Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FIQIH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Fiqih

Oleh :

Andi Setiawan

Qadrian Ramadhani Adiwidjaya

Reydho Purnomo

Santria Fadila

Nazira

INSTITUT AGAMA ISLAM NASIONAL (IAI-N) LAA ROIBA


Jl. Raya Pemda Pajeleran No. 41 Cibinong - Bogor

2019 M / 1441 H
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Rumusan Masalah 2

1.3 Ruang Lingkup Masalah 2

1.4 Tujuan Pembahasan 2

BAB II PEMBAHASAN 3

2.1 Pembagian Periode Perkembangan Ilmu Fiqih menurut Para Ulama 3

2.2 Periode Perkembangan Ilmu Fiqih 3

a. Periode Risalah 3

b. Periode Sahabat 3

c. Periode Tadwin 3

d. Periode Taqlid 3

BAB III PENUTUP 8

3.1 Kesimpulan 8

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah

Sejarah ilmu fiqih telah dimulai sejak diangkatnya Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi
wa sallam menjadi Nabi dan Rasul sampai saat ini. Hal ini disebabkan oleh segala persoalan
yang dihadapi terkait tata cara beragama, ketika itu segala persoalan agama dijelaskan secara
langsung oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga ijtihad para ulama yang
masih berada diantara benar atau salah belum diperlukan. Akan tetapi, benih-benih kaidah
fiqih sebenarnya sudah ada semenjak masa Nabi dan pengaruhnya sangat besar terhadap
perkembangan ilmu fiqih.

Pada faktanya ilmu fiqih memang masih dan akan terus berkembang seiringan dengan
berkembangnya zaman. Persoalan – persoalan yang terus bermunculan baik itu kaitannya
hubungan manusia dengan Allah maupun hubungan manusia dengan sesama manusia,
sehingga inilah yang membuat sejarah ilmu fiqih akan terus berjalan dari masa ke masa. Fiqih
yang kita kenal saat ini, tidaklah tumbuh secara instan, namun melewati berbagai fase yang
beragam hingga mencapai titik kesempurnaan. Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah wafat sampai dasar – dasar penting fiqih telah menjadi sempurna sehingga menjadi
rujukan orang – orang setelahnya. Wafatnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berarti
menandakan era terbentuknya asas dan dasar – dasar syariat, sehingga ulama dan fuqaha era
belakangan tinggal merujuk kepada dasar – dasar yang sudah sempurna tadi, disertai
pencarian petunjuk dari Al-Qur’an dan Hadits, kemudian menjabarkannya dan
menerapkannya sesuai dengan kondisi, masa, tempat, dan kemaslahatan umum.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pembagian Periode Perkembangan Ilmu Fiqih menurut Para Ulama ?
2. Bagaimana Periode Perkembangan Ilmu Fiqih menurut Dr. Abdul Wahab Khallaf ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Pembahasan makalah ini dibatasi pada:
1. Pembagian Periode Perkembangan Ilmu Fiqih menurut Para Ulama;
2. Periode Perkembangan Ilmu Fiqih menurut Dr. Abdul Wahab Khallaf.
1.4. Tujuan Pembahasan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang:
1. Pembagian Periode Perkembangan Ilmu Fiqih menurut Para Ulama;
2. Periode Perkembangan Ilmu Fiqih menurut Dr. Abdul Wahab Khallaf.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pembagian Periode Perkembangan Ilmu Fiqih menurut Para Ulama


1. Syaikh Muhammad Khudhari Bek
Membagi periode perkembangan pembentukan hukum (fiqih) menjadi 6 periode, yaitu:
- Periode Awal (sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi Rasul);
- Periode Para Sahabat Besar;
- Periode Sahabat Kecil dan Tabi’in;
- Periode Awal Abad ke – 2 H sampai Pertengahan Abad ke – 4 H;
- Periode Berkembangnya Madzhab dan Munculnya Taklid Madzhab;
- Periode Jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke – 7 H) sampai Sekarang.

