Di Susun Oleh :
RIPAN KUSMAYADI
IV
2. Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan dengan nama asli Tarumanagara ini terletak di daerah Bekasi, Jawa Barat bagian utara.
Raja yang paling terkenal adalah raja yang ke-3, yaitu Raja Purnawarman. Keberadaan kerajaan hindu
dengan aliran hindu wisnu ini diketahui dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menceritakan
tentang keberhasilan-keberhasilan kerajaan. Prasasti-prasasti tersebut antara lain:
Prasasti Kebon Kopi, ditemukan di kebon kopi milik Jonathan Reck
Prasasti Tugu, ditemukan di daerah Bekasi, menceritakan tentang penggalian SungaiGomati oleh
kerajaan Tarumanagara
Prasasti Cidanghiang, ditemukan di daerah Pandeglang
Prasasti Ciaruteun, ditemukan di aliran Sungai Ciampea, menggambarkan betapa perkasanya
seorang raja Purnawarman dengan telapak kaki besarnya yang terukir di prasasti tersebut
Prasasti Muara Cianten, ditemukan di daerah Ciampea
Prasasti Jambu, ditemukan di daerah Nanggung, Bogor
Prasasti Pasir Awi, ditemukan di daerah Cieteureun
Selain ditemukannya peninggalan-peninggalan berupa
prasasti, ternyata ditemukan pula peninggalan berupa candi
yang dikenal dengan sebutan Candi Jiwa, letaknya di daerah
Karawang.
Selain peninggalan sejarah berupa prasasti dan candi,
terdapat pula sumber-sumber sejarah lain mengenai kerajaan
ini seperti:
Fa hien, pada kitab Fa Kao Chi dari China
Dinasti Sui, tahun 528 dan 535 Masehi
Dinasti Tang, tahun 666 dan 669 Masehi
Naskah wangsakerta yang menceritakan tentang pendirian kerajaan Tarumanegara
Akhir dari kerajaan ini disebabkan oleh keinginan Tarusbawa untuk membawa kerajaan
Tarumanagara kembali ke kerajaan Sunda, namun salah satu saudara Tarusbawa yang bernama Galuh
tidak setuju jika kerajaan Taruma kembali ke kerajaan Sunda, akhirnya Galuh pergi dari kerajaan
Taruma, dan kembali datang untuk merebutnya kekuasaan kerajaan Sunda yang awalnya adalah
kekuasaan Kerajaan Tarumanagara, akhirnya kerajaan itu pun diubah menjadi Kerajaan Sunda Galuh.
3. Mataram Kuno
Menurut Teori Van Bammalen, letak kerajaan ini berpindah-
pindah, hal ini disebabkan oleh 2 alasan, yaitu karena adanya
bencana alam letusan Gunung Merapi, dan karena adanya
peperangan dalam perebutan kekuasaan. Awalnya, pada abad ke-8
kerajaan ini terletak di daerah Jawa Tengah, kemudian setelah
Gunung Merapi meletus pada abad ke-10, kerajaan ini dipindahkan
ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok.
Agama di kerajaan ini pun terbagi menjadi 2, yaitu hindu
pada Dinasti Sanjaya dan budha pada Dinasti Syailendra. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja
Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya, Raja Sanjaya. Setelah Raja Sanjaya
meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran. Raja
Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran adalah Rakai Warak, kemudian Rakai Warak digantikan
oleh Rakai Garung (Samaratungga).
Di tengah-tengah pemerintahan kerajaan Mataram Kuno, Datanglah keinginan Rakai Pikatan
untuk menjadi penguasa tunggal sebagai Dinasti Sanjaya. Persaingan antara Dinasti Sanjaya yang
dipimpin Rakai Pikatan dengan Dinasti Syailendra yang dipimpin Raja Samaratungga, membuat cita-
cita Rakai Pikatan untuk menjadi penguasa tunggal di Pulau Jawa terhalang. Terjadi pertikaian antar
kedua dinasti. Akhirnya pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti melalui pernikahan politik
antara Rakai Pikatan dari Dinasti Sanjaya dengan Pramodawardhani dari Dinasti Syailendra.
Namun, pernikahan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani ternyata tidak membuahkan
kedamaian, malah justru membuat pertikaian antara Dinasti Sanjaya dengan Dinasti Syailendra semakin
sengit. Akhirnya, Rakai Pikatan sebagai Dinasti Sanjaya berhasil menguasai kerajaan sedangkan
Pramodawardhani bersama anaknya, Balaputradewa melarikan diri ke Palembang, Sumatra Selatan
untuk kemudian mereka menjalankan sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan
Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Rakai
Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jadi pelaksana pemerintahan. Dewan yang
terdiri atas lima patih ini di antaranya adalah:
Ratu, Datu, Sri Maharaja
Rakryan Mahamantri I Hino
Mahamantri Halu & Mahamantri I Sirikan
Mahamantri Wko & Mahamantri Bawang
Rakryan Kanuruhan
Raja Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang, kemudian dilanjutkan oleh Dyah
Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu
sebagai Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan kembali Kerajaan
Mataram Kuno dari ancaman perpecahan. Di masa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan
struktur pemerintahan dengan menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga
pejabat penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat
lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I Sirikan. Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga
menulis Prasasti Balitung.
Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan
Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat kerajaan
pindah ke Jawa Timur. Mpu Daksa, yang pada masa pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i
Hino,melakukan kudeta karena merasa bahwa ia adalah keturunan asli Dinasti Sanjaya, kemudian Mpu
Daksa digantikan oleh menantunya, Sri Maharaja Tulodhong.
Kerajaan Mataram Kuno berakhir dengan sebuah peristiwa yang disebut Peristiwa Mahapralaya.
Saat itu, Raja Teguh Dharmawangsa sedang menikahkan putrinya, dengan Raden Wijaya. Di tengah-
tengah pesta, datang pasukan kerajaan Sriwijaya dengan kerajaan kecil sekutunya, Kerajaan Wurawari.
Raja Teguh Dharmawangsa tewas, sedangkan putrinya yang sedang menikah lolos dan berhasil
melarikan diri ke Madura bersama suaminya, Raden Wijaya.
4. Kerajaan Kediri
Berdirinya Kerajaan Kediri berawal ketika
Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan kecil Wurawari
berhasil meruntuhkan kerajaan Mataram Kuno lewat
Peristiwa Mahapralaya. Kekuasaan Kerajaaan
Mataram Kuno diambil alih, dan nama Mataram
diubah menjadi Kediri. Kerajaan Kediri merupakan
kerajaan turunan Ajiwuwari. Raja pertamanya
adalah Raja Sri Jayawarsha.
Kemudian dilanjutkan oleh Raja Bameswara.
Dalam kitab Kakawin Smaradahana, karangan Mpu
Dharmaja, diceritakan bahwa Raja Bameswara adalah keturunan pendiri Dinasti Isyana. Kemudian
Raja Bameswara digantikan oleh mertuanya, Jayabhaya. Pada masa pemerintahan Jayabhaya, terjadi
perang saudara ini diabadikan dalam bentuk Kakawin Bharatayuddha yang ditulis oleh Mpu Sedah dan
Mpu Punuluh.
Jayabhaya berhasil memenangkan perang saudara tersebut sehingga wilayah Kediri berhasil
disatukan lagi dengan wilayah Jenggala. Peristiwa kemenangan ini diabadikan dalam Prasasti
Ngantang. Kemudian Raja Jayabhaya digantikan oleh Raja Sarweswara dari Aryyeswara. Kemudian
digantikan lagi oleh Raja Gandra. Pada masa pemerintahannya, Gandra menyempurnakan struktur
pemerintahan yang diwariskan Kerajaan Mataram Kuno. Setelah Raja Gandra, Kerajaan Kediri
dipimpin oleh Raja Kameshwara. Pemerintahan Kameshwara ditandai dengan pesatnya hasil karya
sastra Jawa.
Pada masa pemerintahannya, cerita-cerita panji atau kepehlawanan banyak dihasilkan. Raja
kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau Srengga. Pada masa pemerintahannya, Kediri mulai
mengalami masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya berusaha membatasi dan mengurangi
hak istimewa para kaum Brahmana, kemudian di daerah Tumapel (sekarang Malang) muncul kekuatan
baru di bawah pimpinan Ken Arok.
Perlahan-lahan, terjadi arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri menuju Tumampel.
Kertajaya menyikapi arus pelarian ini dengan mengerahkan tentara Kerajaan Kediri untuk menyerbu
Tumapel. Perang antara pasukan Kertajaya dan Ken Arok terjadi di Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil
menghancurkan kekuasaan pasukan Kertajaya. Atas kekalahan ini, Kerajaan Kediri memang seolah-
olah telah runtuh, namun ternyata, secara perlahan kerajaan Kediri masih berdiri dibawah pimpinan
Raja Jayakatwang, meskipun keberadaan mereka di bawah kekuasaan Kerajaan Singasari.
5. Kerajaan Singasari
Berdirinya Kerajaan Singasari, saling berkaitan erat dengan Kerajaan Kediri dan Majapahit.
