Anda di halaman 1dari 10

D.

RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT


Riwayat Alamiah Penyakit (Natural History of Disease) adalah perkembangan
suatu penyakit tanpa adanya campur tangan medis atau bentuk intervensi lainnya
sehingga suatu penyakit berlangsung secara natural.
1. Tahap Pre Patogenesis (Stage of Susceptibility)
Tahap ini telah terjadi interaksi antara penjamu dengan bibit penyakit, tetapi
interaksi ini terjadi di luar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di
luar tubuh manusia dan belum masuk ke dalam tubuh. Pada keadaan ini belum
ditemukan adanya tanda-tanda penyakit dan daya tahan tubuh penjamu masih
kuat dan dapat menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.
2. Tahap inkubasi (Stage Of Presymtomatic Disease)
Pada tahap ini bibit penyakit masuk ke tubuh penjamu, tetapi gejala-gejala
penyakit belum nampak. Tiap-tiap penyakit mempunyai masa inkubasi yang
berbeda. Masa inkubasi adalah tenggang waktu antara masuknya bibit penyakit
ke dalam tubuh yang peka terhadap penyebab penyakit, sampai timbulnya gejala
penyakit. Misalnya seperti kolera 1-2 hari, yang bersifat menahun misalnya
kanker paru, AIDS dll. Berikut informasi tentang masa inkubasi berbagai
macam penyakit:
Masa Inkubasi Berbagai Macam Penyakit
NO PENYAKIT PENYEBAB MASA INKUBASI
1 Klamidia Bakteri 7-12 hari
Chlamydia
trachomatis
2 Herpes 7 sampai 12 hari
 Herpes Zoster
 Herpes Simplex
 Virus Zoster
 Terdapat dua tipe herpes
simlex. Herpec simplec tipe
satu disebabkan oleh Virus
Herpes Simplex HSV-1,
sedangkan Herpes Simplex
tipe dua disebabkan oleh virus
HSV-2.
3 Sifilis Infeksi bakteri  Stadium Dini
Treponema (primer) 9 – 10 hari
pallidum  Stadium II
(sekunder) 6 – 8 minggu
 Stadium III (Laten)
3 – 7 tahun setelah infeksi
 Sifilis Tersier 10 –
20 tahun setelah infeksi
primer
4 Gonore Kuman Neisseria 1 – 14 hari, dengan rata-
gonorrhoeae rata 2 – 5 hari
6 Trikomoniasis Parasit 3 – 28 hari
Trichomonas
Vaginalis
7 Kutil Kelamin/Kandiloma Human Papiloma 1 – 8 bulan (rata-rata 2 – 3
Akuminata/Jengger Ayam Virus (HPV) tipe bulan)
tertentu dengan
kelainan berua
fibroepitelioma
pada kulit dan
mukosa.
3. Tahap penyakit dini (Stage of Clinical Disease)
Tahap ini mulai dihitung dari munculnya gejala-gejala penyakit, pada tahap ini
penjamu sudah jatuh sakit tetapi masih ringan dan masih bisa melakukan aktifitas
sehari-hari. Bila penyakit segera diobati, mungkin bisa sembuh, tetapi jika tidak,
bisa bertambah parah. Hal ini tergantung daya tahan tubuh manusia itu sendiri,
seperti gizi, istirahat dan perawatan yang baik di rumah (self care).
4. Tahap penyakit lanjut
Bila penyakit penjamu bertambah parah, karena tidak diobati/tidak tertangani
serta tidak memperhatikan anjuran-anjuran yang diberikan pada penyakit dini,
maka penyakit masuk pada tahap lanjut. Penjamu terlihat tak berdaya dan tak
sanggup lagi melakukan aktifitas. Tahap ini penjamu memerlukan perawatan dan
pengobatan yang intensif.
5. Tahap penyakit akhir
Tahap akhir dibagi menjadi 5 keadaan :
a. Sembuh sempurna (bentuk dan fungsi tubuh penjamu kembali berfungsi
seperti keadaan sebelumnya/bebeas dari penyakit)
b. Sembuh tapi cacat; penyakit penjamu berakhir/bebas dari penyakit, tapi
kesembuhannya tak sempurna, karena terjadi cacat (fisik, mental maupun
sosial) dan sangat tergantung dari serangan penyakit terhadap organ-organ
tubuh penjamu.
c. Karier: pada karier perjalanan penyakit seolah terhenti, karena gejala
penyakit tak tampak lagi, tetapi dalam tubuh penjamu masih terdapat bibit
penyakit, yang pada suatu saat bila daya tahan tubuh penjamu menurun akan
dapat kembuh kembali. Keadaan ini tak hanya membahayakan penjamu
sendiri, tapi dapat berbahaya terhadap orang lain/masyarakat, karena dapat
menjadi sumber penularan penyakit (human reservoir)
d. Kronis ; pada tahap ini perjalanan penyakit tampak terhenti, tapi gejala-
gejala penyakit tidak berubah. Dengan kata lain tidak bertambah berat
maupun ringan. Keadaan ini penjamu masih tetap berada dalam keadaan
sakit.
e. Meninggal ; Apabila keadaan penyakit bertambah parah dan tak dapat
diobati lagi, sehingga berhentinya perjalanan penyakit karena penjamu
meninggal dunia. Keadaan ini bukanlah keadaan yang diinginkan.

