ini lebih nampak ketika Minke mendirikan Serikat Priyayi.
Minke berpikir bahwa kaum terpelajarlah yang dapat memelopori suatu organisasi modern.
Namun ternyata, mereka hanya sekedar memikirkan perut mereka sendiri. Mereka sudah
terlanjur merasa mapan dengan kondisi mereka sehingga enggan untuk turut campur dalam
urusan-urusan yang bisa membahayakan status mereka, meskipun itu demi bangsa mereka
sendiri.

Tokoh Lain
Masih ada beberapa tokoh manusia Jawa lainnya yang menjadi pelaku dalam tetralogi
Pramoedya. Namun, karena tokoh-tokoh itu hanya disebut sekilas dan kurang menunjukkan
suatu gambaran tentang manusia Jawa, penulis hanya akan mengemukakan sekilas saja
tentang mereka.
Wardi, Tjipto, Marko, Sandiman, Tomo, dll. Adalah para nasionalis muda yang
berjuang melawan kolonialisme dengan caranya masing-masing, baik lewat tulisan maupun
organisasi.
Istri Sastrotomo, yaitu ibu dari Sanikem, digambarkan sebagai perempuan yang
terlalu tunduk pada suaminya. Ia tidak mampu berbuat apa-apa untuk mempertahankan
Sanikem yang akan diserahkan kepada Herman Mellema oleh suaminya. Sedangkan
Djumilah, istri Paiman, cukup berani melawan suaminya, walaupun terancam perceraian.
Meskipun hanya denngan suara dan kata-kata, ia berjuang untuk mempertahankan Surati.
Namun usahanya sia-sia karena Surati memilih untuk memenuhi kehendak ayahnya.

7
Gambaran Manusia Jawa dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer
Manusia Jawa dan Sikap Feodalistik
Sikap feodalistik sangat meresapi berbagai segi dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Pramoedya juga menampilkan sikap feodalistik manusia Jawa ini dalam novelnya. Apa itu
feodalisme? Feodalisme adalah suatu mental attitude, sikap mental terhadap sesama dengan
mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan
(Hardjowirogo, 1984: 11).
Pramoedya (2001a: 133) melukiskan salah satu contoh feodalisme itu dalam buku
pertama tetraloginya. Di dalamnya, dilukiskan tentang bagaimana seorang bupati memerintah
kota kabupatennya sebagai seorang raja kecil, yang oleh rakyat biasa disebut Gusti Kanjeng.
Untuk menghadap seorang bupati di kediamannya, seorang rakyat harus mencopot alas
kakinya dan jalan berlutut.
Sikap feodalistik ini dilukiskan lebih tegas lagi ketika Ibunda Minke memberikan
wejangan kepada Minke, “Itu tanda kau bukan Jawa lagi, tak mengindahkan siapa lebih tua,
lebih berhak akan kehormatan, siapa lebih berkuasa ... Orang Jawa sujud berbakti pada yang
lebih tua, lebih berkuasa, satu jalan pada penghujung keluhuran. Orang Jawa harus berani
mengalah” (Ananta Toer, 2001a: 141) .
Sikap feodalistik ditunjukkan pula dalam penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa
Jawa. Seorang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya menggunakan bahasa ngoko
kepada orang yang lebih muda atau lebih rendah kedudukannya. Sebaliknya, orang yang lebih
muda atau rendah kedudukannya menggunakan krama inggiol kepada yang lebih tua atau
tinggi kedudukannya. Hal ini tampak jelas dalam seluruh tetralogi Pramoedya. Misalnya
antara Minke dan ayahanda atau ibundanya, antara Minke dengan kusir kereta, antara bupati
dengan rakyatnya, dll.

Manusia Jawa dan Sikap Fatalistik


Ada pandangan umum bahwa di dalam hidupnya, orang Jawa biasanya bersikap
fatalistik. Bagaimanapun baiknya manusia merancang hidupnya, kesudahannya Tuhanlah
yang menentukan (Hardjowirogo, 1984: 26). Dalam tetraloginya, Pramoedya menunjukkan
kebenaran pandangan itu, tetapi sekaligus juga menunjukkan bahwa tidak semua orang Jawa
bersikap demikian. Ada juga orang Jawa yang berpandangan bahwa nasib manusia berada di
tangan manusia sendiri. Takkan bisa tercapai sesuatu di dalam hidupnya bila ia tak berusaha
sendiri untuk mencapainya.

