Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 2012, kanker menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia

dengan 8,2 juta angka kematian (WHO, 2014). Latar belakang

Kematian yang disebabkan kanker diperkirakan terus meningkat sampai

tahun 2030 dan akan mencapai 11 juta kematian. Ironisnya, kejadian ini hampir

87% terjadi di negara miskin dan berkembang, salah satunya negara Indonesia

(UICC, 2009; GLOBOCAN, 2012). Latar belakang

Di Indonesia prevalensi kanker tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (4,1‰),

diikuti Jawa Tengah (2,1‰), Bali (2‰), Bengkulu, dan DKI Jakarta masing-

masing 1,9‰ (Riskesdas, 2013). Latar belakang

Kanker merupakan penyakit dengan penyebab multifactor yang terbentuk dalam

jangka waktu yang lama dan mengalami kemajuan melalui stadium yang berbeda-

beda (Bonoita et all., 2001).

Pengobatan kanker yang dilakukan tergantung pada jenis kanker, stadium

kanker, usia, status kesehatan, dan karakteristik pribadi tambahan. Tujuan

dilakukannya pengobatan kanker yaitu untuk mengurangi gejala yang ditimbulkan

dan memperpanjang usia harapan hidup (Dipiro, 2008).

Usaha pengobatan kanker sampai saat ini belum cukup memuaskan. Hal ini

disebabkan oleh rendahnya selektivitas obat-obat antikanker yang digunakan

ataupun patogenesis kanker itu sendiri yang belum jelas (Alam dan Tayeb, 2003).

1
Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman daripada

penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki

efek samping yang relatif lebih sedikit daripada obat modern (Sari, 2006).

Salah satu tumbuhan berkhasiat obat diantaranya adalah rimpang dari

tumbuhan jahe merah (Zingiber officinale Roscoe var. rubrum). Rimpang jahe

merah sudah digunakan sebagai obat secara turun temurun karena mempunyai

komponen volatile (minyak atsiri) dan non volatile (oleoresin) paling tinggi jika

dibandingkan dengan jenis jahe yang lain (Hapsoh dkk., 2010).

Komponen utama yang terdapat dalam jahe merah adalah [6]-gingerol yang

memiliki aktivitas antioksidan, antiinflamasi, antikarsinogenik, antimutagenik,

antitumor, dan mempunyai aktivitas menekan pertumbuhan sel kanker HCT116

dan secara in vivo dapat menghambat pertumbuhan sel tumor pada tikus (Kim et

al., 2005; Surh, 1999 cit Jeong et al., 2009; Jeong et al., 2009; Blessy et al.,

2009).

Penelitian lain menyebutkan bahwa [6]-gingerol dapat menghambat adhesi,

invasi, motilitas dan aktivitas sel MMP-2 dan MMP-9 di cell line MDA-MB-231

kanker payudara pada manusia (Lee et al., 2008).

Berdasarkan hal diatas, peneliti tertarik untuk melakukan uji aktivitas

sitotoksik dari rimpang jahe merah. Dimana, sitotoksik adalah sifat dari suatu

senyawa yang dapat menghambat atau membunuh sel organisme (Enviromental,

2002).

Adapun metode yang digunakan untuk uji aktivitas sitotoksik ini adalah

metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Metode BSLT adalah salah satu cara

yang digunakan untuk mengetahui kemampuan sitotoksik dari suatu senyawa,

2
yang dihasilkan oleh ekstrak tanaman dengan menggunakan larva udang Artemia

salina Leach sebagai bioindikator (Kanwar, 2007).

BSLT lazim digunakan karena lebih murah, mudah, cepat dan hasilnya

akurat. Selain itu, metode ini telah terbukti memiliki hasil yang berkorelasi

dengan kemampuan sitotoksik senyawa anti kanker (Meyer et al., 1982).

1.2 Perumusan Masalah

Apakah ekstrak etanol rimpang jahe merah (Zingiber officinale Roscoe var.

rubrum) mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap larva udang Artemia salina

Leach.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui aktivitas sitotoksik rimpang jahe merah (Zingiber

officinale Roscoe var. rubrum) terhadap larva udang Artemia salina Leach

menggunakan metode BSLT.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi ilmiah tentang khasiat rimpang jahe merah dalam

menghambat sel kanker.

2. Menambah pengetahuan dalam pemanfaatan rimpang jahe merah selain

sebagai bumbu masak juga dapat digunakan sebagai obat.

3. Dapat memperluas dan meningkatkan pengetahuan peneliti dalam

pengembangan karya ilmiah.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Biologi Tumbuhan Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe var.

rubrum)

2.1.1 Klasifikasi Taksonomi Jahe Merah (ITIS, 2015)

Divisi : Tracheophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Genus : Zingiber

Species : Zingiber officinale Roscoe var rubrum

2.1.2 Morfologi Tumbuhan Jahe Merah (Herlina et al., 2002)

Jahe merah merupakan tanaman berbatang semu yang tumbuh tegak dan tidak

bercabang dengan tinggi tanaman mencapai 1,25 meter. Batangnya berbentuk

bulat, berwarna hijau kemerahan, dan agak keras karena diselubungi oleh pelepah

daun. Daun tersusun berselang-seling secara teratur dan memiliki warna yang

lebih gelap dibandingkan dengan kedua jenis jahe lainnya. Luas daun berkisar

antara 32,55 – 51,18 cm2 dengan panjang 24,30 – 24,79 cm dan lebar 2,79 –

31,18 cm2. Rimpang jahe berwarna merah hingga jingga muda. Ukuran

rimpangnya lebih kecil jika dibandingkan dengan kedua jenis jahe lainnya, yaitu

panjang rimpang 12,33 – 12,60 cm, tinggi 5,86 – 7,03 cm, dan berat rata-rata 0,29

4
– 1,17 kg. Akarnya berserat agak kasar dengan panjang akar 17,03 – 24,06 cm dan

diameter akar 5,36 – 5,46 mm.

2.1.3 Nama Daerah Jahe Merah

Nama daerah jahe merah di Jawa adalah jahe sunti.

2.1.4 Manfaat Jahe Merah

Berdasarkan pengalaman rimpang jahe merah biasanya digunakan sebagai

pencahar, penguat lambung, peluruh masuk angin, rematik, radang, muntah, dan

nyeri otot (Herlina dkk,. 2002). Sedangkan ekstraknya memiliki aktivitas

antiproliferasi terhadap sel leukimia THP-1 (Ahmad et al., 2008).

Selain itu komponen yang terkandung dalam rimpang jahe sangat banyak

gunanya, terutama sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa makanan dan

minuman serta digunakan dalam industri farmasi, industri parfum, industry

kosmetika dan lain sebagainya (Paimin dan Murhananto, 1991).

Di Indonesia, jahe digunakan sebagai bahan pembuat jamu. Jahe yang masih

muda dapat dimakan sebagai lalap, acar, dan manisan baik basah maupun kering.

Dalam bentuk tepung atau oleoresinnya, digunakan sebagai bahan flavor pada

industry makanan (Koswara, 1995). Jahe juga sering digunakan untuk pengobatan

tradisional (Darwis et al., 1991).

2.2 Tinjauan Kimia

2.2.1 Kandungan Kimia

Rimpang jahe merah mengandung komponen senyawa kimia yang terdiri dari

minyak menguap (volatile oil), minyak tidak menguap (nonvolatile oil) dan pati

5
(Andini, 2008; Herawati, 2006; Nurliana, et al., 2008; Shimoda et al, 2009).

Minyak atsiri yang terdapat dalam rimpang jahe merah mengandung senyawa-

senyawa seskuiterpen, zingiberen, zingeron, oleoresin, kamfena, limonen,

borneol, sineol, sitral, zingiberal, felandren (Masuda dkk, 1995).

Komponen utama minyak atsiri jahe yang menyebabkan aroma harum adalah

zingiberen dan zingiberol. Jahe mempunyai sifat antioksidan kuat, ini disebabkan

oleh komponen bioaktif seperti 6-paradol, shagaol, zingeron dan gingerol

(Masuda dkk, 1995). Dari senyawa-senyawa tersebut, 6-shagaol lah yang

memiliki efek sitotoksik terhadap sel tumor A549, SK-OV-3, SK-MEL-2 dan

HCT15 (Kim et al, 2008).

Minyak tidak menguap yang terdapat dalam jahe merah disebut oleoresin.

Oleoresin jahe banyak mengandung komponen pembentuk rasa pedas yaitu

gingerol, selain itu terdapat zingiberen, shogaol, minyak atsiri dan resin. Di

samping itu, komponen yang terdapatdalam jahemerah adalah pati, damar, asam-

asam organik seperti asam malat dan asam oksalat, vitamin A, B, dan C, serta

senyawa-senyawa flavonoid dan polifenol (Masuda dkk, 1995).

a. Senyawa Flavonoid

Senyawa flavonoida adalah senyawa-senyawa polifenol yang

mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzena yang

dihubungkan menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom

karbon. Senyawa-senyawa flavonoida adalah senyawa 1,3 diaril propana,

senyawa isoflavonoida adalah senyawa 1,2 diaril propana, sedangkan

senyawa-senyawa neoflavonoida adalah 1,1 diaril propana.

