Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jembatan kali jangkok dibangun di sungai jangkok. Jembatan ini
menghubungkan antara kelurahan Monjok dan kelurahan Rembiga kota Mataram.
Jembatan ini sangat diperlukan karena mengingat aktivitas masyarakat di sekitar
wilayah tersebut semakin meningkat.
Jembatan kali Jangkok ini mempunyai bentang 60 m yang dilengkapi
dengan pilar. Jadi bentang jembatan terbagi 2 yaitu 20 m dan 40 m. Bentang 40 m
cukup panjang sehingga diperlukan gelagar utama yang mampu menahan
lendutan.
Saat bentang 40 m ini dibebani dengan beban lalu lintas yang semakin
meningkat akan mengakibatkan terjadinya lendutan yang cukup besar pada
jembatan sehingga dibutuhkan redesign gelagar utama dengan penampang Box
girder. Karena jenis gelagar ini lebih mampu menahan lendutan, geser, dan torsi
secara efektif dibandingkan dengan I girder.
Aktifitas penduduk di daerah Monjok – Rembiga semakin meningkat
sehingga dalam pelaksanaan jembatan penghubung daerah tersebut harus cepat
selesai agar aktifitas masyarakat tidak terganggu. Maka dari itu perlu
direncanakan jembatan yang dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu yang
singkat. Salah satu alternative agar waktu pelaksanaanya singkat yaitu
menggunakan beton pracetak (Precast).
Beton precast terdiri dari elemen-elemen beton yang biasanya disebut
dengan precast segmental. Dalam pelaksanaan prestress ini dicetak di tempat lain
mengingat keterbatasan waktu dan tempat untuk pekerjaan prestress sehingga
tidak memungkinkan tendon-tendon prategang diangkur di abutmen. Jadi sistem
yang dipilih dalam pelaksanaan prestress ini adalah sistem posttension.
Dari permasalahan di atas maka perlu dilakukan redesign tentang
“Perencanaan Bangunan Atas Jembatan Kali Jangkok Dengan Menggunakan
Precast Segmental Box Girder”.

1
2

1.2 Permasalahan
a. Berapa besar beban yang diterima oleh Box girder
b. Bagaimana menganalisis struktur jembatan dengan menggunakan box girder
c. Bagaimana dimensi box girder yang digunakan
d. Berapa jumlah tendon yang digunakan
e. Berapa kehilangan prategang yang terjadi

1.3 Batasan Masalah


Permasalahan dalam pengunaan box girder pracetak cukup banyak yang
harus diperhatikan. Karena keterbatasan waktu dan kemampuan, perencanaan ini
mengambil batasan masalah sebagai berikut :
a. Hanya merencanakan struktur bangunan atas jembatan (sehingga tidak
menghitung struktur bawah jembatan dan pondasi jembatan)
b. Tidak melakukan peninjauan terhadap analisa biaya dan waktu pelaksanaan.
c. Tidak merencanakan perkerasan dan desain jalan pendekat (oprit)
d. Metode pelaksanaan hanya dibahas secara umum.
e. Tidak mendesain elastomer jembatan
f. Menggunakan sistem posttension

1.4 Tujuan
a. Untuk mengetahui beban yang diterima box girder
b. Untuk merencanakan dimensi box girder yang digunakan
c. Untuk merencanakan profil dan jumlah tendon yang dipakai
d. Untuk mengetahui kehilangan prategang

1.5 Manfaat
Manfaat dari perencanaan ini adalah
a. Memperkenalkan kepada masyarakat tentang Precast Segmental Box Girder
b. Agar tepat dalam pemilihan jenis gelagar yang digunakan
c. Memperkenalkan kepada Mahasiswa Teknik Sipil tentang perencanaan
jembatan dengan Segmental Box Girder
3

BAB II
DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Jembatan
Pengertian jembatan secara umum, adalah suatu konstruksi yang berfungsi
untuk menghubungkan dua bagian jalan yang terputus oleh adanya rintangan-
rintangan seperti lembah yang dalam, alur sungai, danau, saluran irigasi, kali,
jalan kereta api, jalan raya yang melintang tidak sebidang, dan lain sebagainya.
(Ilham, 2010). Secara umum jembatan terbagi menjadi 3 bagian utama struktur,
yakni:
a. Struktur atas (upper structure) merupakan bagian yang menerima beban
langsung yang meliputi berat sendiri, beban mati, beban mati tambahan,
beban lalu-lintas kendaraan, gaya rem dan beban pejalan kaki.
b. Struktur bawah (sub structure) adalah struktur yang berfungsi menyalurkan
beban dari struktur atas termasuk beban lalu lintas ke tanah pendukung
jembatan melalui fondasi.
c. Fondasi jembatan berfungsi meneruskan seluruh beban jembatan ke tanah
dasar.

