PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
DISUSUN OLEH
2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt, yang telah melimpahkan hidayah dan kemudahan bagi penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menemukan hambatan dan kesulitan yang berupa
keterbatasan ilmu. Dengan terselesaikannya makalah ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah ikut andil dalam penyusunan dan dukungan.
Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan makalah ini masih belum sempurna, sehingga
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah
pengetahuan pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
PENDAHULUAN...................................................................................................1
PEMBAHASAN......................................................................................................2
PENUTUP..............................................................................................................12
3.1. Kesimpulan..............................................................................................12
3.2. Saran........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
2. Agama merupakan salah satu dari unsur pembentuk identitas nasional. Bangsa
Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis (didasarkan pada nilai agama).
Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di nusantara yaitu agama islam,
katholik, kristen, hindu, budha dan kong hu cu.
3. Kebudayaan merupakan salah satu dari unsur pembentuk identitas nasional.
Pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat
atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-
pendukung utntuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan
digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakukan
dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
4. Bahasa merupakan salah satu dari unsur pembentuk identitas nasional. Dalam hal ini,
bahasa dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-
unsur bunyi ucapan manusia dan digunakan sebagai sarana berinteraksi antarmanusia.
Dari unsur unsur identitas nasional di atas, dapat dirumuskan pembagiannya menjadi tiga
bagian yaitu :
1. Identitas Fundamental, yaitu pancasila sebagai falsafat bangsa, dasar negara dan
ideologi negara.
2. Identitas Instrumental, yaitu berisi UUD 1945 dan tata perundang-undangannya.
Dalam hal ini, bahasa yang digunakan bahasa Indonesia, bendera negara
Indonesia, lambang negara Indonesia, lagu kebangsaan Indonesia yaitu Indonesia Raya.
3. Identitas Alamiah, yaitu meliputi negara kepulauan dan pluralisme dalam suku,
budaya, bahasa dan agama serta kepercayaan.
3
Apabila kita melacak pertumbuhan naionalisme Indonesia sejak kebangkitan nasional
1908, melalui Manifesto Politik 1925 serta Sumpah Pemuda 1928, maka tidak dapat
diingkari bahwa meskipun masih dalam bentuk embrional, keempat prinsip nasionalisme
tersebut sudah hadir. Meskipun Budi Utama belum dapat dipandang sebagai organisasi
nasional dalam arti harfiah, namun pada hakekatnya ideologinya menunjuk pada kesadaran
diri akan kemandirian, kebebasan, kesamaan serta penemuan identitas dirinya.
Selama pergerakan keempat prinsip itu menjadi tujuan perjuangan kemudian melalui
jaman Jepang semangat nasionalisme meluas ke segala lapisan rakyat sehingga revolusi
Indonesia dapat dilancarkan. Sesungguhnya pada masa pasca revolusi, ideologi nasionalisme
masih tetap memiliki relevansi bagi pembangungan bangsa.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah dalam era globalisasi ini, nasionalisme mampu
menahan lajunya arus globalisasi (internasionalisasi) pada semua segi kehidupan, dimana
antar negara saling bergantung. Huntington menyatakan bahwa ketergantungan anatar Negara
bukan merupakan gerakan internasional yang akan menciptakan negara global serta akan
melebur konsep nation state. Bahkan Huntington merasa yakin bahwa internasionalisme telah
menemui jalan buntu, karena pretense organisasi internasional sendiri. Pernyataan tersebut
didukung oleh kondisi faktual yang mensyaratkan organisasi internasional membutuhkan
persetujuan dari negara-negara anggotanya dalam setiap keputusan penting dan mendesak.
4
Pada sisi lain, identitas nasional perlu dipupuk pada generasi muda lewat kesadaran
nasional yang perlu dibangkitkan lewat kesadaran sejarah. Kesadaran ini mencakup
pengalaman kolektif dimasa lampau, atau nasib bersama dimasa lampau yang mendidik
negara. Tanpa kesadaran sejarah nasional tidak akan ada identitas nasional dan tanpa identitas
nasional seseorang tidak akan memiliki kepribadian nasional. Kesadaran nasional
menciptakan inspirasi dan aspirasi nasionalis. Nasionalisme sebagai ideologi perlu menjiwai
setiap warga negara dan wajib secara moral dengan loyalitas penuh idealisme yang
membendung kekuatan materialisme, konsumerisme dan dampak globalisasi yang negatif.
5
2. Dalam bidang ekonomi, tampak dengan adanya usaha penghapusan
eksploitasi ekonomi asing. Tujuannya untuk membentuk masyarakat yang
bebas dari kesengsaraan dan kemelaratan untuk meningkatkan taraf hidup
bangsa Indonesia.
3. Dalam bidang budaya, tampak dengan upaya yang melindungi,
memperbaiki dan mengembalikan budaya bangsa Indonesia yang hampir
punah Karena masuknya budaya asing di Indonesia. Para nasionalis berusaha
untuk memperhatikan dan menjaga serta menumbuhkan kebudayaan asli
bangsa Indonesia.
6
Identitas dan modernitas sering kali mengalami tarik menarik, beberapa orang
lebih menutup diri dari modernisasi untuk melindungi identitasnya, mereka khawatir
identitas yang selama ini dibangun akan hilang karena terhapus terpaan modernitas.
Identitas sendiri dalam perkembangannya tidak hanya suatu hal yang harus dipertahankan,
tetapi juga harus dikembangkan namun masih mempertahankan hal-hal fundamental yang
terdapat di dalamnya. Contohnya saja Indonesia yang memiliki beribu etnis, Indonesia
harus mampu menyatukan diri membentuk suatu identitas, yaitu Bangsa Indonesia.
Karena Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa, maka Pancasila dapat
dikatakan sebagai karakter sesungguhnya bangsa Indonesia. Dengan demikian Pancasila
betul-betul merupakan nilai dasar sekaligus ideal untuk bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang
merupakan identitas sekaligus karakter bangsa. Lima nilai dasar yaitu ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan yang terkandung dalam pancasila
merupakan realitas yang hidup di Indonesia. Konsep identitas nasional pada akhirnya akan
melahirkan tindakan kelompok. Yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau
pergerakan yang diberi atribut-atribut nasional. Kata nasional sendiri tidak bisa dipisahkan
dari kemunculan konsep nasionalisme.
2.4 Islam dan Nasionalisme
Islam dan Indonesia selalu menarik diperbincangkan, apalagi ketika dikaitkan
dengan isu-isu sosial politik. Tidak saja karena populasi muslim di negeri ini yang sering
disebut-sebut terbanyak dan mayoritas dibandingkan dengan populasi muslim di negara-
negara Islam lainnya. Ada banyak faktor yang turut mewarnai dinamika-dinamika
keislaman dan keindonesiaan di sini, dari soal-soal sejarah dan kebudayaan hingga
masalah ekspresi keagamaan serta kiblat sosial dan aliran politik.
Konteks mayoritas tidak serta merta menjadikan negara kepulauan terbesar di dunia
dengan konstruksi sosial multietnik ini berasaskan Islam untuk tidak menyebut: bukan
Negara Islam. Terkait hal ini kerap timbul selang-seling politik.
Islamisasi Indonesia
Tempo-tempo dimunculkan opini bahwa “Indonesia adalah Islam.” Tanpa umat
muslim, tak ada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negeri ini berdiri berkat
jasa para pejuang yang notabene mayoritas dari mereka adalah muslim. Karena itu
menyisihkan Islam dan/atau menyampingkan umat muslim dari elan politik, ekonomi, dan
budaya sama artinya dengan “pengkhianatan (?).”
Namun demikian, tak semua komponen dari warga bangsa dan negara ini
termasuk sebagian dari umat muslim sendiri setuju dengan argumen yang menarasikan
7
bahwa “Indonesia adalah Islam.” Opini semacam ini bisa dianggap sebagai apologi atas
kepentingan yang hanya akan menabalkan sektarianisme keagamaan serta superioritas
Islam di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, negara ini tak
boleh berasaskan agama apapun termasuk Islam. Dari sinilah sekularisasi Indonesia ambil
posisi untuk berkembang.
Keberatan terhadap ide Islamisasi selain dipengaruhi oleh konteks zaman ketika
negara ini mulai dibentuk, hal lebih mendasar adalah menyangkut historisitas serta realitas
akan kemajemukan warga bangsa ini. Betapapun umat muslim memiliki andil besar
terhadap pembentukan NKRI ini pun bisa dipandang sebagai kewajaran karena mereka
mayoritas tidak berarti bahwa “Indonesia adalah Islam” atau “milik umat muslim” dan
karena itu mesti berasaskan Islam.
Historisitas Indonesia diwarnai oleh beragam kebudayaan mulai dari animisme-
dinamisme serta Hinduisme dan Buddhisme hingga Islam dan Kristen. Karena itu narasi
tentang Indonesia selalu diklasifikasikan ke dalam sejarah klasik dan sejarah modern.
Realitas warga bangsa ini pun multirasial dan multietnik. Maka dalam konteks hidup
berbangsa dan bernegara tak boleh ada superioritas.
Ketika negara ini mulai dibentuk, situasi dunia sedang berada dalam rambatan
sekularisme. Penetrasi sekularisme ala Barat (Eropa) merambahi dunia Timur, tak
terkecuali wilayah Nusantara. Penetrasi inilah yang merangsang timbulnya kecenderungan
ideologisasi agama terutama di kalangan umat muslim dan sekaligus menciptakan
polarisasi dalam proses penentuan asas negara maupun dalam sejarah perjalanan
kebangsaan berikutnya.
Seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak awal asas kebangsaan negara
ini terbentuk melalui dua arus pemikiran yang berkembang pada masa itu, yakni
nasionalisme yang berafiliasi kuat pada ajaran keislaman dan nasionalisme yang
berpegang pada pemisahan tegas antara agama dan negara. Arus pemikiran pertama bisa
disebut dengan istilah “nasionalisme keislaman,” dan yang kedua sering disebut dengan
istilah “nasionalisme sekuler.”
Dua arus pemikiran yang berpangkal pada “dialektika hubungan antara agama
dan negara” ini terus mewarnai sejarah perjalanan bangsa hingga hari ini, dan cenderung
menjadi polemik gagasan maupun gerakan yang tak berkesudahan.
8
Polarisasi Umat Muslim
Betul bahwa rumusan Pancasila telah disepakati bersama sebagai asas-falsafah
negara; mencakup asas-asas Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan
Keadilan Sosial. Asas-asas ini dipandang ideal serta merupakan titik temu atas berbagai
kepentingan yang berkembang dalam sejarah awal kebangsaan, termasuk antara
nasionalisme keislaman dan nasionalisme sekuler.
Namun sebagaimana sejak awal perumusannya yang diwarnai polarisasi, dalam
pengamalannya pun demikian. Hal ini bisa diteropong melalui kronik sejarah kebangsaan,
khususnya mulai dari 22 Juni 1945 ketika pertama kali konsensus Preambul bagi UUD
1945 yang memuat asas-asas kebangsaan dicapai dalam rangka persiapan kemerdekaan.
Dokumen Konsensus ini ditandatangani di Jakarta dan karenanya kemudian dikenal
dengan nama “Piagam Jakarta” oleh sembilan tokoh yang dipandang mewakili dua aliran
dari nasionalisme keislaman; yakni Agoes Salim, Abikuesno Tjokrosoejoso, dan Abdoel
Kahar Moezakkir serta Soekarno, Moh. Hatta, A.A. Maramis, Achmad Soebardjo, dan
Mohammad Yamin dari nasionalisme sekuler.
Syahdan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan Republik Indonesia
diproklamasikan, ketika UUD Sementara bagi negara yang baru dilahirkan ini ditetapkan,
terjadi penghapusan tujuh kata dari bagian isi Preambul yang telah disepakati dan
ditandatangani bersama, yakni pada bagian asas “Ketuhanan” yang semula rangkaiannya,
“…dengan kewajiban menjalankan syari‘at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Tujuh kata
ini dihapus, dan redaksi asas ini menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa.”
Preseden penghapusan tujuh kata ini dengan segala dinamika “apologis” di
belakangnya tak pelak menumbuhkan kekecewaan pada sebagian kalangan dari nasionalis
muslim. Dari sini, kehendak untuk menjadikan Islam sebagai asas negara ini seperti
bersemi kembali.
Berbagai polemik gagasan tentang dasar-struktur-praktik bernegara maupun
variasi dan inovasi gerakan terutama terkait politik keislaman telah, sedang, dan mungkin
akan terus mewarnai sejarah bangsa ini. Bisa dilihat, misalnya, gagasan dan gerakan
tentang Negara Islam yang tak pernah padam mulai dari soal DI-TII hingga masalah
Khilafah; polemik seputar pluralisme-liberalisme-sekularisme agama dan masalah Islam
Nusantara hingga soal-soal terkait pemimpin pro-anti Islam dan/atau pro-anti Pancasila.
Ditambah lagi bahwa pengamalan Pancasila sebagai asas-falsafah negara dalam praktik
kehidupan berbangsa masih jauh panggang dari api.