6
Istilah flavonoida diberikan pada suatu golongan besar senyawa yang

berasal dari kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon;

suatu jembatan oksigen terdapat diantara cincin A dalam kedudukan orto,

dan atom karbon benzil yang terletak disebelah cincin B. Senyawa

heterosiklik ini, pada tingkat oksidasi yang berbeda terdapat dalam

kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah bentuk yang mempunyai cincin C

dengan tingkat oksidasi paling rendah dan dianggap sebagai struktur induk

dalam nomenklatur kelompok senyawa-senyawa ini. (Manitto, 1981)

Senyawa flavonoida terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk

daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Kebanyakan

flavonoida ini berada di dalam tumbuh–tumbuhan kecuali alga. Namun

ada juga flavonoida yang terdapat dalam hewan. Dalam sayap kupu–kupu

dengan anggapan bahwa flavonoida berasal dari tumbuh–tumbuhan yang

menjadi makanan hewan tersebut dan tidak dibiosintesis di dalam tubuh

mereka. Penyebaran jenis flavonoida pada golongan tumbuhan yang

tersebar yaitu angiospermae, klorofita, fungi, briofita (Markham, 1988).

Senyawa senyawa flavonoid terdiri dari beberapa jenis, tergantung

pada tingkat oksidasi dari rantai propana dari sistem 1.3-diarilpropana.

Antosianin, flavonol, dan flavon adalah senyawa yang banyak ditemukan

di alam sehingga sering di sebut flavonoid utama (Lenny, 2006).

Gambar : Struktur senyawa flavonoid

7
b. Senyawa Steroid

Steroid adalah senyawa organik lemak sterol tidak terhidrolisa yang

dapat dihasilkan oleh reaksi penurunan dari terpena atau skualena. Steroid

merupakan kelompok senyawa yang penting dengan struktur dasar sterana

jenuh (1,2-cyclopentana perhydrophenantrene) dengan 17 atom karbon

dengan membentuk tiga cincin sikloheksana dan satu cincin siklopentana.

Senyawa yang termasuk turunan steroid misalnya kolesterol, ergosterol,

progesteron, dan estrogen. Pada umumnya steroid berfungsi sebagai

hormon (Harborne, 1996).

Lemak sterol adalah bentuk khusus dari steroid dengan rumus bangun

diturunkan dari kolestana dilengkapi gugus hidroksil pada atom C-3,

banyak ditemukan pada tanaman dan hewan. Semua steroid dibuat di

dalam sel dengan bahan baku berupa lemak sterol, baik berupa lanosterol

papda hewan atau berupa sikloartenol pada tumbuhan. Kedua jenis sterol

diatas terbuat dari triterpena. Beberapa steroid bersifat anabolik antara lain

testosteron, metandienon, nandrolon dekanoat (Harborne, 1996).

Gambar . Struktur senyawa steroid

c. Senyawa Fenol

Senyawa fenol adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus

hidroksil yang menempel digugus aromatik. Dengan kata lain, senyawa

8
fenolik adalah senyawa yang sekurang-kurangnya memiliki satu gugus

fenol (Vermerris dan Nicholson 2006).

Banyaknya variasi gugus yang tersubtitusi pada kerangka utama fenol

memyebabkan kelompok fenolik memiliki banyak sekali anggota.

Terdapat lebih dari 8000 senyawa yang termasuk ke dalam golongan

senyawa fenolik.Anggota senyawa fenolik mulai dari yang paling

sederhana dengan berat molekul yang kecil hingga senyawa yan kompleks

dengan berat molekul lebih dari 30000 Da (Marinova et al. 2005).

Gambar . Struktur senyawa fenol

d. Senyawa Tanin

Tanin adalah kelas utama dari metabolir sekunder yang tersebar luas

pada tanaman. Tanin merupakan polifenol yang larut dalam air dengan

berat molekul biasanya berkisar 1000-3000 (Waterman dan Mole, 1994,

Kraus dkk., 2003).

Secara fisika tanin memiliki sifat-sifat jika dilarutkan ke dalam air

akan membentuk koloid dan memiliki rasa asam dan sepat, jika dicampur

dengan alkaloid dan gelatin akan terjadi endapan, tidak dapat mengkristal,

dan dapat mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa dengan

protein tersebut sehingga tidak dipengaruhi enzim proteolotik. Secara

kimiawi memiliki sifat-sifat diantaranya merupakan senyawa kompleks

dalam bentuk campuran polifenol yang sukar dipisahkan sehingga sukar

9
mengkristal, tanin dapat diidentifikasikan dengan kromatografi, dan

senyawa fenol dari tanin mempunyai aksi adstringensia, antiseptik, dan

pemberi warna (Najebb, 2009).

Senyawa fenol yang secara biologis dapat berperan sebagai khelat

logam. Proses pengkhelatan akan terjadi sesuai pola subtitusi dan dan ph

senyawa fenol itu sendiri. Karena tanin tterhidrolisis memiliki potensial

untuk menjadi pengkhelat logam. Tetapi jika tubuh mengkonsumsi tanin

berlebih maka akan mengalami anemia karena zat besi dalam darah akan

di khelat oleh senyawa tanin tersebut (Hangerman, 2002).

Gambar . Struktur senyawa tanin

2.3 Tinjauan Farmakologi

Berdasarkan hasil penelitian para ahli, baik dalam negeri maupun

mancanegara, jahe memiliki efek farmakologis yang berkhasiat sebagai obat. Jahe

mengandung limonen yang berfungsi menghambat jamur Candida albicans dan

sebagai obat flu, 1,8-cineole yang berfungsi mengatasi ejakulasi prematur dan

10
perangsang aktivitas syaraf pusat, serta farnesol yang dapat merangsang

regenerasi sel (Herlina et. al., 2002).

Senyawa (6)-gingerol diketahui dapat menghambat aktivitas motorik,

mengurangi rasa sakit (analgesic effect), efek antibatuk, dan dapat

memperpanjang waktu tidur pada tikus percobaan. Telah diketahui dari penelitian

sebelumnya bahwa jenis jahe merah memiliki kandungan zat gingerol dan

oleoresin yang paling tinggi dibandingkan jenis jahe yang lain. Selain itu,

komponen oleoresinnya juga mempunyai efek farmakologis seperti

immunomodulator, anti-tumor, antiinflamasi, anti-apoptotik, anti-hiperglikemik,

dan anti-lipidemik (Ali, et. al., 2007).

Menurut Ali et. al., (2007), senyawa gingerdione yang terdapat dalam jahe

juga terbukti secara efektif sebagai anti-tumor pada sel leukemia manusia melalui

mekanisme induksi penghambatan G1. Kajian studi yang lain mengatakan bahwa

diarylheptanoid dan gingerol serta senyawa homolognya terbukti mampu

menghambat proliferasi sel kanker pada manusia melalui mekanisme induksi

apoptosis. Kedua senyawa tersebut juga mempunyai efek penghambatan terhadap

viabilitas sel leukemia HL-60 disebabkan oleh gugus keton pada rantai samping

dan gugus orto-diphenoxyl dari rantai aromatik (Wei, et. al., 2005).

Senyawa [6]-Shogaol, gingerdiol, dan proanthosianidin yang terdapat dalam

jahe merah merupakan konstituen yang dapat menghambat produksi NO (Nitrit

oksida) (Shimoda et al., 2010). Penelitian lain menyebutkan bahwa senyawa 10-

dehydroginger-dion, 10-ginger-dion, 6-gingerdion, 6-gingerol, dan kapsaisin yang

terdapat dalam jahe merah bekerja sebagai anti-inflamasi yang dapat

menyebabkan terjadinya relaksasi otot polos trakhea (Andini, 2008).

11
2.4 Tinjauan Farmasetik

Berdasarkan penelitian, dekokta rimpang jahe merah memiliki efek antifungi

terhadap pertumbuhan Candida albicans secara in vitro (Sari, 2009). Hasil sebuah

penelitian di tahun 2009 menunjukkan bahwa ekstrak rimpang jahe merah 4%

pada sediaan topikal memberikan efek antiinflamasi yang hampir sama dengan

NSAID terhadap mencit (Saida, 2009).

Berdasarkan penelitian formulasi sediaan topikal dari perasan rimpang

rimpang jahe merah dengan menggunakan beberapa basis krim, yang diformuasi

dalam bentuk semisolid yang mengandung perasan jahe. Dalam perasan jahe

semua zat aktif ikut terperas sehingga diharapkan khasiat analgetik, anti bengkak

(anti inflamasi), dan anti reumatik akan tetap ada (Hendradi,dkk. 2000).

2.5 Tinjauan Umum

2.5.1 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan senyawa kimia dari tumbuh-

tumbuhan, hewan dengan menggunakan pelarut tertentu. Teknik umum

menggunakan pelarut yang cocok, kemudian semua atau hampir semua pelarut

diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa

sehingga memenuhi baku pembanding yang telah ditetapkan (Harborne, 1987).

Pelarut pengekstrak yang digunakan dalam proses pembuatan ekstrak adalah

pelarut yang optimal untuk menarik senyawa yang terdapat dalam simplisia.

Syarat pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi yaitu murah, mudah didapat,

stabil secara fisik dan kimia, bersifat inert dengan senyawa yang ingin ditarik,

tidak mudah menguap, tidak mudah terbakar, selektif terhadap zat yang ingin

12
ditarik, aman, ramah lingkungan, dan diperbolehkan oleh perundangan (Ditjen

POM, 1986).

Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan cara (Depkes RI, 2000) :

1. Cara Dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana dengan cara merendam

bahan alam atau tumbuhan dalam pelarut dan waktu tertentu dengan

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar. Secara

teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian

konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi ini bertujuan untuk menarik zat-

zat berkhasiat dari simplisia, baik simplisia dengan zat berkhasiat yang

tidak tahan pemanasan maupun yang tahan pemanasan.