8
Gambaran manusia Jawa dan sikap fatalistiknya digambarkan Pramoedya melalui
tokoh ibunda Minke. Ibunda Minke melalui nasehat-nasehatnya kepada Minke dan melalui
sikap hidupnya, menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang nrima, menerima nasib apa
adanya sebagai suatu yang memang diperuntukkan Tuhan baginya. Dia merasa bersyukur atas
nasib yang diterimanya (Ananta Toer, 2001c: 64-65).
Manusia Jawa yang tidak bersikap fatalistik cukup jelas digambarkan melalui tokoh
Nyai Ontosoroh, Surati, gadis Jepara, Siti Soendari, dan Minke sendiri. Mereka dengan
caranya masing-masing berusaha untuk meraih apa yang diharapkan, dan berusaha untuk
melepaskan diri dari nasib yang kurang baik untuk meraih nasib yang lebih baik.

Manusia Jawa dan Wayang


Boleh dikatakan bahwa wayang adalah identitas utama manusia Jawa (Ananta Toer,
2001c: 33). Orang Jawa hampir tidak dapat melepaskan diri dari wayang. Wayang berkaitan
dengan penafsiran makna kehidupan manusia, seperti yang disampaikan Pramoedya (2001d:
104) melalui tetraloginya, “Memang dibutuhkan waktu untuk mempelajari garis-garis pokok
pemikiran dalam wayang. Mengerti wayang adalah mengerti sejarah pandangan hidup dan
pandangan dunia manusia Jawa. Menguasai pewayangan sebagai subjek berarti menguasai
manusia Jawa”
Manusia Jawa juga gemar mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh wayang tertentu
dan bercermin padanya untuk melakukan perbuatan dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam
tetraloginya, Pramoedya juga memunculkan unsur ini. Lewat ucapan tokoh Minke pada
bundanya, Pramoedya (2001c: 487) bertutur demikian,
Ingat Bunda? Dulu pernah Bunda ceritakan pada sahaya tentang satria
Bisma? Dia tewas di medan perang, Bunda. Bunda ceritakan dia hidup
kembali dan hidup kembali setiap mayatnya menyentuh bumi? Dia hidup
lagi, berperang lagi, mati lagi, dan juga hidup lagi serenta tersintuh lagi
pada bumi.

Demikianlah tampak bahwa bagi orang Jawa, wayang dipakai sebagai penyamaan diri.
Namun, fungsi wayang bukan hanya sekedar penyamaan belaka. Wayang lebih menjadi
pemberi makna kehidupan. Banyak orang Jawa dalam memahami kehidupannya menganggap
takdir atau nasibnya sebagai lakon yang dimainkan oleh dalang (Sardjono, 1992: 66). Dalam
hal ini, yang dimaksud adalah Sang Dalang Tertinggi, yaitu Tuhan.

9
Manusia Jawa dan “Aja Dumeh”
Dumeh adalah suatu keadaan kejiwaan yang mendorong seseorang untuk bersikap
serta berbuat tertentu selagi atau mumpung dia sedang berkuasa (Hardjowirogo, 1984: 52).
Manusia Jawa dididik supaya jangan mengecewakan atau menyakiti hati orang lain karena
pergantian ke arah yang baik. Untuk menjaga diri supaya tidak keweleh, tersanggah oleh
perubahan keadaan, manusia Jawa harus melindungi diri terhadap akibat sikap dumeh.
Maka, dalam masyarakat Jawa timbullah ungkapan ‘aja dumeh’, yang bisa diartikan
‘jangan mentang-mentang’, jangan berpikir bahwa semua hal boleh dilakukan karena ia lebih
unggul. Ungkapan ini dimaksudkan sebagai nasihat agar seseorang dalam bergaul dengan
orang lain tidak melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hati. Biasanya orang bersikap
dumeh ketika mendapat kemujuran. Orang itu tidak ingat bahwa keadaan tidak pernah
langgeng, selalu berubah.
Falsafah hidup manusia Jawa ini ditampilkan juga oleh Pramoedya dalam karyanya.
Melalui nasihat-nasihat ibunda kepada Minke, Pramoedya (2001a: 141) bertutur, “Kau terlalu
banyak bergaul dengan Belanda. Maka kau sekarang tak suka bergaul dengan sebangsamu,
bahkan dengan saudara-saudaramu, dengan Ayahandamu pun. Surat-surat tak kau balas.
Mungkin kau pun sudah tak suka padaku.” Lebih lanjut ia bertutur, “Bunda tak hukum kau.
Kau sudah temukan jalanmu sendiri. Bunda takkan halangi, juga takkan panggil kembali.
Tempuhlah jalan yang kau anggap terbaik. Haya jangan sakiti orangtuamu, dan orang-orang
yang kau anggap tak tahu segala sesuatu yang kau tahu” (Ananta Toer, 2001a: 142).
Namun dalam kenyataannya, manusia Jawa, khususnya mereka yang memiliki
kedudukan atau jabatan tinggi, sangat jarang yang memegang falsafah ini. Tak mungkin orang
memegang falsafah ini sekaligus memiliki ambisi untuk dihormati, yaitu dengan memimpikan
jabatan atau gelar terhormat, seperti halnya Satrotomo, Paiman, maupun para bupati.

Manusia Jawa dan “Nrima ing Pandum”


Dalam diri manusia Jawa juga ditekankan sikap nrima ing pandum, yaitu sikap
menerima apa yang oleh Tuhan dibagikan kepadanya. Setiap orang mempunyai panduman-
nya, bagiannya sendiri-sendiri sebagaimana ditentukan oleh Tuhan. Untuk itu ia harus
mengucap syukur kepada Tuhan yang telah berkenan menyediakan nasib sebagaimana yang
ditentukan baginya. Pramoedya (2001c: 65) menampilkan unsur ini melalui ucapan Ibunda
kepada Minke, “Orang Jawa melakukan segala karena sekedar hanya menjalani. Perintah-
perintah datang dari Tuhan, dari Dewa, dari Raja. Setelah menjalankan perintah orang
merasa berbahagia menjadi dirinya sendiri sampai datang perintah lagi. Maka dia

10
bersyukur, mengenal terimakasih”. Dan melalui ucapan Paiman, Pramoedya (2001b: 159)
bertutur, “Semua Allahlah yang membagi-bagikan nasib dan rejeki. Dialah yang menentukan
segala-galanya sebagaimana Ia kehendaki.” Ditambahkan pula lewat perkataan ayahanda
Minke kepada Minke, “Hanya karena petunjuk Tuhan orang bisa jadi bupati. Kalu Tuhan
telah menunjuk engkau, jadilah kau bupati. Tak bakal ada kekuatan padamu untuk menolak,
karena itu pembangkangan” (Ananta Toer, 2001c: 343).
Demikianlah tampak bahwa manusia Jawa takkan menuntut lebih banyak karena
memang hanya sekianlah ukuran keberhasilan yang teruntuk baginya. Memang, boleh
dikatakan bahwa ini merupakan suatu sikap fatalistik, tetapi manusia Jawa tidak bisa berbuat
lain. Dengan menginginkan lebih banyak, dia sebenarnya menuntut Tuhan supaya memberi
perlakuan lebih baik. Padahal Tuhan sudah menentukan ukuran keberuntungan dalam hidup
yang teruntuk baginya.

Pandangan tentang Lelaki Jawa


Lelaki Jawa dari kalangan mana pun, tampaknya hampir semuanya menunjukkan ciri-
ciri yang mirip dalam beberapa hal tertentu. Salah satunya seperti yang telah dikemukakan di
atas, yaitu sikap feodalistiknya. Hal lain misalnya mengenai pandangan mereka tentang
eksistensi seorang istri. Yang cukup kelihatan adalah ‘dominasi’ pria terhadap istrinya.
Pramoedya menggambarkan hal ini melalui tokoh Sastrotomo, ayah Sanikem/Nyai
Ontosoroh. Melalui ungkapan Sanikem, Pramoedya (2001a: 84) bertutur, “Ibuku tak punya
hak bicara, seperti wanita Pribumi seumumnya. Semua ayah yang menentukan.” Melalui
gadis Jepara, ia juga bertutur, “... tak ada satu bangsa di dunia bisa terhormat bila wanitanya
ditindas oleh pria seperti pada bangsaku, dan bila kasih sayang hanya pada bayi saja...
sedang si ibu kembali menjadi hamba dari suaminya” (Ananta Toer, 2001c: 81). Pramoedya
(2001a: 224) juga menunjukkan sikap lelaki Jawa terhadap wanita, “... pria Pribumi belum
terbiasa memperlakukan wanita dengan lemah-lembut dan sopan, ramah dan tulus.”
Ciri lain yang tampak pada lelaki Jawa yang tertuang dalam karya Pramoedya itu
adalah kesukaan mereka untuk meniru, bahkan mengidentifikasikan diri pada seseorang yang
dianggap tinggi dan pantas dihormati. Dikatakan oleh Pramoedya (2001c: 228), “... sekali
seorang bupati melakukan sesuatu, bawahannya akan meniru. Sedang bupati hanya meniru
Belanda residennya. Meniru atasan jadi pola kebajikan.”
Suatu gambaran tentang perilaku seksual lelaki Jawa berkedudukan juga ditampilkan
oleh Pramoedya. Digambarkan bahwa adalah suatu hal yang lazim bagi lelaki Jawa yang
memiliki kedudukan terhormat untuk beristri lebih dari satu. Pramoedya (2001a: 83) bertutur

11
melalui Sanikem, “Semestinya, sebagaimana lazimnya, ayahku beristri dua atau tiga, apalagi
ayah mempunyai tanah yang disewa pabrik dan tanah lain yang digarap oleh orang lain.”
Ditambahkan bahwa memiliki ‘piaraan’ atau istri simpanan adalah suatu adat yang terpuji di
kalangan pegawai Pribumi (Ananta Toer, 2001b: 83). Bahkan ditegaskan pula, “Mana ada
Jawa, dan bupati pula, bukan buaya darat? (Ananta Toer, 2001a: 11).
Melalui wejangan Ibunda kepada Minke menjelang pernikahan Minke dengan
Annelies, Pramoedya (2001a: 350-351) menuturkan syarat-syarat yang harus ada pada satria
Jawa, yaitu wisma, wanita, turangga, kukila, dan curiga. Wisma (rumah) adalah tempat
kepercayaan sesama pada yang meninggali. Wanita adalah lambang kehidupan dan
penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan; tanpa wanita, satria menyalahi
kodratnya sebagai lelaki. Tanpa turangga (kuda), tak jauh langkah seorang satria, dan pendek
penglihatannya. Kukila (burung) lambang keindahan, kelangenan (hobby), segala yang tak
punya hubungan dengan penghidupan, hanya dengan kepuasan pribadi. Dan curiga (keris)
lambang kewaspadaan, kesiapsiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat
sebelumnya.

Pandangan tentang Perempuan Jawa


Menarik bahwa Pramoedya menampilkan lebih dari satu tokoh perempuan dalam
karyanya. Tak kalah menarik bahwa perempuan ditempatkan pada kedudukan yang tidak
setara dengan kaum lelaki, namun juga diberikan sifat-sifat atau ciri yang terhormat kepada
mereka dengan sederet kebaikan, antara lain kesetiaan, kepatuhan, kesabaran.
Melalui tokoh Djumilah, istri Paiman, Pramoedya (2001b: 148) menggambarkan
bagaimana perempuan Jawa menyikapi keadaannya,
Istrinya tak pernah heran melihat suaminya tak tidur di rumah. Itu memang
gaya hidup pria berjabatan. Ia takkan bertanya dari mana. Dan bukan adat
seorang istri menggugat suami berjabatan. Bahkan tanpa menggugat pun
seorang istri bisa terusir tanpa talak. Dalam hal-hal tertentu seorang istri
mungkin berani menanyakan sesuatu perkara pada suami berjabatan, tetapi
tidak dalam soal pelesiran suaminya. Ia diam, diam dengan segala cara,
merasa kurang mampu melayani suami sebagaimana dikehendakinya.