2.1.2 Beton Prategang


Definisi beton prategang menurut SNI 03 –2847 – 2002 (pasal 3.17)
yaitu beton bertulang yang telah diberikan tegangan tekan untuk mengurangi
tegangan tarik potensial dalam beton akibat beban kerja. Perbedaan utama antara
beton bertulang dan beton prategang pada kenyataannya adalah beton bertulang
mengkombinasikan beton dan tulangan baja dengan cara menyatukan dan
membiarkan keduanya bekerja bersama-sama sesuai dengan keinginannya,
sedangkan beton prategang mengkombinasikan beton berkekuatan tinggi dan baja
mutu-tinggi dengan cara “aktif”(Lin,1982).
Struktur beton prategang diklasifikasikan dengan berbagai cara
tergantung dari bagaimana desain dan konstruksinya. Menurut Lin (1982)
mengklasifikasikan struktur beton prategang sebagai berikut:

3
4

a. Pemberian gaya prategang secara eksternal atau internal


b. Prategang Linier dan Melingkar
c. Sistem Pratarik (Pretension) dan pasca-tarik (Posttension)
d. Tendon dengan Angkur-Ujung atau tanpa Angkur-Ujung
e. Tendon dengan atau tanpa Rekatan
f. Pracetak , cetak-ditempat, konstruksi komposit
g. Sistem prategang sebagian atau prategang penuh

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Jembatan Gelagar Kotak (Box Girder)
Jembatan gelagar kotak (box girder) tersusun dari gelagar longitudinal
dengan slab di atas dan di bawah yang berbentuk rongga (hollow) atau gelagar
kotak. Pada kondisi lapangan, dimana tinggi struktur tidak dibatasi, penggunaan
gelagar kotak dan balok T kurang lebih mempunyai nilai yang sama pada bentang
80 ft (± 25 m). Untuk bentang yang lebih pendek, tipe balok T biasanya lebih
murah. Sedangkan untuk bentang yang lebih panjang, gelagar kotak lebih sesuai
untuk digunakan.
Precast segmental box girder adalah salah satu perkembangan penting
dalam teknik jembatan yang tergolong baru dalam beberapa tahun terakhir.
Berbeda dengan sistem konstruksi monolit, sebuah jembatan segmental box girder
terdiri dari elemen-elemen pracetak yang dipratekan bersama-sama oleh tendon
eksternal (Rombach, 2002).
Elemen Struktural Jembatan Segmental Box Girder terdiri dari beberapa
segment seperti Gambar 2.1 di bawah ini :
a. Pier Segment : Bagian ini terletak tepat di atas abutment.
b. Deviator segment : Bagian ini dibutuhkan untuk pengaturan deviasi tendon.
c. Standard segment : Dimensi standard box girder yang digunakan.
5

Gambar 2.1 Tipe Segmen Box Girder


(Sumber : G. Rombach, 2002)

2.2.2 Tegangan izin


Berdasarkan Manual Perencanaan Struktur Beton Pratekan Untuk
Jembatan (Bina Marga Pasal 2.2) tegangan izin terdiri dari:
a) Tegangan izin tekan pada kondisi layan
Tegangan tekan izin dapat dihitung dengan Persamaan 2.1 berikut:
= 0,45 ′ (2-1)
b) Tegangan izin tekan pada kondisi beban sementara atau kondisi transfer
gaya prategang
Tegangan tekan izin penampang beton dapat dihitung dengan Persamaan
2.2 berikut:
= 0,60 (2-2)
dengan:
adalah kuat tekan beton initial pada saat transfer gaya prategang.
c) Tegangan izin tarik pada kondisi batas layan
6

Tegangan izin tarik pada kondisi batas layan untuk beton tanpa tulangan
dan beton prategang penuh dapat dihitung dengan Persamaan 2.3 dan 2.4
berikut ini:
Beton tanpa tulangan : = 0,15 ′ (2-3)

Beton prategang penuh: = 0,5 ′ (2-4)


d) Tegangan izin tarik pada kondisi transfer gaya prategang,

di perletakan : = 0,25 (2-5)

selain di perletakan : = 0,5 (2-6)

2.2.3 Konsep beton prategang


Menurut Lin dan Burns (1982), ada tiga konsep berbeda yang dapat
dipakai untuk menjelaskan dan menganalisis sifat-sifat dasar dari beton prategang.
a. Sistem Prategang untuk Mengubah Beton Menjadi Bahan yang Elastis