Menurut Djamal (1990), keunggulan dari maserasi adalah tekhnik

pengerjaannya sederhana dan dapat digunakan untuk semua jenis sampel

baik basah ataupun kering dan juga sampel yang bersifat termostabil.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah proses ekstraksi dengan cara melewatkan pelarut

secara lambat pada simplisia dalam suatu alat perkolator pada suhu kamar.

Proses ini terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara,

tahap perkolasi sebenarnya (penetasan atau penampungan ekstrak) terus-

menerus sampai diperoleh ekstrak atau perkolat yang jumlahnya 1-5 kali

bahan.

13
2. Cara Panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik didihnya

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses

pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses

ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digestasi

Digestasi adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

suhu yang lebih tinggi dari suhu kamar yaitu secara umum dilakukan pada

suhu 40-50oC.Cara ini dilakukan untuk simplisia yang pada suhu kamar

tidak terekstrak dengan baik.

d. Infusa

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan ekstraksi simplisia

nabati dengan air pada suhu 90oC selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekokta

Dekokta adalah suatu proses ekstraksi yang hampir sama dengan

infusa, tetapi dekokta dipanaskan selama 30 menit sampai dengan 90oC.

Cara ini dapat dilakukan untuk simplisia yang tidak mengandung minyak

14
atsiri atau simplisia yang mengandung bahan yang tahan terhadap

pemanasan.

2.5.2 Metoda Uji Sitotoksik (Enviromental, 2002)

a. Brine Shrimp Lethalty Assay (BSLT)

Metode uji Brine Shrimp Lethality Test ini merupakan metode umum

yang bisa mendeteksi aktivitas biologis secara luas. Metode ini biasanya

digunakan untuk memprediksi aktifitas sitotoksik. Sebagai hewan uji

digunakan larva Artemia salina Leach. Metode ini juga dapat digunakan

untuk mempelajari toksisitas sampel secara umum dengan menggunakan

telur udang (Artemia salina Leach) dan sering digunakan untuk penapisan

awal terhadap senyawa aktif yang terkandung di dalam suatu ekstrak dan

fraksi karena cepat, mudah, sederhana dan dapat di percaya (Juniarti, dkk.

2009).

Penggunaan Artemia salina Leach sebagai hewan uji mempunyai

beberapa keuntungan antara lain telurnya mudah didapat, murah, tahan

beberapa tahun bila disimpan di tempat yang kering, pertumbuhannya

yang yang cepat menjadi larva , dan mempunyai range salintas yang luas

(antara 10-220 g/L) serta larva Artemia salina Leach dapat hidup selama 3

hari (72 jam) dari sumber yolk mereka sehingga tidak perlu diberi makan.

(Pachmanee,2009).

Pada perairan bersalinasi tinggi telur-telur Artemia menetas menjadi

embrio, tetapi pada lapisan luarnya berbentuk cangkang atau korion ini

disebut kiste. Secara`anatomi susunan kiste Artemia terdiri atas dua

15
lapisan, yaitu korion dan selaput embrio. Korion ini merupakan lapisan

lapisan paling luar pelindung inti telur (embrio) pada kista. Lapisan

berikutnya disebut lapisan kortikol. Disebelah dalam lapisan kortikol

terdapat cadangan makanan yang digunakan nauplis sebelum mampu

mencari makan sendiri. Lapisan ini disebut lapisan alveola. Selanjutnya

adalah lapisan cadangan makanan. Selaput embrio merupakan komponen

penyusun bagian telur yang paling utama karena di dalam lapisan ini

terdapat telur yang akan menjadi individu (Harefa,1997).

b. Crown-gall Tumor Assay

Crown-gall Tumor Assay merupakan suatu biassay untuk memonitor

penghambatan Crown-Gall tumor pada suatu media.Crown-Gall

merupakan suatu penyakit neoplastik yang dihasilkan oleh suatu bakteri

yang dapat menginfeksi tanaman.Pada media agar yang ditempatkan

beberapa potongan tipis kentang, diatasnya disebarkan larutan sampel atau

ekstrak, petri diinkubasi pada suhu 27oC, kemudian diukur kemampuan

ekstrak menghambat pertumbuhan tumor.Persyaratan untuk ini adalah

ekstrak substan yang diuji tidak menunjukkan aktifitas antibakteri terhadap

Agrobacterium tumefaciens.

c. Starfish or Sea Urchin assay

Metode ini menggunakan telur binatang laut Astrina pectinisfera yang

memiliki membran sel yang permeabel terhadap macam-macam

substansi.Tes ini berguna dalam pengujian awal aktifitas antineoplastik.

16
2.6 Tinjauan Biologi Larva Udang Artemia salina Leach

2.6.1 Klasifikasi Larva Udang Artemia salina Leach (Mudjiman, 1995)

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Crustaceae

Ordo : Anostraca

Famili : Artimidae

Spesies : Artemia salina Leach

Gambar . Artemia salina Leach. (Abatzopoulos et al., 1996 )

2.6.2 Morfologi Genus Artemia salina Leach

Telur Artemia salina Leach yang kering berbentuk bulat cekung, berwarna

coklat. Telur ini umumnya mempunyai diameter 200-300 mikrometer dan

didalamnya terkandung embrio yang tidak aktif. Nauflis Artemia salina Leach

mempunyai tiga pasang anggota badan yaitu antennula, antenna I yang berfungsi

sebagai alat sensor, antenna II berfungsi sebagai alat gerak atau penyaring pakan

dan rahang bawah belum sempurna. Dibagian kepala antara kedua antenna

terdapat bintik merah (ocellus) yang berfungsi sebagai mata nauplis. Artemia

salina Leach dewasa berukuran 1–2 cm dengan mata majemuk dan 11 pasang

kaki.

17
Gambar . Telur Arthemia salina Leach (www.o-fish.com)

Artemia Salina Leach mengalami beberapa fase dalam daur hidupnya yakni :

a. Kista

Kista setelah dimasukkan kedalam air laut (5-70%) mengalami hidrasi

berbentik bulat dan didalamnya terjadi metabolism embrio yang aktif.

Sekitar 24 jam kemudian cangkang kista pecah dan muncul embrio yang

masih dibungkus oleh selaput.

b. Nauplius

Beberapa saat setelah embrio muncul, selaput penetasan pecah dan

muncul nauplius yang berenang bebas. Nauplius ini adalah larva stadium

instar pertama, berwarna orange kecoklatan karena adanya kandungan

kuning telur.

c. Dewasa

Artemia dewasa dicirikan oleh adanya sepasang mata majemuk

bertangkai, antenna sensor, saluran pencernaan dan 11 pasang

thoracopoda.

2.6.3 Habitat Artemia Salina Leach (Mudjiman, 1995).

Artemia Salina Leach hidup diperairan yang berkadar garam tinggi, yaitu

antara 15-30 ppt (parts per thousand). Pada salinitas yang terlalu tinggi, telur

18
tidak akan menetas yang disebabkan tekanan osmosis dari luar lebih tinggi,

sehingga telur tidak dapat menyerap air yang cukup untuk proses

metabolismenya. Artemia salina Leach memiliki kemampuan beradaptasi dengan

cepat terhadap variasi level oksigen dengan menghasilkan hemoglobin yang

memiliki kemampuan untuk meningkatkan afinitas oksigen. Kandungan oksigen

terlarut yang baik untuk pertumbuhan Artemia salina Leach adalah diatas 3 mg/L

namun kadar oksigen kurang dari 2 mg/L dapat menjadi pembatas produksi

biomasa Artemia salina Leach.

2.7 Metode Penentuan LC50 (Dachriyanus, 2013)

LC50 (Lethal concentration 50%) adalah konsentrasi yang dapat membunuh

50% hewan percobaan. Ada tiga macam metode berdasarkan persentase individu

yang responsif pada kisaran tertentu yaitu :

a. Metode Kurva

Metode kurva pertama kali dikembangkan oleh miller dan trainter

(Meyer et al.,1982). Metode ini menggunakan log kertas probit yang

didesain khusus untuk perhitungan dosis respon. Garis vertikal

menyatakan nilai probit dan presentase respon, sedangkan garis horizontal

menyatakan dosis atau konsentrasi yang digunakan. Dari kurva baku dapat

diturunkan harga LC50.

b. Metode Farmakope Indonesia

Pada metode ini, LC50 dapat dihitung secara matematis dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

19
m =a-b (Ʃpi-0,5)

dimana :

m : log LD50 atau LC50


a : log dosis atau konsentrasi terendah yang masih

dapat menyebabkan kematian 100% pada hewan

percobaan.
B : beda log Dosis atau konsentrasi yang berurutan
Ʃpi : jumlah hewan yang mati dibagi dengan jumlah hewan

seluruhnya yang menerima dosis atau konsentrasi

Persyaratan untuk menggunakan metode farmakope Indonesia adalah:

1.Menggunakan seri dosis atau konsentrasi dengan pengenceran dengan

kelipatan tetap.

2.Jumlah hewan dalan tiap kelompok harus sama.

Dosis atau konsentrasi diatur sedemikian rupa sehingga memberikan efek dari

0% sampai 100% dan perhitungan dibatasi pada kelompok percobaan yang

memberikan efek 0% sampai 100%.

c. Metode Finney

Analisa probit dengan metode ini diprogram khusus dengan

menggunakan komputer. Dimana nilai probit diperoleh dengan

memasukkan data dari dosis yang digunakan (minimal tiga dosis). Dalam

penelitian ini metode yang digunakan adalah metode finney, karena

metode ini sering digunakan dalam penentuan LC50 terhadap hewan uji.