2. Syaikh Mustafa Ahmad Az-Zarqa


Membagi periode perkembangan ilmu fiqih menjadi 7 periode, yaitu:
- Periode Risalah (selama Rasulullah hidup);
- Periode Khulafaur Rasyidin sampai Pertengahan Abad ke – 1 H;
- Periode Pertengahan Abad ke – 1 H sampai Permulaan Abad ke - 2 H;
- Periode Awal Abad ke – 2 H sampai Pertengahan Abad ke – 4 H (munculnya 4 Imam
Madzhab besar);
- Periode Pertengahan Abad ke – 4 H sampai Pertengahan Abad ke – 7 H;
- Periode Pertengahan Abad ke – 7 H sampai Munculnya Kodifikasi Hukum Perdata
Islam pada masa Turki Utsmani;
- Periode Kodifikasi Hukum Perdata Islam sampai Masa Modern.

3. Dr. Muhammad Taj Abdurrahman Al-‘Arusy


Membagi periode perkembangan fiqih menjadi 5 periode, yaitu:
- Periode Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin;
- Periode Berdirinya Faham Fiqih;
- Periode Kebangkitan Ilmu Fiqih dan Terbukanya Pintu Ijtihad;
- Periode Taqlid setelah Ditetapkannya Tokoh Madzahib;
- Periode Kesadaran Bermadzhab dan Terbukanya Kembali Pintu Ijtihad.
4. Dr. Abdul Wahab Khallaf
Membagi periode perkembangan ilmu fiqih menjadi 5 periode, yaitu:
- Periode Risalah;
- Periode Sahabat;
- Periode Tadwin (Kodifikasi, Keemasan, dan Munculnya Imam-imam Mujtahidin);
- Periode Taqlid;
- Periode Gerakan Tasyri’ Kontemporer.

5. Harun Nasution
Membagi periode perkembangan hukum Islam menjadi 4 periode, yaitu:
- Periode Nabi;
- Periode Sahabat;
- Periode Ijtihad dan Kemajuan;
- Periode Taqlid dan Kemunduran.

2.2. Periode Perkembangan Ilmu Fiqih menurut Dr. Abdul Wahab Khallaf
1. Periode Risalah
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya menjadi referensi setiap
muslim untuk mengetahui hukum agamanya. Baik hukum itu diambil dari Al Qur’an maupun
dari Sunnahnya, yang mencakup: perbuatannya, ucapannya, dan ketetapannya. Hukum yang
Rasulullah perintahkan adalah hukum Allah yang bersifat qath’i meskipun berbentuk
pemahaman terhadap ayat Al Qur’an atau tafsirnya. Karena peran Rasulullah adalah
menjelaskan Al Qur’an. Firman Allah: “…Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl: 44), akan tetapi para sahabat tidak selalu dekat
dengan Rasulullah sehingga setiap saat bisa bertanya kepadanya tentang hukum agama yang
muncul, sebab di antara para sahabat ada yang musafir, mukim di negeri yang jauh. Maka apa
yang bisa mereka lakukan jika ada masalah.

Para sahabat berijtihad sebatas kemampuan dan pengetahuan mereka tentang hukum-
hukum Islam dari prinsip-prinsip Islam yang bersifat umum. Sehingga ketika berjumpa dengan
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang apa yang dihadapi.
Kemungkinan Rasulullah mengiakan ijtihad mereka, atau meluruskan jika ada kesalahan, tetapi
Rasulullah tidak pernah sekalipun menolak prinsip ijtihad mereka. Seperti hadits Ammar bin
Yasir radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah mengutusku melaksanakan satu tugas, lalu saya
junub dan tidak menemukan air. Kemudian aku berguling-guling di tanah seperti hewan.
Kemudian aku menemui Nabi dan aku ceritakan hal ini, lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: ‘Sesungguhnya sudah cukup bagimu dengan kedua tanganmu, (lalu Nabi
memukulkan tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian mengusapkan yang kiri
pada tangan kanan, punggung tangan dan wajahnya). (HR. Asy-Syaikhani dengan redaksi
Muslim.)

Terkadang sekelompok sahabat berbeda ijtihadnya sehingga ketika masalah itu


disampaikan kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau menetapkan ijtihad
yang benar dan menjelaskan kesalahan yang salah. Pernah juga beliau menerima dua ijtihad
yang bertentangan, sebagaimana ketika memerintahkan kaum muslimin untuk berangkat ke
Bani Quraizhah dengan bersabda: “Janganlah ada seseorang yang shalat Ashar kecuali di
Bani Quraizhah.” Kaum muslimin segera berangkat, dan waktu Ashar hampir habis sebelum
mereka sampai di Bani Quraidhah. Ada sebagian yang berijtihad dan shalat di jalan sehingga
tidak ketinggalan waktu Ashar. Mereka mengatakan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wa sallam tidak menghendaki kita untuk mengakhirkan shalat Ashar lewat waktunya. Dan
yang lainnya berijtihad dengan tidak shalat Ashar sehingga sampai di Bani Quraizhah sesuai
dengan perintah Nabi, sehingga mereka shalat Ashar setelah Isya’. Maka ketika hal ini sampai
kepada Nabi, Nabi tidak mengingkari kedua kelompok ini. Ini menunjukkan kemungkinan
multi kebenaran hukum syar’i untuk satu masalah hukum.
Masa Nabi SAW ini terbagi kepada dua periode yang masing-masing mempunyai
corak tersendiri. Yaitu periode Makkah dan Periode Madinah.
a. Periode Makkah
Periode pertama ialah periode Makkah, yakni selama Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menetapkan dan berkedudukan di Makkah, yang lamanya 12 tahun dan beberapa
bulan, semenjak beliau diangkat menjadi Nabi hingga beliau berhijrah ke Madinah. Dalam
masa ini umat islam masih sedikit dan masih lemah, belum dapat membentuk dirinya sebagai
suatu umat yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan yang kuat. Nabi telah mencurahkan
Tauhid kedalam jiwa masing-masing individu dalam masyarakat arab serta memalingkan
mereka dari memperhamba diri kepada berhala, disamping beliau menjaga diri dari aneka
rupa gangguan bangsanya. Dan masa ini belum banyak hal-hal yang mendorong Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Untuk mengadakan hukum atau undang-undang. Karena itu
tidak ada di dalam surat Makkiyah ayat-ayat hukum seperti surat Yunus, Ar Ra’du, Ya sin dan
Al Furqon. Kebanyakan ayat-ayat makkiyah adalah berisikan hal-hal yang mengenai aqidah
kepercayaan, akhlak dan sejarah.
b. Periode Madinah
Periode kedua ialah periode Madinah, Yakni masa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah berhijrah ke Madinah, dan Nabi menetapkan di Madinah selama 10 tahun sampai
wafatnya. Dalam masa inilah umat Islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus
menerus bertambah. Mulailah Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam membentuk suatu
masyarakat Islam yang berkedaulatan. Karena itu timbulah keperluan untuk mengadakan
syari’at dan peraturan peraturan, karena masyarakat membutuhkannya, untuk mengatur
perhubungan antara anggota masyarakat satu dengan lainnya dan perhubungan mereka
dengan umat yang lainnya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang.
Dalam hubungan inilah disyari’atkan hukum-hukum perkawinan, thalaq, wasiat, jual
beli, sewa, hutang-piutang, dan sermua transaksi. Demikian juga yang berhubungan dengan
pemeliharaan keamanan dalam masyarakat, dengan adanya hukum kriminil dan lain
sebagainya individu dan sebagai masyarakat dalam hubungannya dengan masyarakat yang
lebih luas, antara seantero manusia di dunia. Karena itulah surat-surat Madinah, seperti Surat
Al-Baqoroh, Ali Imran, An Nisa’, Al Maidah, Al Anfal, At Taubah, An Nur, Al Ahzab,
banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak,
sejarah dan lain-lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dalam Periode Makkah hampir tidak