Konsep ini memperlakukan beton sebagai bahan yang elastis, dan


merupakan pendapat yang umum dari para insinyur. Ini merupakan buah
pemikiran Eugene Freyssinet yang memvisualisasikan beton prategang pada
dasarnya adalah beton yang ditransformasikan dari bahan yang getas menjadi
bahan yang elastis dengan memberikan tekanan (desakan) terlebih dahulu
(pratekan) pada bahan tersebut. Beton yang tidak mampu menahan tarik dan kuat
memikul tekanan sedemikian rupa sehingga bahan yang getas dapat memikul
tegangan tarik seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Distribusi tegangan sepanjang penampang beton prategang


eksentris
7

Dari Gambar 2.3 di atas, dapat dihitung distribusi tegangan (f) sehingga
menghasilkan Persamaan 2.7, yaitu:

(2-7)
dengan :
f : tegangan.
P : gaya prategang,
A : luas penampang,
e : jarak pusat tendon terhadap c.g.c,
y : jarak dari sumbu yang melalui titik berat,
I : momen inersia penampang.

b. Sistem Prategang untuk Kombinasi Baja Mutu Tinggi dengan Beton

Konsep ini mempertimbangkan beton prategang sebagai kombinasi dari


baja dan beton seperti pada beton bertulang, dimana baja menahan tarikan dan
beton menahan desakan. Dengan demikian, kedua bahan membentuk tahanan
untuk menahan momen eksternal seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.4 di
bawah ini.

Gambar 2.4 Momen tahanan internal pada balok beton prategang dan beton
bertulang

c. Sistem Prategang untuk Mencapai Perimbangan Beban

Konsep ini terutama menggunakan prategang sebagai usaha untuk


membuat seimbang gaya-gaya pada sebuah batang. Penerapan dari konsep ini
menganggap beton diambil sebagai benda bebas dan menggantikan tendon dengan
8

gaya-gaya pada beton sepanjang bentang seperti yang ditunjukan pada


Gambar2.5.

Wb

Gambar 2.5 Balok prategang dengan tendon parabola

Dari gambar di atas, beban (Wb) yang bekerja terdistribusi secara merata ke arah
atas, sehingga dapat dinyatakan dalam Persamaan 2.8:

(2-8)
dengan:
Wb : beban,
F : gaya prategang,
L : panjang bentang,
h : tinggi parabola.

2.2.4 Metode Prategang


Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa beton sangat kuat dalam
menerima gaya tekan, akan tetapi lemah dalam menerima gaya tarik. Kemampuan
menahan tarik beton bervariasi antara 8-14% dari kemampuan menahan tekan
beton, hal ini menyebabkan terjadinya retak akibat lentur (flexural crack) pada
saat awal pembebanan. Untuk mengantisipasi keadaan retak tersebut, maka
dilakukan suatu gaya yang mampu mengurangi atau menghilangkan tegangan
tarik yang terjadi di daerah-daerah kritis. Gaya itulah yang disebut gaya
prategang.
9

Suatu struktur dapat diberi gaya prategang dengan menggunakan baja


mutu tinggi (high strength steel), yang tersedia dalam bentuk wire, strand, dan
bar (Menn, 1989). Metode prategang (prestressed method) dibagi menjadi dua
macam, yaitu pre-tensioned dan post-tensioned.
a. Pre-tensioned

Dalam metode ini, tendon prategang direntangkan diantara abutment.


Kemudian beton dituangkan diantara tendon tersebut, setelah beton mengeras dan
terjadi lekatan yang cukup kuat antara beton dan tendon, maka angkur pada
abutment dilepaskan sehingga beton tersebut langsung tertekan. Awalan “pre-“
dalam “pre-tensioned” menunjukan bahwa tendon tersebut mengalami penarikan
sebelum beton mengeras.
b. Post-tensioned

Dalam post-tensioned, tendon prategang ditarik dan diangkurkan pada


beton setelah (post) beton tersebut mengeras dan mencapai kekuatan tertentu.
Biasanya selongsong (duct) ditempatkan disepanjang daerah yang akan
diprategang sebelum beton dicor. Setelah pengangkuran, tendon dapat terekat
(bonded tendon) jika daerah antara tendon dan selongsong diisi dengan mortar
(grouting) atau tendon dibiarkan tidak terekat (unbounded tendon) jika grouting
tidak dilakukan. Perbedaan penarikan ini akan berpengaruh terhadap luas
penampang yang digunakan dalam perhitungan tegangan-tegangan yang terjadi
baik dalam tahap initial stage atau final stage. Perbedaan perhitungan luas
penampang dapat diberikan pada Tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Perbedaan perhitungan luas penampang

(Sumber: Lin dan Burns, 1982)


10

2.2.5 Pembebanan Jembatan (Beban Yang Diterima Oleh Gelagar Utama)


a. Beban mati
Beban semua bagian dari suatu jembatan yang bersifat tetap, termasuk
segala beban tambahan yang tidak terpisahkan dari suatu struktur jembatan.
Berat sendiri dari bagian bangunan adalah berat dari bagian tersebut dan
elemen-elemen struktural lain yang dipikulnya. Termasuk dalam hal ini adalah
berat bahan dan bagian jembatan yang merupakan elemen struktural, ditambah
dengan elemen non struktural yang dianggap tetap (RSNI T-02-2005). Faktor
beban untuk berat sendiri dan beban mati tambahan dapat dilihat pada Tabel 2.2
dan Tabel 2.3.
Tabel 2.2 Faktor beban untuk berat sendiri

(Sumber: RSNI T-02-2005)


b. Beban mati tambahan (utilitas)
Faktor beban mati tambahan yang diterima oleh gelagar jembatan dapat
di lihat pada Tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3 Faktor beban untuk beban mati tambahan (utilitas)

Catatan: *faktor beban daya layan 1,3 digunakan untuk berat utilitas
(Sumber: RSNI T-02-2005)
Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan besarnya dapat
berubah selama umur jembatan. Semua jembatan harus direncanakan untuk bisa
memikul beban tambahan yang berupa aspal beton sebesar 50 mm untuk pelapisan
11

kembali di kemudian hari. Pelapisan kembali yang diizinkan adalah merupakan


beban nominal yang dikaitkan dengan faktor beban untuk mendapatkan beban
rencana.
Pengaruh dari alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada
jembatan harus dihitung setepat mungkin. Berat dari pipa untuk saluran air bersih,
saluran air kotor, dan lainnya harus ditinjau pada keadaan kosong dan penuh,
sehingga kondisi yang paling membahayakan dapat diperhitungkan.
c. Beban hidup
Semua beban yang terjadi akibat pengunaan jembatan berupa beban lalu lintas
kendaraan yang sesuai dengan peraturan pembebanan untuk jembatan jalan raya
yang berlaku.
Beban lalu lintas
Beban Lajur “D”
a) Beban tersebar merata (BTR=q)
Besarnya beban tersebar merata q adalah
q= 9,0 kN/m2, (L<30 m) (2-9)
q= 9,0 (0.5+15/L), (L>30 m) (2-10)
b) Beban garis (BGT)
Beban garis dengan intensitas kN/m harus ditempatkan tegak lurus
terhadap arah lalu lintas pada jembatan. Besarnya intensitas adalah 49,0
kN (RSNI T-02-2005 pasal 6.3.1)
Beban Truk “T”
Beban Truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan 3 as yang ditempatkan pada
beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap as terdiri dari dua bidang
kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi pengaruh roda kendaraan
berat. Hanya satu truk "T" diterapkan per lajur lalu lintas rencana (RSNI T-02-
2005 pasal 6.1)
d. Faktor Beban Dinamis (RSNI T-02-2005 pasal 6.6)
Faktor beban dinamis (FBD) merupakan hasil interaksi antara kendaraan
yang bergerak dengan jembatan. Besarnya FBD tergantung kepada frekuensi
dasar dari suspensi kendaraan, biasanya antara 2 sampai 5 Hz untuk kendaraan
12

berat, dan frekuensi dari getaran lentur jembatan. Untuk perencanaan,FBD


dinyatakan sebagai beban statis ekuivalen.
Untuk pembebanan " D": FBD merupakan fungsi dari panjang bentang
ekuivalen. Untuk bentang tunggal panjang bentang ekuivalen diambil sama
dengan panjang bentang sebenarnya.Untuk bentang menerus panjang bentang
ekuivalen Le diberikan dengan Persamaan 2.11 dibawah ini:

(2-11)
dengan: Lav = panjang bentang rata-rata dari kelompok bentang yang
disambungkan secara menerus
Lmax= panjang bentang maksimum dalam kelompok bentang yang
disambung secara menerus.
Selanjutnya untuk mendapatkan besaran FBD dapat dilihat pada
Gambar 2.6 berikut ini. Untuk pembebanan truk "T", FBD diambil 30%

Gambar 2.6 Faktor beban dinamis untuk BGT untuk pembebanan lajur" D"

e. Beban Angin (RSNI T-02-2005 pasal 7.6)


Gaya nominal ultimate dan daya layan jembatan akibat angin tergantung
kecepatan angin rencana seperti Persamaan 2.12 berikut :
= 0.0006 ( ) (2-12)
dengan:
Vw = Kecepatan angin rencana untuk keadaan batas yang ditinjau (m/det).
Cw = Koefisien seret
13

Ab = Luas koefisien bagian samping jembatan ( m2 )


Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh bangunan atas;
Apabila suatu kendaraan sedang berada diatas jembatan, beban garis merata
tambahan arah horisontal harus diterapkan pada permukaan lantai seperti
diberikan dengan Persamaan 2.7:
Tew = 0.0012 Cw (Vw)2 → kN/m (2-13)
dengan :
Tabel 2.4 Koefisien Cw

(Sumber: RSNI T-02-2005)


Tabel 2.5 Kecepatan angin rencana

(Sumber: RSNI T-02-2005)

f. Beban rem (RSNI T-02-2005 pasal 6.7)


Bekeranya gaya-gaya di arah memanjang jembatan, akibat gaya rem dan traksi,
harus ditinjau untuk kedua jurusan lalu lintas. Pengaruh percepatan dan
pengereman dari lalu lintas diperhitungkan sebagai gaya dari arah memanjang.
Besarnya gaya rem tergantung dari panjang struktur. Diambil 5% dari beban “D”
tanpa di kalikan faktor beban dinamis, titik tangkap 1.8 m diatas lantai kendaraan.
14

g. Beban untuk pejalan kaki


Semua elemen dari trotoar atau jembatan penyeberangan yang langsung
memikul pejalan kaki harus direncanakan untuk beban nominal 5 kPa. Jembatan
pejalan kaki dan trotoar pada jembatan jalan raya harus direncanakan untuk
memikul beban per m2 dari luas yang dibebani. (RSNI T-02-2005 pasal 6.9)
h. Beban pelaksana
Beban sementara yang mungkin terjadi pada bangunan secara
menyeluruh atau sebagian selama pelaksanaan.
i. Pengaruh prategang
Pengaruh utama dari prategang adalah sebagai berikut: (a) Pada keadaan
batas daya layan, gaya prategang dapat dianggap bekerja sebagai suatu sistem
beban pada unsur. Nilai rencana dari beban prategang tersebut harus dihitung
dengan menggunakan faktor beban daya layan sebesar 1,0; (b) Pada keadaan batas
ultimit, pengaruh utama dari prategang tidak dianggap sebagai beban yang
bekerja. Melainkan harus tercakup dalam perhitungan kekuatan unsur.
Untuk menghitung beban tendon yang bekerja terhadap pengaruh
prategang, digunakan Persamaan 2.14 berikut:

(2-14)
dengan:
A = Luas tendon (mm)
fu = Kuat tarik tendon (MPa)
Tabel 2.6 Faktor beban akibat pengaruh prategang

(Sumber: RSNI T-02-2005)


j. Pengaruh gempa
Beban rencana gempa minimum diperoleh dari Persamaan 2.15 berikut:

(2-15)
dengan,
15

(2-16)
dengan:
T*EQ : gaya geser dasar total dalam arah yang ditinjau (kN),
Kh : koefisien beban gempa horisontal,
C : koefisien geser dasar untuk daerah, waktu, dan kondisi setempat yang
sesuai,
I : faktor kepentingan,
S : faktor tipe bangunan,
WT : berat total nominal bangunan yang mempengaruhi percepatan gempa,
diambil sebagai beban mati ditambah beban mati tambahan (kN).
Koefisien geser dasar C sesuai dengan daerah gempa fleksibilitas tanah
di bawah permukaan dan waktu getar bangunan.
Untuk bangunan yang mempunyai satu derajat kebebasan yang
sederhana, dipergunakan Persamaan 2.17 berikut:

(2-17)
dengan:
T : waktu getar dalam detik untuk free body pilar dengan derajat kebebasan
tunggal pada jembatan bentang sederhana,
g : percepatan gravitasi (m/dt2),
WTP : berat total nominal bangunan atas termasuk beban mati tambahan ditambah
setengah berat dari pilar (bila perlu dipertimbangkan) dalam kN,
Kp :kekakuan gabungan sebagai gaya horisontal yang diperlukan untuk
menimbulkan satu satuan lendutan pada bagian atas pilar (kN/m).
Jembatan umumnya mempunyai waktu getar yang berbeda pada arah memanjang
dan melintang, sehingga beban rencana statis ekuivalen yang berbeda harus
dihitung untuk masing-masing arah.
16

2.2.6 Faktor Beban


Seluruh pengaruh aksi rencana harus mengambil faktor beban yang
sama, apakah itu biasa atau terkurangi. Disini keadaan paling berbahaya harus
diambil. (RSNI-T-02-2005 Pasal 9.1)
Tabel 2.7 Pengaruh umur rencana pada faktor beban ultimit