BAB III

PENATALAKSANAAN PENELITIAN

20
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan selama kurang lebih 3 bulan di Laboratorium

Kimia Bahan Alam dan Farmakologi Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia (STIFI)

Yayasan Perintis Padang.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Alat – alat yang digunakan dalam pengerjaan antara lain adalah : botol

maserasi, rotary evaporator, desikator, vial, gelas ukur, pipet tetes, pipet mikro,

tabung rak reaksi dan rak, spatel, timbangan analitik, botol, corong, kapas dan

aluminium foil, media pembiakan Artemia salina leach, aerator, lampu

penerangan, chamber, pensil.

3.2.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan adalah rimpang jahe merah (Zingiber officinale

Roscoe var rubrum) etanol, larva Artemia Salina Leach, dimetilsulfoksida

(DMSO).

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah rimpang jahe merah (Zingiber officinale

Roscoe var rubrum) sebanyak 2 kg yang diperoleh dari pasar Lubuk Buaya,

Padang, Sumatra Barat.

3.3.2 Identifikasi Sampel

21
Identifikasi sampel dilakukan di Herbarium jurusan Biologi Universitas

Andalas (UNAND)

3.3.3 Ekstraksi Sampel (Departemen Kesehatan, 2008)

Ekstraksi sampel dilaksanakan dengan cara sampel segar rimpang jahe merah

(Zingiber officinale Roscoe var rubrum) sebanyak 2 kg dibersihkan dari pengotor

dan dicuci dengan air lalu di rajang. Kemudian sampel dimaserasi dengan cara

sampel dimasukkan kedalam botol berwarna gelap direndam dengan pelarut

etanol 96 % selama 3 hari sambil sesekali di aduk. Setelah 3 hari perendaman,

disaring dengan kertas saring untuk mendapat maseratnya, ampasnya dimaserasi

lagi sampai bening. Gabungkan maserat lalu maseratnya diuapkan dengan rotary

evaporator hingga didapatkan ekstrak kental.

3.3.4 Evaluasi Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah (Depkes, 2011)

a. Pemeriksaan Organoleptis

Pengamatan dilakukan secara visual dengan mengamati bentuk, warna

dan bau.

b. Penentuan Rendemen

Timbang ekstrak rimpang jahe merah (Zingiber officinale Roscoe var

rubrum) kemudian hasil ekstraksi yang diperoleh ditimbang kembali.

Hitung rendemen dengan rumus :

Berat ekstrak yang diperoleh


Rendemen (%) = X 100%
Berat sampel basah

c. Pemeriksaan Susut Pengeringan

22
Keringkan krus porselen dan tutupnya di dalam oven pada suhu 105°C

selama 30 menit dan dibiarkan dingin, lalu ditimbang beratnya. Masukkan

ekstrak ke dalam krus tersebut hingga beratnya 1 gram diluar berat krus

dengan penutup yang telah diketahui sebelumnya. Dengan perlahan

goyang krus agar ekstrak merata dan masukkan kembali ke dalam oven,

buka tutupnya dan biarkan tutup tetap berada di dalam oven.

Krus yang telah berisi ekstrak dipanaskan dalam oven dengan suhu

105°C selama 1 jam. Setelah itu krus dikeluarkan dan didinginkan dalam

desikator, lalu ditimbang. Lakukan pengulangan seperti cara di atas hingga

diperoleh berat yang konstan. Lalu hitung persentase susut pengeringan

dengan rumus :

(B - A) - (C - A)
Susut Pengeringan (%) = X 100%
(B - A)

Dimana : A : Berat krus kosong

B : Berat krus + sebelum sampel dipanaskan

C : Berat krus + setelah sampel dipanaskan

d. Pemeriksaan Kadar Abu

Masing-masing ekstrak Jahe Merah (Zingiber officinale Roscoe var

rubrum) ditimbang sebanyak 2 gram, dimasukkan ke dalam krus yang

telah dipijarkan dan ditara, kemudian diratakan.Di pijar perlahan-lahan

hingga arang habis, kemudian didinginkan dalam desikator kemudian

ditimbang. Setelah itu arang tersebut dimasukkan dalam furnes selama 4

23
jam pada suhu 600°C, sehingga terbentuk abu, dinginkan dalam desikator

timbang berat abu. Hitung persentase kadar abu yang diperoleh dengan

rumus :

(C-A)
Kadar Abu (%) = X 100%
(B-A)

Dimana : A : Berat krus kosong

B : Berat krus + sampel sebelum dipijarkan

C : Berat krus + sampel setelah dipijarkan

3.3.5 Uji Kandungan Kimia Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah

(Harbone, 1987)

Masing- masing ekstrak kental rimpang jahe merah (Zingiber officinale

Roscoe var rubrum) ditimbang 0,5 gr kemudian dimasukkan kedalam tabung

reaksi. Ditambahkan kloroform dan air masing – masing 5 ml (1:1) kemudian

kocok kuat biarkan sejenak hingga terbentuk 2 lapisan yaitu air dan kloroform.

1. Lapisan Air

a. Uji flavonoid (metode Sianidin test)

Letakkan 1–2 tetes lapisan air pada plat tetes, tambahkan sedikit

serbuk logam Mg dan beberapa tetes HCl(p), timbulnya warna kuning-

orange sampai merah menunjukkan adanya senyawa flavonoid.

b. Uji fenolik

24
Letakkan 1-2 tetes lapisan air pada plat tetes, kemudian tambahkan 1-

2 tetes pereaksi FeCl3, terbentuknya warna biru menandakan adanya

kandungan fenolik.

c. Uji saponin

Lapisan air dimasukkan dalam tabung reaksi kemudian kocok, apabila

terbentuk busa yang permanen (± 15 menit) menunjukkan adanya saponin.

2. Lapisan Kloroform

a. Uji terpenoid dan steroid (metode Simes)

Lapisan kloroform disaring dengan norit, hasil saringan di pipet 2-3

tetes dan dibiarkan mengering pada plat tetes, setelah kering di tambahkan

2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi

Lieberman-Bouchard) jika terbentuk warna merah berarti positif terpenoid

dan jika terbentuk warna biru atau hijau berarti positif steroid.

b. Uji alkaloid ( metode Culvenore–Firstgerald)

2-3 tetes lapisan kloroforom ditambahkan dengan 10 ml kloroforom

amoniak dan 1 tetes asam sulfat 2 N, kemudian kocok kuat dan diamkan

sampai terbentuk dua lapisan ambil lapisan asam lalu tambahkan 1-2 tetes

pereaksi mayer, reaksi positif alkaloid ditandai dengan adanya kabut putih

hingga gumpalan putih.

3.3.6 Penetasan Larva udang Artemia salina Leach

25
Penetasan udang dilakukan dalam media tabung 1,5 liter yang dipotong

setengah bagian. Ambil bagian atas tabung yang bertutup lalu pasang injeksi pada

bagian tutup agar dapat memberikan tekanan dari aerator pada permukaan air laut

yang digunakan untuk penetasan. Masukkan air laut secukupnya kemudian

masukkan 200mg telur Artemia. Setelah itu beri penerangan selama 48 jam. Telur

Artemiaakan menetas dan menjadi larva setelah 48 jam. Larva yang berumur 48

jam yang digunakan sebagai hewan uji.

3.3.7 Pengujian Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Etanol Rimpang Jahe Merah

Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Larva udang Artemia salina Leach ditetaskan dalam wadah pembiakan yang

berisi air laut dan digunakan 48 jam setelah pembentukan larva. Masing- masing

ekstrak kental yang diperoleh dari ekstrak dan fraksi kemudian dilakukan uji

sitotoksik dengan menggunakan larva udang. Pengujian masing- masing ekstrak

dan fraksi dilakukan dengan 3 variasi konsentrasi yaitu 10 μg/mL,100 μg/mL dan

1000 μg/mL.

Sebelum dibuat larutan uji terlebih dahulu dibuat larutan induk dengan cara :

sebanyak masing – masing 50 mg ekstrak dan fraksi dilarutkan dalam 5 mL

pelarut yang sesuai sehingga didapatkan masing- masing kadar larutan induk

10.000 ppm. Dari larutan induk tersebut dipipet 5 μg, 50 μg, dan 500 μg ke dalam

vial, selanjutnya larutannya larutan uji dimasukkan kedalam desikator sampai

pelarutnya menguap.

Ekstrak dan fraksi yang telah kering dari masing- masing vial dilarutkan

dengan 50 μg DMSO kemudian ditambahkan air laut 3,5 mL. Masukkan larva

26
Artemia salina Leach pada masing- masing vial sebanyak 10 ekor kemudian

ditambahkan air laut sampai tanda batas kalibrasi (5mL). Larva udang Artemia

salina Leach diamati setelah 24 jam setelah perlakuan dan nilai LC50 dapat

dihitung dengan metoda probit.

Untuk kontrol 50 μg DMSO dimasukkan kedalam vial uji kemudian

ditambahkan air laut 3,5 mL. Masukkan larva Artemia Salina Leach 10 ekor

kemudian ditambahkan lagi air laut hingga batas kalibrasi (5mL). Masing- masing

dibuat dengan 3 kali pengulangan.

3.3.8 Analisa Data

Data- data hasil penelitian ini akan dianalisa dengan metoda probit untuk

mengentahui nilai LC50 dengan selang kepercayaan 95% (Priyanto, 2009). Apabila

LC50< 30 ppm maka ekstrak dikatakan sangat toksik.

Tingkat toksisitas suatu ekstrak (Meyer (1982) adalah :

LC50≤ 30 ppm = Sangat toksik

LC50 ≤ 1000 ppm = Toksik

LC50 ¿ 1.000 ppm = Tidak Toksik

27

Anda mungkin juga menyukai