Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN RESMI HEMATOLOGI III

ACARA KE 1 dan 2
PENGAMATAN SEDIAAN APUS DARAH TEPI pada
ANEMIA SEL SABIT (Sicle Cell Anemia) dan ANEMIA DEFISIENSI
BESI (Iron Deficiency Anemia)

Dosen Pengampu: Tantri Analisawati Sudarsono S.Si., M.Si

Disusun oleh:
Nama : Aprianto
NIM : 1811050039
Kelas : 5A TLM

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK D4


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2020
Jum’at, 06 November 2020

I. Tujuan Praktikum
1. Untuk mengetahui bentuk sel pada anemia sel sabit
2. Untuk mengetahui bentuk sel pada anemia defisiensi besi
3. Untuk mengetahui cara pemeriksaan anemia sel sabit dan anemia defisiensi besi
4. Dapat membedakan antara eritrosit yang normal dan abnormal

II. Dasar Teori


Haemoglobin S adalah jenis hemoglobinopati yang paling sering terjadi di seluruh
dunia. Haemoglobin S banyak ditemukan pada penduduk Afrika. Kelainan Hb S ditandai
dengaan adanya penambahan valin terhadap asam glutamat pada asam amino ke- 6.
Deoksigenasi Hb S cenderung berpolimerasi menjadi struktur yang kaku dan panjang yang
mengubah sel darah merah menjadi bentuk yang khas, seperti bulan sabit. Eritrosit sel sabit
juga lengket terhadap sel endotel yang menyebabkan predisposisi thrombosis (Denny, dkk,
2016)

Gambar. 1. Diagram Proses Polimerisasi. A. Molekul HbS. B. HbS yang berikatan


dengan HbS lainnya. C. Bentuk yang mirip tali tambang hasil ikatan HbS. D.
Morfologi SDM yang menyerupai sabit. E. Penyumbatan yang terjadi pada
pembuluh darah

Tahap awal penyakit ini sel darah merah yang telah mengalami polimerisasi masih
dapat kembali kebentuk semula jika mengalami oksigenasi. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi proses polimerisasi yaitu, oksigen, konsentrasi HbS dalam darah dan suhu.
Oksigen memegang peranan penting dalam proses polimerisasi. Ketika oksigen terlepas
dari sel darah merah untuk menuju ke jaringan tubuh, hal ini akan memicu terjadinya
polimerisasi karena pada saat itu hemoglobin mengalami deoksigenasi. Faktor lain, yang
masih berkaitan dengan afinitas hemoglobin-oksigen, yang dapat mempengaruhi
polimerisasi, yaitu senyawa 2,3-BPG (2,3 bifosfogliserat) dan nilai pH darah. Pada proses
pelepasan ikatan hemoglobin-oksigen, senyawa 2,3-BPG (2,3 bifosfogliserat) memegang
peranan penting dalam menurunkan afinitas hemoglobin terhadap oksigen, sehingga
peningkatan senyawa 2,3-BPG (2,3 bifosfogliserat) akan dapat memicu polimerisasi
hemoglobin. Sementara itu, penurunan nilai pH akan menyebabkan jumlah ion hidrogen
(H+4) meningkat sehingga akan memaksa hemoglobin melepaskan oksigen untuk
membentuk senyawa Hb, yang dapat memicu terjadinya polimerisasi (Beutler E. 2001).

