Anda di halaman 1dari 3

GENDER DAN STEREOTYPE

I. PENDAHULUAN
Ilmu sosial merupakan ilmu yang kaya akan perspektif sehingga setiap kajian dalam ilmu sosial dapat
ditinjau dari beberapa pendekatan, tidak mengherankan jika hasil pemikiran tentang berbagai objek
yang berada dalam ruang lingkup ilmu sosial diwarnai akan perbedaan. Hal ini disebabkan objek material
dari ilmu sosial pada umumnya adalah manusia. Manusia sebagai objek sentral ilmu sosial memiliki sifat
dinamis sehingga perubahan-perubahan sekecil apapun dari diri manusia sebagai individu maupun
sebagai bagian dari masyarakat menyebabkan hasil kajian ilmu sosial turut mengalami perubahan seiring
waktu dan lokasi serta karakteristik objek kajian. Namun demikian perbedaan seyogyanya tidak
menimbulkan konflik serta rasa antipati yang berkepanjangan justru sebaliknya perbedaan diharapkan
mampu membantu manusia untuk kaya akan pengetahuan dan pengalaman yang dapat dijadikan
referensi selama hidupnya. Salah satu kajian ilmu sosial yang mengundang kontroversi akibat adanya
silang pendapat di antara para ahli dan pihak-pihak yang memiliki kepentingan adalah kajian perbedaan
jenis kelamin baik dalam konteks sex maupun gender. Isu ini mulai mewabah dalam masyarakat di awali
pada masa yang dikenal dengan nama kebangkitan peradaban atau renaissance. Pada masa ini manusia
mulai sadar akan hak dan kedudukannya di dalam masyarakat, termasuk perempuan.

Di Indonesia, kebangkitan perempuan diawali dengan semangat emansipasi yang diusung oleh Kartini
sebagai pelopor lalu diikuti oleh pengakuan adanya perempuan yang diakui sebagai pahlawan, baik yang
kemudian muncul atau telah muncul sebelum Kartini terekspos. Pendapat mengenai emansipasi di
Indonesia banyak yang merujuk pada persamaan hak dan kedudukan dalam status sosial
kemasyarakatan, sebagian pendapat dikemukakan untuk mengangkat derajat perempuan yang
tertindas, namun tak jarang juga sebagian pendapat mengenai emansipasi ada yang bersifat salah
kaprah bahkan kebablasan.

Pendapat yang salah kaprah disebabkan karena tidak adanya pemahaman mengenai perbedaan yang
hakiki antara perempuan dan laki-laki secara struktur maupun fungsinya dalam konteks tujuan
penciptaan oleh sang Maha Pencipta, contohnya : dengan dalih emansipasi banyak perempuan yang
menggeluti dunia laki-laki seperti bertinju, bahkan gulat dan relatif mengabaikan tugas dan fungsinya
sebagai seorang istri atau seorang ibu.

Kasus-kasus tersebut bersifat kasuistik, artinya semangat emansipasipun banyak memberikan kontribusi
pada pengakuan atas diri perempuan dalam masyarakat yang patriarki, contohnya : perempuan masa
kini banyak menempati posisi strategis dalam sosial kemasyarakatan. Untuk itu setajam apapun
perbedaan pandangan mengenai perbedaan jenis kelamin dan sebesar apapun tuntutan akan adanya
persamaan hak perempuan, tetap saja membutuhkan pemikiran filosofis tentang maksud dan tujuan
sang khalik di balik perbedaan tersebut.

Sesungguhnya pemikiran mengenai perbedaan jenis kelamin dapat dikategorikan ke dalam dua aliran
besar selain aliran-aliran sempalan yang turut mewarnai perbincangan sekitar isu ini. Pemikiran tersebut
diawali oleh pemikiran kaum positivistik yang mendapat kritik dari kaum anti status quo, tentu saja hasil
pemikiran mereka dipengaruhi oleh berbagai konteks kepentingan. Adapun aliranaliran pemikiran
mengenai perbedaan jenis kelamin dapat diuraikan sebagai berikut :

1.1.Perbedaan Gender Dalam Perspektif Psikoanalisis


Perspektif psikoanalisis yang diusung Freud mengemukakan bahwa faktor perbedaan fisik pada makhluk
hidup yang berbeda jenis kelamin dapat menyebabkan adanya perbedaan psikologis yang mengandung
perbedaan karakter yaitu maskulin untuk laki-laki dan feminin untuk perempuan, hal ini mengacu pada
pernyataan bahwa :
One of the basic presuppositions underlying Freud's work is that just as there are certain physical
differences between men and women, so also there are psychical differences. In other words, there are
certain psychical characteristics that can be called 'masculine' and others that can be called 'feminine'1
Freud turut menambahkan pula bahwa secara psikologis perempuan akan merasa inferior dibandingkan
laki-laki dikarenakan perempuan tidak memiliki organ kelamin yang dimiliki laki-laki yaitu penis, hal
inilah yang menyebabkan perempuan merasa kurang lengkap sebagai manusia, konsep katraksi
(pengebirian) ini diperkuat oleh pernyataan :
Bagian terpenting dari perkembangan seksual lelaki dan perempuan adalah ada tidaknya penis pada diri
mereka. Kaum perempuan merasa sebagai manusia yang tidak lengkap dan selalu merasa kurang karena
tidak memiliki penis, oleh sebab itu merasa dikebiri. Dan oleh karena itu pula mereka selalu merasa
inferior. Bagi kaum Freudian status nomor dua yang ditujukan kepada kaum perempuan tidak bisa
dihindari karena perempuan kekurangan organ penis yang menyimbolkan kesuperioritasan dan
keotoritasan².
Selain itu Freud juga mengajukan pemikirannya mengenai tiga komponen kepribadian yaitu id, ego dan
superego yang dijabarkan sebagai berikut : Id, consisting of the individual’s biological heritage (sexual
and aggressive instincts), provides a reservoir of physic energy that powers the ego and superego, id
operates on pleasure principles (Lips, 1988 : 30). Id diasumsikan mengandung faktor bawaan termasuk
hasrat seksual dan agresivitas yang menyuplai persediaan energi bagi dua komponen kepribadian yang
lain, dan id lah yang menjalankan prinsip-prinsip kesenangan bagi individu baik bagi perempuan maupun
laki-laki..Selanjutnya ego disebut sebagai sistem yang rasional yang berfungsi untuk mengahadapi
realitas kehidupan yang dihadapi individu, hal ini mengacu pada pernyataan bahwa : ego is a rational
system that works on the reality principle, handles transactions between an individual’s subjective
needs and the objective world of reality, helps him/her out of trouble and ensure survival (Lips, 1988 :
30). Artinya perempuan dan laki-laki memiliki kebutuhan masing-masing.

Komponen kepribadian yang terakhir adalah superego yang dinyatakan Freud sebagai berikut: superego
acts as moral aspect of the personality, striving for perfection than pleasure, and persuading the ego to
subtitute moralistic goals for realistic ones. Superego is internal representative of society’s values and
ideals (Lips, 1988 : 30). Dengan demikian jika berhadapan dengan hal-hal yang mengandung unsur moral
dan nilai-nilai, maka perempuan atau laki-laki akan menggunakan superegonya untuk berkompromi
dengan realita demi mencapai tujuan yang sesuai dengan tatanan nilai yang dianutnya.

Pemikiran Freud mengenai konsep id banyak mendapat dukungan, bahkan terdapat pemikiran
mengenai perbedaan fisik dan psikologis berdasarkan jenis kelamin yang mengacu pada kekuatan fisik
sebagai salah satu kelebihan laki-laki dan kecantikan atau keindahan fisik sebagai salah satu kelebihan
perempuan yang ditujukan untuk menarik perhatian laki-laki, dan hal ini diyakininya sebagai salah satu
dari fungsi sosial perempuan, seperti pernyataan pemerhati gender asal Utrech Jerman yang beraliran
Phallocentric yaitu F.J.J. Buytendijk berikut ini:

Man’s body is much better adapted to hard physical work. In the human male the central and massive
bodiness is formed by the chest. Man has broad shoulders and strong arms. Man has much stronger
muscles than woman and projects an image of strength. Woman, on the other hand, possesses a body
that is structured for motherhood. For woman the massive and central bodiness is constituted by the
womb. The physique of woman is directed towards attracting the male partner by its beauty, and
protecting the offspring by its reserves in natural energy. The physical and psychological differences that
flow from this, dispose men and women for different social roles’³.

Anda mungkin juga menyukai