Ketika Ken Arok menjabat sebagai prajurit di Tumapel, di Kerajaan Kediri sedang berlangsung
perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke
Tumapel karena merasa lebih nyaman berada di Tumapel, akhirnya terjadilah pertempuran antara
Kerajaan Kediri dengan paukan akuwu Tumapel. Dalam pertempuran di Ganter, Kerajaan Kediri
mengalami kekalahan dan Raja Kertajaya meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan sebagian
wilayah Kerajaan Kediri dengan Tumapel, dan mendirikan Kerajaan Singasari, dengan Tunggul
Ametung sebagai rajanya.
Ken Arok bergelar Sri Rangga Rajasa
(Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur. Istri
pertamanya bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai
empat orang anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu,
Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Awalnya, Ken Arok
hanyalah seorang anak desa yang dilahirkan oleh seorang
Ibu bernama Ken Nduk. Ia dididik oleh para penjahat di
lingkungan sekitarnya hingga dewasa, sehingga ia
tumbuh dan berkembang menjadi seorang penjahat yang
suka mabuk, mencuri, dan membunuh. Pada perjalan
hidupnya, ia bekerja sebagai seorang prajurit di daerah Tumapel, dan tertarik pada Ken Dedes, istri
komandan Tunggul Ametung.
Timbul keinginan Ken Arok untuk memperistri Ken Dedes. Singkat cerita, Ken Arok berhasil
membunuh Tunggul Ametung dengan keris yang dibuat Mpu Gandring, kemudian ia pun segera
memperistri Ken Dedes. Setelah sekian lama, Ken Dedes akhirnya menceritakan peristiwa pebunuhan
suaminya tersebut kepada anaknya dari Tunggu Ametung, Anusapati. Anusapati marah, dan berniat
balas dendam, akhirnya Anusapati berhasil membunuh Ken Arok dengan keris buatan Mpu Gandring
yang telah digunakan Ken Arok untuk membunuh ayah kandungnya.
Panji Tohjaya, anak kandung Ken Arok dengan Ken Umang mengetahui peristiwa pembunuhan
ayahnya yang dilakukan Tohjaya. Akhirnya dengan keris yang sama, Tohjaya berhasil membunuh
Anusapati. Ranggawuni, yang merupakan saudara dari Anusapati, mengetahui pembunuhan yang
dilakukan Tohjaya, akhirnya dengan keris yang sama, Ranggawuni membunuh Tohjaya.Setelah
kejadian bunuh membunuh berantai ini, akhirnya naik tahta lah Raja Kertanegara sebagai raja yang
terkenal dan terbesar dari kerajaan Singasari. Ia mempunyai semangat Ekspansionis.
Kertanegara bercita-cita memperluas Kerajaan Singasari hingga keluar Pulau Jawa yang disebut
dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada tahun 1275, ia mengirim pasukan ke Sumatra untuk menguasai
Kerajaan Melayu yang disebut sebagai Ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan
Melayu berhasil di taklukan. Peristiwa ini diabadikan pada alas patung Amoghapasha di Padangroco
(Sungai Langsat).
Seorang utusan Cina bernama Meng K’i pulang ke Cina, dan menceritakan pada kaisar Kubilai
Khan bahwa Kerajaan Melayu yang awalnya menjadi incarannya telah dikuasai dan ditaklukan oleh
Kerajaan Singasari. Kaisar Kubilai Khan begitu marah, ia segera mengirim pasukan untuk menyerang
Kerajaan Singasari.
Mendengar wilayah kekuasaannya di bagian Sumatra akan diserang, pasukan-pasukan Kerajaan
Singasari segera dikirim ke Sumatra untuk menghadapi serangan pasukan Cina. Sementara itu, Raja
Jayakatwang dari Kerajaan Kediri (kerajaan yang pernah dikalahkan Kerajaan Singasari) melihat
kesempatan baik untuk merebut kembali kekuasaan selagi pasukan-pasukan Kerajaan Singasari dikirim
ke Sumatra. Pada tahun 1292, Raja Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri langsung menyerang
Ibu kota Kerajaan Singasari.
Menurut cerita, pada saat serangan musuh datang, Raja Kertanegara beserta para pejabat dan
pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana, sehingga dapat dengan mudah mereka semua dibunuh
oleh musuh. Kerajaan Singasari akhirnya berhasil direbut kembali oleh Jayakatwang, Raja dari
Kerajaan Kediri.
6. Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan
hindu terakhir dan terbesar di Indonesia. Letaknya
di Pulau Jawa. Pendirinya adalah Raden Wijaya,
menantu dari Raja Teguh Dharmawangsa (Kerajaan
Mataram Kuno) yang sempat melarikan diri ke
Madura bersama istrinya saat terjadi Peristiwa
Mahapralaya.