Konsentrasi HbS dalam darah dapat memicu terjadinya polimerisasi. Pada umumnya,
polimerisasi akan terjadi bila konsentrasi HbS naik melebihi 20.8 g/dl. Suhu
mempengaruhi keadaan kental dari deoksiHbS. DeoksiHbS akan mengalami pencairan bila
mengalami pendinginan, namun apabila mengalami pendinginan dapat minumbulkan efek
terjadinya vasokontraksi.Beberapa hemoglobin dapat menghambat terjadinya polimerisasi,
sedangkan yang lainnya dapat memicu polimerisasi. HbF dan HbA merupakan contoh dari
hemoglobin yang dapat menghambat proses polimerisasi. Kedua hemoglobin tersebut,
ketika mengalami deoksigenasi tidak akan mengalami polimerisasi dan tidak menjadi
bentuk sabit, sehingga dapat menjaga viskositas serta volume darah untuk tidak berubah
menjadi lebih kental. Berkaitan dengan hal ini, agen apapun yang dapat meningkatkan
volume darah akan dapat mencegah terjadinya polimerisasi. Dalam kasus ini, HbF dan
HbA yang terdapat dalam darah seolah-olah menambah volume darah yang sedang
mengalami perubahan menjadi lebih kental. Sebaliknya, HbC, HbD, HbO Arab dan HbJ
merupakan contoh hemoglobin yang dapat memicu terjadinya polimerisasi. Faktor kelima
adalah infeksi. Beberapa infeksi dapat mempengaruhi terjadinya polimerisasi hemoglobin,
seperti demam, muntah, diare dapat menyebabkan dehidrasi yang berkaitan dengan volume
darah yang berkurang sehingga memicu perubahan darah menjadi lebih kental; asupan
makanan yang kurang dapat menyebabkan terjadinya asidosis yang dapat menurunkan nilai
pH darah sehingga memicu terjadinya polimerisasi haemoglobin salah satu contoh
penyakitnya adalah pneumonia, dimana penyakit ini dapat menimbukan kekentalan
terhadap darah (Beutler E. 2001).

Anemia sel sabit (sicle cell anemia) adalah suatu penyakit keturunan yang ditandai
dengan sel darah merah (eritrosit) berbentuk sabit, kaku dan merupakan anemia hemolitik
kronik. Sel darah merah pada anemia sel sabit memiliki haemoglobin dalam bentuk
abnormal, sehingga dapat mengurangi jumlah oksigen dalam sel dan menyebabkan sel
darah merah berbentuk sabit. Sel yang berbentuk sabit akan menyebabkan terjadinya
penyumbatan dan kerusakan pada pembuluh darah terkecil pada limfa, ginjal, otak, tulang
dan organ lain, sehingga menyebabkan berkurangnya oksigen pada organ tersebut (Tantri,
2020).

Sel sabit bersifat rapuh dan akan pecah pada saat melewati pembuluh darah,
menyebabkan anemia berat, penyumbatan aliran darah, kerusakan organ bahkan sampai
pada kematian. Sel darah merah berbentuk sabit memiliki waktu hidup lebih pendek
dibanding sel darah merah normal. Sickle Cell Anemia (SCA) merupakan penyakit genetik
yang resesif, artinya seseorang harus mewarisi dua gen pembawa penyakit ini dari kedua
orang tuanya. Hal inilah yang menyebabkan penyakit SCA jarang terjadi. Seseorang yang
hanya mewarisi satu gen tidak akan menunjukkan gejala dan hanya berperan sebagai
pembawa. Jika satu pihak orang tua mempunyai gen Sickle Cell Anemia dan yang lain
merupakan pembawa, maka terdapat 50% kesempatan anaknya menderita Sickle Cell
Anemia dan 50% kesempatan sebagai pembawa (Tantri, 2020).
Gambaran klinik pada penderita anemia sel sabit dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu
gambaran klinis yang bersifat akut, dan gambaran klinis yang bersifat kronis.
1. Gambaran klinis yang bersifat akut:
a. Penyumbatan pembuluh darah (vasoocclusive)
Penyumbatan pembuluh darah ini dapat disebabkan apabila penderita mengalami
demam, dehidrasi, suhu dingin, kehamilan, tekanan emosional maupun asidosis.
Penyumbatan ini akan dirasakan oleh penderita sebagai rasa nyeri. Rasa nyeri
tersebut dapat terjadi diberbagai tempat, sesuai dengan tempat terjadinya
penyumbatan, seperti dada, tulang, perut maupun otak. Penyumbatan yang terjadi
pada otak dapat menyebabkan stroke. Rasa nyeri di perut pada umumnya disebabkan
karena terjadi infark pada limpa. Rasa nyeri pada dada sering disertai dengan infeksi
bakteri yang kemudian disebut dengan istilah acute chest syndrome (ACS).
b. Hand-foot syndrome
Sindrom ini ditandai dengan adanya pembengkakan pada punggung tangan dan kaki,
nonerythematous, dan terasa sangat sakit yang disertai dengan demam dan
peningkatan jumlah leukosit.
c. Priapismus
Priapismus ini dialami oleh sebagian besar penderita anemia sel sabit yang berusia
antara 5-13 tahun dan 21-29 tahun. Hal ini umumnya dimulai malam hari ketika
tidur yang disebabkan karena terjadinya dehidrasi dan hipoventasi yang kemudian
menyebabkan terjadinya stagnansi aliran darah pada daerah penis. Semakin tua usia
penderita, maka prognosisnya akan semakin buruk dan dapat menyebabkan
impotensi.
d. Krisis aplastic
Krisis aplastik ini disebabkan karena terjadi penurunan pembentukan sel darah
merah yang disertai dengan demam. Berdasarkan studi epidemiologi, hal ini
disebabkan karena adanya infeksi virus, yaitu human parvovirus B19.
e. Penggumpalan darah pada limpa
Hal ini ditandai dengan turunnya konsentrasi Hb paling tidak menjadi 2 g/dl dan
terjadinya spleenomegaly.
f. Krisis hemolisis
Krisis hemolisis ini disebabkan karena terlalu pendeknya usia sel darah merah
sehingga semakin cepat terjadinya hemolisis. Hal ini menyebabkan turunnya
hemoglobin dan naiknya retikulosit, yang kemudian memicu terjadinya jaundice.
2. Berikut ini beberapa gambaran klinis yang bersifat kronis:
a. Terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan
b. Osteonecrosis
c. Retardasi mental
d. Berkurangnya integrasi visual-motor
e. Berkurangnya daya ingat
f. Berkurangnya perhatian dan konsentrasi (attention and concentration)
g. Cardiomegaly
h. Obstructive lung disease
i. Gangguan fungsi hati
j. Hematuria
k. Gagal ginjal
l. Kebutaan
m. Leg ulcer.

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta, 2006). Anemia defisiensi
besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan
cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi
hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun (Denny, 2016).

Menurut Bakta (2006) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya
asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan zat besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menoragi.
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptisis.
2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang
kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.
3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan,
dan kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi
bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan
kopi), dan kalsium (susu dan produk susu) (Denny, 2016).

Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi yang
meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun (Bakta, 2006).
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu
tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin
serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang
negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama
sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada
bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron
deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan
kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin
menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron binding capacity = TIBC) meningkat, serta
peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi
maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun.
Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi
(iron deficiency anemia) (Denny, 2020).

Klafisikasi Anemia yang mengelompokkan berbagai macam anemia, secara garis besar
didasarkan pada penyebab dan mekanisme terjadinya anemia, yaitu:
1. Tubuh kehilangan terlalu banyak darah (seperti karena trauma, atau menderita
penyakit tertentu),
2. Tubuh memiliki masalah dalam memproduksi sel darah merah,
3. Sel darah merah memecah atau mati lebih cepat sementara belum terbentuk sel darah
merah yang baru.

Masalah tersebut dapat terjadi secara tunggal namun bisa juga kombinasi tergantung dari
jenis anemia. Anemia defisiensi besi (Fe), merupakan yang paling umum terjadi di dunia.
Kekurangan zat besi dapat menyebabkan tubuh mengalami anemia dikarenakan sumsum
tulang membutuhkan zat besi dalam proses produksi sel darah.
1. Anemia ini dapat terjadi pada wanita hamil yang tidak mengonsumsi suplemen
penambah zat besi.
2. Anemia ini juga dapat terjadi pada perdarahan menstruasi yang banyak, tukak organ
(luka), kanker.
3. Anemia ini juga dapat terjadi pada penggunaan obat pereda nyeris seperti aspirin.

Anemia disebabkan karena produksi sel darah merah yang terganggu. Sel darah merah
manusia diproduksi di sumsum tulang atas rangsangan dari hormon eritropoeitin yang
dihasilkan ginjal. Untuk membentuk sel-sel darah merah dan hemoglobin dibutuhkan bahan
baku (utama) berupa zat besi (Fe), vitamin B12 dan Asam Folat, sehingga apabila tubuh
mengalami kekurangan zat-zat tersebut akan menyebabkan anemia. Pada anemia defisiensi
besi, sel darah merah ukurannya lebih kecil dari normal (mikrositer) dan warnanya lebih
pucat (hipokrom) sehingga disebut juga anemia hipokrom mikrositer. Kadar zat besi dalam
tubuh bisa rendah karena kehilangan darah dan asupan zat besi yang kurang. Pada wanita,
sel darah merah dan besi hilang ketika pendarahan menstruasi yang berlebihan dan ketika
melahirkan. Anemia pada kehamilan juga merupakan jenis anemia defisiensi besi ini,
terutama apabila ibu hamil kurang asupan zat besi (Tantri, 2020).

