Anda di halaman 1dari 83

BAB III

KETENTUAN PENGATURAN PERLINDUNGAN WARGA SIPIL


dan OBYEK SIPIL DALAM PERANG DI SURIAH

A. Pengertian Warga Sipil dan Obyek Sipil

1. Pengertiaan Warga Sipil

Warga Sipil merupakan orang yang bukan termasuk ke dalam anggota

angkatan bersenjata dari suatu milisi atau suatu negara dan tidak ikut terlibat

dalam situasi permusuhan konflik bersenjata atau perang militer. Sedangkan

Militer adalah bagian dari warga sipil yang mempunyai kualifikasi militer yang

dididik, dibentuk dan dilatih untuk melakukan pertahanan negara secara militer. 30

Pengertiaan anggota Militer adalah orang yang berdinas pada suatu Angkatan

Perang dan tetap terus menerus berada dalam dinas tersebut selama periode waktu

ikatan dinas.31

Menurut Konvensi Jenewa ke-IV, penduduk sipil di defenisikan sebagai

orang yang bukan merupakan anggota militer. Militer sendiri merupakan angkatan

bersenjata dari suatu negara dan segala sesuatu yang berhubugan dengan angkatan

bersenjata biasanya terdiri atas para prajurit atau serdadu.

Sedangkan pengertian penduduk sipil yang terdapat pada Pasal 50 Protokol

Tambahan I 1977 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penduduk sipil

adalah orang-orang selain daripada kategori yang dimaksud dalam Pasal 4 (A)

(1),(2),(3) dan (6) konvensi ke-III dan pasal 43 Protokol Tambahan I 1977. Pada

30
Suryanto Suryokusumo, Konsep Sistem Pertahanan Non-Militer, 2016.
31
Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1947.

Universitas Sumatera Utara


intinya penduduk sipil adalah bukan pihak yang berperang dan tidak boleh

membawa senjata.

Menurut Sugeng Istanto dalam bukunya menjelaskan penduduk sipil adalah

orang, seorang atau sekumpulan orang yang bukan anggota angkatan bersenjata,

yang karenanya tidak berhak ikut serta langsung dalam permusuhan. 32 Pada

hakekatnya penduduk sipil adalah seseorang atau warga masyarakat yang tidak

ikut ambil bagian dalam suatu konflik bersenjata, permusuhan, perang ataupun

suatu pertempuran dan bukan merupakan bagian dari sebuah angkatan bersenjata

serta tidak berhak turut dalam sebuah pertempuran dan harus dilindungi serta

dihormati hak-haknya oleh karena bukan merupakan sasaran penyerangan atau

bagian objek militer.

Dalam Sebuah Perang yang melibatkan angkatan bersenjata ada aturan yang

menyatakan larangan menyerang warga sipil, bahkan tindakan ini termasuk

kategori kejahatan perang. Sangat tidak beradab jika seorang tentara yang terlatih

dan bersenjata menyerang warga sipil yang tidak terlatih dan bersenjata.

Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang yang dilindungi meliputi

kombatan dan penduduk sipil. Kombatan yang telah berstatus „hors de combat‟

harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. Kombatan yang jatuh

ketangan musuh mendapatkan status sebagai tawanan perang. Perlindungan dan

hak-hak sebagai tawanan perang diatur dalam Konvensi Jenewa III. Sedangkan

penduduk sipil berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam

Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan 1977.

32
F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta
Dan Hukum Internasional, Yogyakarta, Andi Offset, 1992, hlm.6

Universitas Sumatera Utara


Menurut Hans-Peter Gasser, orang yang dilindungi adalah seseorang yang

berdasarkan Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya, memiliki kedudukan


33
yang dilindungi secara khusus. Sebagaimana yang telah disebutkan,

perlindungan terhadap warga sipil telah diatur dalam Konvensi Jenewa IV.

Menurut Konvensi Jenewa IV ini, perlindungan tersebut meliputi perlindungan

umum (general protection), diatur dalam Bagian II.

Sedangkan berdasarkan Protokol Tambahan, perlindungan tersebut diatur

dalam Bagian IV tentang penduduk sipil. Bagian IV Protokol tersebut ini, antara

lain mengatur mengenai perlindungan umum (general protection againts the effect

of hostilities);bantuan terhadap penduduk sipil (relief in favour of the civilian

population); serta perlakuan orang-orang yang berada dalam salah satu kekuasaan

pihak yang bersengketa (treatment of persons in the power of a party to a

conflict), termasuk di dalamnya adalah perlindungan terhadap para pengungsi,

orang yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless), anak-anak, wanita dan

wartawan.

Meskipun perlindungan warga sipil ini sudah memliki pengaturan hukum

Internasional nya, namun dalam implementasinya di suatu wilayah konflik

bersenjata semua seperti tidak ada gunanya, masih banyak warga sipil yang

menjadi korban luka-luka maupun tewas dan bahkan sampai meninggalkan tanah

kelahirannya untuk mendapatkan suatu kehidupan yang damai. Oleh sebab itu

Prinsip Martens Clause “Klausula Martens” ini sangat dibutuhkan dalam suatu

situasi konflik bersenjata.


33
Hans-Peter Gesser, International Humanitarian Law, An Introduction, Separate Print
from Hans Haug Humanity for All, International Red Cross and Red Crescent Movement, Henry
Dunant Institute, Paul Hauot Publisher, Berne Stuttgart, Vienna, 1993, hlm.25.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Konvensi Jenewa, perlindungan umum yang diberikan kepada

penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala keadaan,

penduduk sipil. Dalam segala keadaan, penduduk sipil berhak atas penghormatan

pribadi, hak kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya. Terhadap

mereka, tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang disebutkan

dalam pasal 27-34, yaitu ;

a. Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh

keterangan

b. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani

c. Menjatuhkan Hukuman kolektif

d. Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan

e. Menjadikan mereka sebagai sandera

f. Melakukan pembalasan (reprisal)

g. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau

permusuhan terhadap orang yang dilindungi.

Di antara penduduk sipil yang harus dilindungi, terdapat beberapa kelompok

orang-orang sipil yang perlu dilindungi seperti ;

1) Orang Asing di Wilayah Pendudukan

Pada waktu pecah perang antara negara yang warga negaranya berdiam di

dalam wilayah negara musuh, maka orang-orang asaing ini merupakan warga

negara musuh. Walaupun demikian, mereka tetap mendapatkan penghormatan dan

perlindungan di negara dimana mereka berdiam. Berdasarkan pasal 35 Konvensi

Jenewa IV, mereka harus diberi ijin untuk meninggalkan negara tersebut. Jika

Universitas Sumatera Utara


permohonan mereka ditolak, mereka berhak meminta agar penolakan tersebut

dipertimbangkan kembali Permintaan tersebut ditujukan kepada pengadilan atau

badan administrasi yang ditunjuk untuk melaksanakan tugas itu.

Hukum yang berlaku bagi mereka harus sesuai dengan undang-undang yang

berlaku di masa damai (hukum tentang orang asing). Perlindungan minimum atas

hak asasi manusia mereka harus dijamin. Oleh karena itu mereka harus

dimungkinkan untuk tetap menerima pembayaran atas pekerjaannya, menerima

bantuan, perawatan kesehatan, dan sebagainya. Sebaliknya, negara penahan juga

diperbolehkan mengambil tindakan yang perlu seperti membuat laporan reguler ke

kantor polisi, atau menentukan tempat tinggal tertentu jika keadaan keamanan

yang mendesak mengharuskan orang-orang asing ini untuk berpindah tempat

tinggal (pasal 42 Konvensi Jenewa IV). Mereka juga dapat dipindahkan ke negara

asal mereka kapan saja, dan apabila masih ada, mereka harus dipulangkan pada

saat terakhir setelah berakhirnya permusuhan. Mereka dapat diserahkan melalui

negara ketiga. Harus pula terdapat jaminan bahwa mereka tidak akan diajukan ke

pengadilan karena keyakinan politik atau agama yang mereka anut.34

2) Orang yang tinggal di wilayah Kependudukan

Dalam wilayah pendudukan, penduduk sipil sepenuhnya harus dilindungi.

Penguasa Pendudukan (occupying power) tidak boleh mengubah hukum yang

berlaku di wilayah tersebut. Dengan perkataan lain, hukum yang berlaku di

wilayah tersebut adalah hukum dari negara yang diduduki. Oleh karena itu,

perundang-undangan nasional dari negara yang diduduki masih berlaku secara de

34
Ibid

Universitas Sumatera Utara


jure, walaupun berkuasa atas wilayah pendudukan adalah Penguasa Pendudukan

secara de facto. Sejalan dengan hal ini, maka Pemerintah Daerah Wilayah yang

diduduki, termasuk pengadilannya harus diperbolehkan untuk melanjutkan

aktivitas-aktivitas mereka sedia kala.

Orang-orang Sipil di wialayah tersebut harus dihormati hak-hak asasinya;

misalnya mereka tidak boleh dipaksa bekerja untuk Penguasa Pendudukan, tidak

boleh dipaksa untuk melakukan tindakan kegiatan-kegiatan militer. Penguasa

Pendudukan bertanggung jawab untuk memelihara dinas-dinas kesehatan, rumah

sakit dan bangunan-bangunan lainnya. Perhimpunan Palang Merah atau Bulan

Sabit Merah Nasional harus tetap diperbolehkan untuk melanjutkan tugas-

tugasnya. Penguasa Pendudukan juga harus memperhatikan kesejahteraan anak-

anak, serta menjamin kebutuhan makanan dan kesehatan penduduk; dan bila

Penguasa Pendudukan tidak mampu melakukan hal tersebut maka mereka harus

mengijinkan adanya bantuan yang datang dari luar negeri.

Sebaliknya Penguasa Pendudukan, dapat membentuk peraturan perundang-

undangan sendiri, mereka juga dapat membentuk pengadilan militer yang bersifat

non-politis. Namun, adanya pembentukan tersebut tidak boleh melepaskan

kewajiban Penguasa Pendudukan untuk tetap melaksanakan kewajibannya sesuai

dengan Konvensi Jenewa, untuk memelihara keamanan dan ketertiban dan untuk

menjaga segala infrastruktur di daerah tersebut agar tetap dapat berfungsi

sebagaimana sedia kala. Dalam melakukan kegiatan peradilan, Penguasa

Pendudukan juga harus menghormati dan menerapkan asas-asas hukum umum

(general principle of law), terutama asas hukum yang menyatakan bahwa

Universitas Sumatera Utara


hukuman yang dijatuhkan haruslah seimbang dengan pelanggaran yang dilakukan;

pidana mati hanya boleh dijatuhkan terhadap kasusu pelanggaran berat, seperti

mata-mata, sabotase terhadap peralatan militer, atau karena pelanggaran yang

disengaja yang memang dapat dijatuhi hukuman mati menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

3) Interniran Sipil

Penduduk sipil yang dilindungi dapat diinternir. Ketentuan-ketentuan

tentang peralakuan orang-orang yang diinternir diatur dalam Seksi IV, pasal 79-

135 Konvensi Jenewa IV. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, tindakan

perampasan kebebasan dapat dilakukan apabila terdapat alasan keamanan yang rill

dan mendesak. Tindakan untuk menginternir penduduk sipil pada hakekatnya

bukan merupakan suatu hukuman, namun hanya merupakan tindakan pencegahan

administratif. 35 Oleh karena itu, walaupun penduduk sipil ini diinternir, namun

mereka tetap memiliki kedudukan dan kemampuan sipil mereka dan dapat

melaksanakan hak-hak sipil mereka.

Orang-orang sipil yang dapat diinternir adalah ;36

a) Penduduk sipil musuh dalam wialyah pihak yang bersengketa yang perlu

diawasi dengan ketat demi kepentingan keamanan37

35
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah, Op.cit.
36
Lihat pasal 79 Konvensi Jenewa IV yang berbunyi : “Pihak-pihak dalam pertikaian
hanya boleh menginternir orang-orang yang dilindungi, sesuai dengan aturan-aturan pasal-pasal
41-48, 68-78”
37
Lihat pasal 41 ayat (1) dan pasal 42 ayat (2) jo.pasal 78 Konvensi Jenewa IV

Universitas Sumatera Utara


b) Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak yang bersengketa yang dengan

suka rela menghendaki untuk diinternir, atau karena keadaannya

menyebabkan ia diinternir38

c) Penduduk sipil musuh dalam wilayah yang diduduki, apabila Penguasa

Pendudukan menghendaki meraka perlu diinternir karena alasan mendesak

d) Penduduk sipil yang telah melakukan pelanggaran hukum secara khusus

bertujuan untuk merugikan Penguasa Pendudukan.39

Selanjutnya, para interniran sipil ini tidak boleh di tempatkan di dalam

daerah-daerah yang sangat terancam bahaya perang. Bila kepentingan militer

memerlukan, tempat interniran ini harus ditandai dengan huruf “IC” (TI = Tempat

Interniran; IC = Internment Camps), atau sistem penandaan lainnya yang

disepakati. 40 Pengurusan para interniran harus dilakukan oleh negara Penahan,

termasuk meliputi layaknya tempat interniran, makanan dan pakaian, kebersihan

dan pengamatan kesehatan, serta kegiatan-kegiatan keagamaan. Setiap tempat

interniran, harus ditempatkan di bawah kekuasaan seorang perwira yang

bertanggung jawab yang dipilih dari anggota angkatan bersenjata tetap atau

pemerintahan sipil biasa dari Negara Penahan.41

Para interniran sipil, walaupun dilindungi sepenuhnya oleh Konvensi

Jenewa, tetap dapat dijatuhi sanksi pidana dan sanksi disipliner. Yang penting,

penjatuhan sanksi-sanksi tersebut harus sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku di daerah yang diinternir tersebut.

38
Lihat pasal 42 ayat (2), Konvensi Jenewa IV
39
Lihat pasal 68 ayat (1), Konvensi Jenewa IV
40
Lihat pasal 83, Konvensi Jenewa IV
41
Lihat pasal 99 ayat (1), Konvensi Jenewa IV

Universitas Sumatera Utara


Segera setelah permusuhan berakhir, interniran sipil harus dipulangkan

kembali ke negara asal mereka. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk

melakukan tindakan-tindakan serupa selama berlangsungnya permusuhan antara

pihak yang bersengketa.

4) Perlindungan Khusus

Disamping perlindungan umum yang diberikan terhadap penduduk sipil

dalam sengketa bersenjata sebagaimana diuraikan di atas, maka terdapat pula

sekelompok penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati perlindungan khusus.

Mereka umumnya adalah penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi

sosial yang melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk membantu

penduduk sipil lainnya pada waktu bersengketa senjata. Mereka adalah penduduk

sipil yang menjadi anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota

Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota Pertahanan Sipil.

Pada saat melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial (sipil), biasanya

mereka dilengkapi dengan sejumlah fasilitas (transportasi, bangunan-bangunan

khusus), maupun lambang-lambang khusus. Apabila sedang melaksanakan

tugasnya, mereka harus dihormati (respected) dan dilindungi (proctected).

„Dihormati‟ berarti mereka harus dibiarkan untuk melaksanakan tugas-tugas sosial

mereka pada waktu sengketa bersenjata, sedangkan pengertian „dilindungi‟ adalah

bahwa mereka tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer.

Universitas Sumatera Utara


2. Pengertiaan Objek Sipil dan Objek Militer

Objek sipil adalah semua objek yang bukan objek militer, dan oleh karena

itu tidak dapat dijadikan sasaran serangan pihak yang bersengketa. Sebaliknya,

jika suatu objek termasuk dalam kategori sasaran militer, maka objek tersebut

dapat dihancurkan berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Humaniter. Suatu

objek yang dianggap sebagai sasaran militer bukan hanya meliputi objek-objek

militer saja seperti tank, barak-barak militer, pesawat mliter atau kapal perang

sebagaimana terlihat pada gambar di samping, akan tetapi yang termasuk sasaran

militer adalah semua objek dapat dikategorikan sebagai sasaran militer

berdasarkan ketentuan Hukum Humaniter.

Sering kita lihat dalam berbagai konflik yang ada, rumah-rumah penduduk

sipil, hotel, atau sekolah yang merupakan fasilitas umum, menjadi sasaran

serangan pada waktu sengketa bersenjata. Reaksi selanjutnya adalah banjirnya

protes atas hal tersebut, terutama dari kalangan NGO, pemerhati konflik, pers dan

masyarakat umum sendiri. Benarkah selalu demikian?

Penentuan apakah suatu objek merupakan objek sipil ataukah sasaran militer

secara yuridis menurut Hukum Humaniter, telah lama diupayakan dalam berbagai

forum. Secara kasat mata, apalagi pada waktu damai, penentuan demikian

memang tidak menemukan kesulitan. Artinya, kita bisa menentukan dengan

santai, bahwa objek tertentu merupakan objek sipil atau sasaran militer. Rumah

sakit, sekolah, pasar, mall, lapangan bermain, tempat rekreasi, museum, adalah

sederet objek sipil yang dengan mudah dikenali. Adapun, kita dengan mudah pula

mengenali sasaran-sasaran militer, seperti : tank, atau kendaraan-kendaraan lapis

Universitas Sumatera Utara


baja, pesawat udara militer, markas dan barak-barak militer sebagai suatu sasaran

militer.

Akan tetapi, pada waktu terjadinya peperangan, penentuan apakah suatu

objek termasuk ke dalam objek sipil ataukah sasaran militer tidak semudah yang

kita bayangkan. Dalam kondisi seperti itu, penentuan mengenai status suatu objek

harus selalu didasarkan kepada aturan-aturan Hukum Humaniter, karena Hukum

Humaniter ini akan berlaku jika terjadi sengketa bersenjata atau peperangan.

Berdasarkan Pasal 52 Protokol Tambahan I tahun 1977, maka sudah

ditentukan apa yang dimaksudkan dengan objek sipil dan sasaran militer.

Perhatikan redaksional pasal tersebut berikut ini :

Pasal 52. Perlindungan Umum Objek-objek sipil

1. Objek-objek sipil bukan merupakan sasaran serangan atau tindakan

balasan. Objek-objek sipil adalah semua objek yang bukan merupakan

sasaran militer sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

2. Serangan harus hanya ditujukan pada sasaran militer. Sasaran militer

adalah terbatas pada objek-objek yang karena sifatnya, lokasinya, tujuan

atau kegunaannya dapat memberikan kontribusi yang efektif pada operasi

militer dan apabila (objek-objek tersebut) dihancurkan baik keseluruhannya

maupun sebagian, dikuasai atau dinetralisir, dalam situasi yang terjadi

pada saat itu, maka hal tersebut dapat memberikan keuntungan militer yang

pasti.

3. Dalam hal terdapat keragu-raguan tentang apakah suatu objek biasanya

digunakan untuk tujuan-tujuan non-militer, seperti tempat ibadah, rumah

Universitas Sumatera Utara


atau sekolah, digunakan untuk memberikan kontribusi yang efektif pada

operasi militer, maka hal demikian harus dianggap (sebagai) tidak

digunakan untuk tujuan-tujuan militer.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka suatu sasaran militer, harus memiliki

beberapa syarat tertentu sehingga penghancurannya dapat dibenarkan menurut

prinsip kepentingan militer. Syarat tersebut adalah :

a. Objek yang karena sifatnya, lokasinya, atau tujuan penggunaannya dapat

memberikan kontribusi yang efektif pada operasi militer;

b. Objek yang apabila dihancurkan (seluruhnya maupun sebagian), dikuasai

atau dinetralisir, maka dapat memberikan keuntungan militer yang pasti.

Kita juga dapat melihat pula dalam pasal-pasal yang terdapat dalam Hague

Regulation, yang telah menggambarkan usaha untuk membedakan obyek-obyek

mana yang boleh dan tidak boleh diserang. Pasal-pasal yang perlu diperhatikan,

antara lain : Pasal 23 ayat (g) Hague Regulation, yang melarang ; menghancurkan

harta benda musuh kecuali....sangat diperlukan oleh kepentingan berperang.

Menurut Austin, pasal ini menyatakan adanya keinginan yang tumpang tindih

untuk melindungi kombatan dan penduduk sipil sekaligus. Ini dapat dilihat

sebagai suatu usaha untuk menganggap bahwa „harta benda musuh‟ adalah obyek-

obyek yang tidak boleh diserang.

Aturan-aturan yang secara khusus memberikan perlindungan pada penduduk

sipil merupakan aturan yang dirancang sekaligus berkenaan dengan suatu

pemboman. Ketentuan ini tidak saja melindungi penduduk sipil, tetapi juga

sekaligus melindungi benda-benda dan suatu daerah tertentu yang dianggap

Universitas Sumatera Utara


sebagai obyek-obyek sipil dan menghindarkannya dari sasaran serangan secara

langsung. Ini ditunjukkan dalam pasal 25 Hague Regulation yang melarang ;

„serangan atau pemboman, dengan cara apapun, suatu perkotaan, pedesaan,

pertambangan atau bangunan-bangunan yang tidak dipertahankan‟ sedangkan

Pasal 27 Hague Regulation menyatakan bahwa „semua tindakan-tindakan yang

perlu dilakukan sedapat mungkin untuk memisahkan bangunan-bangunan

keagamaan, seni, ilmu, monumen-monumen sejarah, rumah-rumah sakit, tempat-

tempat dimana mereka yang luka dan sakit dirawat, asalkan semua bangunan ini

tidak digunakan untuk tujuan-tujuan militer‟.Ketentuan ini juga menyebutkan

secara eksplisit obyek-obyek apa saja yang tidak boleh dijadikan sasaran serangan

dalam peperangan.

B. Pengaturan Hukum Humaniter Internasional Mengenai Perlindungan

Warga Sipil dan Obyek Sipil

1. Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Warga Sipil

Dalam konflik bersenjata internasional (international armed conflict) atau

sering disebut sebagai “perang”, harus tetap ada dan mesti dipertahankan dalam

melindungi penduduk sipil, maka hukum internasional telah memberikan

perlindungan hukum bagi para penduduk sipil. Dalam hal ini maka akan terpikir

ada dua hal hukum yang biasa diajukan, yaitu ;

a. Perang tersebut memiliki cukup legitimasi (jus ad bello).

b. Dalam perang tersebut tersedia cukup koridor tentang metode dan sarana

yang digunakan serta perlindungan hukum terhadap warga yang tak ikut

Universitas Sumatera Utara


berperang (jus in bellum), sering disebut sebagai bagian dari hukum

humaniter internasional (international humanitarian law).

Saat terjadi perang, hak-hak sipil tetap dilindungi oleh hukum hak asasi

manusia internasional mencakup wilayah yang lebih luas. Hak sipil, hak politik,

hak ekonomi, hak budaya, hak sosial, hak atas pendidikan, hak pembangunan,

lingkungan dan sebagainya yang utamanya berlaku di waktu bukan perang.

Perlindungan penduduk sipil dalam Hukum Humaniter Internasional

dibedakan menurut bentuk dan isinya yang tertuang dalam Hukum Internasional

kebiasaan dan hukum internasional perjanjian. Adapun aturan-aturan tersebut

berdiri sendiri terlepas dari satuan pengaturan lainnya. Aturan-aturan dalam

halnya perlindungan penduduk sipil ini terdapat pada Instruksi Lieber tahun 1863

yang berbentuk Hukum Humaniter Internasional kebiasaan, dan yang berbentuk

Hukum Humaniter Internasional perjanjian meliputi Konvensi Jenewa 1864,

Konvensi Den Haag 1899/1907, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan

1977.42

Dimulai dari Instruksi Lieber tahun 1863, Instruksi pemerintah Amerika

Serikat, yang dianggap sebagai kodifikasi hukum perang internasional dengan

menggunakan kata-kata seperti “unarmed citizens”, “private citizens”,

“inoffensive citizens”, “private individuals” dan “non-combatant” menetapkan

beberapa ketentuan yang mengatur orang sipil. Instruksi itu membedakan orang

sipil dalam tiga kelompok, yakni orang sipil yang “inoffensive”, orang sipil yang

ikut serta langsung dalam permusuhan, dan orang sipil yang terkait dalam

42
Fadillah Agus, Hukum Humaniter-Suatu Perspektif, Jakarta, Pusat Studi Hukum
Humaniter Universitas USAKTI,1977, hlm.42.

Universitas Sumatera Utara


pelaksanaan tugas angkatan bersenjata. Bagi mereka instruksi tersebut

menetapkan perlindungan dan larangan.43

Orang sipil yang “inofffensive” mendapatkan perlindungan pribadi, harta

dan kehormatannya. Mereka tidak boleh dibunuh, dijadikan budak, dipindah

paksakan atau dipaksa bekerja pada pihak yang menang. Kesuciaan hubungan

keluarga juga tidak boleh dicemarkan. Orang sipil yang turut serta langsung dalam

permusuhan sebagai peserta “leeve en masse” diberi kedudukan sebagai

“belligerent”. Orang sipil yang terkait aktif dalam pelaksanaan tugas angkatan

bersenjata bila tertangkap musuh berhak mendapatkan status tahanan perang.

Disamping perlindungan itu instruksi tersebut juga menetapkan larangan bagi

penduduk sipil, misalnya larangan dilakukannya perbuatan perang oleh orang

sipil. Di wilayah pendudukan orang sipil dilarang melakukan perlawanan

bersenjata. 44 Ketentuan hukum humaniter internasional dalam instruksi lieber

1863 yang mengatur penduduk sipil itu berlaku pada penduduk sipil beserta

perlindungan yang ditetapkannya sebagai ketentuan hukum humaniter

internasional kebiasaan.45

Selanjutnya pengaturan perlindungan penduduk sipil dalam bentuk

perjanjian internasional ialah Konvensi Jenewa tahun 1864. Merupakan perjanjian

internasional hukum humaniter internasional pertama yang menetapkan

perlindungan bagi korban perang. Konvensi yang dimaksudkan untuk melindungi

korban perang ini menetapkan perlindungan bagi mereka yang luka di medan

perang, personil dan kesatuan medik beserta peralatannya. Ketentuan ini juga
43
Ibid, hlm.43.
44
F. Sugeng Istanto, Op.cit, hal.21.
45
Fadillah Agus, Loc.cit

Universitas Sumatera Utara


mengatur tingkah laku orang sipil dalam konflik bersenjata dan perlindungan

terhadapnya.

Di rasa perlu untuk memperbaharui aturan sebelumnya, maka pada tahun

1899 dan 1907 diadakan Konvensi Den Haag untuk mendapatkan aturan tentang

hukum dan kebiasaan perang darat “Regulations respecting the laws and Custom

of war on Land” atau disebut juga Pengaturan Den Haag “Hague Regulation”.

Pengaturan Den Haag ini lebih banyak mengatur “belligerents”, baik kualifikasi

maupun hak dan kewajibannya. “Belligerents” adalah mereka yang tunduk pada

hukum perang. Dalam istilah sekarang mereka dikategorikan sebagai kombatan.

Pengaturan Den Haag tidak menetapkan batasan pengertian orang sipil. Namun

dalam pengaturan Den Haag tidak terdapat ketentuan-ketentuan orang-orang yang

tidak tergolong “Belligerents” yakni orang-orang yang tidak ikut permusuhan

“hostilities” atau dengan kata lain disebut sebagai penduduk sipil. Pengaturan Den

Haag ini melindungi penduduk sipil yang berada di wilayah pendudukan. Bentuk

perlindungan tersebut ialah perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang

dari musuh yang menguasainnya. Bentuk perlindungan tersebut antara lain46 :

a. Larangan pemaksaan penduduk sipil mmberikan informasi tentang angkatan

bersenjata pihak lawan bertikai atau tentang perlengkapan pertahanan;

b. Larangan meminta sumpah kepada penduduk sipil untuk setia kepada

penguasa pendudukan;

c. Penghormatan hak-hak pribadi penduduk sipil

d. Larangan menjarah penduduk sipil

46
Ibid, hlm.44-45.

Universitas Sumatera Utara


e. Larangan pemungutan pajak dan pungutan lain secara sewenang-wenang;

f. Larangan penghukuman kolektif pada orang sipil;

g. Larangan pencabutan hak milik penduduk sipil secara sewenang-wenang.

Pada perkembangannya dalam pengaturan perlindungan penduduk sipil,

pada tahun 1949 diadakan Konvensi Jenewa tentang perlindungan korban perang.

Memiliki empat bagian dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention) tahun 1949

yang terdiri atas :

1) Perlindungan terhadap korban luka dan yang menderita sakit dalam konflik

bersenjata

2) Perlindungan terhadap korban luka, korban yang menderita sakit dan korban

kapal karam akibat konflik bersenjata di laut

3) Perlakuan terhadap tawanan perang

4) Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam waktu berperang

Perlindungan penduduk sipil ketika dalam keadaan perang yang diatur

secara khusus dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa IV 1949 menyebutkan bahwa ;

“Persons protected by the Convention are those who, at a given moment

and in anymanner whatsoever, find themselves, in case of a conflict or

occupation, in the handsof a Party to the conflict or Occupying Power of which

they are not nationals. Nationals of a States which is not bound by the

Convention are not protected by it. Nationals of a neutral State who find

themselves in the territory of a belligerent State, and Nationals of a co-belligerent

State, shall not be regarded as protected persons while the State of which they are

Universitas Sumatera Utara


nationals has normal diplomatic representationin the State in whose hands they

are”.

Secara umum, Konvensi Jenewa IV tersebut berlaku kepada „penduduk sipil

musuh‟ apabila dilihat dari sudut pandang pihak yang menguasai mereka atau

dalam hal ini berarti penduduk sipil negara bersengketa yang jatuh dalam

kekuasaan musuh karena mereka yang dianggap paling membutuhkan

perlindungan dari pendudukan „belligerent‟ tersebut.

Hal ini berarti bahwa selain di wilayahnya sendiri, suatu negara dalam

perang juga berkuasa diwilayah musuh yang diduduki oleh angaktan perangnya.

Dapat juga orang-orang yang dilindungi atu „Protected persons‟ dalam Konvensi

Jenewa IV dirumuskan sebagai berikut ;

a. Warga negara sipil musuh di wilayah negara pihak yang bersengketa

b. Penduduk sipil di wilayah musuh yang diduduki, terkecuali ;

a) Warga negara dari pendudukan sendiri

b) Warga negara dari pendudukan sekutu

c) Warga negara dari sekutu

d) Warga negara dari negara netral yang mempunyai hubungan diplomatik

dengan pendudukan, dan

e) Warga negara dari negara bukan peserta konvensi

Pembatasan penting terhadap hak-hak perlindungan yang diberikan

konvensi ini kepada orang-orang yang dilindungi ini diatur dalam paragraf

terakhir dalam Pasal 14 dari Konvensi Jenewa IV yaitu status „protected persons‟

yang terdapat dalam Konvensi Jenewa I-III 1977 tidak termasuk dalam orang-

Universitas Sumatera Utara


orang yang dilindungi menurut Konvensi Jenewa IV ini karena Konvensi Jenewa

IV ini hanya melindungi penduduk sipil saja. Selanjutnya, dalam pasal 5, pasal ini

mengatakan bahwa penduduk sipil di wilayah pihak dalam sengketa atau wilayah

yang diduduki, yang melakukan atau dicurigai keras melakukan atau terlibat

peperangan sebagai mata-mata bagi pihak musuh, akan kehilangan status dari

perlindungan terseut.

Dikarenakan adanya perkembangan pemahaman tentang pertikaian

bersenjata, kebutuhan perlindungan yang lebih luas lagi bagi mereka yang luka,

sakit dan korban karam serta perkembangan cara dan sarana perang beberapa

waktu yang lalu lahirlah Protokol Tambahan tahun 1977. Protokol tambahan ini

merupakan tambahan pada Konvensi Jenewa 1949, namun melihat dari isi aturan

yang terkandung di dalamnya Protokol Tambahan 1977 in juga merupakan

tambahan dari Kovensi Den Haag 1907 karena memuat aturan dan tata cara serta

sarana pertikaian senjata. Keberadaan dari Protokol Tambahan adalah sebagai

bentuk penyempurnaan Konvensi Jenewa 1949. Bukan sebagai pengganti dari

Konvensi Jenewa 1949. Protokol ini sendiri terdiri dari dua bagian, yakni Protokol

Tambahan I dan Protokol Tambahan II. Protokol Tambahan I memuat aturan

tentang perlindungan korban konflik bersenjata yang bersifat internasional,

sedangkan Protokol Tambahan II memuat aturan perlindungan korban konflik

bersenjata yang bersifat non-internasional.

Universitas Sumatera Utara


Ketentuan pokok yang terdapat dalam Protokol Tambahan I 1977 antara lain
47
; Melarang serangan yang membabi buta dan reprisal terhadap; Penduduk sipil

dan orang-orang sipil; Obyek-obyek yang sangat penting bagi kelangsungan hidup

penduduk sipil; Benda-benda budaya dan juga tempat-tempat religius; Bangunan

dan instalansi berbahaya; Lingkungan alam.

Tidak Hanya pada Protokol Tambahan I, Protokol Tambahan II juga

memiliki beberapa hal yang diatur khusus di dalamnya. Ketentuan-ketentuan

dalam Protokol Tambahan II antara lain menentukan hal-hal sebagai berikut :48

Mengatur jaminan-jaminan yang sifatnya fundamental bagi semua orang, apakah

mereka yang terlibat atau tidak dalam suatu pertempuran. Menentukan hal-hal

bagi orang-orang yang kebebasannya dibatasi dalam menerima peradilan yang

adil. Memberikan perlindungan penduduk sipil dan obyek-obyek perlindungan

melarang dilakukannya tindakan intervensi secara sengaja.

Mengenai ruang lingkupnya, Pasal 1 ayat (2) Protokol Tambahan II yang

tidak lain sebagai perlengkapan Konvensi Jenewa 1949, menetapkan bahwa

Protokol Tambahan II ini berlaku kepada semua konflik bersenjata yang tidak

dirumuskan dalam Pasal 1 Protokol Tambahan I 1977 tentang perlindungan

korban konflik bersenjata yang berlangsung di wilayah negara-negara peserta

konvensi.

Dalam Protokol Tambahan II ini, ditegaskan bahwa negara yang sedang

dilanda konflik bersenjata dalam negeri memiliki kedaulatan yang penuh untuk

melakukan tindakan penyelamatan dalam bentuk apapun. Oleh sebab itu, dapat

47
Iskandarsyah, Pengantar Hukum Humaniter,op.cit
48
Ibid, hal.45.

Universitas Sumatera Utara


disimpulkan bahwa tidak ada satu pun ketentuan dari Protokol ini yang boleh

digunakan sebagai suatu pembenaran bagi campur tangan (intervensi) pihak luar

di dalam konflik bersenjata atau di dalam urusan dalam negeri atau luar negeri

suatu negara. Protokol Tambahan II tahun 1977, Pasal 3 ayat (2).

Protokol I dan II tahun 1977 juga menjabarkan dalam hal menetapkan

perlindungan bagi orang sipil antara lain :49

Protokol Tambahan I tahun 1977 menetapkan a.l :

a. Larangan menyerang orang sipil;

b. Keharusan dilakukannya penhati-hatian dalam melakukan perbuatan perang

demi untuk melindungi orang sipil;

c. Larangan dilakukannya kekerasan kepada orang sipil;

d. Larangan pemindahan paksa orang sipil;

e. Jaminan mendapatkan bantuan;

f. Kesempatan memberi bantuan korban konflik bersenjata.

Prtokol Tambahan II tahun 1977 menetapkan a.l :

a. Perlindungan terhadap operasi militer;

b. Larangan dijadikannya orang sipil sebagai sasaran konflik bersenjata;

c. Larangan menjadikan kelaparan orang sipil sebagai sarana pertikaian;

d. Larangan menyerang bangunan dan instalansi yang mengandung kekuatan

berbahaya;

e. Larangan pemindahan paksa orang sipil;

49
Fadillah Agus, Op.cit., hlm.49.

Universitas Sumatera Utara


f. Perlindungan kumpulan dan orang sipil penolong korban pertikaian

bersenjata.

Perikemanusiaan sebagai suatu asas pokok hukum perang, dalam bentuknya

yang modern, untuk pertama kalinya dirumuskan oleh Rousseau menyatakan teori

pembatasan tentang siapa yang merupakan musuh dalam perang. Rousseau

membedakan penduduk sipil dan Kombatan berdasarkan Perikemanusiaan.

Perlindungan penduduk sipil dalam perang ditetapkan berdasarkan tuntutan

peradaban yang menghendaki dilaksanakannya prinsip pembedaan antara warga

negara dan negaranya. Pembedaan itu dimaksudkan untuk melindungi penduduk

sipil di masa perang. Perlindungan itu dibedakan dalam tiga macam perlindungan

bagi penduduk sipil yang berbeda yakni penduduk sipil yang inoffensive,

penduduk sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan dengan mengangkat

senjata dan penduduk sipil yang terkait dalam pelaksanaan tugas angkatan

bersenjata. Penduduk sipil yang inoffensive mendapatkan perlindungan pribadi,

harta dan kehormatannya. Mereka ini tidak boleh dibunuh, dijadikan budak,

dipindah paksakan atau dipaksa bekerja pada pihak yang menang. Kesucian

hubungan keluarga juga tidak boleh dicemarkan.

Penduduk sipil yang ikut serta langsung dalam permusuhan sebagai peserta

levee en masse ditetapkan sebagai public enemy, meskipun mereka tidak

memenuhi persyaratan yang ditetapkan bagi belligerent. Dengan ditetapkannya

peserta leeve en masse sebagai public enemy itu maka bila tertangkap musuh

mereka berhak mendapatkan status tawanan perang.

Universitas Sumatera Utara


Penduduk sipil diwilayah yang diduduki musuh, misalnya yang melakukan

perlawanan bersenjata, dinyatakan sebagai pelanggaran hukum perang. Demikian

pula orang-orang yang melakukan perbuatan permusuhan tanpa menjadi anggota

angkatan bersenjata tidak ditetapkan sebagai public enemy, yang karenanya bila

tertangkap musuh maka mereka tidak berhak atas perlindungan sebagai tawanan

perang. Mereka ini diperlakukan sebagai perampok atau pembajak.

Perlindungan Penduduk Sipil dalam Pelanggaran Humaniter serius diatur

dalam Konvensi Geneva (IV) TAHUN 1949, Grave Breaches dipakai untuk

membedakan antara kejahatan perang yang terjadi dalam konflik bersenjata

internasional dalam hubungannya dengan istilah “orang-orang yang dilindungi”

(the protected persons) dengan kejahatan yang dilakukan dalam konflik internal

atau domestik (Psl 4 Jo.Psl 147 Konvensi Geneva IV).

Sementara yang dimaksud sebagai “the protected persons” adalah; mereka

yang dalam waktu tertentu dan dengan cara apapun, mendapatkan dirinya, dalam

sebuah konflik atau pendudukan berada pada kekuasaan salah satu pihak dalam

konflik, di mana nasionalitas mereka tidak sama dengan pihak yang

menguasainya. Penggunaan terminologi “the protected person” di atas, memang

mengarah pada proposisi bahwa tawanan perang ataupun orang-orang sipil dalam

konflik internal, tidak mendapat perlindungan oleh Konvensi Geneva. Maksudnya

meskipun pasal 3 serta Protokol Tambahan No.2 Konvensi Geneva dengan jelas

melindungi kaum sipil serta tawanan perang dalam konflik internal tekstual

legalnya mereka memang tak masuk dalam apa yang disebutkan sebagai “the

Universitas Sumatera Utara


protected persons”. Dalam perkembangannya hal tersebut di atas ternyata tidak

bersifat absolut.

Beberapa praktik hukum pidana internasional nyatanya memasukan para

korban sipil dalam konflik internal sebagai “the protected persons”. Pengadilan

Kejahatan Internasional untuk bekas Yugoslavia (The International Tribunal of

Former Yugoslavia), dalam beberapa keputusannya memutuskan bahwa muslim

Bosnia termasuk “orang-orang yang dilindungi” dari Kejahatan Serbia Bosnia dan

begitu pula sebaliknya (Karine Lescure, 1996). Hal ini mengindikasikan bahwa

yang terpenting dalam pengkasiflikasian “orang-orang yanng dilindungi”

bukanlah legal nationality dari seseorang, tetapi juga kenyataan bahwa ada kondisi

yang secara de facto memperlihatkan tidak adanya perlindungan diplomatik atau

hukum terhadap korban-korban tersebut.

“Kelemahan” Konvensi Geneva, tampaknya menjadi perhatian khusus para

pelaku hukum internasional. Usaha perluasan penafsiran atas konflik internal terus

meningkat. 50 Dalam Hal ini Hukum Humaniter Internasional juga mempunyai

suatu prinsip yang dapat membedakan Warga Sipil dalam Konflik bersenjata,

dimana Prinsip ini dikenal dengan Prinsip Pembedaan. Prinsip Pembedaan ini

membedakan antara Warga Sipil dengan Kombatan, pembedaan ini perlu

diketahui untuk mengetahui siapa yang dapat/boleh dijadikan objek sasaran dan

siapa yang harus dilindungi. Dengan kata lain, adanya prinsip pembedaan ini

dapat diketahui siapa yang turut ikut dalam permusuhan, sehingga dijadikan objek

50
Konflik Internal Yugoslavia serta Genosida di Rwanda barangkali dapat disebutkan
sebagai titik utama kriminalisasi atas kejahatan perang dalam konflik internal. Ketetntuan yang
dikeluarkan oleh peradilan Rwanda, misalnya dengan jelas menegaskan mengenai otoritas
yurisdiksinya terhadap pelanggaran atas pasal 3 Konvensi Geneva, serta protokol tambahannya
(Protokol Tambahan No.2)

Universitas Sumatera Utara


sasaran dan siapa yang tidak ikut serta dalam permusuhan untuk mendapatkan

perlindungan.

Prinsip Pembedaan ini berguna untuk menghormati dan melindungi Warga

sipil dari sasaran perang serta untuk tidak menyerang objek-objek sipil, seperti

rumah sakit, sekolah, rumah ibadah dan lainya. Tujuan prinsip pembedaan ini

adalah untuk melindungi Warga sipil.

Oleh karena itu, berkenaan dengan tindakan peperangan tidak hanya

berakibat terhadap anggota angkatan bersenjata, tetapi juga berakibat terhadap

warga sipil. Apalagi warga sipil sebagai pihak yang lemah dan menderita, sangat

mudah dijadikan sasaran kekerasan dengan berbagai tuduhan dibuat-buat. Hukum

Humaniter juga telah mengatur perlindungan terhadap penduduk sipil dalam Pasal

27 Konvensi Jenewa IV 1949, yang pengaturannya lebih sempurna daripada

Konvensi Den Haag. Namun dalam praktiknya, ketentuan tersebut tidak


51
diterapkan secara sungguh-sungguh. Menurut M.Gaussyah, bahwa untuk

mewujudkan cita-cita melindungi segenap bangsa dan seluruh warga negara,

maka harus diadakan lembaga/alat yang bertugas melindungi penduduk, yaitu alat

negara atau lembaga Kepolisian sebagai penegak Hukum yang bertanggung jawab

penuh bagi keamanan.

Perkembangan teknik persenjataan modern dewasa ini mengakibatkan

bertambah susahnya usaha untuk mencegah Warga Sipil turut menjadi sasaran

perang. Kenyataan bahwa perang modern merupakan perang yang total,

mengakibatkan perlindungan yang diberikan oleh hukum perang internasional


51
M.Gaussyah, Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai alat negara dalam
kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban Dalam Masyarakat, Jurnal Hukum Kanun Vol.XIII
No.35 April 2003, hlm.63

Universitas Sumatera Utara


secara negatif, dengan menempatkan di luar perang jelas tidak memadai lagi

dewasa ini.52 Warga sipil membutuhkan perlindungan yang lebih positif/baik dan

netralisasi dari perbuatan yang dilatarbelakangi oleh faktor politik, ekonomi,

kekuasaan dan lainnya, yang hanya menimbulkan penderitaan bagi Warga sipil

yang tidak ikut dalam konflik bersenjata tersebut. Oleh karena itu, Warga sipil

dibedakan secara tegas dengan pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam

konflik bersenjata tersebut. Disamping itu Warga sipil harus bersikap netral atau

tidak boleh ikut serta dalam konflik bersenjata.

Ketentuan Pasal 4 Konvensi Jenewa IV 1949 menetukan, orang-orang yang

dilindungi dalam Konvensi ini adalah mereka yang dalam suatu peristiwa

pendudukan, pada suatu saat tertentu dengan cara bagaimanapun juga ada dalam

tangan satu pihak dalam sengketa atau kekuasaan pendudukan yang bukan negara

mereka. Orang sipil dapat jatuh dibawah kekuasaan negara pendudukan dan untuk

itu diperlakukan perlindungan.

Pemerintah atau negara wajib melakukan penegakan hukum secara

maksimal guna melindungi orang-orang yang menjadi korban dari pelanggaran

hukum humaniter. Dasar Hukum bagi tindakan kejahatan dapat mendasarkan pada

Konvensi Den Haag IV tahun 1907 yang menyatakan bahwa penduduk sipil dan

pihak-pihak yang berperang akan tetap tunduk pada perlindungan dan prinsip-

prinsip pokok umum hukum internasional sebagai yang ditetapkan dalam

kebiasaan bangsa-bangsa yang beradab.

52
Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, hlm.103

Universitas Sumatera Utara


Prinsip-prinsip Hukum tersebut, seperti prinsip pembedaan, prinsip

kemanusiaan dan prinsip kesatria pada dasarnya telah menjadai landasan bagi

setiap negara dalam pengaturan hukum lebih lanjut dan bagi tindakan atau

perbuatan yang dilakukan oleh aparat negara atau kombatan yang terlibat dalam

konflik bersenjata. Dalam kenyataan, prinsip dan aturan yang telah ditetapkan

tersebut kurang dilaksanakan dengan sebenarnya oleh para pihak yang

bersengketa dalam konflik bersenjata tersebut, sehingga terjadi tindakan

kekerasan terhadap orang-orang yang seharusnya dilindungi.

Sebenarnya, semua konflik bersenjata yang terjadai pada umumnya,

mengharuskan pemerintah negara yang bersagkutan mengambil kebijakan lebih

tegas untuk melindungi dan menyelesaikan masalah tersebut secara tuntas dengan

cara yang damai. Kenyataan nya menunjukan bahwa banyak orang-orang menjadi

koraban hanya karena keegoisan dari para pihak bersengketa, dan hal ini dapat

dilihat dalam kasus Perang Suriah yang sudah berlangsung kurang lebih 6 tahun.

Jelasnya perlindungan terhadap warga sipil sangat lemah sekali, baik karena

penyeangan yang tidak tepat sasaran ataupun pemboman maupun akibat

kekerasan dari pihak yang bertikai yang kurang peduli bagi keselamatan Warga

sipil.

Ketentuan Pasal 3 common article sebagai ketentuaan minimal, telah

meletakkan kewajiban untuk melindungi kombatan yang tidak lagi bertempur.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa terhadap orang yang terlibat dalam

konflik bersenjata itu sendiri dilindungi oleh hukum humaniter internasional,

apalagi dengan warga sipil atau terhadap orang yang sama sekali tidak terlibat

Universitas Sumatera Utara


dalam konflik bersenjata tersebut harus mendapatkan perlindungan yang sangat

optimal dan maksimal, akan tetapi dalam kenyataannya yang paling banyak

menjadi korban dalam konflik bersenjata tersebut adalah orang-orang yang tidak

ikut dalam konflik bersenjata tersebut.

Sudah semestinya pihak-pihak yang terlibat dalam pertikaian atau konflik

bersenjata memperhatikan hak-hak penduduk sipil yang patut dilindungi dan

dihormati dengan menatti dan tidak melakukan tindakan pelanggran dengan

menyerang penduduk sipil yang sebenarnya bukan merupakan sasaran atau obyek

penyerangan dalam suatu pertikaian atau konflik bersenjata, sehingga tidak

menimbulkan korban yang tidak semestinya (collateral damage) bahkan pihak

yang bertikai dalam suatu konflik bersenjata juga tidak diperbolehkan menjadikan

penduduk sipil sebagai alat pertikaian atau konflik bersenjata, menyebarkan teror

dan kelaparan demi mendapatkan keuntungan terhadap jalannya pertikaian atau

konflik bersenjata tersebut.

2. Pengaturan Hukum Humaniter Internasional terhadap Obyek-obyek

Sipil

Dimana kenyataan dalam sebuah konflik bersenjata warga sipil yang

menjadi korban tidak hanya menderita karena terkena serangan langsung dari

sasaran konflik bersenjata, namun ada hal lain yang menyebabkan penderitaan

warga sipil menjadi sangat menderita akibat objek (fasilitas) sipil yang tidak dapat

digunakan sebagaimana fungsi dari kegunaanya. Objek (fasilitas) yang sangat

rawan terkena serangan dari konflik bersenjata seperti; Sekolah, Rumah Sakit,

Universitas Sumatera Utara


Tempat Ibadah, Bangunan budaya (besejarah), sumber makanan dan air, instalasi

yang mengandung tenaga listrik dan air, dan lain-lainya.

Oleh sebab itu Protokol Tambahan 1977, mengatur perlindungan objek sipil

dari sasaran-sasaran akibat dari adanya konflik bersenjata, teaptnya pengaturan ini

terdapat pada Pasal 57 dimana ditentukan sebagai dasar bahwa dalam melakukan

operasi militer harus selalu diusahakan untuk menyayangi/melindungi (spare)

penduduk sipil, orang sipil dan obyek sipil.

Ketentuan selanjutnya ditujukan kepada mereka yang merencanakan atau

menentukan suatu serangan. Mereka diwajibkan mengambil tindakan

pengamanan, diantaranya :

1) Meneliti benar-benar bahwa objek serangan bukan orang sipil atau objek

sipil dan bahwa objek tersebut tidak secara khusus mendapat perlindungan.

Objek yang akan diserang haruslah objek militer seperti yang ditentukan

dalam Pasal 52 ayat 2, dan objek-objek tersebut tidak dinyatakan sebagai

objek terlarang oleh protokol ini;

2) Mengambil tindakan yang perlu dalam memilih alat (means) dan cara

(methods) menyerang, dengan maksud untuk mencegah, atau sekurang-

kurangnya memperkecil adanya korban tak disengaja/kebetulan (incidental)

di kalangan penduduk sipil atau kerusakan pada objek sipil;

3) Menangguhkan penentuan serangan yang dapat diperkirakan/diharapkan

akan menimbulkan korban di kalangan penduduk sipil dan kerusakan pada

objek sipil yang lebih besar, dibandingkan dengan keuntungan militer yang

diperoleh dari serangan itu.

Universitas Sumatera Utara


Apabila ternyata bahwa : objek serangan bukan objek militer, atau objek

dilindungi secara khusus, atau serangan menimbulkan kerugian yang melebihi

manfaat militer, serangan harus dibatalkan (cancelled). Apabila suatu serangan

memengaruhi penduduk sipil, harus diberikan peringatan sebelumnya kecuali

apabila keadaan tidak mengizinkan. Di sini tidak ditentukan siapa yang harus

menilai apakah keadaan mengizinkan atau tidak. Dapat diperkirakan bahwa hanya

komandolah yang dapat membuat penilaian itu. Selanjutnya ditentukan bahwa

apabila dimungkinkan membuat pilihan di antara beberapa objek militer yang

memberikan keuntungan militer yang sama, harus dipilih objek yang dapat

menimbulkan kerugian kepada penduduk sipil dan objek sipil. Juga di sini

komandan atau perencana serangan yang dapat membuat keputusan ketentuan

semacam ini juga berlaku di laut dan di udara.

Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 57 ini benar-benar

mengharuskan para komandan serangan untuk memilih cara menyerang yang

sesuai dengan ketentuan tersebut. Dapat dipahami bahwa dengan adanya

ketentuan-ketentuan itu cara menyerang menjadi sangat dibatasi. Mungkin sekali

harus dipilih cara menyerang, yang dilihat dari segi militer kurang

menguntungkan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Humaniter

Internasional. Selain tindakan pengamanan seperti yang baru saja diuraikan, masih

ada tindakan-tindakan lain yang harus diperhatikan untuk mencegah atau

mengurangi efek-efek serangan terhadap penduduk sipil dan objek sipil. Pihak

bersengketa harus :

Universitas Sumatera Utara


1) Berusaha memindahkan penduduk sipil, objek sipil yang berada di bawah

pengawasan mereka, dari sekitar objek militer. Dalam hal ini harus

diperhatikan Pasal 49 dari Konvensi IV tentang deportasi.

2) Mencegah ditempatkannya objek militer di dalam kota atau wilayah yang

padat penduduknya.

3) Mengambil tindakan pengamanan lain untuk melindungi penduduk sipil dan

objek sipil yang berada di bawah pengawasannya terhadap bahaya yang

berasal dari operasi militer.

Masih ada ketentuan lain mengenai serangan yang perlu mendapat perhatian

para komandan, yaitu dilarangnya serangan membabi-buta (indiscriminate attack).

Pengertian serangan membabi-buta yaitu :

1) Serangan yang tidak ditujukan kepada objek militer tertentu;

2) Serangan dengan menggunakan cara atau alat bertempur yang tidak dapat

ditujukan kepada objek militer tertentu;

3) Serangan dengan menggunakan cara atau alat bertempur yang efeknya tidak

dapat dibatasi, seperti yang ditentukan dalam protokol ini.

Denagn demikian, dapat dikatakan serangan membabi-buta mempunyai sifat

tidak dapat membedakan antara objek militer dengan objek sipil. Sebagai contoh

dari apa yang dimaksudkan dengan serangan yang membabi-buta dapat

dikemukakan :

1) Serangan yang dilakukan dengan pemboman, dengan cara atau alat apapun,

yang memperlakukan sebagai satu objek militer sejumlah objek militer yang

Universitas Sumatera Utara


berlainan dan terpisah, yang terletak di dalam suatu kota, dusun atau

wilayah, dimana terdapat pula konsentrasi penduduk sipil dan objek sipil;

2) Serangan yang dapat diharapkan akan menimbulkan korban jiwa pada

penduduk sipil, luka-luka pada orang sipil, kerusakan pada objek sipil yang

berlebihan, dibandingkan dengan hasil yang diharapkan.

Protokol I, berbeda dengan Konvensi-konvensi sebelumnya. Objek-objek

yang mungkin dapat dijadikan sasaran serangan, dibagi dalam dua golongan besar

dengan batasan tertentu, yaitu objek militer dan objek sipil. Pembagian semacam

ini perlu diadakan karena objek yang dapat diserang hanyalah objek militer saja.

Adapun batasan dari objek sipil terdapat pada Pasal 52 ayat 1. Secara

negatif dinyatakan bahwa objek sipil (civilian object) adalah semua objek yang

bukan objek militer seperti dicantumkan dalam Pasal 52 ayat 2. Di dalam ayat 1

ditegaskan bahwa objek sipil tidak boleh dijadikan objek suatu serangan atau

reprisal. Mengenai objek militer, ayat 2 tidak memberikan batasan yang jelas.

Dinyatakan bahwa objek militer adalah terbatas pada objek-objek yang karena:

sifat, lokasi, tujuan atau penggunaannya meberikan saham (contribution) yang

efektif untuk suatu aksi militer. Selanjutnya penghancuran atau perebutan atau

netralisasi untuk sebagian atau seluruhnya dari objek itu, akan memberikan

keuntungan militer nyata (difinite) pada saat itu.

Mengingat bahwa batasan tersebut cukup luas sehingga dapat menimbulkan

tafsiran yang berbeda-beda, ayat 3 memberikan petunjuk apa yang harus

dilakukan apabila timbul keragu-raguan, yaitu apakah suatu objek itu merupakan

objek militer atau bukan. Dalam hal demikian, objek tersebut harus dianggap

Universitas Sumatera Utara


sebagai objek sipil. Sebagai contoh disebut bahwa apabila diragukan apakah suatu

tempat ibadah atau sebuah sekolah dipakai untuk kepentingan militer, objek

tersebut harus dianggap bukan objek militer. Selain ada pembedaan antara objek

sipil dan militer, ada juga ketentuan yang secara tegas melarang, atau dengan kata

lain, objek-objek tersebut mendapat perlindungan. Objek-objek yang dilindungi

ini dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sebgai berikut :

1) Objek yang dilindungi secara umum

Objek yang termasuk golongan ini adalah sebagai berikut :

a. Objek kebudayaan-tempat ibadah

Dalam Pasal 53 dikatakan bahwa dilarang untuk melakukan tindakan

permusuhan (act of hostilities) terhadap monumen bersejarah, benda-benda

budaya atau tempat-tempat ibadah, yang merupakan peninggalan budaya

suatu bangsa. Dilarang pula menggunakan objek-objek tersebut untuk

keperluan militer.

b. Objek yang mutlak perlu untuk kelangsungan hidup penduduk sipil.

Mengenai hal ini, Pasal 54 mengatakan bahwa dilarang untuk membiarkan

penduduk mati kelaparan (starvation) sebagai suatu cara berperang.

Dilarang pula untuk menyerang, menghancurkan atau merusak objek yang

mutlak diperlukan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil, seperti bahan

makanan, ternak, daerah pertanian dan sumber serta instalasi air minum,

dengan motif apapun. Di antara motif yang disebut ialah untuk membiarkan

penduduk sipil mati kelaparan agar penduduk pindah dan seterusnya. Dalam

pasal itu seterusnya dinyatakan bahwa larangan tersebut di atas tidak

Universitas Sumatera Utara


berlaku apabila objek tersebut dipakai untuk kepentingan militer. Dalam

ayat 5 dinyatakan bahwa apabila oleh salah satu pihak dianggap sangat

perlu, dilihat dari segi kepentingan militer, pihak tersebut dapat melakukan

hal-hal yang dinyatakan terlarang itu.

c. Perlindungan terhadap „Natural Environment‟

Dalam suatu perang atau pertikaian bersenjata diusahakan jangan sampai

„natural environment‟ mengalami kerusakan yang hebat secara luas (wide

spread), untuk waktu yang lama. Perlindungan ini mencakup larangan

penggunaan cara atau metode perang yang bertujuan untuk merusak

„natural environment‟ sehingga membahayakan kelangsungan hidup

penduduk. Serangan terhadap „natural encironment‟ sebagai reprisal juga

dilarang.

d. Perlindungan terhadap instalansi yang mengandung tenaga berbahaya

(dangerous forces)

Pasal 56 yang mengatur hal ini terdiri dari tujuh ayat. Pertama, yang

dimaksudkan dengan bangunan instalansi yang mengandung tenaga

berbahaya adalah bendungan (dams), tanggul (dikes) dan Pusat Pembangkit

Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Bangunan-bangunan seperti itu tidak boleh

menjadi objek serangan sekalipun objek itu merupakan objek militer apabila

serangan semacam itu akan melepasakan tenaga membahayakan penduduk.

Objek-objek militer lain yang terletak pada atau dekat dengan

bangunan/instalansi tersebut juga tidak boleh diserang apabila serangan

tersebut dapat melepaskan tenaga yang membahayakan penduduk.

Universitas Sumatera Utara


Ayat 2 memberikan pengecualian terhadap ketentuan di atas. Perlindungan

tersebut hapus apabila:

a) Suatu bendungan atau tanggul tidak dipakai untuk fungsi normalnya, tetapi

digunakan untuk secara langsung membantu suatu operasi militer dan

serangan tersebut merupakan satu-satunya untuk mengakhiri bantuan

tersebut;

b) Suatu PLTN memberikan tenaga listrik untuk membantu secara langsung

sautu operasi militer;

c) Objek militer pada kota dekat bangunan/instalansi tersebut dipakai untuk

secara langsung membantu operasi militer.

Ayat 7 menentukan bahwa bangunan/instalansi semacam itu harus diberi

tanda yang sudah ditentukan, yaitu tiga lingkaran Orange.

2) Objek yang dilindungi secara khusus.

Bab V, Seksi I dari Bagian IV mengatur soal daerah (localities) dan zona

(zones) yang berbeda di bawah lindungan khusus. Pengertian daerah di sini adalah

daerah yang tidak dipertahankan (nondefended localities), dan zona yang

didemiliterisasi (demiliterized zones).

a. Daerah yang tidak dipertahankan.

Di dalam Pasal 59 dengan tegas ditentukan bahwa pihak bertikai dilarang

menyerang daerah yang tidak dipertahankan dengan cara apapun. Pihak bertikai

dapat menyatakan sebagai daerah yang tidak dipertahankan setiap tempat yang

didiami, dekat atau dalam mana angkatan bersenjata yang bermusuhan sedang

dalam kontak, sedangkan daerah/tempat itu dapat diduduki lawan. Daerah yang

Universitas Sumatera Utara


dapat dinyatakan sebagai daerah yang tidak dipertahankan harus memenuhi

syarat:

a) Semua kombatan, semua senjata dan alat militer yang mobil harus di

evakuasi;

b) Instalansi tetap militer yang berada di situ tidak boleh dipakai untuk

kepentingan yang bersifat permusuhan;

c) Tidak dilakukan kegiatan untuk membantu operasi militer.

b. Zona yang didemiliterisasi

Pasal 60 mengatur zona yang didemiliterisasi. Pihak-pihak yang bertikai

dilarang memperluas operasi militer ke daerah yang telah disepakati bersama

sebagai zona yang diidemiliterisasi. Persetujuan untuk membentuk zona yang

demikian harus memenuhi syarat-syarat antara lain :

a) Harus dinyatakan secara tegas (express agreement);

b) Dapat dilakukan secara tertulis atau dengan lisan;

c) Dapat diadakan secara langsung (antara pihak yang bertikai) atau melalui

negara pelindung;

d) Harus ditentukan batas-batas zona seteliti mungkin dan apabila perlu

dicantumkan cara pengawasan;

e) Persetujuan tersebut dapat diadakan dalam masa damai, atau setelah

permusuhan pecah.

Dengan adanya pengaturan terhadap objek sipil yang telah diatur dalam

Protokol Tambahan I 1997 ini masih belum semua terikat dan benar-benar tunduk

pada peraturan ini, karena nyata/fakata di lapangan yang terjadi di dalam konflik

Universitas Sumatera Utara


bersenjata masih banyak objek sipil yang terkena serangan dari sasaran militer

yang sehingga membuat penderitaan warga sipil semakin memburuk dalam situasi

konflik bersenjata.53

C. Masalah-Masalah yang timbul terhadap Warga Sipil dan Obyek Sipil

akibat Perang Suriah

Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan

yang tinggi. Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara

lain bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip

tersebut ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan

sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan

tersebut.

Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan

dilakukan oleh dua negara dengan masing-masing menggunakan prajuritnya

bahkan prajurit sewaan. Saat ini, bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi dalam

pemerintahan dan dukungan teknologi yang cepat, maka berubahlah perang dan

konflik antar negara menjadi sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi,

perang dan konflik telah melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang

bersangkutan. Dengan alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun

berada akan dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan

informasi lainnya sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya.

53
Prof.KGPH.Haryomataram, S.H, Pengantar Hukum Humaniter, Op.cit, hlm.177-193.

Universitas Sumatera Utara


Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan

berkekuatan militer terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan

dengan kekuatan militer dapat berupa satu ofensif luas yang dinamakan invasi,

juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan

adanya konflik bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan

kemampuan senjata yang dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar

Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat terjadi di dalam suatu

Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau gerakan

separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik

yang bersifat nasional maupun internasional.

Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha

domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena

peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk

perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama atau dapat melebihi.

Dewasa ini (pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara

yang dipandang akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas

suatu Negara. Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan

berakibat fatal bagi keutuhan sebuah Negara. Pengalaman penanganan konflik

etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya,

menyadarkan banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk

pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional

mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik

menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil,

Universitas Sumatera Utara


ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung konflik bagi

aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang dipicu oleh

masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum kunjung selesai

di India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas

tersendiri sejak akhir abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat

dan jenis-jenis konflik yang mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan

pertahanan.

Dalam Konflik bersenjata di Suriah ini merupakan perang saudara yang

terjadi akibat adanya kepentingan politik dan kekuasaan, dan aktor dari konflik di

Suriah ini antara lain adalah Pemerintahan Suriah yang dipimpin Oleh Bashar Al

Assad yang berkonflik dengan Oposisi yang menentang pemerintahan Assad,

yang terbagi menjadi 2 kelompok oposisi, yaitu kelompok pertama adalah Free

Syrian Army (FSA) dan kedua Syrian National Council (SNC) dan ada juga

oposisi yang dibentuk atas adanya inisiatif intervensi negara Amerika yaitu Syrian

National Council for Opposition and Revolutionary Forces (SNCORF). Konflik

Suriah ini sudah berlangsung kurang lebih hampir 7 tahun lamanya dan korban

jiwa sudah sangat banyak serta kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat konflik

tersebut sudah sangat parah, baik kerusakan obyek-obyek sipil maupun

lingkungannya.

Universitas Sumatera Utara


Dalam konflik bersenjata Suriah masyarakat/warga sipil dan obyek sipil

tidak luput dari sasaran dari konflik tersebut, baik terhadap warga sipil biasanya

terjadi hal-hal sebagai berikut :

1) Terjadi kekerasan tubuh maupun nyawa terhadap seseorang

2) Penyanderaan

3) Pelecehan Martabat, pemerkosaan

4) Penjatuhan dan pelaksanaan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin

hak-hak seseorang

5) Kelaparan terhadap setia orang

6) Hialngnya Mata Pencaharian seseorang

7) Membludaknya para pencari suaka (pengungsi/imigran)

8) Perbudakan dan perdagangan orang. dan masih banyak yang lainnya.

Sedangkan dampak yang terjadi akibat adanya konflik bersenjata terhadap

obyek sipil, sebagai berikut :

1) Hancurnya fasilitas-fasilitas umum seperti, Rumah Sakit, Sekolah Tempat

Ibadah Lembaga-lembaga Hukum, dan lain-lainnya

2) Hancurnya sumber kelangsungan kehidupan bagi masyarakat sipil, seperti

sumber makanan, sumber minum, sumber listrik, dan lain-lainnya

Dari berbagai masalah yang timbul terhadap warga sipil dan obyek sipil

yang berakibat dari adanya konflik bersenjata di Suriah tersebut sebenarnya

semua sudah dilindungi sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ada dan

dibuat dalam bentuk Konvensi-konvensi Internasional, tetapi dalam kenyataan nya

peraturan-peraturan tersebut seakan-akan hanya sebagai sebuah pajangan kosong

Universitas Sumatera Utara


yang sama sekali tidak ditaati sama sekali. Padahal pengaturan-pengaturan yang

mengatur Konflik bersenjata ini sangat penting adanya suatu kesadaran untuk

mentaati nya, karena ini menyangkut akan kelangsungan suatu umat manusia dan

dunia.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PERLINDUNGAN WARGA SIPIL DAN OBYEK SIPIL DALAM PERANG

SURIAH DITINJAU DARI PRINSIP MARTENS CLAUSE

A. Latar Belakang Penyebab Timbulnya Perang di Suriah

Dalam konflik di Suriah bukanlah perbedaan mazhab keagamaan melainkan

politik dan ekonomi dari oposisi penentang Assad dan negara-negara pendukung

oposisi, ada tiga pihak yang berperan dan terlibat dalam konflik ini, Presiden

Bashar al-Assad dan para pendukungnya, Oposisi Suriah, dan kelompok Jihadis.

Konflik ini berawal dari sebuah protes terhadap penangkapan beberapa

pelajar di kota Darra. Ketika itu Maret 2011, 15 pelajar berumur 9-15 tahun

menulis slogan-slogan anti pemerintah di tembok-tembok kota. Slogan-slogan itu

berbunyi, “Rakyat mengiginkan rezim turun”. 54 Polisi Suriah yang dipimpin oleh

Jendral Atef Najib, sepupu Presiden Bashar al-Assad menangkap dan

memenjarakan anak-anak tersebut. Akibatnya, lahirlah gelombang protes yang

menuntut pembebasan anak-anak tesebut. Reaksi tentara terhadap protes itu

berlebihan, sehingga menembaki para pemerotes yang mengakibatkan 4 orang

meninggal. Reaksi itu tidak meredakan para pemerotes, sebaliknya semakin

meluas dari kota Daraa menuju kota-kota pinggiran Latakia dan kota Banyas di

Pantai Mediterania atau Laut Tengah, Homs, Ar Rasta, dan Hama di Suriah Barat,

serta Deir es Zor di Suriah Timur.

54
Dina Y. Sulaeman, Praha Suriah: Membongkar Persekongkolan Multinasional
(Depok: IMaN, 2013)hlm. 100.

Universitas Sumatera Utara


Protes dan demonstrasi ini kemudian berkembang menjadi perang sipil yang

dahsyat. Perang ini tidak saja menggunakan senjata konvesional sebagaimana

layaknya yang digunakan dalam perang, tapi juga menggunakan senjata kimia.55

Ada pandangan yang menyatakan bahwa perang yang saat ini terjadi Suriah

adalah perang antara mazhab Syi‟ah yang diwakili oleh Bashar al-Assad dan para

penentangnya yang bermazhab Sunni. Pandangan ini dibangun atas fakta yang

terjadi di Suriah: ada dua kekuatan besar yang sedang bertarung, yakni Arab Saudi

yang bermazhab Sunni dan Iran bermazhab Syi‟ah. Fakta lainnya adalah bahwa

pemerintahan Assad didukung oleh Iran dan gerakan Hizbullah, Iran merupakan

negara yang bermazhab Syi‟ah dan Hizbollah adalah gerakan berhaluan Syi‟ah

yang bermarkas di Lebanon. Sebaliknya para penentang Assad mendapat

dukungan negara-negara yang bermazhab Sunni seperti Arab Saudi, Quwait, dan

Afganistan.

Dengan merujuk peta konflik yang terjadi di Suriah, pertanyaan menarik

yang perlu diajukan adalah apakah benar konflik di Suriah kemudian bisa

dikatakan sebagai konflik yang dilatarbelakangi oleh perbedaan kepercayaan

(Agama)? Terlalu sederhana untuk menyatakan bahwa konflik tersebut

merupakan konflik teologis, meskipun asumsi tersebut juga tidak bisa diabaikan

sama sekali. Sebuah konflik terjadi tidak disebabkan oleh satu sebab tunggal.

Konflik selalu lahir oleh sebab yang kompleks dan diliputi oleh banyak faktor dan

kepentingan. Isu agama biasanya merupaka salah satu faktor pemicu di antara

faktor-faktor yang lahir sebagai penyebab konflik.

55
Merdeka.com, “Mereka mau hancurkan Suriah, bukan sekadar tumbangkan Assad,” 24
September 2013.

Universitas Sumatera Utara


Atas dasar pandangan ini, dapat dimengerti kemudian, jika para analis

konflik Suriah menyatakan bahwa konflik tersebut bukan konflik perbedaan

teologis, antara Sunni versus Syi‟ah.56 Dalam sebuah wawancara dengan jaringan

AS Fox News, Rabu 18 September 2013, Bashar al-Assad bahkan menyebut

konflik yang terjadi di Suriah bukan “perang saudara” melainkan telah diserang

oleh puluhan ribu pejuang jihad asing yang bersekutu dengan al-Qaeda. 57 Jika

bukan konflik agama dan juga bukan konflik saudara, lalu apa penyebab lahirnya

konflik di Suriah, siapa saja pihak yang terlibat dan memainkan peran kunci

dalam konflik tersebut dan apa dampaknya bagi rakyat Suriah dan dunia

internasional.

1) Kronologi Konflik Suriah

Untuk mengetahui sumber konflik Suriah kita perlu mengetahui kronologi

konfliknya, karena pada runtutan peristiwa konflik itulah sejatinya tersimpan

pengetahuan apa yang menjadi sebab lahirnya konflik di Suriah.

Konflik Suriah dapat dirunut dari peristiwa protes yang dilakukan oleh

sekelompok pelajar saat mereka menulis slogan-slogan antipemerintah di tembok-

tembok kota.58 Slogan-slogan itu berbunyi, “Rakyat menginginkan rezim turun.”59

Kepolisian pemerintah Suriah menangkap para pelajar itu kemudian

memenjarakan mereka selama satu bulan. Selama dalam masa penahanan, para

pelajar itu mengalami penyiksaan, hal itu diketahui setelah para pelajar itu

dibebaskan.

56
Dina Y. Sulaeman, Prahara Suriah, Op.cit.
57
www.antaranews.com, “Bashar: Suriah bukan perang saudara, tetapi diserang al-
Qaida,” 19 September 2013.
58
Ibid
59
Siti Muti‟ah, “Pergolakan Panjang Suriah, hlm. 5.

Universitas Sumatera Utara


Mengetahui penyiksaan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, tanggal 11

Maret 2011 masyarakat kemudian melakukan aksi demontrasi yang digelar di

Kota Barat-Daya Daraa yang memprotes penyiksaan yang dilakukan oleh aparat

kepolisian. Pasukan keamanan berupaya membubarkan demonstrasi, namun para

demonstran tak bergeming, sampai akhirnya pasukan keamanan melepaskan

tembakan ke arah para demonstran.

Pada 23 Maret 2011, demonstrasi kembali melanda kota Daraa, pasukan

keamanan kembali melepaskan tembakan untuk membubarkan para demonstran,

pada kasus ini 20 orang demonstran dikabarkan tewas. Menyusul insiden tersebut,

Presiden Bashar al-Assad, mengumumkan bahwa pemerintah sedang

mempertimbangkan untuk menerapkan reformasi politik, termasuk menghapus

pembatasan partai politik dan menghapus hukum darurat Suriah yang telah

diterapkan selama 48 tahun. Namun pengumuman itu diabaikan oleh para tokoh

oposisi Suriah. Pada 25 Maret 2011, setelah salat Jum‟at, unjuk rasa kembali

mengemuka di kota-kota seluruh negeri. Pasukan keamanan kembali berupaya

membubarkan aksi unjuk rasa itu, namun unjuk rasa terus berjalan bahkan

bertambah intens. Protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh oposisi Suriah

mendapat perlawanan dari rakyat Suriah pro-pemerintah, perlawanan itu

ditunjukkan dengan melakukan demonstrasi besar-besaran di Kota Damaskus.

Pada 29 Maret 2011 pemerintah Suriah mengumumkan pengunduran diri dari

kabinet, hal ini dilakukan untuk memenuhi tuntutan reformasi yang didengungkan

oleh para demonstran. Satu hari setelah, pengumuman itu, Presiden Assad tampil

untuk pertama kalinya di depan publik sejak kerusuhan melanda Suriah, dan

Universitas Sumatera Utara


menyampaikan pidato di hadapan dewan legislatif untuk meredam protes para

demonstran dan mengklaim bahwa protes itu terjadi karena konspirasi yang

dilakukan asing. Tetapi ia juga mengakui, bahwa beberapa kekhawatiran para

demonstran memang patut diperhatikan. Assad menolak ajakan oposisi untuk

melakukan percepatan reformasi dan dan mengatakan bahwa pemerintah akan

melanjutkan rencananya untuk memperkenalkan reformasi secara bertahap.

Setelah pidato tersebut, media pemerintah Suriah mengumumkan bahwa Assad

telah membentuk sebuah komisi untuk mempelajari kemungkinan pencabutan

hukum darurat.

Demonstrasi telah terjadi secara sporadis di seluruh negeri, pemerintah

Suriah terus menghubungkan kerusuhan kepada konspirasi asing dan ketegangan

sektarian. Pemerintah membuat beberapa konsesi yang ditujukan kepada Muslim

Suriah konservatif dan minoritas Kurdi. Pada 6 April 2011, pemerintah Suriah

berusaha untuk menjawab keresahan Muslim konservatif dengan menutup satu-

satunya kasino Suriah dan membatalkan hukum 2010 yang melarang guru

perempuan mengenakan niqab, cadar yang menutupi wajah. Pemerintah juga

mengumumkan bahwa Noruz, festival Tahun Baru yang di Rayakan oleh orang

Kurdi sebagai hari libur nasional.

Namun demikian, protes terus berlanjut, dan menyebar ke kota lainnya,

yang mengakibatkan terjadinya peningkatan penggunaan kekerasan oleh pasukan

keamanan Suriah. Pada 8 April 2011, pasukan keamanan menembaki demonstran

di beberapa kota Suriah, menewaskan sedikitnya 35 orang. Menyusul sebuah

laporan bahwa jumlah korban tewas telah mencapai lebih dari 200 orang.

Universitas Sumatera Utara


Muncullah kecaman internasional terhadap pemerintah Suriah. Sejumlah

organisasi pembela HAM dan para kepala negara menyerukan pemberhentian

kekerasan.

Pasukan keamanan terus menggunakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa

di seluruh negeri, Assad menunjuk kabinet baru dan berjanji untuk melembagakan

reformasi politik dan mencabut hukum darurat Suriah. Pada tanggal 19 April

kabinet mencabut undangundang darurat dan membubarkan Mahkamah Agung

Keamanan Negara Suriah. Pengadilan yang khusus digunakan untuk mengadili

pihakpihak anti-pemerintah. Namun pemerintah Suriah juga mengambil tindakan

untuk mempertahankan kekuasaannya dengan berupaya untuk meredam protes.

Pemerintah Suriah mengeluarkan peraturan yang mengharuskan masyarakat untuk

mendapatkan izin dari pemerintah sebelum melakukan demonstrasi. Menteri

dalam negeri Suriah yang baru diangkat mendesak rakyat Suriah agar tidak

melakukan demonstrasi dengan menyatakan bahwa pemerintah akan terus

menganggap demosntrasi sebagai ancama nasional.

Segera setelah hukum darurat, pemerintah Suriah meningkatkan penggunaan

kekerasan terhadap demonstran. Pada tanggal 22 April 2011 pasukan keamanan

menembaki demonstran yang berkumpul setelah salat Jumat, menewaskan sekitar

75 orang, di tengah kecaman internasional yang dipicu oleh maraknya aksi

pembunuhan, pemerintah Suriah melancarkan strategi baru untuk membungkam

protes masyarakat dengan menyebarkan sejumlah besar pasukan yang dilengkapi

dengan tank dan kendaraan lapis baja ke kota-kota Daraa, Baniyas, Homs, dan

tiga lokasi yang dijadikan sebagai pusat antipemerintah. Di beberapa daerah di

Universitas Sumatera Utara


negeri ini, pemerintah memberlakukan pemadaman akses komunikasi, mematikan

layanan telepon dan internet. Di Daraa, pasukan keamanan memotong pasokan air

dan listrik.

Seiring dengan demonstrasi yang terus menyebar di Suriah, pemerintah

meningkatkan perlawanan terhadap para pengunjuk rasa dengan kekuatan militer.

Pada awal Mei, protes anti-pemerintah telah mencapai Damakus. Protes yang

terjadi di pusat kota Damaskus ditangani dengan aksi kekerasan pasukan

pemerintah Suriah juga mendirikan barikade keamanan di beberapa pinggiran kota

Damaskus upaya untuk membatasi gerakan para demonstran. Menyusul insiden

tersebut. Uni Eropa (UE) menjatuhkan sanksi berupa pelarangan perjalanan dan

pembekuan aset kepada sejumlah pejabat senior Suriah yang dianggap

bertanggungjawab dalam penanganan demonstrasi. Selain itu, UE juga

menerapkan embargo senjata untuk Suriah. Seiring dengan kekerasan yang terus

terjadi. Suriah juga semakin terisolasi dari sekutu regionalnya. Pada bulan Mei,

Recep Tayyip Edogan, Perdana Menteri Turki, mengutuk penggunaan kekerasan

terhadap warga sipil. Beberapa minggu kemudiaan, Turki memberikan dukungan

untuk pihak demonstran dengan mengadakan sebuah konferensi bagi para anggota

oposisi Suriah.

Pada tanggal 6 Juni Kantor berita Suriah melaporkan bahwa 120 tentara

Suriah disergap dan dibunuh oleh sekelompok orang bersenjata di kota utara Jisr

al-Shugur. Masyarakat setempat menyangsikan kebenaran berita tersebut dengan

menyatakan bahwa tentara Suriah dibunuh oleh pasukan pemerintah karena

menolak untuk menembaki demonstran. Menanggapi insiden tersebut pihak

Universitas Sumatera Utara


militer Suriah meluncurkan serangan yang berat menyebabkan ribuan warga

melarikan diri dan melintasi perbatasan Turki. Rezim Assad terus menggunakan

kekerasan terhadap para pengunjuk rasa di bulan Juli dan Agustus, serta

meluncurkan serangan militer terhadap sejumlah Kota termasuk Hammah dan

Latakia. Pertumpahan darah terus menuai kecaman internasional yang

menyerukan Assad untuk mundur dari jabatannya sebagai Presiden.

Pada awal November 2011, pejabat Suriah menyetujui inisiatif Liga Arab

yang menyerukan pemerintah Suriah untuk menghentikan kekerasan terhadap

para demontrans menarik mundur tank dan kendaraan lapis baja dari kota-kota,

dan membebaskan para tahanan politik. Beberapa pihak menilai persetujuan

pemerintah Suriah sebagai taktik untuk mengulur waktu. Satu hari kemudian

kekerasa kembali terjadi di kota Homs.

Di bawah tekanan internasional, pemerintah Suriah pada bulan Desember

mengizinkan kunjungan delegasi Liga Arab untuk memantau proses implementasi

dari strategi tersebut. Meskipun kekerasan terus terjadi, penilaian yang diberikan

oleh tim pemantau cenderung positif sehingga menuai kritik dari kelompok HAM

dan oposisi Suriah. Pada pertengahan Januari 2012, kredibilitas delegasi yang

telah mengundurkan diri mengklaim bahwa pasukan pemerintah Suriah telah

memberikan laporan palsu dari rekaman video yang direkayasa. Setelah beberapa

negara Arab menarik anggota tim mereka dari posisi sebagai observer Liga Arab

secara resmi menangguhkan keberlanjutan misi pemantau pada 28 Januari dengan

alasan kekerasan.

Universitas Sumatera Utara


Setelah kegagalan misi pemantau dari Liga Arab kekerasan terus meningkat.

Pada awal Februari 2012, tentara Suriah melancarkan serangan kota Homs dengan

membombardir wilayah yang dikuasai oposisi selama beberapa minggu. Pada

bulan yang sama, Liga Arab dan PBB bersama-sama menunjuk Koffi Annan,

mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai utusan

perdamaian untuk Suriah. Upaya Annan untuk penghentian kekerasan

sebagaimana dihadapi Liga Arab pada tahun 2011, digagalkan oleh keengganan

rezim Suriah untuk mematuhi perjanjian yang telah disepakati. Gencatan senjata

yang disuarakan oleh PBB berhasil mengurangi angka kekerasan pada

pertengahan April. Namun gencatan senjata hanya bertahan selama beberapa hari

sebelum konflik antara pasukan pemerintah dan oposisi kembali terjadi. PBB

menghentikan operasi pemantauan pada bulan Juni atas alasan keamanan. Akibat

peningkatan jumlah kekerasan yang terjadi selama musim panas 2012, Annan

mengundurkan diri pada bulan Agustus dan digantikan oleh diplomat Aljazir,

Lakhdar Brahimi.

Pada awal 2012, pengamat internasional dan anggota oposisi menganggap

bahwa Dewan Nasional Suriah yang berbasis di Instanbul masih terlalu lemah

untuk dapat mewakili kelompok oposisi Suriah. Pada bulan November, pemimpin

oposisi Suriah mengumumkan pembentukan koalisi baru yang disebut Koalisi

Nasional untuk Revolusi Suriah dan Kekuatan Militer Oposisi Koalisi Nasional

Suriah. Dalam satu bulan koalisi mendapat pangakuan dari berbagai negara

sebagai wakil sah rakyat Suriah. Dalam satu bulan berikutnya, sejumlah negara

Universitas Sumatera Utara


mengakui Koalisi Nasional Suriah sebagai pihak yang secara efektif dapat

mewakili kelompok oposisi.

Pada akhir tahun 2012, situasi militer tampaknya sudah mendekati jalan

buntu. Pejuang pemberontak menguasai wilayah utara Suriah namun menghadapi

kesulitan dalam penyediaan peralatan, persenjataan, dan aspek organisasi.

Sementara itu, pasukan pemerintah juga semakin lemah akibat sejumlah aparatur

yang berbalik memihak oposisi. Pertempuran masih berlanjut setiap hari di

wilayah yang diperebutkan, menyebabkan semakin tingginya korban tewas dari

masyarakat sipil.

Dengan minimnya perkembangan yang terjadi di Suriah, negara-negara

sekutu yang memihak pemerintah Suriah dan pemberontak sama-sama

meningkatkan dukungan mereka yang menyebabkan meningkatnya kemungkinan

perang sipil. Upaya Turki, Arab Saudi, dan Qatar untuk mendanai dan

mempersenjatai pihak pemberontak semakin terlihat pada akhir 2012 dan awal

2013, sementara pemerintah Suriah terus menerima senjata dari Iran dan

kelompok militan Libanon, Hizbullah. Akhir tahun 2012, Hizbullah juga mulai

mengirim para pejuangnya sendiri ke wilayah Suriah untuk melawan para

pemberontak.

Babak baru yang memungkinkan penggunaan aksi militer internasional di

wilayah Suriah semakin menguat setelah adanya dugaan penggunaan senjata

kimia di pinggiran kota Damaskus oleh rezim Assad yang menewaskan ratusan

orang pada 21 Agustus 2013. Kelompok oposisi Suriah mengklaim bahwa

pasukan pro- Assad telah melakukan serangan tersebut. Pejabat Suriah

Universitas Sumatera Utara


menyangkal penggunaan senjata kimia dan menegaskan bahwa apabila senjata

kimia dipergunakan dalam serangan maka kesalahan berada pada pasukan

pemberontak. Utusan PBB menemukan bukti senjata kimia di beberapa lokasi di

Suriah. Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis mengecam penggunaan senjata

kimia oleh rezim Assad dan berencana untuk melakukan aksi militer. Assad juga

menyatakan untuk melawan apa yang ia sebut sebagai agresi Barat.

Kemungkinan terjadinya intervensi militer di Suriah mulai memudar pada

akhir Agustus. Sebagian besar masyarakat Amerika dan Inggris menentang

rencana aksi militer. Upaya Inggris untuk melakukan serangan militer Suriah

digagalkan oleh Perlemen pada tanggal 29 Agustus. Voting yang diadakan di

Kongres Amerika juga diundur, pada tanggal 10 September. Sementara itu, jalur

diplomasi semakin gencar dilakukan oleh berbagai pihak yang menghasilkan

kesepakatan antara Rusia, Suriah dan Amerika Serikat pada tanggal 14 September

untuk menempatkan semua senjata kimia yang dimiliki Suriah dibawah kontrol

internasional.

2) Sumber Konflik

Ada beragam pandangan yang bisa dikemukakan terkait masalah yang

menjadi sumber utama konflik Suriah. Pertama, masalah sosial, ekonomi dan

politik di dalam negeri yang dihadapi oleh Suriah. Masalah-masalah itu antara lain

berupa tingginya jumlah pengangguran, tingginya inflasi, terbatasnya kesempatan

untuk mobilitas sosial, pembatasan kebebasan politik, dan aparat keamanan yang

represif.

Universitas Sumatera Utara


Kedua, tuntutan sebagian penduduk Suriah agar dilakukan reformasi dan

penggatian rezim Bashar al-Assad. Sejak tahun 1963, pemerintahan Suriah

didominasi oleh Partai Baath, kemudian keluarga al-Assad, yakni Hafidz al-Assad

yang memerintah sejak tahun 1970 hingga kematiannya di tahun 2000, dan

digantikan oleh putranya, yakni Bashar al-Assad dan memerintah sejak tahun

2000 sampai dengan sekarang. Selama empat puluh tahun di bawah pemerintahan

klan Assad (Hafez al-Assad dan anaknya Bashar al-Assad) pembangunan sosial

dan ekonomi Suriah masih jauh dari memuaskan. Suriah tergolong dalam negara

berkembang berpendapatan menengah dan Perekonomiannya ditopang terutama

oleh minyak dan pertanian.

Dalam situasi seperti ini, sangat wajar bila muncul demo anti pemerintahan

dan keinginan perubahan rezim. Clan Assad memang telah berkuasa terlalu lama

sehingga wajar ada kejunahan politik. Para pengunjuk rasa menuntut reformasi,

mundurnya Presiden Bashar Al-Assad, dibukannya kebebasan mendirikan partai

politik, kebebasan berbicara, dan perbaikan ekonomi. Aksi demo tersebut

ditanggapi oleh pemerintah Suriah telah memberikan beberapa konsep dan

memenuhi sebagian tuntutan rakyat. Namun pandangan bahwa faktor penyebab

konflik Suriah adalah tuntutan penggantian rezim Bashar Al-Assad sebagai

dampak dari Arab spring ditolak oleh aktivis kemanusiaan MER-C Joserizal

Jurnalis. Menurutnya 60 , jika tuntutan penggantian rezim merupakan faktor

penyebab konflik dan peperangan di Suriah mengapa hal yang sama tidak terjadi

di Qatar dan Arab Saudi, kedua negara itu menurutnya tidak lebih demokratis

60
www.voa-islam.com, “Diskusi terbuka: inilah pandangan Joserizal tentang konflik
Suriah.” 27 Juni 2013.

Universitas Sumatera Utara


dibandingkan dengan Suriah. Tapi mengapa Arab Spring yang menuntut

demokratisasi justru terjadi di Suriah setelah sebelumnya terjadi di Tunisia, Mesir

dan Libya.

Dalam pandangan Joserizal, tuntutan demokrasi di Suriah adalah pemicu

konflik dan peperangan, bukan faktor utama penyebab konflik dan peperangan itu

sendiri. Dalam pandangan Jose ada dua faktor menjadi penyebab konflik di Suriah

yang tak kunjung selesai sampai sekarang, Pertama, Suriah adalah negara yang

kuat secara militer dan intelejen, Kedua Suriah selalu menunjukan sikap

perlawanan terhadap Israel. Kondisi Suriah yang demikian membuat negara-

negara seperti Israel, Amerika Serikat, NATO, Qatar, Arab Saudi dan Turki

memberikan dukungannya kepada oposisi yang sedang berjuang menumbangkan

Assad. Konflik dan peperangan di Suriah dengan demikian lebih disebabkan oleh

faktor kepentingan negara-negara di Sekeliling Suriah, yakni Qatar, Arab Saudi

dan Israel.

Ketiga, faktor lain yang kerapkali dirujuk untuk menunjukan penyebab

konflik Suriah adalah dominasi minoritas Syi‟ah Alawiyah atas politik Suriah.

Dominasi itu di samping melahirkan diskriminnasi terhadap mazhab Sunni dan

pembatasan gerakan kelompok Ikhwanul Muslimin, juga melahirkan penguasaan

elit Syi‟ah Alawiyah atas berbagai sektor perekonomian di Suriah 61. Faktor ini

juga sering dirujuk untuk menyebut konflik dan peperangan di Suriah sebagai

konflik dan peperangan antarpaham keagamaan dalam Islam. Suriah yang

dipimpin Bashar Al-Assad yang bermazhab Syi‟ah Alawiyah, sementara pihak

61
Muhammad Fakhry Ghafur, “Membaca Konflik Suriah,” dalam www.politik.lipi.go.id,
31 Agustus 2012.

Universitas Sumatera Utara


penentang Assad berasal dari mazhab Islam Sunni. Rezim Assad didukung oleh

Iran dan Hizbullah yang bermazhab Syi‟ah, sebaliknya penentang Assad didukung

oleh Qatar, Arab Saudi, Turki, al-Qaeda, Jabhat al-Nusro yang bermazhab Sunni.

Jika disederhanakan sumber konflik Suriah dapat dipilah menjadi dua,

Pertama, berasal dari dalam negeri, yakni masalah sosial, ekonomi, dan politik

dalam berupa tingginya pengangguran, tingginya inflasi, terbatasnya mobiltas

sosial, merajalelanya korupsi, tidak adanya kebebasan pollitik, reperensifnya

aparat keamanan. Kedua, berasal dari luar negeri, berupa kepentingan politik dan

ekonomi. Turki misalnya berambisi untuk menjadi pemain utama di Timur

Tengah karena itu negara ini ikut campur dalam konflik Suriah.

3) Aktor yang Terlibat dalam Konflik

Aktor yang terlibat dapat disederhanakan dalam tiga kelompok, Pertama,

Presiden Bashar Al-Assad dan para pendukungnya, Kedua, Oposisi Suriah dan

kelompok Ketiga, Jihadis. Ketika kelompok ini masing-masing memiliki tujuan

yang berbeda-beda. Presiden Assad berupaya mempertahankan negara dan

pemerintahannya sementara pihak oposisi berupaya merebut kekuasaan Assad,

sedangkan kelompok Jihadis, berupaya merebut kekuasaan dan negara Suriah

dengan mendeklarasikan khilafah, yakni Islamic State Iraq and Sham (ISIS).

a. Presiden Bashar al-Assad dan Pendukungnya

Presiden Bashar al-Assad mulai menduduki jabatan Presiden Suriah tahun

2000, ia menggantikan posisi ayahnya. Di awal masa kekuasaannya, ia

memposisikan dirinya sebagai seorang reformis. Namun kritik tajam meluncur

ketika masyarakat tidak merasakan perubahan yang signifikan. Protes keras

Universitas Sumatera Utara


terhadap rezim Assad muncul pada maret 2011 yang menyebabkan terjadinya

perang sipil hingga saat ini. Rezim Assad didukung oleh minoritas Alawi, Druze,

dan Ismaili, banyak kaum Kristen yang mendukung Assad karena kebijakan

sekulernya. Iran, Rusia dan China adalah negara yang mendukung rezim Assad,

selain didukung oleh negara tersebut, rezim Assad juga memperoleh dukungan

dari kelompok Hizbullah Lebanon.

b. Oposisi Suriah

Ada dua kelompok oposisi yang menentang dan melakukan pemberontakan

kepada rezim Assad, yakni: Pertama, kelompok pemberontak Suriah antara lain

Free Syrian Army (FSA), Syrian National Council (SNC) dan Syrian National

Council for Opposition and Revolutionary Forces (SNCORF) yang dibentuk atas

inisitif Amerika di Doha, Qatar koalisi ini terdiri dari 60 anggota yang berasal dari

22 mantan anggota SNC, perwakilan dari masing-masing kota besar Suriah, dan

sejumlah tokoh pemberontak Suriah yang berada di luar negeri. Amerika Serikat

dan sejumlah negara lainnya telah mengakui koalisi tersebut sebagai wakil

masyarakat Suriah. (Kanada belum memberikan keputusan). Presiden SNCORF

terpilih adalah Moaz al- Khatib dari kalangan Ikhwanul Muslimin, sementara

Perdana Menterinya Ghassan Hitto pengusaha asal Suriah keturunan Kurdi, yang

telah selama 30 tahun terakhir menjadi AS. Namun SNCORF kemudian pecah

dan al-Khatib dan beberapa anggota SNCORF mengundurkan diri. Pada Juli

2013, pemberontak veteran Ahmad Jarba dinobatkan sebagai presiden Koalisi

pada Juli 2013. Jarba merupakan anggota etnis mayoritas yang berasal dari Suriah

bagian Timur. Jarba diyakini memiliki hubungan dekat dengan Arab Saudi.32

Universitas Sumatera Utara


Kedua, Kelompok Oposisi anti-kekerasan, antisektarianisme, dan antiintervesi

asing; mereka tergabung dalam koalisi yang bernama National Coordination Body

for Democratic Change.

c. Kelompok Jihadis

Kelompok jihadis merupakan kelompok yang berafiliasi dengan al-Qaida.

Pada awalnya kelompok ini membantu oposisi Suriah dalam melakukan

pemberontakan terhadap rezin Assad, namun dalam perkembangannya mereka

tidak lagi membantu para oposisi tetapi memiliki agenda tersendiri untuk

membentuk khilafah. Di antara kelompok jihadis tersebut adalah Jabha al-Nusrah,

Ahrar al-Sham kataeb, Liwa‟ al-Tauhid, Ahrar Souria, Halab al- Shahba, al-

Harakah al-Fajr al-Islamiyah, Dar al-Ummah, Liwa Jaish Muhammad, Liwa‟ al-

Nasr, Liwa‟ Dar al-Islam dan lain-lain; Kelompok Jihadis menyatakan

bertanggungjawab dalam sejumlah aksi bom bunuh diri yang ditargetkan terhadap

pemerintah Suriah selama terjadinya perang sipil di negara tersebut. Pada

Desember 2012, Amerika Serikat menyatakan kelompok jihad Jabhat al- Nusra

sebagai kelompok teroris. Hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah keterlibatan

kaum ekstremis dalam grup oposisi Suriah. Pemimpin Al-Nusra menyatakan

kesetiaannya terhadap kelompok Al-Qaida pada musim semi 2013. Namun

kelompok tersebut telah menolak untuk bergabung dengan kelompok Al-Qaida

lainnya, yaitu the Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), yang telah melebarkan

operasinya ke wilayah Suriah. (Al-Qaeda menghentikan hubungan dengan ISIS

pada Februari 2014) Kelompok-kelompok tersebut telah terlibat peperangan

Universitas Sumatera Utara


antara satu dengan lainnya, termasuk dengan FSA, yang mengindikasikan adanya

perpecahan dalam gerakan oposisi.

4) Dampak Konflik Suriah

Dalam suatu konflik bersenjata/Perang suatu dampak yang ditimbulkan dari

konflik tersebut sangat besar dan merugikan manusia, Banyak korban jiwa yang

terluka, kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian bahkan menimbulkan

kematian yang sia-sia. Bahkan jumlah Korban tewas dalam konflik yang telah

berlangsung di Suriah selama kurang lebih 7 tahun ini telah menelan korban

200.000 sampai dengan 500.000 jiwa, karna belum ada betul data akurat yang bisa

menunjukan korban-korban meninggal yang ada dalam konflik Suriah.

Data-data korban jiwa yang saya ambil ini merupakan data-data yang masih

bisa berubah keasiliannya kapan pun, yang dikarenakan kemungkinan konflik di

Suriah ini masih terus berlanjut, data-data korban jiwa ini di akulasikan mulai dari

tahun 2011-2016, dimana Yaitu korban tewas dibunuh tentara Assad 183 ribu

(95%), dibunuh FSA 2.959 (1,5%), dibunuh ISIS 2.196 (1%), dibunuh Rusia

1.984 (1%), dibunuh Kurdi 415 (0,2%), dibunuh Al Nusra 356 (0,2%) dan

dibunuh intervensi AS-Turki-Saudi 311 (0,1%).62 Korban anak dan wanita tewas

dibunuh tentara Assad 39 ribu (91%), dibunuh FSA 1.424 (3%), dibunuh Rusia

729 (1,5%), dibunuh ISIS 644 (1,5%), dibunuh intervensi AS-Turki-Saudi 179

(0.5%), dibunuh Kurdi 129 (0,2%), dibunuh Al Nusra 115 (0,2%). 63 Korban

62
Dr.Mohamed Tenari 23 tahun, seperti yang diceritakan kepada Syrian America Medical
Society, http://whoiskillingciviliansinsyria.org/, https://diary.thesyriacampaign.org/whats-
happening-to-civilians-in-syria/, 3 September 2016.
63
Mousa 15 tahun dan Maisa perawat dari kota Damascus seperti yang diceritakan
kepada Save the Children dan Human Rights Watch, http://whoiskillingciviliansinsyria.org/,
https://diary.thesyriacampaign.org/whats-happening-to-civilians-in-syria/, 3 September 2016.

Universitas Sumatera Utara


wartawan dibunuh tentara Assad 479 (90%), dibunuh ISIS 26 (2,2%), dibunuh

FSA 12 (2,2%), dibunuh Rusia 5 (1%), dibunuh Kurdi 2 (0,4%), dibunuh Al

Nusra 4 (0,7%).64 Penyiksa sampai mati pelakunya tentara Assad 12.486 (99,5%),

pelakunya ISIS 22 (0,2%), pelakunya FSA 17 (0,1%), pelakunya Kurdi 17 (0,1%)

dan pelakunya Al Nusra 14 (0,1%). 65 Korban tenaga medis (dokter dan perawat)

dibunuh tentara Assad 553 (91%), dibunuh FSA 19 (3%), dibunuh ISIS 19 (3%),

dibunuh Rusia 11 (1%), dibunuh Al Nusra 4 (0,7%), dibunuh Kurdi 3 (0,5%).66

Berdasarkan data-data tersebut banyaknya korban meninggal yang sia-sia terjadi

hanya demi memperebutkan suatu kekuasaan dari suatu pemerintahan Negara.

Tidak hanya korban tewas saja yang diakibatkan adanya konflik Suriah ini

namun banyak nya jumlah pengungsi dari warga sipil Suriah yang mencari suatu

tempat yang aman untuk menetap di berbagai-bagai daerah. Pada tahun 2016

PBB, mengidentifikasi 13,5 Juta warga Negara Suriah yang membutuhkan

bantuan kemanusiaan, dimana dari Jumlah tersebut lebih dari 6 Juta Pengungsi

dalam negeri dan lebih dari 4,8 Juta merupakan pengungsi di luar Suriah. Dimana

Turki merupakan negara penampung terbesar dengan jumlah lebih dari 2,7 Juta

pengungsi Suriah. Bantuan untuk pengungsi internal dalam negeri Suriah, dan

pengungsi Suriah di negara-negara tetangga akan direncanakan secara besar-

besaran melalui Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Hampir 1

64
Noureddine Hashim 21 tahun, seperti yang diceritakan kepada The Committe to Protect
Journalists, http://whoiskillingciviliansinsyria.org/, https://diary.thesyriacampaign.org/whats-
happening-to-civilians-in-syria/, 3 September 2016.
65
Layla 21 tahun tahanan pemerintah Suriah, seperti yang dikatakan kepada Human
Rights Watch, http://whoiskillingciviliansinsyria.org/, https://diary.thesyriacampaign.org/whats-
happening-to-civilians-in-syria/, 3 September 2016.
66
Dr. Saoud, seperti yang diceritakan kepada New York Times,
http://whoiskillingciviliansinsyria.org/, https://diary.thesyriacampaign.org/whats-happening-to-
civilians-in-syria/, 3 September 2016.

Universitas Sumatera Utara


Juta warga Suriah telah meminta suaka di berbagai negara, terutama Lebanon,

Yordania, Turki, dan Uni Eropa (UE). Pada tahun 2016, janji telah dibuat kepada

UNHCR oleh berbagai negara untuk menampung secara tetap 170.000 pengungsi

terdaftar.67

Dan dari segi lainnya dampak yang ditimbulkan konflik di Suriah ini adalah

banyaknya fasilitas-fasilitas yang ada di negara-negara tersebut hancur, seperti,

bangunan-bangunan sekolah, rumah sakit, tempat ibadah dan sumber-sumber

tenaga listrik dan air. Hancurnya fasilitas-fasilitas tersebut banyak membuat

warga sipil di Suriah semakin merasakan penderitaan yang berlebihan, kehilangan

mata pencaharian, sikitnya sumber-sumber air dan makanan, masalah ekonomi

negara Suriah tersebut juga sudah mengalami krisis yang berkepanjangan.

Banyak nya juga berbagai Benda-benda Sejarah yang telah diakui oleh

dunia Internasional yang sudah hancur akibat serangan-serangan konflik tersebut,

yang diantara dari peninggalan Sejarah di Suriah yang hancur itu adalah Masjid

Agung Aleppo merupakan salah satu masjid terbesar dan tertua di kota Aleppo,

yang terletak di distrik al-Jalloum yang dibangun pada awal abad ke-8. Menara

masjid yang ada pun telah dibangun pada tahun 1090 M, namun selalu ada

renovasi setiap tahunnya. Akan tetapi, Masjid Agung Aleppo telah rusak pada

tahun 2012 akibat bentrokan yang berlangusung antara Tentara Pembebasan

Suriah (FSA) dengan pasukan rezim Assad. Bahkan, menara masjid juga sudah

hancur akibat perang yeng terjadi pada bulan April 2013.

67
https://id.wikipedia.org, "Syria Regional Refugee Response – Overview". UNHCR Syria
Regional Refugee Response. Diakses tanggal 2016-03-03.

Universitas Sumatera Utara


Al Madina Souq adalah salah satu dari Situs Warisan Dunia UNESCO sejak

tahun 1986 yang merupakan bagian dari kota kuno Aleppo. Bahkan, Al Madina

Souq juga merupakan pasar bersejarah terbesar dan tertutup di dunia, yang

memebentang sekitar 13 kilometer.Tetapi, komplek tersebut kini telah hancur atau

hangus sebagai akibat dari sengitnya pertempuran antara pejuang FSA melawan

Angkatan Bersenjata rezim Assad.

The Citadel of Aleppo Tempat tersebut merupakan benteng tertua dan

terbesar di dunia dengan bangunan istana di dalamnya yang pernah ditempati oleh

orang-orang Yunani, Bizantium, Ayyubiyah dan Mamluk. Namun, The Citadel

telah mengalami kerusakan amat parah pada tahun 2012 selama berlangsungnya

pertempuran Aleppo. Bahkan, gerbang luar benteng juga mengalami kerusakan

tatkala pejuang FSA dan oposisi bentrok dengan tentara rezim Assad. Pada tahun

2015, salah satu dinding luar benteng juga mengalami kerusakan yang parah pasca

meledaknya akibat ledakan sebuah bom, dan masih banyak lagi benda-benda

peninggalan bersejarah yang hancur akibat dampak dari konflik berkepanjangan di

Suriah.

Dari latarbelakang diatas dapat dilihat banyak sekali pelanggaran-

pelanggaran HAM serta pelanggaran peraturan-peraturan hukum Internasional

yang diantaranya mengakibatkan penderitaan dan kematian dari warga sipil yang

sebenarnya tidak terlibat dalam konflik Suriah. Oleh karena itu, pentingnya suatu

penegasan dasar prinsip-prinsip yang mampu memberikan suatu

kepastian/jaminan kepada setiap orang-orang yang seharusnya benar-benar

mendapatkan perlindungan sesuai dengan HAM ketika terjadinya konflik

Universitas Sumatera Utara


bersenjata. Maka dengan penggunaan dan adanya penegasan Martens Clause

merupakan suatu dasar prinsip-prinsip yang ada pada setiap peraturan-peraturan

Hukum humaniter Internasional yang timbul dari kebiasaan antara negara yang

beradab, yang berprinsip pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani

masyarakat.

B. Implementasi Prinsip Martens Clause dalam Perlindungan Warga Sipil

dan Obyek Sipil dalam Perang Suriah

Ketika Hukum Humaniter Internasional tidak dapat diterapkan pada suatu

konflik atau kurang efektifnya peraturan tersebut, bukan berarti konflik tersebut

terlepas dari hukum humaniter Internasional. Dalam hukum humaniter

internasional dikenal apa yang disebut dengan Marten‟s Clause. Marten‟s Clause

atau Klausula Martens adalah suatu klausula yang menentukan bahwa apabila

hukum humaniter belum mengatur masalah-masalah tertentu, maka ketentuan

yang dipergunakan harus mengacu pada prinsip-prinsip hukum Internasional yang

terbentuk dari kebiasaan antara negara-negara yang beradab, yang berprinsip pada

hukum kemanusiaan dan dari hati nurani masyarakat.

Klausul Martens pertama kali lahir pada tahun 1899, tepatnya saat

Preambule Konvensi Den Haag II (mengenai hukum dan kebiasaan perang di

darat) oleh Prof. Fyodor Fyodorovich Martens (dalam bahasa rusia) atau Prof.

Frederic Fromhold de Martens (dalam bahasa Prancis) yang merupakan seorang

pengacara dan anggota delegasi untuk konferensi perdamaian asal Rusia. Klausul

ini muncul setelah pada konferensi perdamaian yang diadakan di Den Haag gagal

menyepakati permasalahan tentang status warga sipil yang mengangkat senjata

Universitas Sumatera Utara


melawan pasukan negara musuh. Klausul ini juga sebenarnya hanya di

formulasikan untuk pemecahan masalah khusus yang berkaitan tentang prinsip

kemanusiaan didalam perang. Namun di tahun-tahun berikutnya setelah deklarasi

klausul ini, muncul kembali pada hampir disetiap perjanjian tentang konflik

bersenjata antar-negara.

Masalah yang pada klausul ini yaitu memiliki pemahaman atau penafsiran

yang sulit. Tidak sedikit negara yang salah menginterpretasi/menafsirkan klausul

ini, sebagai contoh Inggris. Klausula Martens ini terdapat dalam Preambule

Konvensi Den Haag II 1899 , yang isinya adalah sebagai berikut :

” Until a more complete code of the laws of war is issued, the High

Contracting Parties think it right to declare that in cases not included in the

Regulations adopted by them, populations and belligerents remain under the

protection and empire of the principles of international law, as they result from

the usages established between civilized nations, from the laws of humanity and

the requirements of the public conscience.”

Dimana artinya adalah sebagai berikut ;

“Hingga undang-undang tentang hukum perang dikeluarkan, pihak-pihak

yang mengadakan perjanjian memikirkan haknya untuk menyatakan bahwa

perkara yang tidak ada didalam peraturan yang telah mereka setujui, para

penduduk dan negara yang berperang tetap berada dibawah perlindungan atas

prinsip-prinsip hukum internasional, yang timbul dari kebiasaan antara negara

yang beradab, yang berprinsip pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani

masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


Maksud dari isi klausul tersebut yakni menempatkan penduduk sipil

combatan maupun non-combatan, serta militer yang tidak dilindungi oleh

Konvensi Den Haag, tetap dalam perlindungan dari prinsip-prinsip hukum

humaniter yang berasal dari kebiasaan antar-negara yang beradab dan dari hati

nurani masyarakat. Klausula Marten juga terdapat dalam Pembukaan Konvensi

Den Haag IV 1907; Pembukaan Conventional Weapons Convention 1980; Pasal

63 Konvensi Jenewa I 1949; [62/II; 142/III; 158/IV]; serta Pasal 1 ayat (2)

Protokol Tambahan I 1977.

Dimana Martens Clause ini mengutamakan suaut Prinsip Kemanusiaan

dimana timbul banyaknya pelanggaran-pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan di

tengah-tengah konflik. Saat ini, regulasi spesifik sangat dibutuhkan di tengah-

tengah konflik bersenjata, nilai-nilai murni dan mulia dari hati nurani masyarakat

harus dapat diandalkan. Dalam kondisi yang demikian ini, Martens dalam

pidatonya mengadvokasi bahwa kemanusiaan semestinya ditempatkan di atas

kekuatan bersenjata. Sementara yang terjadi adalah prioritas memenangkan

konflik bersenjata dengan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Keadaan

inilah kemudian yang menimbulkan kesadaran pentingnya kemanusiaan dalam

segala kondisi, termasuk dalam kondisi konflik bersenjata.

Universitas Sumatera Utara


Apabila Hukum Humaniter Internasional tidak dapat berlakua atau kurang

efektifnya dalam suatu konflik bersenjata, namun para pihak yang terlibat dalam

perang atau konflik bersenjata harus dapat menghormati dan menjamin prinsip-

prinsip hukum humaniter Internasional. Dalam Hukum Humaniter Internasional

ini terdapat berbagai prinsip-prinsip, yaitu :68

1. Prinsip Kemanusiaan (Humanity)

Prinsip ini sebagai ketentuan untuk memberikan bantuan tanpa diskriminasi

kepada orang yang terluka di medan perang, berupaya dengan kapasitas

internasional dan nasional untuk mengurangi penderitaan manusia

dimanapun adanya. Prinsip ini bertujuan untuk melindungi dan menjamin

penghormatan terhadap manusia serta Prinsip ini bermanfaat sebagai

meningkatkan saling pengertian, persahabatan, kerja sama dan perdamaian

yang berkelanjutan di antara semua rakyat sehingga tidak menciptakan

diskriminasi karena kebangsaan, ras, kepercayaan agama, pendapat kelas

ataupun aliran politik.

2. Prinsip Kepentingan Militer ( Military Necessity)

Prinsip ini merupakan ketentuan yang menetapkan bahwa suatu objek sipil

hanya bisa dijadikan sasaran militer apabila telah memenuhi syarat tertentu.

3. Prinsip Proposional (Proportionality)

Menurut Prinsip ini, setiap serangan dalam operasi militer harus didahului

dengan tindakan yang memastikan bahwa serangan tersebut tidak akan

menyebabkan korban ikutan di pihak sipil yang berupa kehilangan nyawa,

68
Abarawati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam
Studi Hubungan Internasional, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2009.

Universitas Sumatera Utara


luka-luka ataupun kerusakan harta benda yang berlebihan dibandingkan

keuntungan militer yang berimabas langsung akibat serangan tersebut.

4. Prinsip Pembedaan (Distinction)

Berdasarkan prinsip ini pada waktu terjadi perang/konflik bersenjata harus

dilakukan pembedaan antara penduduk sipil (“civilian”) di satu pihak

dengan “combatant” serta antara objek sipil di satu pihak dengan objek

militer di lain pihak. Berdasarkan prinsip ini hanya kombatan dan objek

militer yang boleh terlibat dalam perang dan dijadikan sasaran. Banyak ahli

yang berpendapat bahwa prinsip pembedaan ini adalah yang paling penting

dalam prinsip-prinsip hukum humaniter.

5. Prinsip HHI tentang larangan menyebabkan Penderitaan yang tidak

seharusnya ( Prohibition of Causing Unnecessary Suffering)

Prinsip pembatasan ini merupakan aturan dasar yang berkaitan dengan

metode dan alat perang. Prinsip ini berkaitan dengan ketntuan yang

menetapkan bahwa metode perang yang benar adalah metode yang

dilaksanakan hanya untuk melemahkan kekuatan militer lawan.

6. Pemisahan Antara Ius Ad Bellum dengan Ius In Bello

Pemberlakuan HHI, sebagai ius in bello (hukum yang berlaku untuk situasi

sengketa bersenjata) tidak dipengaruhi oleh ius ad bellum (hukum tentang

keabsahan tindakan perang). Dengan kata lain, HHI mengikat para pihak

yang bersengketa tanpa melihat alasan dari keputusan atau tindakan perang

tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Pada prinsip-prinsip tersebut haruslah dihormati dan dilaksanakan oleh para

pihak berkonflik bagaimanapun keadaannya, karena prinsip-prinsip ini merupakan

prinsip awal atau dasar-dasar perlindungan manusia dari berbagai keadaan sebagai

makhluk hidup. Martens Clause dan prinsip-prinsip dalam hukum internasional

secara tegas menekankan pada penghargaan kemanusiaan dan penghormatan

terhadap hak asasi manusia, terutama pada saat terjadinya konflik bersenjata.

Martens Clause mengarahkan kepada penghargaan terhadap nilai-nilai

kemanusiaan dengan mengutamakan dari hati nurani manusia itu sendiri dan

negara-negara yang beradab, seperti misalnya tidak mengarhkan serangan pada

warga sipil, tidak menimbulkan suatu penderitaan yang berlebihan serta

memberikan hak-hak yang semestinya ada pada manusia. Adanya perhatian yang

tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan juga terlihat dalam prinsip-prinsip yang

ada pada hukum internasional, terutama terdapat dalam “Prinsip Kemanusiaan”

itu.

Hal ini merupakan bahwa Martens Clause dan prinsip-prinsip hukum

internasional merupakan hal yang sangat tepat untuk ditempatkan pada situasi

konflik bersenjata, agar Martens Clause dan prinsip-prinsip hukum internasional

ini lebih di utamakan pada setiap kasus-kasus konflik bersenjata yang telah

berlangsung lama seperti konflik Suriah. Dalam kondisi sulitnya penerapan

hukum humaniter internasional ataupun aturan-aturan internasional untuk

melindungi warga sipil dan objek sipil yang seharusnya tidak menjadi sasaran dan

menimbulkan penderitaan dan kematian dalam konflik di Suriah, Maka Martens

Clause dapat diterapkan dan secara langsung bersinergi dengan prinsip-prinsip

Universitas Sumatera Utara


hukum internasional yang benar-benar sangat menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan dan hak- hak asasi manusia.

Konflik yang telah lama berlangsung di Suriah ini sebenarnya sudah banyak

melanggar hukum internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional,

karena telah melakukan tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan dan

kematian terhadap Warga Sipil yang secara langsung tidak terlibat dalam konflik

tersebut yang dimana data-data yang dikeluarkan oleh Pemerhati HAM

Internasional angka korban meninggal dari warga sipil sudah mencapai angka

200.000-500.000 jiwa serta para Pengungsi yang dikeluarkan oleh Badan UNHCR

mencapai angka 13,5 juta pengungsi dimana diantaranya 6 Juta pengungsi dalam

negri dan 4,8 Juta pengungsi luar Suriah.

Dengan adanya dampak yang ditimbulkan oleh Konflik Suriah tersebut

sudah sangat jelas suatu peraturan-peraturan yang mengatur setiap tindakan dan

kebiasaan-kebiasaan suatu konflik bersenjata baik itu peerlindungan terhadap

warga sipil, pihak-pihak yang bersengketa maupun objek-objek lain, begitu

sangat mudah untuk dilanggar ataupun diabaikan begitu saja sehingga

ketidakpedulian dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut sudah tidak

lagi menghargai sebuah kehidupan manusia atau nilai-nilai kemanusiaan yang

dapat dimiliki setiap manusia yang ada di dalamnya, oleh karena itu perlu adanya

suatu penegasan terhadap setiap pihak-pihak yang terlibat dalam konflik Suriah

untuk mengetahui pentingnya suatu nilai-nilai kemanusiaan yang ada, dan disini

Martens Clause merupakan suatu dasar prinsip-prinsip yang secara tegas

menghargai nilai-nilai kemanusiaan itu dari kebiasaan antara negara yang

Universitas Sumatera Utara


beradab, yang berprinsip pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani

masyarakat.

Adanya Martens Clause ini harus adanya dibantu dan didampingi oleh suatu

Organisasi yang secara tegas mengatur setiap tingkah laku negara-negara yang

ada di dunia yang mempunyai suatu tujuan mempersatukan setiap negara dalam

menciptakan suatu Perdamaian Dunia.

C. Upaya Perlindungan Warga Sipil dan Obyek Sipil di Perang Suriah

yang dilakukan Oleh Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa

Pada periode hukum internasional klasik ketika negara sebagai satu-satunya

subjek hukum internasional perkembangan organisasi internasional belum begitu

dominan dalam hubungan antarbangsa. Pembentukan suatu kerja sama untuk

mencegah terjadainya instabilitas, telah dibentuk LBB (Liga Bangsa-bangsa)

yang dewasa ini menjadi PBB(Perserikatan Bangsa-bangsa). Kedua lembaga

dunia tersebut dibentuk dan dilatarbelakangi karena perselisihan, dan peperangan

antarumat manusia. Dengan kacarmata ekstrikm, makhluk yang memiliki

intelegensi juga tidak terlalu keliru kalau dikatakan bahwa perang merupakan

suatu atribut yang tidak lepas dari masyarakat manusia.69

Dasar pendirian dan pembentukan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa)

adalah merupakan upaya kedua untuk membentuk suatu organisasi internasional

yang universal dengan tujuan utamanya adalah memelihara perdamaian di bawah

suatu sistem kemanan kolektif. Upaya pertama tentunya ketika dunia membentuk

69
Ade Maman Suherman,S.H.,M.Sc, Organisasi Internasional dan Integrasi Ekonomi
Regional Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Ghalia Indonesia, Pajetan Barat Jakarta, 2003,
hlm. 102

Universitas Sumatera Utara


league of nations atau LBB (Liga Bangsa-bangsa). Peran dan fungsi PBB

(Perserikatan Bangsa-bangsa) sejak didirikan pada tahun 1945 belum begitu

menonjol terlebih adanya dua blok kekuatan yakni antara Uni Soviet dan Amerika

dengan sekutunya di Eropa, Australia, dan Kanada. Namun, semenjak perang

dingin antarblok Barat dan Timur berkesudahan, dunia nampak semakin terpola

pada suatu komando dan satu irama melalui fungsionalisasi optimal organ-organ

PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) termasuk specialised agency tentunya.

Sebagai bukti bahwa PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) bertujuan untuk

menciptakan perdamaian dunia dapat dilihat dalam Pasal 1 Piagam PBB tentang

keanggoataan.

Dewasa ini peran PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) tidak hanya terfokus

pada pemeliharaan perdamaian global saja, sejumlah organ PBB (Perserikatan

Bangsa-bangsa) secara konsisten dan ekstensif membidangi urusan-urusan lain,

seperti masalah hak asasi manusia, pengungsi, dekolonialisasi, ekonomi dan

pembangunan, perlindungan lingkungan, dan pengembangan hukum internasional

sesuai amanat dari Pasal 1 dan 4 UN Charter. Salah satu Organ Utama dalam

PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) yang berfungsi sebagai pemeliahara

terciptanya perdamain adalah Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsa-

bangsa). Dewan Keamanan PBB ini mempunyai 3 Tugas dan Fungsi utama, yaitu

sebagai berikut :70

1. Membuat rekomendasi untuk penyelesaian sengketa secara damai

70
D.W Bowett, Hukum Organisasi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, hlm.42

Universitas Sumatera Utara


2. Mengambil tindakan terhadap kegiatan yang mengancam perdamaian,

mengganggu perdamaian, dan tindakan agresi

3. Memerankan peranan yang sangat penting dalam pengembangan operasi

penjaga perdamaian

Dari 3 tugas dan fungsi utama Dewan Keamanan PBB dan Tujuan utama

Organisasi PBB jika dikaitkan dengan konflik Suriah saat ini yang telah

berlangsung sangat lama mungkin tugas dan tujuan itu hanya berupa angan-angan

belaka saja, dikarenakan sudah sangat lamanya konflik Suriah ini berlangsung

tidak ada tampak sesuatu yang akan merubah keadaan pada Konflik Suriah

tersebut, namun keadaan di Suriah hari ke hari semakin memburuk. Bukan berarti

PBB tidak melakukan apapun, Upaya-upaya yang tampak dilakukan PBB

terhadap konflik di Suriah ada beberapa hal saja, diantaranya penaganan para

Pengungsi-pengungsi yang berada di luar maupun di dalam Suriah, Lembaga-

lembaga PBB seperti HAM PBB dan UNICEF yang terus meginvestigasi dan

mengungkap berbagai data kasus Suriah. Meski Program dan Upaya-upaya PBB

dalam penyelesaian konflik Suriah tersebut sudah banyak dilakukan namun

sampai saat ini konflik Suriah masih terus berlanjut dan kondisi di Suriah masih

kian mencekam. Bahkan tingkat angka kematian dari tahun ke tahun kian

meningkat dan penggunaan-penggunaan senjata-senjata konvensional (senjata

kimia) semakin sering digunakan pada situasi konflik Suriah. Jika telah terjadi

hal-hal yang melanggar suatu aturan hukum internasional yang membuat

menderita dan tewas nya warga sipil, PBB hanya selalu meresponnya dengan

kalimat “Mencekam hal tersebut”, namun kalimat tersebut tidak akan berguna bila

Universitas Sumatera Utara


hal-hal buruk tersebut sudah terjadi. Seharusnya adanya tindakan atau upaya yang

lebih dari PBB dalam mencegah hal buruk tersebut untuk tidak akan pernah

terjadi kembali.

Seperti yang dikatakan oleh Utusan khusus PBB untuk Suriah, Staffan de

Mistura, yang menyatakan betapa mengerikan konflik Suriah. “Sejauh yang saya

amati, tragedi ini dianggap sebagai bencana kemanusiaan terburuk sejak Perang

Dunia II,” Ungkap Mistura kepada Al Jazeera.

Setiap pelanggaran hukum humaniter internasional yang terjadi dalam

Konflik Suriah, selalu saja banyak kegagalan PBB untuk memberikan suatu

sanksi terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut.

Dimana kegagalan PBB dalam menjatuhkan sanksi terhadap pihak-pihak tersebut

tidak luput dari adanya 2 negara Adidaya yang menjadi anggota permanen/tetap

PBB yaitu Amerika Serikat dan Rusia, yang dimana kedua negara ini tampaknya

terlibat atau negara yang mengintervensi konflik Suriah. Dimana Rusia

mendukung atau membantu pemerintahan Assad dalam melawan Pemberontak

Pemerintah sedangkan Amerika Serikat membantu Kelompok-kelompok penolak

Rezim Pemerintahan Bashar Al-Assad.

Di dalam Dewan Keamanan PBB ini terdapat 5 negara anggota

permanen/tetap diantaranya adalah Amerika Serikat, Cina, Inggris, Prancis dan

Rusia yang dimana ke lima negara ini masing-masing mempunyai hak veto.

Permasalahan yang krusial adalah seberapa besar kekuasaan negara anggota

Dewan Keamanan dalam kaitannya dengan hak veto yang mereka miliki. Apabila

terdapat suatu konflik, negara anggota tetap Dewan Keamanan turut campur

Universitas Sumatera Utara


tangan langsung dalam sengketa tersebut atau paling tidak memiliki kepentingan-

kepentingan tersembunyi.

Dewan Keamanan dapat menjatuhkan sanksi kepada negara anggota PBB

menurut BAB VII Piagam dalam 3 hal, yaitu Pertama, jika negara itu mengadakan

tindakan-tindakan yang mengancam perdamaian. Kedua, jika melanggar

perdamaian dan yang ketiga jika negara itu melancarkan suatu agresi terhadap

negara lain. Tindakan-tindakan yang mengancam perdamaian dan keamanan

Internasional dapat dibedakan di dalam dua pengertian. Pengertian pertama, di

dalam kerangka Pasal 34 Piagam dimana terjadi pertikaian diantara negara yang

berkelanjutan yang mungkin dapat mengancam perdamaian dan tidak akan diikuti

dengan sanksi. Sedangkan pengertian kedua adalah di dalam kerangka BAB VII

Piagam yaitu menyangkut suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu negara yang

melanggar prinsip-prinsip PBB yang secara langsung dapat mengancam

perdamaian dan keamanan internasional dan dapat dikenakan sanksi menurut

Pasal 39-51 Piagam.

Jika Melihat pada Pasal 29 ayat (2) Universal Declaration of Human Right

1948 yang berbunyi : “di dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-

kebebasannya setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan

yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk

menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak bagi hak-hak dan

kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat benar dari

kesusilaan, tata tertib umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Universitas Sumatera Utara


Dari ketentuan ini terbukti bahwa pengakuan ketentuan Hak Asasi Manusia

tidak akan menggiring orang per orang menjadi bebas tanpa ada batasan

melainkan dibatasi oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar

tersebut setiap negara anggota PBB “ditantang” untuk menciptakan perdamaian

dunia dalam rangka menegakkan Hak Asasi Manusia terutama mencegah

terjadinya perang antar negara atau perang saudara.

Dewan Keamanan PBB seharusnya berperan penuh pada konflik yang

terjadi di Suriah yang sudah berlangsung sangat lama kurang lebih 7 tahun

lamanya, kerugian baik materiil dan moril terus menerjang rakyatnya. Hancurnya

rumah-rumah penduduk, fasilitas kesehatan, pendidikan dan infrastruktur lain

menambah lengkap penderitaan rakyat Suriah yang harus berjuang ditengah

konflik yang sampai saat ini masih berlangsung. Hal ini tidak membuat pihak

yang terlibat konflik, baik dari pihak pemerintah maupun oposisi yang kontra

dengan pemerintah, untuk segera menghentikan agresi perang ini yang terus

dilakukan demi mencapai kepentingan pihak-pihak yang terkait. Dewan

Keamanan PBB mengecam tindakan tersebut berulang kali dan menghimbau

Presiden Suriah Bashar al-Assad untuk menghentikan serangan pada rakyat pro-

demokrasi.

Perang Suriah sebenarnya hanya membuat penderitaan berkepanjangan bagi

rakyat Suriah sendiri. Banyak warga yang tewas akibat gempuran senjata

konvensional seperti senapan, granat, rudal, dan sebagainya. Namun yang lebih

mengerikan adalah penggunaan senjata kimia pemusnah massal yang mulai marak

digunakan di Suriah. Diketahui penggunaan senjata semacam ini sangat efektif

Universitas Sumatera Utara


sekaligus berbiaya lebih murah dalam rangka menghabisi populasi warga

seterunya. Dunia internasional sangat menentang penggunaan senjata kimia ini

namun ternyatamasih terus digunakan pada konflik Suriah. Dalam hal penggunaan

senjata kimia dalam konflik Suriah sudah berulang kali terjadi penggunaannya,

dimana penggunaannya dimulai sejak tahun 2013 dan terakhir kalinya terjadai

pada bulan April 2017 yang menewaskan kurang lebih 100 jiwa.

Dengan terjadinya kembali penggunaan senjata kimia yang terjadi dalam

konflik Suriah ini, Dewan Keamanan PBB melakukan sidang Resolusi DK PBB

terkait penggunaan Senjata Kimia dalam konflik Suriah yang dimana hasil dari

sidang ini kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, Rusia

menggunakan hak Veto nya dalam draf Resolusi Dewan Keamanan PBB

sedangkan Cina abstein dalam hasil sidang ini dan Amerika Serikat, Inggris, dan

Prancis menyetujui Resolusi Dewan Keamanan PBB tersebut dengan berniat

meminta pemerintah Suriah mematuhi rekomendasi tim Pencari Fakta

Pelanggaran Senjata Kimia (OPCW) serta mekanisme tim gabungan OPCW-

PBB.71 Secara keseluruhan Rusia sebagai salah satu dari lima anggota permanen

Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan delapan veto yang menggagalkan draf

resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Konflik Suriah.

Berdasarkan statistik dari tahun 1946-2002, negara yang paling banyak

menggunakan hak veto adalah Uni Sovyet (Rusia), yaitu sebanyak 122 kali.

Kemudian diikuti oleh Amerika Serikat sebanyak 81 kali, Inggris sebanyak 32

kali dan Prancis menggunakan hak veto sebanyak 18 kali. Sedangkan China baru

71
http://www.bbc.com/indonesia/dunia-39585739 diakses pada tanggal 13 April 2017

Universitas Sumatera Utara


menggunakannya sebanyak 5 kali. Dari statistik di atas, terlihat jelas bahwa hak

veto didominasi oleh dua negara yang pernah bersiteru dalam perang dingin, yaitu

Uni Sovyet (Rusia) dan Amerika Serikat. Untuk Amerika Serikat, 39 veto yang

dikeluarkan ialah untuk memberikan dukungan terhadap Israel. Menurut data,

dalam konflik Arab-Israel, dari 175 resolusi Dewan Keamanan PBB tentang

Israel, 97 menentang Israel, 74 netral dan 4 mendukung Israel. Tentunya ini tidak

termasuk resolusi yang diveto Amerika Serikat. Melihat realitas saat ini,

penggunaan hak veto yang dimiliki oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB

sangat jauh atau bertentangan dengan asas keadilan dan mengingkari realitas

sosial. Adakala keputusan yang ditetapkan dalam forum PBB dibatalkan oleh

negara pemilik veto. Sebenarnya, hak veto tidak menjadi sebuah masalah jika

digunakan sebagaimana mestinya. Namun, jika melihat kondisi saat ini hak veto

digunakan untuk menentang prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran atau dengan

kata lain merusak citra PBB sebagai penjaga perdamaian dunia. Hingga detik ini,

masalah hak veto selalu membayangi legitimasi PBB. Dengan hak veto, maka

setiap anggota dari Dewan Keamanan PBB dapat mempengaruhi terjadinya

perubahan substansi secara besar-besaran dari suatu resolusi. Bahkan, hak veto

mampu mengancam terbitnya resolusi yang mampu mengancam terbitnya resolusi

yang dianggap tidak menguntungkan bagi negara pemegang veto. Inilah sebuah

kesalahan fatal dari penyalahgunaan sistem hak veto. Di lain sisi, para perwakilan

negara di PBB kadang mengungkapkan kecenderungan negara pemegang veto

untuk saling mengancam menggunakan vetonya dalam forum tertutup agar

kepentingan mereka masing-masing dapat terpenuhi tanpa sama sekali peduli

Universitas Sumatera Utara


terhadap negara anggota tidak tetap. Hal inilah yang terkenal dengan istilah

“closet veto”.

Dengan kata lain ketidakefektifan PBB dengan batu sandungan veto negara

anggota menunjukan bahwa PBB sendiri juga menjadi medan tarik ulur politik.

Dimana tujuan utama Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa yang terdapat dalam

Pasal 1 Piagam PBB tentang keanggotaan sudah tidak sesuai lagi dengan apa

yang terjadi dalam penaganan kasus konflik Suriah. Seharusnya sudah saatnya

adanya reformasi di dalam badan keanggotaan PBB khususnya oragan utama PBB

dalam menjaga perdamaian dunia yaitu Dewan Keamanan PBB. Dimana ada

beberapa hal yang harus berubah dalam struktur , kewajiban, hak serta tugas dan

fungsi keanggotaan Dewan Keamanan PBB, diantaranya ;

1. Tidak ada lagi penteapan anggota permanen dan tidak permanen dalam

keanggotaan Dewan Keamanan PBB, dimana penetapan seperti itu tidak

mencerminkan adanya suatu organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa dunia

yang mempunyai tujuan yang sama yaitu perdamaian dunia dan dimana jika

diperhatikan Dewan Keamanan PBB itu hanya dukuasai atau diduduki oleh

negara-negara yang menjadi anggota permanen saja sedangkan anggota-

anggota tidak permanen hanya sebagai pelengkap saja.

2. Mengenai hak veto yang dimiliki oleh setiap negar-negara anggota

permanen Dewan Keamanan PBB, dimana, agar hak veto itu dihapuskan

atau bila tidak dapat dihapuskan setidaknya bukan hanya negara-negara

anggota permanen saja yang dapat memiliki hak veto tersebut, tetapi setiap

negara yang menjadi anggota Dewan Keamanan PBB mendapat hak veto

Universitas Sumatera Utara


tersebut. Karena apabila hanya negara anggota-anggota permanen saja yang

memiliki hak veto tersebut itu menggambarkan tidak adanya suatu prinsip

keadilan dalam Dewan Keamanan PBB.

3. Mengenai penggunaan hak veto tersebut dalam suatu sidang Dewan

Keamanan PBB, dimana setiap penggunaan hak veto tersebut tidak

digunakan karena suatu alasan kepentingan negara pemegang hak veto

tersebut. Namun disini penggunaan hak veto tersebut haruslah berdasarkan

yang timbul dari kebiasaan antara negara yang beradab, yang berprinsip

pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani yang mengutamakan

kepentingan perdamaian dunia untuk menjamin setiap umat manusia di

dunia.

Dengan adanya reformasi atau perubahan baru yang ada dalam Dewan

Keamanan PBB yang berdasarkan kepada asas keadilan, asas kemanusiaan, asas

persatuan dan asas kepentingan perdamaian dunia yang timbul dari kebiasaan

antara negara yang beradab dan dari hati nurani mungkin akan ada suatu hal yang

baru untuk dapat menyelesaikan setiap konflik yang ada di dunia ini, khusus nya

terhadap konflik Suriah yang sudah berlangsung begitu lama yang mengakibatkan

setiap manusia yang ada dalam negara Suriah tersebut mengalami penderitaan

yang sudah sangat lama akan dapat merasakan suatu kebebasan yang dirasakan

seperti setiap manusia lainnya yang meraskan suatu perdamaian dunia.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian serta penjelasan pada bab-bab sebelumnya, penulis

dapat menarik kesimpulan yang berkaitan dengan pokok pembahasan serta

sekaligus merupakan jawaban dari permasalahan yang penulis buat, yaitu :

1. Setelah dilihat serta dijelaskan suatu Kedudukan Prinsip Martens Clause

dalam Hukum Humaniter Internasional maka dapat ditarik suatu kesimpulan

bahwa adanya suatu nilai-nilai kemanusiaan dari hati nurani yang

ditegaskan dalam isi dari Prinsip ini serta adanya kesadaran dari bangsa-

bangsa yang beradab. Dalam Prinsip Martens Clause ini juga terkandung

prinsip/asas Kemanusiaan yang dimana prinsip/asas ini juga merupakan

sesuatu tolak ukur yang sangat penting keberadaannya untuk memberikan

suatu kepastian perlindungan terhadap orang-orang, baik warga sipil

maupun pihak yang bersengketa yang menjadi korban dalam sebuah konflik

besenjata. Prinsip Martens Clause juga telah tercantum di dalam Pembukaan

(Preambule) beberapa Konvensi yang mengatur tentang kebiasaan-

kebiasaan perang.

2. Adanya suatu Peraturan yang mengatur perlindungan terhadap warga sipil

dan obyek sipil yang telah diatur secara umum dalam bentuk suatu konvensi

merupakan beberapa upaya yang dilakukan untuk melindungi warga sipil,

obyek sipil serta pihak-pihak lain yang terlibat dalam suatu konflik

Universitas Sumatera Utara


bersenjata. Dengan adanya suatu peraturan untuk mengatur perlindungan

warga sipil dan obyek sipil ini sudah seharusnya dapat memberikan

kepastian perlindungan warga sipil dan obyek sipil dalam suatu konflik

bersenjata. Dibentuknya beberapa Konvensi yang mengatur perlindungan

warga sipil dan obyek sipil ini dikarenakan dalam kenyataan di suatu

konflik bersenjata masih banyak warga sipil dan obyek sipil yang menjadi

sasaran perang yang mengakibatkan penderitaan yang berlebihan hingga

kematian terhadap warga sipil. Oleh karena itu sangat pentingnya peraturan

ini diterapkan dan dipatuhi dengan baik dalam suatu konflik yang terjadi

agar tidak adanya warga sipil dan obyek sipil yang menjadi korban sasaran

perang khususnya dalam konflik Suriah yang telah berlangsung lama yang

telah menelan banyak korban warga sipil.

3. Dengan dilihat sejarah perkembangan Hukum Humaniter Internasional kita

dapat memahami sudah banyak peraturan-peraturan atau konvensi-konvensi

yang mengatur setiap kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam suatu

konflik bersenjata baik secara internasional ataupun non-internasional.

Namun dengan adanya peraturan-peraturan tersebut masih banyak warga

sipil dan obyek sipil yang menjadi korban. Jika dilihat kembali isi dari

Prinsip Martens Clause atau Klausula Martens ini, mengandung suatu

pernyataan yang menjadi kunci untuk menjunjung tinggi pentingnya suatu

nilai-nilai kemanusiaan, yaitu “para penduduk dan negara yang berperang

tetap berada dibawah perlindungan atas prinsip-prinsip hukum

internasional, yang timbul dari kebiasaan antara negara yang beradab

Universitas Sumatera Utara


yang berprinsp pada hukum kemanusiaan dan dari hati nurani

masyarakat”. Jika penerapan Prinsip Martens Clause ini lebih diutamakan

dalam penyelesaian masalah konflik Suriah akan memberikan dampak

positif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di Konflik Suriah

khususnya perlindungan warga sipil dan obyek sipil. Prinsip Martens Clause

ini dapat diterapkan bila adanya dukungan dari negara-negara yang beradab

serta pendapat publik dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik Suriah

betapa pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam sebuah kehidupan baik

dalam situasi terjadinya konflik bersenjata maupun non-konflik bersenjata

khususnya yang terjadi di Suriah. Dimana peran penting Organisasi

Internasional juga sangat penting khusunya PBB yang merupakan organisasi

Perdamaian Dunia, sebagai Organisasi yang tujuan utamanya mewujudkan

suatu Perdamaian Dunia dapat membantu penyelesaian konflik Suriah ini

dengan kinerja atau hasil yang sungguh-sungguh, yang dimana konflik ini

sudah berlangsung sangat lama dan menimbulkan akibat penderitaan

terhadap manusia yang ada dalam negara Suriha tersebut

Universitas Sumatera Utara


B. SARAN

Dari hasil penulisan skripsi ini, ada beberapa saran yang akan dikemukakan,

semoga saran ini berguna bagi semua pihak, terutama bagi kita kalangan akademis

dan bagi masyarakat umum lainnya.

1. Istilah yang benar kalau dikatakan konflik itu tidak akan pernah lepas dari

kehidupan manusia. Namun konflik itu dapat kita hindari agar tidak terjadi,

karena konflik itu akan hanya terus membawa penderitaan pada setiap pihak

yang terlibat di dalamnya. Konflik itu meupakan suatu yang timbul karena

adanya suatu sifat kebencian dan jika konflik tersebut terus berlanjut, yang

terjadi hanya akan menyambung terus siklus-siklus kebencian yang terjadi

di dalamnya Kita dapat menghindari konflik tersebut dengan cara menjalin

kebersamaan yang kuat pada setiap manusia dengan tidak memandang

sedikit pun perbedaan yang dimilikinya, saling menghargai, mempunyai

rasa kepercayaan satu sama lainnya hidup bersama secara damai.

2. Marilah kita setiap manusia yang hidup di dunia ini sebagai makhluk yang

paling berarti di mata Tuhan Yang Maha Esa tidak menciptakan hal-hal

yang dimurkakan Tuhan, karena setiap hal yang kita lakukan di dunia

tersebut hanyalah hal-hal yang akan berlangsung sementara saja. Apakah

salah dan rugi bila setiap manusia hidup bersama dan berdampingan secara

damai ? mungkin tidak, malah sebaliknya apabila kita hidup dalam suatu

konflik, maka banyak kerugian yang akan terjadi. Oleh karena itu, marilah

kita sebagai manusia menghargai setiap kehidupan yang ada dan saling

Universitas Sumatera Utara


hidup berdampingan dengan setiap manusia dengan tidak memandang

sedikitpun perbedaan yang ada.

3. Bagi setiap negara-negara yang ada di dunia serta organisasi-organisasi

yang mengutamakan pentingnya suatu PERDAMAIAN DUNIA ada

baiknya kepentingan itu yang harus diutamakan dari setiap kepentingan

negara-negara yang bersifat sementara tersebut, karena bila PERDAMAIAN

DUNIA diutamakan dia tidak akan bersifat sementara saja tetapi akan

terus-menerus terjaga bila adanya konsistensi setiap negara-negara dunia

menjunjung tinggi arti pentingnya sebuah PERDAMAIAN DUNIA.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai