Anda di halaman 1dari 4

UTS BASIC SOCIAL AND CULTURAL SCIENCE

“KONFLIK PERANG SAMPIT DI KALIMANTAN”

Nama: Patrick Grady C. P


NIM: 10114213
Mata Kuliah: ISBD (Dosen: F.X. Wigbertus Labi Halan)

Masih ingatkah kalian dengan Peristiwa yang Mencengangkan dan berdarah antara Suku
Dayak & Suku Madura di Kalimantan? Disebut sebagai Konflik Perang Sampit yang terjadi 18
Februari 2001 yang sempat menggemparkan Indonesia karena Konflik ini sangatlah terlihat
transparan ke Permukaan (Abdul Rachman Patji: 17). Awalnya, Konflik antaretnis di Sampit
berkaitan dengan persoalan sosial-ekonomi lokal. Yang menjadi pemicunya khususnya adalah
kompetisi antara para penambang emas Dayak dan Madura. Menurut Van Klinke, Seorang
Profesor Sejarah Asia Tenggara pada University of Amsterdam, dalam Buku Perang Kota Kecil,
“Hutan-hutan Kalimantan Tengah telah lama menjadi wilayah perbatasan yang tak mengenal
hukum, dan ketegangan-ketegangan baru itu membantu memastikan agar para kelompok pekerja
terkadang bentrok dengan satu dan yang lainnya sehingga konflik tersebut terjadi.” (Hlm. 220)

Usut punya usut, ternyata sebelum pecahnya Konflik Besar di Sampit pada tanggal 18
Februari 2001, sudah sering terjadi kericuhan antar etnis Dayak dengan Madura di daerah
tambang. Contohya adalah kericuhan antara Dayak dengan Madura di kota Gold Rush Tumbang
Samba pada September 1999, sampai Konflik di daerah Kareng Pangi pada Desember 2000.
Konflik-konflik di atas adalah menjadi awal mulanya mengapa adanya suatu Dendam &
ketidaksukaan Etnis Dayak kepada Etnis Madura. Lalu, pada tanggal 18 Februari tersebut, Awal
Konflik & Kerusuhan Besar antar kedua Etnis itu terjadi dengan Serangan tiba-tiba dari Etnis
Dayak ke daerah Pemukiman Etnis Madura. Di mulai dari kampung-kampung atau desa-desa
terpencil hingga merembet ke kota. Menurut Van Klinken, Dalam beberapa minggu, para etnis
Dayak melanjutkan kampanye pembersihan etnis Madura di Seluruh Wilayah Kalimantan
Tengah sampai ke ujung jalan raya trans Kalimantan sampai ke Kuala Kapuas di tenggara, dan
sampai Pangkalanbun di barat. Hampir 90 persen dari populasi Madura di provinsi itu (dengan
jumlah total 120-130.000 jiwa) akhirya melarikan diri. Di perkirakan korban tewas berkisar dari
500 sampai hampir 1.300 orang, yang sebagian besar di antaranya adalah Etnis Madura. (Perang
Kota Kecil, hlm. 207).

Ternyata, Kericuhan kecil tersebut bukan bukan Permasalahan tunggal dari Konflik antar
etnis saja. Dari penelusuran lebih lanjut, diketahui ada dua pejabat pemerintahan lokal yang
berusaha menggagalkan proses pelantikan pejabat eselon yang akan mengisi struktur baru
pemerintahan daerah Kotawaringin Timur dan melengserkan bupatinya. Mereka menggunakan
kesempatan Konflikdari Kedua Etnis tersebut untuk melengserkan para Petinggi yang Beretnis
Madura di Kalimantan Tengah. Memang, dari dahulu sampai sekarang ini Konflik yang berunsur
Etnis, Ras, ataupun Agama memang sangatlah gampang untuk disusupi, mudah untuk mencari
Provokator untuk membesarkan situasi konflik untuk kepentingan-kepentingan golongan
tertentu. Kejadian di Sampit ini menjadi sebuah Keresahan banyak orang terutama mereka yang
tinggal di daerah Kalimantan Tengah terutama di Kota Palangkaraya. Semua orang dari setiap
sudut kampung, desa maupun kota sangat bersiaga terhadap segala sesuatu agar meminimalisir
terjadinya kerusuhan lagi, Kerusuhan sampit ini memang menyisakan banyak penderitaan dan
duka. Korban tidak hanya dari Laki-laki & Perempuan dewasa saja, melainkan anak-anak kecil
pun menjadi korban peristiwa nahas ini. Masa depan anak-anak yang ortunya meninggal menjadi
suram, mereka tidak punya tempat tinggal, putus sekolah, dan hanya berharap pada Pemerintah.
Tetapi Pemerintah saat itu seakan tidak peristiwa “Sadis” tersebut. Terutama terkuak bukti-bukti
bahwa adanya kasus SUAP kepada orang-orang Pemerintahan di sana.

Dari masa-masa pasca konflik tersebyt, bagi masyarakat Dayak sendiri, bukanlah Hal
yang mudah untuk mengembalikan Hubungan sosial mereka di Masyarakat. Selain kerusuhan
konflik sampit ini membawa dampak sosial budaya, ekonomi dan politik, ternyata juga
membawa dampak Psikologis pada masyarakat saat itu.. Akibat kerusuhan itu, mereka
berhadapan dengan bermacam-macam tudingan dan tantangan yang cenderung menilai negatif
dan memojokkan posisi para Etnis Dayak, mulai dari skala Lokal, Nasional, hingga
Internasional. Maka dari itu, Para masyarakat Dayak pun melakukan Rekonstruksi Sosial mereka
dengan melakukan berbagai Upacara Ritual seperti “Mangantung Manaheta, Manguat Sahur
Parapah”. Upacara tersebut memiliki tujuan yaitu memohon keselamatan dan mempercepat
berakhirnya bencanakonflik berdarah yang maish terjadi di daerah Kalimantan Tengah. Namun
Tujuan Utamanya adalah untuk menjaga wilayah dan masyarakat Kalimantan Tengah serta
menghentikan konflik yang merugikan semua pihak dan bahkan mendiskreditkan citra
masyarakat Dayak di dunia internasional. Dalam Periswita ini, kita dapat belajar bahwa segala
konflik budaya sosial yang merujuk pada suatu unsur SARA memang sangat mudah untuk
dipicu. Dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat, mulai dari Kerugian Material, hingga
kehilangan nyawa. Apalagi bila konflik tersebut mudah disusupi oleh Kepentingan-kepentingan
Golongan tertentu untuk mencapai tujuan mereka, maka masalah ini sudah menjadi masalah
yang cukup besar. Pentingnya, menjaga keharmonisan antar Manusia yang berbeda Etnis, Suku,
dan Agama sangatlah penting. Merangkul sesame, memegang tangan yang erat dengan
mengdepankan kedamaian menjadi hal yang Indah agar hidup kita sebagai manusia menjadi
sangatlah lebih berarti dengan hidup tanpa konflik. Semoga Penulisan ini menjadi pembelajaran
dan bermanfaaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Klinken, Gerry Van. 2007. Perang kota kecil: kekerasan komunal dan demokratisasi di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Patji, Abdul Rachman. 2003. TRAGEDI SAMPIT 2001 DAN IMBASNYA KE


PALANGKA RAYA (Dari Konflik ke (Re)konstruksi). Jakarta: JURNAL MASYARAKAT DAN
BUDAYA.

Anda mungkin juga menyukai