Gejala-gejala yang umumnya dialami penderita anemia kekurangan zat besi adalah:
1. Mulut terasa kering dan pecah-pecah di bagian sudutnya.
2. Kuku yang melengkung ke atas (koilonychia), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertical, dan menjadi cekung sehingga mirip sendok
3. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan emngkilap karena papil
lidah menghilang.
4. Disfagia, nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring (Denny, 2016).
Menurut Bakta (2006) proses absorbsi besi dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
1. Fase Luminal
Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-
heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan
bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi
dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung (dilepaskan
dari ikatannya dengan senyawa lain) karena pengaruh asam lambung. Kemudian
terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di
duodenum (Bakta, 2006).
2. Fase Mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum
proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan
terkendali. Besi heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam
lambung. Pada brush border dari sel absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut
sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi besi fero oleh enzim ferireduktase,
dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui
membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1). Setelah besi masuk
dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan
melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi konversi
dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi
bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Sementara besi non-heme di
lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi
yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme
akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke dalam lumen usus (Bakta, 2006).
Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral
diatur oleh “set point” yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta.
Kemudian pada saat pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap
menjadi sel absorptif. Adapun mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga
yaitu, regulator dietetik, regulator simpanan, dan regulator eritropoetik (Bakta, 2006).
3. Fase Korporeal
Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus.
Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul
transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin
(Fe2-Tf) akan berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor= Tfr) yang
terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas.

Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin dan
sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk
pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol
ini diikat oleh 4 gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari
enam posisi ordinal fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme
sintetase ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks persenyawaan
protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero ditengahnya (Murray, 2003).
III. Metode
Microscopy / Virtual Microscopy / Slide Microscopy

IV. Prinsip Pemeriksaan


Preparat sel darah tepi anemia sel sabit dan anemia defisinsi besi diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran 100 X, untuk melihat ada tidaknya sel abnormal yang
menandakan adanya anemia sel sabit dan defisiensi besi pada preparat sampel.

V. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Mikroskop
b. Alat tulis
2. Bahan
a. Preparat anemia sel sabit
b. Preparat anemia defisiensi besi
c. Minyak imersi
d. Xylol
e. Tissue
f. Kertas lensa

VI. Cara Kerja


1. Di teteskan satu tetes minyak imersi pada sediaan apus darah tepi.
2. Sediaan apus darah tepi diamati di bawah mikroskop dengan menggunakan perbesaran
lensa obyektif paling rendah (4x).
3. Kemudian dilakukan pengamatan dengan perbesaran di atasnya (10x dan 40x) dan
hingga 100x.
4. Morfologi sel darah diamati kemudian digambarkan.
5. Hasil pengamatan morfologi digambarkan sebagai pelaporan hasil.

VII. Nilai Normal


Bentuk : Bulat/sedikit oval (cakram bikonkaf)
Warna : Merah
Nukleus : Tidak memiliki inti sel
Diameter : + 7,5 µm
Ketebalan : 2,0 µm
Waktu hidup eritrosit : 100-120 hari
VIII. Hasil Pemeriksaan

Keterangan:
Pada praktikum pengamatan anemia sel sabit (Sicle Cell
Anemia) dan anemia defisiensi besi (Iron Deficiency Anemia)
dapat ditemukan morfologi dari sel sabit yang berbentuk
melengkung dan kaku, serta ditemukan sel dalam bentuk lain
yaitu, target cell,dan stomatocyte kemudian pada anemia
defisiensi besi ditemukan sel eritrosit yang berbentuk ovalosit,
mikrositer hipokrom dan ditemukan beberapa sel spherocyte.