didapatkan indikasi yang berarti, karena masa ini merupakan masa pembentukan pondasi
ketauhidan Islam. Ayat-ayat yang diturunkan adalah ayat-ayat aqidah. Berbeda dengan masa
Madinah di mana ayat-ayat tentang hukum dan pranata sosila mendominasi, sehingga indikasi
penetapan hukum terlihat lebih jelas. Selanjutnya suatu hal yang nyata terjadi adalah bahwa
Nabi telah berbuat sehubungan dengan turunnya ayat-ayat Al-quran yang mengandung hukum
(ayat-ayat hukum). Tidak semua ayat hukum itu memberikan penjelasan yang mudah
difahami untuk kemudian dilaksanakan secara praktis sesuai dengan kehendak Allah. Karena
itu Nabi memberikan penjelasan mengenai maksud setiap ayat hukum itu kepada umatnya,
sehingga ayat-ayat yang tadinya belum dalam bentuk petunjuk praktis, menjadi jelas dan
dapat dilaksanakan secara praktis. Nabi memberikan penjelasan dengan ucapan, perbuatan,
dan pengakuannya yang kemudian disebut sunnah Nabi. Apakah hukum-hukum yang bersifat
amaliah yang dihasilkan oleh Nabi yang bersumber kepada al-quran itu dapat disebut fiqih.
2. Periode Sahabat
Periode kedua ini berkembang pada masa wafatya Nabi Muhammad Shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Dan berakhir sejak Muawiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai kholifah
pada tahun 41 H. Pada periode ini hiduplah sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang
mengibarkan bendera Dakwah Islam.
Pada masa ini Islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya masalah yang
mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbul. Mulailah kebutuhan ijtihad para
sahabat meningkat tajam. Hal ini disebabkan oleh dua hal:
1. Masuknya Islam ke masyarakat baru membuat Islam berhadapan dengan problema
yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada
wahyu yang turun, dan terdapat keharusan untuk mengetahui hukum agama dan
penjelasannya.
2. Seorang sahabat Nabi tidak mengetahui keseluruhan sunnah Nabi. Karena Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan atau mempraktekkan satu hukum syar’i
di hadapan sebagian sahabat, atau bahkan di hadapan satu orang sahabat saja, tidak
diliput oleh keseluruhan sahabat. Hal ini mendorong sebagian sahabat berijtihad dalam
masalah yang tidak diketahuinya dari Rasulullah, pada saat yang sama mungkin sahabat
lain menerima langsung hukum syar’i ini dari Rasulullah.
Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada periode sahabat ini pada bidang
hukum ditandai dengan penafsiran pada sahabat dan ijtihadnya dalam kasus-kasus yang tidak
ada nashnya, disamping itu juga terjadi hal-hal yng tidak menguntungkan yaitu perpecahan
masyarakat islam yang bertentangan sacara tajam.
Diperiode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at yang
sempurna berupa al-Qur’an dan hadist Rasul. Kemudian dengan ijma’ dan qiyas, diperkaya
dengan adat istiadat dan peraturan peraturan berbagai daerah yang bernaungan di bawah
Islam. Dapat kita tegaskan bahwa zaman khulafaur Rasyidin lengkaplah dalil-dalil tasyri’
Islam.
Sahabat-sahabat besar dalam periode ini menafsirkan nash-nash hukum dari al-Qur’am
maupun hadist, uang kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-
nash selain itu para sahabat memberi fatwa-fatwa dalam berbagai masalah terhadap kejadian-
kejadian yang tidak ada nash yang jelas mengenai masalah itu, yang kemudian menjadi dasar
ijtihad.
3. Periode Tadwin
Pemerintah Islam pasca keruntuhan Daulah Umayyah segera digantikan oleh Daulah
Abbasiah. Masa Abbasiah ini disebut juga masa Mujtahidin dan masa pembukuan fikih,
karena pada masa ini terjadi pembekuan dan penyempurnaan fikih. Pada masa Abbasiyyah,
yang dimulai dari pertengahan adab ke-2 H sampai peretngahan abad ke-4 ini, muncul usaha-
usaha pembukuan as-Sunnah, fatwa-fatwa sahabat, dan tabi’in dalam bidang fikih, tafsir,
ushul al-fiqh. Pada masa ini pada lahir para tokok dalam istinbat dan perundangan-undangan
Islam.
Masa ini disebut Masa Keemasan Islam yang ditandai dengan berkembangannya ilmu
pengetahuan yang pengaruhnya dapat dirasakan hingga sekarang. Pada masa ini muncul pula
mazhab-mazhab fikih yang banyak mempengaruhi perkembangan hukum Islam. Faktor utama
yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah berkembanganya ilmu pengetahuan di
dunia Islam. Berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam disebabkan oleh hal-hal
berikut. Pertama, adanya penterjemahan buku- buku Yunani, persia, Romawi, dan sebagainya,
ke dalam bahasa Arab. Faktor lain yang mempengaruhi berkembanganya pemikiran adalah
luasnya ilmu pengetahuan. Faktor lainnya adalah adanya upaya umat Islam untuk
melestarikan al-Qur’an, baik yang dicatat, termasuk yang dikumpulkan dalam satu mushaf,
maupun yang dihafal.
Jarak antara para sahabat yang berjauhan setelah wafat Umar bin Al Khaththab
radhiyallahu ‘anhu terbukalah ruang tampilnya dua madrasah yang berbeda dalam menggali
fiqih:
1. Madrasatul Hadits di Hijaz, disebut demikian karena kebanyakan mereka berpegang
kepada riwayat hadits. Hijaz adalah lahan Islam pertama. Setiap penduduknya kadang
memiliki satu hadits atau lebih. Sebagaimana tabiat dan problem masyarakat yang tidak
mengalami banyak perubahan, sehingga tidak memerlukan ijtihad.
2. Madrasatur Ra’yi di Kufah. Disebut demikian karena banyak menggunakan akal
dalam mengenali hukum-hukum syar’i. Hal ini terpulang kepada sedikitnya hadits akibat
sedikitnya sahabat di sana, dan karena banyaknya problema baru dalam masyarakat baru yang
tidak ada dasarnya sama sekali.
Pada awalnya perbedaan antara dua madrasah itu sangat tajam, hanya saja kemudian
semakin menyempit bersama dengan perkembangan waktu, khususnya setelah pembukuan
buku-buku hadits. Ditambah oleh keseriusan para ulama untuk menyaring dan menjelaskan
mana yang shahih, dhaif/lemah, dan palsu, sehingga tidak banyak membutuhkan pendapat
kecuali ketika tidak ada nash untuk satu masalah yang timbul. Adapun berijtihad dalam alur
nash itu sendiri sudah ada di madrasatul hadits sebagaimana terdapat di madrasaturra’yi.
Pada fase inilah terjadi perkembangan fiqih yang sangat besar, dan menjadi satu ilmu
tersendiri, dengan menampilkan ulama-ulama besar, yang terkenal adalah ulama empat
mazhab, yaitu:
1. Abu Hanifah, An Nu’man bin Tsabit (80-150 H) dikenal dengan sebutan al-Imam al-
A’zham (ulama besar), berasal dari Persia. Pemegang kepemimpinan ahlurra’yi, pencetus
pemikiran istihsan (menganggap baik sesuatu), dan menjadikannya sebagai salah satu
sumber hukum Islam. Kepadanyalah mazhab Hanafi dinisbatkan.
2. Malik bin Anas Al Ashbahi (93-179 H). Dialah Imam ahli Madinah, menggabungnya
antara hadits dan pemikiran dalam fiqihnya. Dialah pencetus istilah Al-Mashalihul
Mursalah (kebaikan yang tidak disebutkan dalam teks) dan menjadikannya sebagai
sumber hukum Islam. Kepadanyalah mazhab Maliki dinisbatkan.
3. Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Qurasyi (150-204 H). Mazhabnya lebih dekat
kepada ahlul hadits, meskipun ia banyak mengambil ilmu dari pengikut Abu Hanifah dan
Malik bin Anas. Kepadanyalah mazhab Syafi’i dinisbatkan
4. Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaniy (164-241 H). Dia adalah murid Imam Syafi’i, dan
mazhabnya lebih dekat kepada ahlul hadits
Dan kenyataannya sebelum munculnya para imam ini, bersama dan sesudah mereka itu
terdapat ulama-ulama besar yang tidak kalah perannya terutama ulama di kalangan sahabat,