Sumber : RSNI-T-02-2005

2.2.7 Kombinasi Beban Beradasarkan RSNI-T-02-2005


Penentuan kombinasi beban harus tepat dan dapat mewakili beban-beban
yang bekerja. Dalam penentuan kombinasi beban harus di perhitungkan mana
beban yang akan terjadi secara bersamaan. Kombinasi beban berdasarkan RSNI-
T-02-2005 dapat dilihat pada Tabel 2.8 berikut ini.
Tabel 2.8 Kombinasi beban untuk keadaan batas dan layan

Sumber : RSNI-T-02-2005
2.2.8 Gaya Prategang
Gaya prategang dipengaruhi oleh momen yang terjadi. Persamaan 2.18
berikut ini menjelaskan tentang hubungan antara momen total dengan gaya
prategang (Lin,1988).
17

F=T= (2-18)
,

dengan:
MT= Momen Total
h= tinggi balok
Cara sederhana untuk menegangkan komponen struktur prategang adalah dengan
menarik kabel-kabel di antara dua dinding penahan (bulkhead) dan dikuburkan
pada ujung-ujung peralatan kerja.

2.2.9 Kehilangan Prategang


Suatu kenyataan yang jelas bahwa gaya prategang awal yang diberikan
ke elemen beton mengalami proses reduksi yang progresif selama kurang lebih 5
tahun. Dengan demikian, tahapan gaya prategang perlu ditentukan pada setiap
tahap pembebanan, dari tahap transfer gaya prategang ke beton, sampai ke bagian
tahap prategang yang terjadi pada kondisi beben kerja, hingga mencapai ultimit.
Perkiraan gaya prategang total
- ∆ =∆ +∆ +∆ +∆ +∆ +∆ (2-19)
Dengan:
∆ = Kehilangan prategang total
∆ = Kehilangan prategang akibat pergeseran angkur
∆ = Kehilangan prategang akibat friksi/gesekan
∆ = Kehilangan prategang akibat perpendekan elastic beton
∆ = Kehilangan prategang akibat relaksasi tendon
∆ = Kehilangan prategang akibat rangkak pada beton
∆ = Kehilangan prategang akibat susut pada beton
Tabel 2.9 dibawah ini digunakan untuk menentukan besaran kehilangan
prategang selanjutnya dijumlahkan dengan mengunakan Persamaan 2.19.
18

Tabel 2.9 Kehilangan prategang untuk sistem posttension


Kehilangan
No. Persamaan yang digunakan Keterangan
Prategang akibat
n: jumlah tendon atau jumlah
pasangan tendon yang ditarik
Perpendekan elastis secara sekuensial
1 ∆ = ∑ (∆ )
beton (ES) j :menunjukkan nomor operasi
pendongkrakan.

ΔA:deformasi pengangkuran
Pegeseran Angkur ∆
2 ∆ = . Es : modulus elastik kabel
L : panjang tendon

ΔfpF : kehilangan tegangan akibat


Friksi/gesekan
3 ∆ = .( . + . ) gesekan kabel
f pi : tegangan awal tendon
Rangkak pada
Kcr: 1,6 untuk komponen struktur
4 beton (CR) ∆ = .( − )
paska-tarik

Susut pada beton ∆ = , .


dengan adalah rengangan susut
5 (SH)
ultimit (800.10-6 mm/mm)
, = .
+ 35
fpi : tegangan awal tendon
∆ = fpy:kuat leleh tendon prategang
Relaksasi tendon
6 . . − t 1 dan t 2 : waktu awal interval
prategang (R)
0,55 dan akhir interval dari penarikan
(jacking)

2.2.11 Desain Penampang


Desain pendahuluan penampang beton prategang untuk menahan
lenturan dapat dibentuk dengan prosedur yang sangat sederhana, berdasarkan
pengetahuan mengenai kopel gaya C-T yang bekerja pada penampang. Dalam
praktek, tinggi penampang h biasanya sudah di tentukan,diketahui atau di
asumsikan, dengan demikian momen total M T pada pemampang. Pada beban kerja
lengan momen untuk gaya-dalam dapat bervariasi antara 30-80% dari keseluruhan
tinggi penampang h dan rata-rata sekitar 0.65% h. Jadi gaya prategang efektif F
yang diperlukan dapat dihitung dengan Persamaan 2.20 dibawah ini:
19

F=T= (2-20)
.

Jika diasumsikan lengan momen adalah 0.65h, jika gaya prategang satuan
efektif untuk baja adalah fse maka luas baja yang diperlukan dapat dihitung dengan
Persamaan 2.21 berikut ini:
= = .
(2-21)

= tegang ijin serat atas pada beban kerja =0.45 f’C


Untuk desain pendahuluan, tegangan serat atas rata-rata pada beban kerja
adalah 50% dari tegangan ijin maksimum

= 0.5 dan =( )/0.5 (2-22)

Prosedur di atas digunakan berdasarkan atas asumsi desain pemampang


pada beban kerja dengan sedikit atau tanpa tegangan tarik pada beton.
Bila MG/ MT ≥0.2-0.3 MT maka lebih menentukan dalam tahap awal,
maka gaya prategang “F” dapat dihitung dengan Persamaan 2.23 berikut:
M
F=T=0.65T h (2-23)

Bila MG/ MT ≥0.2-0.3 MT maka titik berat tulangan tidak dapat diletakan
terlalu jauh dari titik kern (inti), dan desain ditentukan oleh momen penahan M L
dengan lengan momen sebesar
+ ≈ 0.5 ℎ dan = /0.5 ℎ (2-24)
Terdapat 2 kondisi perencanaan
a. Rasio MG/MT kecil
b. Rasio MG/MT besar
Desain Penampang Prategang Dengan Teori Elastik (Tanpa Tegangan Tarik
Pada Beton)
Untuk rasio MG/MT kecil
a. Nilai MG , kt , kb dan Ac dapat dihitung setelah desain pendahuluan
b. Titik berat tulangan prategang (c.g.s) diletakan diluar kern
c. Mempertimbangkan 2 kondisi pembebanan : peralihan dan beban kerja
20

o Kasus 1
Untuk tegangan tarik, ft =0, maka c.g.s diletakan dibawah dan
resultan gaya tekan tepat pada kern bawah.
− = / (2-25)
Maka, Ft = tegangan pada serat atas =0
Fb= tegangan pada serat bawah=(Fo h)/(Ac Ct) ≤ 0.6 f’ci (2-26)
Ac= (Fo h)/(fb Ct) (2-27)
o Kasus 2
Bila c.g.s diletakan lebih keatas resultan gaya tekan, C akan berada
didalam kern, maka :
ft= tegangan pada serat atas akan mengalami tekan
fb= tegangan pada serat bawah ≤(Fo h)/(Ac Ct) ≤ 0.6 f’ci (2-28)
Ac= (Fo h)/(fb Ct) (2-29)
o Kasus 3
Bila c.g.s diletakan lebih ke bawah resulatan gaya tekan, C akan
berada diluar kern, maka:
ft= tegangan pada serat atas akan mengalami tarik
fb= tegangan pada serat bawah ≤(Fo h)/(Ac Ct) ≥ 0.6 f’ci (2-30)
Ac= (Fo h)/(fb Ct) (2-31)
o Kasus 4
Dengan bekerjanya beban kerja, prategang efektif dan momen total
MT, maka resultan gaya tekan, C akan bekerja pada titik kern atas
dengan:
fb= tegangan pada serat bawah=0
ft= tegangan pada serat atas =(F h)/(Ac Cb) ≤ 0.45 f’ci (2-32)
Ac= (F h)/(ft Cb) (2-33)

Prosedur desain penampang tanpa tarikan (elastik)


o Dari informasi desain pendahuluan, tentukan letak c.g.s
− = / (2-34)
21

o Sesuai letak c.g.s di atas, hitung prategang efektif (F) dengan


Persamaan 2.35 berikut:
= /( + ) (2-35)
o Hitung Luas penampang beton (Ac)
= ℎ/( ) (2-36)
= ℎ/( ) (2-37)
o Ulangi langkah 1 s/d 4 apabiala Ac lebih kecil daripada yang
terdapat pada desain pendahuan.

Untuk Rasio M G/MT besar


a. Nilai Nilai MG , kt , kb dan Ac dapat dihitung setelah desain pendahuluan
b. c.g.s ≠ e- kb (karena nyatanya c.g.s diletakan diluar penampang)
c. c.g.s ditempatkan serendah mungkin sehingga sesuai
o Kasus 1 : Pada tahap peralihan
tegangan beton pada serat bawah, fb jarang menjadi kritis
( )
= + (2-38)

( / )
= + 1+ (2-39)

Luas penampang
( / )
= + 1+ (2-40)

o Kasus 2: pada tahap beban kerja


Dengan bekerjanya beban kerja, prategang efektif F dan momen
total MT , maka resultan gaya C akan bekerja pada titik kern atas
dengan, fb= tegangan pada serat bawah=0
ft= tegangan pada serat atas tekan=(F h)/(Ac Cb) ≤ 0.45 f’ci
Ac= (F h)/(ft Cb) (2-41)
Prosedur desain penampang tanpa tarikan (elastic):
1. Dari informasi desain penampang pendahuluan, tentukan letak c.g.s
bila c.g.s < Cb , lanjutkan langkah 2
bila c.g.s > Cb , letakan c.g.s praktis serendah mungkin
22

2. Sesuai letak c.g.s di atas, hitung gaya prategang efektif (F) dan (Fo)
F=MT/(e+kt) (2-42)
3. Hitung luas penampang beton (Ac)
AC=F h/ft Cb (2-43)
4. Ulangi langkah 1 s/d 4 apabila nilai Ac di atas lebih kecil daripada yang
terdapat pada desain pendahuluan.
Parameter desain lentur (AASTHO LRFD)
Persamaan 2.44 digunakan untuk menghitung kekuatan momen nominal
pada penampang prategang. Kekuatan desain ultimit dari penulangan
menurut LRFD AASHTO (Nawy, 2001):

= 1− (2-44)

dengan:

= 2 1,04 − (2-45)

= 0,28 untuk baja dengan relaksasi rendah


Tinggi sumbu netral c di peroleh dari rumus berikut:
a. Penampang bertulang rangkap
. . .
c= (2-46)
.

dengan = kuat penulangan tekan.

b. Penampang bersayap
. ( )
= (2-47)
.

dengan = lebar badan


= jarak dari serat tekan ekstrim ke pusat berat tendon
prategang
Batas-batas penulangan
a. Limit penulangan maksimum
Banyak penulangan non prategang dan prategang maksimum haruslah
sedemikian hingga,
23

≤ 0.42 (2-48)

Dengan = (2-49)

b. Penulangan minimum
Di setiap penampang, banyaknya penulangan non prategang harus cukup
untuk mengembangkan tahanan lentur terfaktor M r sedikitnya sama
dengan yang terkecil di antara 1,2 Mcr yang ditentukan berdasarkan
analisis elastis, dan 1,33 kali momen terfaktor yang dibutuhkan oleh
kombinasi pembebanan yang berlaku.

=( + ) − −1 (2-50)

2.2.12 Desain Geser


a) Tinjauan desain geser
Dalam teori medan tekan, diasumsikan yang diambil adalah tegangan
tarik utama f1 sama dengan nol. Sesuatu beton mengalami retak. Teori
medan tekan termodifikasi memperhitungkan konstribusi tegangan tarik
dibeton antara retak-retak. Persamaan 2.51 berikut menunjukkan
besarnya tegangan tarik (f2)
=( + )− (2-51)
Dimana tegangan geser yang bekerja adalah
(
= = (2-52)

=( − /2) dan = lebar badan efektif. Penulangan tarik di


badan Av yang diperlukan untuk mengimbangi tegangan tekan haruslah
=( − ) (2-53)
Dengan adalah komponen vertical dari gaya tarik seimbang
untuk menutup retak miring diagonal pada sudut dan adalah
tegangan rata-rata disangkang vertical. Dengan mendistribusikan
pada Persamaan 2.54 di atas maka:

= + (2-54)
24

Dimana V menunjukkan Vn dan sama dengan (Vc+Vs). Vs adalah


gaya geser yang diambil oleh sangkang vertikal.
b) Rumus-rumus desain
Gaya geser nominal dihitung dengan Persamaan 2.55 berikut ini:
= + + (2-55)
dengan = kuat geser nominal di balok prategang
= kekuatan geser nominal yang diberikan oleh tegangan
tarik di beton
= kekuatan geser nominal yang diberikan oleh tegangan
tarik di penulangan badan
= kekuatan geser nominal yang diberikan oleh komponen
vertical dari tendon longitudinal harped atau draped.
Ketentuan AASHTO Standar yang serupa dengan ACI-381 dengan
syarat adalah terkecil diantara kedua Persamaan 2.56 dan 2.57.
Geser lentur
= 0.6 ′ + (2-56)

Geser badan

+ 3.5 ′ + 0.3 ̅ + (2-57)

di mana dalam, dalam AASHTO momen retak dinyatakan sebesar


= (6 + − (2-58)
Tahanan nominal diambil yang terkecil antara Persamaan 2.58 dengan
Persamaan 2.60
= + + (2-59)
atau
= 0.25 ′ (2-60)
dengan = lebar badan efektif
= tinggi geser efektif ≈ ( − /2)
a = tinggi blok tekan
25

2.2.13 Analisis Sambungan


Sambungan pada jembatan segmental telah dirancang sesuai dengan
rekomendasi AASHTO (Rombach, 2002).

Gambar 2.7 Detail sambungan pada segmental box girder

(2-61)
Dengan = rata-rata tegangan tekan di seluruh sambungan
= luas area yang permukaannya masuk ke dalam
= kuat tekan beton
=luas area yang menjorong keluar

(2-62)
dengan = luas geser efektif
(Sumber : Rombach, 2002)

Anda mungkin juga menyukai