Go
TEKNIK CARDIOTOCOGRAPHY
Oleh :
dr. Queen Sugih Ariyani
Share To Social Media:
Teknik cardiotocography (CTG) berfokus pada pengukuran denyut jantung janin dan kontraksi
uterus. Pemeriksaan CTG tidak hanya dilakukan pada saat intrapartum, tetapi juga dapat
dilakukan saat antepartum. Terdapat 2 metode yang dapat dilakukan pada pemeriksaan CTG
antepartum, yaitu non-stress test dan contraction stress test.
Non-stress test dilakukan pada ibu yang belum terdapat kontraksi dilakukan untuk memantau
denyut jantung janin dan respons jantung terhadap gerakan janin. Contraction stress
test dilakukan untuk mengetahui fungsi uteroplasenta dan kemampuan fetus dalam mentoleransi
persalinan. Biasanya pemeriksaan ini dilakukan jika hasil non-stress test atipikal.
Persiapan Pasien
Persiapan yang harus dilakukan sebelum memulai prosedur antara lain:
Pada contraction stress test, terdapat persiapan tambahan untuk menimbulkan kontraksi uterus.
Hal ini dapat dilakukan dengan dua metode, stimulasi oksitosin atau stimulasi puting.
Stimulasi Puting
3. Jika pola kontraksi yang diinginkan belum tercapai, instruksikan ibu untuk melanjutkan
siklus kedua stimulasi selama dua menit
5. Jika stimulasi puting gagal menginduksi kontraksi yang memenuhi kriteria tes, stimulasi
oksitosin dapat dipertimbangkan [12]
Stimulasi Oksitosin
Peralatan
Peralatan pada pemeriksaan cardiotocography antara lain:
Mesin Cardiotocography
Gel
Sabuk elastis
Kertas CTG
Posisi Pasien
Posisi pasien yang direkomendasikan untuk CTG adalah posisi berbaring pada sisi lateral,
setengah duduk, atau tegak. Posisi supinasi tidak disarankan karena dapat menyebabkan
kompresi aorta dan vena cava oleh uterus sehingga mengurangi perfusi plasenta dan oksigenasi
pada fetus.[1,4]
Prosedural
Pada umumnya pemeriksaan CTG dilakukan dengan pemantauan eksternal. Berikut merupakan
prosedur CTG dengan pemantauan eksternal:
6. Tempatkan transduser ultrasonografi pada posisi terdengarnya denyut jantung janin yang
paling keras
7. Tempatkan sabuk elastis mengelilingi perut ibu untuk fiksasi transduser ultrasonografi
11. Jika dilakukan CTG antepartum dengan metode non-stress test, instruksikan pasien untuk
menekan tombol ketika janin bergerak saat pemeriksaan berlangsung.
12. Mulai perekaman pada mesin CTG
13. Pastikan CTG berfungsi dengan baik dan hasil perekaman dapat diinterpretasi sebelum
meninggalkan pasien
15. Jika dalam 10 menit fetus tidak aktif, stimulasi fetus dengan mengubah posisi ibu
16. Jika terdapat akselerasi 15 denyut per menit yang berlangsung 15 detik dan kondisi ibu
stabil, lanjutkan monitor selama 20 menit
17. Jika fetus mengalami bradikardi maka denyut ibu harus direkam secara berkala. Pastikan
bahwa yang terekam adalah denyut jantung janin dan bukan denyut jantung ibu [4,8]
Prosedural CTG dengan pemantauan internal serupa dengan CTG pemantauan eksternal. Yang
membedakan hanyalah transduser yang digunakan adalah elektroda spiral yang dipasang pada
kepala janin (scalp electrode) dan kateter intrauteri (intrauterine pressure catheter). Penggunaan
kombinasi kedua transduser ini akan memberikan pembacaan yang lebih akurat dibandingkan
CTG pemantauan eksternal.
Pembacaan Hasil Cardiotocography
Terdapat 4 hal dasar yang perlu di evaluasi pada hasil pemeriksaan CTG, yaitu baseline (garis
dasar) denyut jantung, variabilitas, akselerasi, dan deselerasi.