9
2.5 Globalisasi dan Tantangan Identitas Nasional
Secara sederhana, identitas nasional Indonesia mencakup semangat kebangsaan
(nasionalisme) Indonesia, negara-bangsa (nation-state) Indonesia, dasar negara Pancasila,
bahasa nasional, bahasa Indonesia, lagu kebangsaan Indonesia Raya, semboyan negara
'Bhinneka Tunggal Ika', bendera negara sang saka merah putih, konstitusi negara UUD
1945, integrasi Wawasan Nusantara, serta tradisi dan kebudayaan daerah yang telah
diterima secara luas sebagai bagian integral budaya nasional setelah melalui proses
tertentu yang bisa disebut sebagai 'mengindonesia', yang berarti proses untuk mewujudkan
mimpi, imajinasi, dan cita-cita ideal bangsa Indonesia yang bersatu, adil, makmur,
berharkat, dan bermartabat, baik ke dalam maupun ke luar dalam kancah internasional.
Karena kedudukannya yang amat penting itu, identitas nasional harus dimiliki
oleh setiap bangsa. Karena tanpa identitas nasional suatu bangsa akan terombang-ambing.
Namun apabila kita melihat fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini, identitas yang
dimiliki bangsa kita seolah-olah telah terkikis dengan adanya pengaruh yang timbul dari
pihak luar. Budaya-budaya barat yang masuk ke negara kita ini, rasanya begitu cepat di
serap oleh lapisan masyarakat. Masyarakat lebih mudah mengambil budaya-budaya barat
yang tidak sesuai dengan corak ketimuran. Yang pada dasarnya masih menjunjung tinggi
nilai moral dan etika. Namun kenyataannya, hal itu sering kali di abaikan. Dengan melihat
kenyataan ini, terlihat jelas bahwa identitas nasional telah mulai terkikis dengan datangnya
budaya-budaya barat yang memang tidak sesuai dengan budaya bangsa indonesia.
Tantangan mengembangkan identitas nasional terletak pada pikiran dan sikap
yang terbuka untuk menghormati keanekaragaman, mendorong demokrasi yang
partisipatif, memperkuat penegakan hukum, serta memajukan solidaritas terhadap mereka
yang lemah atau korban di mana negeri Indonesia adalah ruang publik sebagai tempat kita
hidup bersama. Karena kedudukannya yang amat penting itu, identitas nasional harus
dimiliki oleh setiap bangsa. Karena tanpa identitas nasional suatu bangsa akan terombang-
ambing.
Disadari bahwa rendahnya pemahaman dan menurunnya kesadaran warga negara
dalam bersikap dan berperilaku menggunakan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara khususnya pada era reformasi bagaikan berada dalam tahap
disintegrasi karena tidak ada nilai-nilai yang menjadi pegangan bersama. Oleh karena itu
perlu adanya pendukungdalam meningkatkan kesadaran terhadap nilai-nilai luhur yang
dapat dijadikan pegangan dalam bermasyarakat. Memahami dan mengerti nilai-nilai
pancasila sejak dini dalam kehidupan sekolah sangat membantu dalam meningkatkan
10
kesadaran dalam mewujudkan nilai-nilai pancasila. Kita perlu memahami secara penuh
bahwa pancasila sebagai pedoman hidup bangsa sehingga kita dapat merasa berkewajiban
dalam melaksanakannya.
Tantangan terkait memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme perlu mendapat
perhatian. Bangsa indonesia perlu mengupayakan strategi untuk mengalihkan kecintaan
terhadap bangsa asing agar dapat berubah menjadi bangsa sendiri. Hal tersebut perlu
adanya upaya dari generasi baru untuk mendorong bangsa indonesia untuk membuat
prestasi yang tidak dapat dibuat oleh bangsa lain. Mendorong masyarakat kita untuk
bangga menggunakan produk bangsa sendiri.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Identitas Nasional adalah kumpulan nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang
dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang dihimpun dalam satu kesatuan
Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika
sebagai dasar dan arah pengembangannya.
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa banyak kekurangan.
Sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini. Penulis menemukan kesulitan dalam mencari buku referensi untuk mendukung
bahan materi ini.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Heri Herdiawanto dan Jumanta Hamdayama, 2010. Judul : Cerdas, Kritis, Dan Aktif
Berwarganegara (Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi). Penerbit
ERLANGGA : Jakarta.
2. http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-dan-unsur-identitas-
nasional.html
3. https://www.academia.edu/10738523/Sejarah_Lahirnya_Nasionalisme_di_Indonesia?
auto=download
4. http://makalahinola.blogspot.com/2018/03/makalah-identitas-nasional-indonesia.html
5. https://geotimes.co.id/opini/islam-dan-nasionalisme-indonesia-polemik-yang-tak-
berkesudahan/
6. https://www.academia.edu/34620160/Dinamika_dan_Tantangan_Identitas_Nasional_I
ndonesia
13