seperti Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar dan Zaid bin Tsabit.
Demikian juga ulama di masa tabi’in seperti Said bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah,
Ibrahim an-Nakha’iy, Al-Hasan Al-Bashriy, Mak-hul dan Thawus. Kemudian para gurunya
empat imam mazhab itu, dan ulama semasanya seperti Imam Ja’far Ash Shadiq, Al-Auza’iy,
Ibnu Syubrumah, Al-Laits bin Sa’d, dll.
Akan tetapi empat imam mazhab itu memiliki para pengikut yang merangkum
pendapatnya, merapikannya, menjelaskannya, atau meringkasnya untuk disajikan dengan
mudah kepada kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin dapat memperoleh apa saja yang
membantunya memahami hukum Islam dengan tersusun rapi. Kemudian diajarkan di masjid-
masjid beberapa tahun. Demikianlah sehingga menjadi pondasi bagi kehidupan kaum
muslimin, membuatnya sudah cukup sehingga mereka tidak perlu merujuk kepada buku-buku
tafsir, atau hadits untuk mengetahui hukum Islam. Karena telah disajikan dengan metode
mazhab fiqih yang instant.
4. Periode Taqlid
Sejak akhir pemerintahan Abbasiah, tampaknya kemunduran berijtihad sehingga sikap
taklid berangsur-angsur tumbuh merata di kalangan umat Islam. Yang di maksud dengan
masa taklid adalah masa ketika semangat (himmah) para ulama untuk melakukan ijtihad
mutlak mulai melemah dan mereka kembali kepada dasar tasyri’ yang asasi dalam peng-
istinbath-an hukum dari nash al-Qur’an dan al-Sunnah.
Secara umum, sikap taklid disebabkan oleh keterbelangguan akal pikiran sebagai akibat
hilangnya kebebasan berfikir. Sikap taklid disebabkan pula oleh adanya para ulama saat itu
yang kehilangan kepercayaan diri untuk berijtihad secara mandiri. Mereka menganggap para
pendiri mazhab lebih cerdas ketimbang dirinya. Sikap taklid juga disebabkan oleh banyaknya
kitab fikih dan berkembangnya sikap berlebihan dalam melakukan kitab-kitab fikih.
Hilangnya kecerdasan individu dan merajalelanya hidup materialistik turut mempertajam
munculnya sikap taklid.
Masa taklid disebut juga masa para fuqaha mempropagandakan mazhab dan aliran
mereka masing-masing. Mereka menulis kitab-kitab yang menjelaskan keistimewaan imam
mereka masing-masing dan memberi fatwa pula bahwa orang yang bertaklid (muqalli) tidak
boleh pindah dari mazhab satu ke mazhab lainnya.
Pada masa ini kitab-kitab para ulama mazhab dapat dikategorikan kepada tiga
kelompok, yaitu matan, syarh, dan hasyiyah. Matan adalah kumpulan masalah-masalah pokok
yang disusun dengan bahasa yang sederhana dan mudah. Syarh merupakan komentar dari
kitab matan. Adapun hasyiyah adalah komentar dari syarh.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari beberapa urain diatas dapat disimpulkan bahwa sejarah perkembangan ilmu fiqih
tak terlepas dari sumber-sumber hukum. Menurut teori hukum Islam yang dibuat orang-orang
muslim pada zaman pertengahan, struktur hukum Islam dibangaun di atas empat dasar, yang
disebut ’Sumber-sumber Hukum’, sumber-sumber tersebut adalah al-Qur’an, Sunnah Nabi,
Ijma’, Qiyas.
Dr. Abdul Wahab Khallaf membagi periode perkembangan fiqh islam menjadi empat
periode : Pertama, periode Rasulallah, pada masa Nabi SAW ini terbagi kepada dua periode
yang masing-masing mempunyai corak tersendiri. Yaitu periode Makkah dan Periode
Madinah. kedua, periode sahabat, ketiga, periode tadwin, keempat, periode taqlid.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.dakwatuna.com/2012/02/29/19086/pengantar-fiqih-bagian-ke-3-sejarah-
perkembangan-fiqih-islam/#axzz62JIYjsrG

https://www.academia.edu/36661609/Sejarah_Perkembangan_Ilmu_Fiqih

https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/15/10/20/nwildw313-tujuh-periode-
perkembangan-fikih

Anda mungkin juga menyukai