Gambar 1. Laporan Sementara

Keterangan:
Sel Eritrosit Normal
Sel Sabit (Sicle cell)
Sel Target (Target cell)

Stomatosit (Stomatocyte cell)


Hipokromia

Gambar 2. Anemia Sel Sabit

Keterangan:
Spherosit
Sel Eritrosit Normal
Mikrositer
Ovalosit

Gambar 3. Anemia Defisiensi Besi


IX. Pembahasan
A. Anemia Sel Sabit (Sicle Cell Anemia)
Berdasarkan hasil dari praktikum pengamatan preparat anemia sel sabit (Sicle cell
anemia) dapat diketahui bahwa sel yang di dalamnya adalah sel eritrosit yang berbentuk
sabit atau seperti tanda koma, selain itu ditemukan sel target, stomatosit dan sel yang
hipokrom. Sel-sel ini ditemukan karena adanya kelainan haemoglobin sehingga
menyebabkan pasokan oksigen dalam tubuh berkurang, yang mengakibatkan sel eritrosit
tidak terbentuk secara sempurna. Sehingga dapat diketahui bahwa hasil praktikum ini sesuai
dengan seharusnya pada penderita anemia sel sabit.

Anemia sel sabit Sickle Cell Anemia (SCA) merupakan penyakit genetik yang resesif,
artinya seseorang harus mewarisi dua gen pembawa penyakit ini dari kedua orang tuanya.
Hal inilah yang menyebabkan penyakit SCA jarang terjadi. Seseorang yang hanya mewarisi
satu gen tidak akan menunjukkan gejala dan hanya berperan sebagai pembawa. Jika satu
pihak orang tua mempunyai gen Sickle Cell Anemia dan yang lain merupakan pembawa,
maka terdapat 50% kesempatan anaknya menderita Sickle Cell Anemia dan 50% kesempatan
sebagai pembawa (Tantri, 2020).

Anemia sel sabit merupakan suatu kelainan pada darah yang disebabkan karena adanya
perubahan asam amino ke-6 pada rantai protein globin β yang menyebabkan adanya
perubahan bentuk dari sel darah merah yang menyebabkan sel darah merah serupa dengan
sabit, yang disebut dengan Haemoglobin SS.

Gejala yang dialami oleh penderita anemia sel sabit adalah:


1. Kelelahan.
2. Mudah terkena infeksi.
3. Nyeri tajam pada bagian sendi, perut, dan anggota gerak.
4. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak (Tantri, 2020).

Pada kondisi anemia sel sabit pemeriksaan yang biasana dilakukan adalah pemeriksaan
darah lengkap dimana, Hb darah pada pasien biasanya mencapai 5-8 gram/dl, dan nilai
volume rata-rata eritrosit (MCV) normal, nilai konsentrasi hemoglobin rata-rata (MCHC)
normal, sedangkan pada apusan darah menunjukan adanya sel sabit dan sel target serta
kadang ada juga sel lain yang ada. Tes Hb sel sabit meliputi tes kelarutan sabit dan
elektroforensis haemoglobin. Tes kelarutan sel sel sabit bergantung pada penurunan
kelarutan haemoglobin S deoksigenasi dalam buffer fosfat molaritas tinggi (Denny, 2016).

Uji kelarutan biasanya positif, apabila haemoglobin S terdiri dari lebih dari 10-20%
haemoglobin. Tes lain yang umumnya digunakan untuk mendeteksi haemoglobin S adalah
elektroforensis haemoglobin, yang biasanya dilakukan pada pH basa selulosa asetat (Denny,
2016).
B. Anemia Defisiensi Besi (Iron Deficiency Anemia)
Berdasakan hasil pengamatan pada preparat anemia defisiensi dapat diketahui bahwa
sel-sel yang ditemukannya adalaha sel mikrositer, sel spherosit, sel ovalosit. Dari hasil
tersebut masih kurang sesuai dengan yang seharusnyaterjadi pada penderita anemia
defisiensi besi yang seharusnya ditemukan kelainan sel eritrosit, yakni: sel darah merah
hipokromik dan mikrositik, aniso/poikilositosis, sel target dan sel pencil. Hal ini mungkin
terjadi karena praktikan hanya melihat pada 1 titik saja, tidak diamati secara keseluruhan
pada lapang pandang apusan darah tepi.

Menurut Bakta (2006) anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya
asupan besi, gangguan absorbsi, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun.
1. Kehilangan zat besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau NSAID, kanker
lambung, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menoragi.
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptisis.
e. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang
kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.
f. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan, dan kehamilan.
2. Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan (asupan yang
kurang) atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang rendah.
3. Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan,
dan kehamilan.
4. Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan kolitis kronik, atau dikonsumsi
bersama kandungan fosfat (sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh, dan
kopi), dan kalsium (susu dan produk susu) (Denny, 2016).