Selanjutnya, mengenai pekerjaan seorang perempuan Jawa, Pramoedya menunjukkan


adanya perbedaan antara kalangan ningrat/priyayi dengan kalangan kebanyakan/wong cilik.
Pramoedya (2001c: 133) bertutur melalui ayahanda Minke, “Buat apa perempuan bekerja dan
belajar kalau sudah jadi istri orang? Kurang berhargakah seorang suami maka istrinya ikut

12
bersusah-payah? ... Hanya orang desa saja, orang tani, dua-duanya bekerja. Atau pedagang-
pedagang kecil itu.”
Perempuan Jawa, khususnya kalangan priyayi, selalu berusaha menempatkan
kebahagiaan pada kehidupan perkawinannya. Istri golongan priyayi selalu berusaha sekuat
tenaga untuk membahagiakan suaminya dengan pelbagai macam cara. Dan landasannya
bukan hanya demi kepatuhan, kesetiaan dan pengabdian saja, melainkan juga demi mengikat
agar suaminya tetap mencintainya.
Pramoedya (2001d: 302) juga menampilkan sebuah gambaran tentang perempuan
Jawa yang ideal, utama, patut dicontoh, yaitu perempuan yang pandai bersolek dan bersopan-
santun, luwes dalam pergaulan, setiap saat sedia membantu dan menolong orang, tak undur
terhadap kerja kasar atau halus, trampil di depan umum dan di rumah.

Kesimpulan
Dari hasil penggalian terhadap tetralogi Pramoedya Ananta Toer, penulis dapat
menyimpulkan beberapa hal mengenai gambaran manusia Jawa berdasarkan tetralogi
tersebut. Manusia Jawa dalam masyarakat tidak bisa lepas dari sikap feodalistiknya. Hal ini
telah berlangsung turun temurun sejak dahulu dan masih berlangsung hingga kini, misalnya
dalam penggunaan bahasa Jawa yang memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan pembicara
dan lawan bicaranya.
Sikap manusia Jawa yang juga cukup menonjol adalah sikap fatalistiknya, sikap
nrima-nya. Falsafah nrima ing pandum cukup mengakar dalam diri manusia Jawa, khususnya
wanita Jawa. Falsafah ini, mau tidak mau, mendorong pada sikap fatalistik, yaitu pasrah
terhadap nasib. Namun, tidak semua manusia Jawa bersikap demikian. Banyak juga yang
berpandangan bahwa nasib manusia ditentukan oleh manusia sendiri.
Nasehat yang baik yang dimiliki orang Jawa adalah ‘aja dumeh’. Suatu nasehat yang
sungguh relevan untuk dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat demi terciptanya suatu
keadaan yang damai. Selanjutnya, manusia Jawa tidak bisa dipisahkan dari wayang. Wayang
menjadi suatu pemberi makna hidup bagi manusia Jawa.
Mengenai kedudukan lelaki dan perempuan, dalam masyarakat Jawa masih terdapat
pembedaan. Wanita lebih dianggap sebagai subordinate yang hanya pantas dipandang sebelah
mata saja. Meskipun demikian, keberadaannya dibutuhkan sebagai pelengkap
“ketidaksempurnaan” kaum lelaki.

13
Bahan Bacaan

Ananta Toer, Pramoedya. 2001a. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.

________. 2001b. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.

________. 2001c. Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra.

________. 2001d. Rumah Kaca. Jakarta: Hasta Mitra.

Hardjowirogo, Marbangun. 1984. Manusia Jawa. Jakarta: Inti Idayu Press.

Magnis-Suseno, Franz. 1985. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.

Mulder, Niels. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Sardjono, Maria A. 1992. Paham Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

14

Anda mungkin juga menyukai