Anda di halaman 1dari 4

PENDIDIKAN INTEGRITAS SEBAGAI PARADIGMA BARU DAN

UPAYA UNTUK MENEGAKKAN KODE ETIK PROFESI POLRI

Diposkan oleh M. Lutfi Chakim di 07.23 Jumat, 06 April 2012


A. Latar Belakang

Integritas bukan kata atau istilah Indonesia, tetapi berasal dari bahasa inggris yang

berarti “the quality of being honest and of always having high moral principles”. Yang pasti

integritas menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia yang luhur dan berbudi. Integritas

bertalian dengan moral yang bersih, kejujuran serta ketulusan terhadap sesama dan Tuhan

YME. Integritas tidak hanya berlaku pada segala atau semua bidang kehidupan, misalnya

bidang hukum, sosial, politik, ekonomi, dll. 1[1] Saya menuntut adanya pendidikan integritas

di tubuh Polri, karena dewasa ini didorong oleh kebutuhan tugas Polri yang disikapi sebagai

bagian dari proses adaptasi terhadap pemaknaan jati diri Polri, reaktualisasi atas kedudukan,

fungsi dan perannya serta tuntutan reformasi Polri. Maka dari itu Pendidikan Integritas

muncul sebagai suatu kebutuhan terhadap tantangan tugas yang dihadapi, sebab tanpa prinsip

dasar integritas tidaklah mungkin tercapai tingkat efektifitas yang tinggi untuk menegakkan

kode etik profesi Polri.

Pendidikan integritas terhadap Polri adalah sebagai paradigma baru dan sebagai upaya

sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

didik secara efektif mengembangkan potensi dirinya, baik aspek kognisi, afeksi dan

konasinya sesuai dengan nilai-nilai integritas (keutuhan moralitas) di tubuh Polri.

Karena yang menjadi permasalahan di tubuh Polri dewasa ini adalah integritas moral

belumlah melembaga  di tubuh Polri. Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Harian

Kompas misalnya, selama beberapa tahun terakhir ini, terutama tahun 2003-2005, dan tahun

2009. Pada tahun 2003-2005 misalnya, seolah membenarkan bahwa citra Polri di mata

masyarakat memang belum begitu baik. Sekalipun secara umum hasil jajak pendapat Kompas

1
tahun 2005 memperlihatkan bahwa citra Polri pada usianya yang ke-60 tahun menunjukkan

peningkatan yang kian positif (51%) bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya

mencapai 40%, namun dalam hal penegakan supremasi hukum tampaknya citra Polri masih

terpuruk di mata masyarakat. Dalam pengusutan kasus-kasus korupsi, misalnya, tercatat

sekitar 73,8% responden masih memendam kekecewaan terhadap kinerja Polri karena

kekurangtegasannya dalam mengungkap dan memproses kasus korupsi.2[2]

Dilanjutkan dalam jejak pendapat Kompas, pada 30 November 2009 dapat dibaca

bahwa, prosentase rakyat tidak puas terhadap Polri 76,2%. 3[3] Sementara dalam koran

Tempo 19 Mei 2010 menjelaskan bahwa, “PPATK Curiga Terhadap Puluhan Rekening

Polisi”, karena banyak rekening yang mencurigakan, misalnya ada yang memiliki rekening

senilai Rp. 95 miliar karena dinilai tidak sebanding dengan penghasilan. 4[4] Pelanggaran

kode etik profesi Polri itu juga tampak dalam penanganan kasus-kasus HAM yang dinilai

cenderung mengabaikan rasa keadilan masyarakat salah satunya dugaan kasus pelanggaran

HAM yang terjadi di kasus PT Freeport, Mesuji dan Bima.

Berita-berita yang bersifat negatif itu muncul akibat adanya beberapa perilaku

pelanggaran kode etik profesi yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap masyarakat berupa

perilaku tidak menyenangkan dan mengecewakan. Perilaku demikian dapat menimbulkan

sikap sinis masyarakat terhadap institusi kepolisian. Padahal penyimpangan hanya dilakukan

oleh segelintir oknum polisi yang tidak bertanggung jawab, namun secara tidak langsung

dapat mencoreng wajah instisusi kepolisian.5[5]

Guna menetapkan strategi yang tepat dalam menegakkan kode etik profesi Polri dan

merupakan sesuatu yang urgen dan relevan untuk segera dilakukan. Oleh karena itu, tema

5
sentral yang diangkat dalam penulisan ini adalah “Pendidikan Integritas Sebagai Paradigma

Baru Dan Upaya Untuk Menegakkan Kode Etik Profesi Polri”.

B. Kode Etik Profesi Polri dalam Menjalankan Kewenanganya Melindungi, Mengayomi

dan Melayani Masyarakat

Secara yuridis Polri secara kelembagaan telah diatur dalam konstitusi dan berbagai

produk peraturan perundang-undangan, sebagaimana termuat dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD

1945, misalnya, secara tegas mengatur bahwa “Polri sebagai alat Negara yang menjaga

keamanan dan ketertiban bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta

menegakkan hukum”.6[6] Selanjutnya untuk dapat melaksanakan tugas pokok, fungsi dan

perannya, maka kepada Polri telah diberikan status kemandiriannya berdasarkaaan TAP MPR

No VI/MPR/ tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No VII/MPR/

tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, Undang Undang No. 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia. serta Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang

Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah

Nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan disiplin anggota Polri, Keputusan Kapolri No. Pol. :

Kep/97/II/2003 tanggal 31 Desember 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Divpropam

Polri, Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 Tanggal 1 Juli 2006 tentang Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Peraturan Kapolri No. Pol. : 8 tahun tahun 2006

tentang organisasi dan tata kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Akan tetapi dengan banyaknya aturan yang mengikat Polri tersebut tidaklah menjamin

tegakkanya integritas dan tumbuhnya jiwa profesional dalam diri sebagian anggotanya.

Dalam posisi demikian adalah sangat penting untuk segera dilakukan pendidikan integritas

terhadap Polri.

6
Ketika melihat kebuah analisis dari seorang pakar kriminologi Amerika Serikat,

Sutherland, dalam bukunya berjudul “Criminal Homicide, A Study of Culture and Conflict”

yang diterbitkan tahun1960 di California, membahas berbagai kasus perilaku menyimpang

yang dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi. Menurut Suttherland, kewenangan

polisi sehari-hari terlampau sering bergaul dengan dunia kejahatan dan pejahat, sehingga

secara tidak disadari polisi menjadi sangat akrab dan tak asing lagi dengan kejahatan.7[7]

Secara umum pemetaan masalah-masalah yang timbul akibat integritas belumlah


melembaga  di tubuh Polri sehingga muncul berbagai penyalahgunaan kewenangan, misalnya
sebagai berikut :8[8]

Berbagai Permasalahan Akibat Integritas Belum Melembaga Di Tubuh Polri

Anda mungkin juga menyukai