Gejala anemia defisiensi besi:


1. Gejala umum: pucat,napas pendek,mudah lelah, sakit kepala, nyeri dada. Lebih terlihat
dan terasa pada anemia berat
2. Gejala khusus: koilonychia,riged brittle nails, glositis, angular cheilosis, pica, hair
thinning, faringeal web formation.

Pemeriksaan laboratorium terdiri dari pemeriksaan:


1. Hemoglobin
Pemeriksaan ini memberikan ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi
setelah anemia berkembang (Denny. 2016).
2. Penentuan indeks eritrosit
Ditentukan secara tidak langsung dengan flowsitometri atau dengan menggunakan
rumus, dimana membutuhkan 3 hasil pemeriksaan laboratorium, yaitu: jumlah
eritrosit, kadar hematocrit dan kadar hemoglobin. Perhitungan yang dilakukan antara
lain, volume rata-rata eritrosit, berat hemoglobin dalam satu sel darah merah dan
konsentrasi hemoglobin rata-rata (Denny. 2016).
3. Pemeriksaan apus darah perifer
Pemeriksaan ini dilakukan secara manual. Pemeriksaan dengan menggunakan
perbesaran 100x, dengan memperhatikan bentuk, ukuran, bentuk inti dan sitoplasma
sel darah merah (Denny. 2016).
4. Luas distribusi sel darah merah (Red distribution wide/RDW)
RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat
anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi
hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum,
jenuh transferin, ataupun serum feritin (Denny. 2016).
5. Eritrosit protoporfirin (EP)
Diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa
tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap
lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan
kekurangan besi terjadi (Denny. 2016).
6. Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah
cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Besi serum yang rendah
ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis,
syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi
dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik (Denny.
2016).
7. Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama-sama dengan besi serum.
Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara
keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan (Denny.
2016).
8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi,
merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi
yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun
pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi
yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang
menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi.
Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan
kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara
khusus oleh plasma (Denny. 2016).
9. Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan
cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik
dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan
zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap
sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan
serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan
zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Serum feritin adalah reaktan fase akut,
dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati,
alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris
(IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa) (Denny.
2016).
10. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin
dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak
ada besi retikuler. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga
sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum (Denny.
2016).

X. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum pengematan sediaan apus darah pada anemia sel sabit dan
anemia defisiensi besi adalah sebagai berikut:
1. Bentuk abnormal sel eritrosit pada anemia sel sabit adalah adanya bentuk erirosit
seperti sabit, sel target, sel stomatosit dan hipokromia.
2. Bentuk abnormal sel eritrosit pada anemia defisiensi besi adalah adanya bentuk
eritrosit yang mengalami mikrometer hipokromik, pencil cell dan sperosit.
3. Cara pemeriksaan anemia pada paktikum kali ini adalah dengan mengamati preparat
anemia sel sabit dan defisiensi besi dengan menggunakan mikroskop pada
pemeriksaan 100x.
4. Eritrosit normal memiliki bentuk bulat atau bulat oval dengan adanya cekungan
bikonkaf, bermarna merah, tidak memiliki inti sel dan waktu hidupnya adalah 100-
120 hari, namun pada eritrosit abnormal terdapat perbedaan bentuk dan ukuran yang
tidak sesuai dengan yang disebutkan karena terdapat kelainan pada saat produksi di
sumsum tulang atau terdapat factor lain seperti kurangnya oksigen, asam folat, zat
besi atau vitamin yang lainnya.
Daftar Pustaka

Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku Kedikteran EGC.
Bakta, I Made. 2007. Hematologi Klinik Ringkas edisi I. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Beutler E. 2001. Disorders of Hemoglobin Structure: Sickle Cell Anemia and Related
Abnormalities. Dalam: Beutler E, Coller BS, Lichtman MA, Kipps TJ, Seligsohn U,
editors. Williams Hematology 8th ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 47; 581-
60
Denny Ariffriana, Devita Yusdiana, Indra Gunawan. 2016. Hematologi Bidang Keahlian
Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Murray, R. K., Daryl, K. G., Peter, A. M., Victor, W. R. 2003. Biokimia Harper Edisi 25.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sudarsono, Tantri Analisawati. 2020. Buku Penuntun Hematologi 3. Purwokerto:
Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Anda mungkin juga menyukai