Garis Dasar (Baseline) Denyut Jantung
Baseline diukur sepanjang garis horizontal yaitu rerata denyut jantung selama 10 menit pertama
dengan hasil sebagai berikut:
Takikardia: nadi > 160 denyut per menit yang berlangsung > 10 menit. Penyebab paling
sering adalah demam pada ibu
Bradikardia: nadi < 110 denyut per menit yang berlangsung > 10 menit. Denyut jantung
100-110 bisa didapat pada kondisi normal terutama pada janin post term. Penyebab bradikardia
meliputi hipotermia maternal, aritmia fetus
Variabilitas
Merupakan jangkauan besarnya amplitudo denyut jantung dalam segmen 1 menit dengan hasil
sebagai berikut:
Normal: 5-25 denyut per menit pada segmen garis dasar denyut jantung
Penurunan variabilitas: amplitudo < 5 denyut per menit selama 50 menit atau 3 menit
pada deselerasi. Dapat terjadi karena susunan saraf pusat yang mengalami hipoksia atau asidosis
Peningkatan variabilitas: amplitudo > 25 denyut per menit selama 30 menit. Dapat
mengiringi deselerasi berulang atau terjadinya hipoksia atau asidosis fetus onset cepat
Akselerasi
Peningkatan cepat denyut jantung melebihi garis dasar dengan onset puncak kurang dari 30
detik, amplitudo >15 denyut per menit, dengan durasi 15 detik hingga 10 menit. Akselerasi
biasanya terlihat saat terdapat pergerakan janin.
Deselerasi
Penurunan denyut jantung janin di bawah garis dasar lebih dari 15 detik dengan amplitudo > 15
detik dengan hasil sebagai berikut:
Deselerasi dini: deselerasi dangkal, durasinya cepat, variabilitas normal dan terjadi
bersamaan dengan kontraksi. Hal ini tidak disebabkan oleh hipoksia atau asidosis melainkan
akibat tekanan dari kepala janin
Deselerasi variabel: onset deselerasi < 30 detik, denyut turun dengan cepat dan kembali
dengan cepat (gelombang menyerupai bentuk V), hubungan dengan kontraksi uterus bervariasi.
Biasanya disebabkan oleh respons baroreseptor terhadap peningkatan tekanan arteri (seperti pada
kompresi tali pusat), jarang disebabkan karena hipoksia atau asidosis
Deselerasi lambat: deselerasi dengan onset bertahap (gelombang menyerupai bentuk U),
dengan penurunan variabilitas saat deselerasi berlangsung. Deselerasi muncul 20-30 detik setelah
kontraksi dimulai. Deselerasi lambat menandakan adanya hipoksemia fetus [1,5]
Pola Sinusoid
Merupakan pola berombak naik turun yang halus dan regular menyerupai gelombang sinus.
Amplitudo berkisar antara 5-15 denyut per menit dengan frekuensi sebanyak 3-5 siklus dalam 1
menit. Ditandai dengan tidak adanya akselerasi selama pola berlangsung dan pola bertahan
selama > 30 menit. Pola ini perlu diperhatikan karena merupakan tanda bahaya yang
berhubungan dengan risiko berikut ini:
Pola yang dicurigai: Terdapat abnormalitas pada hasil cardiotocography tapi tidak
memenuhi kriteria karakteristik patologis
Pola patologis
Hasil cardiotocography intrapartum dianggap termasuk ke dalam pola patologis jika memenuhi
kriteria berikut ini:
Variabilitas: Penurunan variabilitas > 50 menit, peningkatan variabilitas < 30 menit, atau
pola sinusoid > 30 menit
Deselerasi: deselerasi lambat atau memanjang berulang > 30 menit atau 20 menit jika
terdapat penurunan variabilitas
Follow Up
Follow up hasil cardiotocography dibedakan berdasarkan jenis pemeriksaannya, apakah CTG
intrapartum, non-stress test antepartum, atau contraction stress test antepartum.
Follow Up Cardiotocography Intrapartum
Cardiotocography dengan pola normal tidak memerlukan follow up lanjutan. Pada pola yang
dicurigai, hal ini menggambarkan fetus memiliki kemungkinan kecil untuk mengalami hipoksia
atau asidosis. Walau demikian, pemantauan ketat, pemeriksaan untuk evaluasi oksigenasi fetus,
dan penanganan kondisi penyebab hipoksia tetap harus dilakukan.
Jika terdapat pola patologis maka fetus memiliki risiko tinggi untuk mengalami hipoksia atau
asidosis. Oleh karena itu, kondisi penyebab yang reversible harus ditangani, pemeriksaan untuk
mengevaluasi oksigenasi fetus harus dilakukan, jika tidak mendapat akses pemeriksaan, maka
percepatan persalinan dapat dipertimbangkan. Pada kondisi akut seperti prolaps plasenta atau
abruptio plasenta, terminasi kehamilan harus segera dilakukan.
Follow Up CTG Non-Stress Test Antepartum
Referensi
Kontraindikasi Cardiotocography
Komplikasi Cardiotocography
DISKUSI TERKAIT
Berapa lama kah waktu yang tepat untuk dapat rujuk pasien ketuban pecah dini
Oleh: dr. Ica Trianjani S.
1 Balasan
Selamat pagi dok, ijin bertanya. Kapan si kita harus rujuk pasien dengan KPD? Apa harus menunggu 24 jam
baru bisa di rujuk ke RS? Klo yang saya tau 8 jam...
Tentang Kami
Advertise with us
Privasi
Kontak Kami