E. FAKTOR PENYEBAB INFEKSI MENULAR SEXUAL


1. Host
a. Usia
1) 20-34 tahun pada laki-laki
2) 16-24 tahun pada wanita
3) 20-24 tahun pada kedua jenis kelamin
b. Pelancong
c. Pekerja seksual komersial atau wanita tuna susila
d. Pecandu narkotik
e. Homoseksual
2. Agent
Agent primer:
a. Dari golongan bakteri, yakni Neisseria gonorrhoeae, Treponema pallidum,
Chlamydia trachomatis, Haemophilus ducreyi, Calymmatobacterium
granulomatis, Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Gardnerella
vaginalis, Salmonella sp., Shigella sp., Campylobacter sp., Streptococcus
grup B., Mobiluncus sp.
b. Dari golongan protozoa, yakni Trichomonas vaginalis, Entamoeba
histolytica, Giardia lamblia, dan protozoa enterik lainnya.
c. Dari golongan virus, yakni Human Immunodeficiency Virus (tipe 1 dan
2), Herpes Simplex Virus (tipe 1 dan 2), Human Papiloma Virus (banyak
tipe), Cytomegalovirus, Epstein-Barr Virus, Molluscum contagiosum
virus, dan virus-virus enterik lainnya.
d. Dari golongan ekoparasit, yakni Pthirus pubis, Sarcoptes scabei.
e. Dari jamur yaitu jamur Candida albicans
Agent sekunder:
a. Faktor dasar
1) Adanya penularan penyakit
2) Berganti-ganti pasangan seksual
b. Faktor medis
1) Gejala klinis pada wanita dan homoseksual yang asimtomatis
2) Pengobatan modern
3) Pengobatan yang mudah, murah, cepat dan efektif, sehingga risiko
resistensi tinggi, dan bila disalahgunakan akan meningkatkan
risiko penyebaran infeksi.
c. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan pil KB hanya bermanfaat
bagi pencegahan kehamilan saja, berbeda dengan kondom yang juga
dapat digunakan sebagai alat pencegahan terhadap penularan IMS
3. Environment
Faktor sosial:
a) Mobilitas penduduk
b) Prostitusi
c) Waktu yang santai
d) Kebebasan individu
e) Ketidaktahuan
Peningkatan insidens tidak terlepas dari kaitannya dengan perilaku risiko
tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa penderita sifilis melakukan hubungan
seks rata-rata sebanyak 5 pasangan seksual yang tidak diketahui asal-usulnya,
sedangkan penderita gonore melakukan hubungan seksual dengan rata-rata 4
pasangan seksual (Daili, 2011).
Determinan
Menurut CDC (2016) faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan
IMS pada WPS adalah:
1. Prevalensi HIV yang tinggi
Tingginya prevalensi HIV pada kelompok WPS berarti WPS menghadapi
risiko terkena infeksi dengan perilaku setiap aktivitas seksualnya yang lebih
besar.
2. Kurang pengetahuan tentang status IMS
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang akan melakukan langkah
langkah untuk melindungi pasangan mereka ketika sudah mengetah
uibahwa dirinya terinfeksi. Namun, banyak WPS tidak menyadari status
mereka dan mungkin tanpa sadar akan menularkan kepada orang lain.
Selain itu beberapa WPS dapat membuat asumsi yang keliru atau memiliki
informasi yang tidak akurat tentang status IMS pasangannya. Sangat
penting untuk memastikan bahwa WPS yang aktif secara seksual
mendapatkan tes HIV setidaknya setiap tahun, atau lebih sering jika
diperlukan.
3. Kekurangpedulian terhadap risiko
Sikap kurang peduli terhadap risiko IMS khususnya HIV pada WPS muda,
kemungkinan memainkan peran kunci dalam risiko HIV. Penting juga
bhwa WPS dapat menjaga perilaku seksual yang aman secara konsisten dan
hal ini masih menjadi tantangan, sikap menganggap remeh, dan keyakinan
yang keliru yaitu HIV bukan merupakan anacaman yang serius bagi
kesehatan karena kemajuan pengobatan
4. Sosial diskriminasi dan isu-isu budaya
Kurangnya akses ke tempat pelayanan kesehatan dapat meningkatkan
perilaku berisiko atau menjadi penghalang untuk menerima layanan
pencegahan dan pengobatan khususnya HIV.
5. Tindakan penyalahgunaan
Konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang, menjadi salah satu faktor
terhadap peningkatan risiko IMS karena penggunaan narkoba dapat
meningkatkan risiko penularan IMS yaitu dengan melakukan perilaku
seksual berisiko dan penggunaan berbagai jarum atau peralatan suntik
lainnya.
F. PENGENDALIAN INFEKSI MENULAR SEXUAL
Menurut Daili (2011) terdapat prinsip umum pengendalian IMS yang harus
dilaksanakan untuk mengurangi angka IMS di Indonesia. Prinsip umum
pengendalian IMS adalah:
Tujuan utama:
1. Untuk memutuskan rantai penularan infeksi IMS.
2. Untuk mencegah peningkatan IMS dan komplikasinya.
Tujuan tersebut dapat dicapai melalui:
1. Program penyuluhan untuk menjauhkan masyarakat terhadap perilaku resiko
tinggi dan mengurangi pajanan IMS dengan.
2. Anjuran pemakaian kondom untuk mengurangi pajanan IMS bagi yang
berperilaku risiko tinggi.
3. Meningkatkan kemampuan diagnosis dan pengobatan serta anjuran untuk
mencari pengobatan yang tepat.
4. Melakukan pengobatan dini dan efektif baik untuk pasangan seksualnya, yang
simtomatik maupun asimtomatik untuk membatasi komplikasi.
G. PENGENDALIAN INFEKSI MENULAR SEXUAL
Upaya-upaya pencegahan IMS sangat penting dan perlu dilakukan untuk
mengurangi angka kejadian IMS. Upaya pencegahan IMS antara lain:
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah pencegahan yang dilakukan pada masing – masing
individu sebelum menderita sakit. Upaya yang dilakukan ialah:
a. Abstinence, yaitu tidak melakukan hubungan seksual diluar pernikahan
b. Be faithful, yaitu tetap setia pada satu pasangan seksual
c. Condom, gunakan kondom saat melakukan hubungan seksual
d. Don’t use drugs, tidak mengonsumsi narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif khususnya yang menggunakan suntikan
e. Education, aktif mencari edukasi dan informasi tentang infeksi menular
seksual yang benar (UNESCO, 2012).
2. Pencegahan Sekunder
Adalah pencegahan yang dilakukan pada masa individu yang mulai sakit.
Upaya yang dilakukan ialah :
a. Diagnosis dini dan pengobatan segera (Early diagnosis and
promptreatment) yang ditujukan untuk mencegah penyebaran penyakit bila
penyakit ini merupakan penyakit menular, mengobati dan menghentikan
proses penyakit, menyembuhkan orang sakit dan mencegah terjadinya
komplikasi serta cacat misalnya melakukan tes skrinning secara teratur.
b. Pembatasan kecacatan (Disability limitation) pada tahap ini cacat yang
terjadi harus diatasi, terutama untuk mencegah penyakit menjadi
berkelanjutan misalnya pengobatan secara rutin (Setianingsih, 2010).
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier meliputi rehabilitasi, pada proses ini dilakukan untuk
mencegah kecacatan, sehingga individu yang menderita dapat tetap
berproduktif baik secara fisik, mental dan sosial (Setianingsih, 2010).

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Infeksi menular seksual (IMS) mengacu pada berbagai sindrom
klinis dan infeksi yang disebabkan oleh patogen yang dapat diperoleh dan
ditularkan melalui aktivitas seksual. Selain menyebabkan morbiditas akut
pada orang dewasa IMS juga dapat mengakibatkan komplikasi seperti
kanker serviks, kehamilan ektopik, sifilis kongenital dan keguguran,
oftalmia neonatorum, kematian prematur, berat badan lahir rendah, dan
infertilitas pada pria dan wanita Banyak factor yang menyebabkan
terjadinga infeksi menular sexual. Upaya-upaya pencegahan IMS sangat
penting dan perlu dilakukan untuk mengurangi angka kejadian IMS.
Terdapat prinsip umum pengendalian IMS yang harus dilaksanakan untuk
mengurangi angka IMS di Indonesia.
B. SARAN
Sebagai tenaga kesehatan kita diharapkan dapat mengetahui dan
memahami mengenai epidemiologi infeksi menular sexual, serta mampu
melakukan penatalaksanaan sesuai dengan jenis kasus yang dialami ibu.
DAFTAR PUSTAKA

Cicilia Windiyaningsih. 2018. Epidemiologi Kesehatan Reproduksi. Depok: Rajawali


Pers. Daili FS. 2011. Tinjauan Penyakit Menular Seksual dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: FK UI.
Sitohang, Novi Asita. 2018 Karakteristik Demografi dan Infeksi Menular Seksual pada
Wanita Pekerja Seksual Tidak Langsung di Lembaga Swadaya Masyarakat
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Medan Tahun 2016-2017. Universitas
Sumatera Utara Repositori Institusi USU. http://repositori.usu.ac.id. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Skripsi Sarjana Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai