Anda di halaman 1dari 6

BIOETIKA

Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan
dengan sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif mempelajari
pengetahuan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu
berlaku tentang issue-issue tertentu. Etik terbagi ke dalam etik normative dan metaetik (etik
analitik). Pada etik normative para filosof mencoba menegakkan apa yang benar secara
moral dan mana yang salah secara moral.dalam kaitannya dengan tindakan manusia. Pada
metaetik para filosof, memperhatikan analisis kedua konsep moral di atas. Pada dasarnya
manusia memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu (a) kebutuhan fisiologis yang dipenuhi dengan
makanan dan minuman, (b) kebutuhan psikologis yang dipenuhi dengan rasa kepuasan,
istirahat, santai, dll, (c) kebutuhan sosial yang dipenuhi melalui keluarga, dan komunitas,
serta (d) kebutuhan kreatif dan spiritual yang dipenuhi dengan melalui pengetahuan,
kebenaran, cinta, dll. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi secara berimbang.
Apabila seseorang memilih untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara tidak berimbang,
maka ia telah menentukan secara subyektif apa yang baik bagi dirinya, yang belum tentu
baik secara obyektif. Baik disebabkan oleh ketidaktahuan atau akibat kelemahan moral,
seseorang dapat saja tidak mempertimbangkan semua kebutuhan tersebut dalam membuat
keputusan etik, sehingga berakibat terjadinya konflik di bidang keputusan moral. Bioetika
adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas.

Bioetik atau Biomedical ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek
kedokteran dan atau penelitian di bidang biomedis. Beberapa contoh pertanyaan di
dalam bioetika adalah: Apakah seorang dokter berkewajiban secara moral untuk
memberitahukan kepada seorang yang berada dalam stadium terminal bahwa ia
sedang sekarat? Apakah membuka rahasia kedokteran dapat dibenarkan secara
moral? Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat dibenarkan secara moral?
Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat dibenarkan atau tidaknya
suatu hukum dilihat dari segi etik, seperti: Apakah dapat dibenarkan membuat suatu
peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menerima
tindakan medis yang bersifat life-saving, meskipun bertentangan dengan
keinginannya? Apakah dapat dibenarkan secara etik apabila dibuat suatu hukum yang
mengharuskan memasukkan seseorang sakit jiwa ke dalam rumah sakit, meskipun
bertentangan dengan keinginan pasiien? Apakah dapat dibenarkan membuat suatu
peraturan yang membolehkan tindakan medis apa saja yang diminta oleh pasien
kepada dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi?

Etika Kedokteran Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau


kedokteran, selain mempertimbangkan keempat kebutuhan dasar di atas, keputusan juga
hendaknya mempertimbangkan hak-hak asasi pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan
mengakibatkan juga pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas, terutama kebutuhan kreatif
dan spiritual pasien. Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar-
salahnya suatu sikap dan atau perbuatan sedseorang individu atau institusi dilihat dari
moralitas. Penilaian baik-buruk dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan
pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling
banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleology. Secara ringkas dapat dikatakan,
bahwa deontologi mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari
perbuatannya itu sendiri (I Kant), sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk
tindakan dengan melihat hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Mils). Deontologi
lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi lebih kea
rah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran
utilitarian). Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu
keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules
dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut adalah: 1. Prinsip otonomi, yaitu prinsip
moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self
determination). Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent; 2.
Prinsip beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke
kebaikan pasien. Dalam beneficience tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja,
melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar dari pada sisi buruknya
(mudharat); 3. Prinsip non-maleficience, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Priinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau above
all do no harm. 4. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan
keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan terbuka), privacy
(menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasian pasien) dan
fridelity (loyalitas dan promise keeping). Selain prinsip atau kaidah dasar moral di atas
yang harus dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan klinis, profesional kedokteran
juga mengenal etika profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku (code of
ethical conduct). Sebagaimana diuraikan
Nilai-nilai dalam etika profesi tercermin di dalam sumpah dokter dan kode etik
kedokteran. Sumpah dokter berisikan suatu kontrak moral antara dokter dengan tuhan sang
penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan kontrak kewajiban moral antara
dokter dengan peer groupnya, yaitu masyarakat profesinya. Baik sumpah dokter maupun
kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat kepada para dokter.
Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga dapat dipaksakan secara
hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi pemimpin dari kewajiban dalam
hukum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis. Etika Klinik
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan
dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral di atas.
Jonsen, Siegler dan Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4
topik yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu: 1). Medical indication 2).
Preferrences 3). Quality of life 4). Contextual features Ke dalam topik medical
indication dimasukkan semua prosedur diagnostikdan terapi yang sesuai untuk
mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini
ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah beneficence dan maleficence.
Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya
disampaikan kepada pasien pada doktrin informed concent. Pada topik patient preference
kita memperhatikan nilai (value) dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan
diterimanya, yang berarti cerminan kaidah automy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan
tentang kompetensi pasien, sifat volunteer sikap dan keputusannya, pemahaman atas
informasi, siap pembuat keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang
dianut pasien, dll. Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran,
yaitu memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa dan
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, nonmaleficence dan autonomi.

Dalam contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang
mempengaruhi keputusan, seputar faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan,
alokasi sumber daya dan factor hukum. Etik dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Di dalam praktek, peran profesional kesehatan khususnya dokter dapat terbagi kedalam 3
model penjaga gawang, yaitu peran tradisional, peran negative gatekeeper dan peran positif
gatekeeper. Dalam peran tradisionalnya, dokter menmikul beban moral sebagai penjaga
gawang penyelenggaraan layanan kesehatan dan medis. Mereka harys menggunakan
pengetahuan mereka untuk berpraktek secara kompeten dan rasional ilmiah. Petunjuknya
harus diagnostic elegance (termasuk menggunakan cara yang memiliki tingkat ekonomi
yang sesuai dalam mendiagnosis) dan therapeutic parsimony (memberikan terapi hanya
yang secara nyata bermanfaat dan efektif). Mereka harus mencegah adanya resiko yang
tidak diperlukan kepada pasien yang berasal dari terapi yang meragukan dan menjaga
sumber daya financial pasien. Dalam peran negative gatekeeper, yaitu pada sistem
kesehatan pra-bayar atau kapitasi, dokter diharapkan untuk membatasi akses pasien ke
layanan medis. Pada peran ini jelas terjadi konflik moral pada dokter dengan tanggung
jawab tradisionalnya dalam membela kepentingan pasien (prinsip beneficence) dengan
tanggung jawab barunya sebagai pengawal sumber daya masyarakat / komunitas. Meskipun
demikian, peran negative gatekeeper ini secara moral mungkin masih dapat di justifikasi.
Tidak seperti peran negatif yang banyak dideskripsikan secara terbuka, peran positive
gatekeeper dokter sangat tertutup dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara moral.
Dalam peran ini dokter diperdayakan untuk menggunakan fasilitas medis dan jenis layanan
high-tech demi kepentingan profit. Bagi mereka yang mampu membayar disediakan fasilitas
diagnostik dan terapi yang paling mahal dan mutakhir, layanan didasarkan kepada keinginan
pasar dan bukan kepada kebutuhan medis. Upaya meningkatkan demand atas layanan
yang sophisticated dijadikan tujuan yang implisit, dan dokter menjadi salesmannya. Mereka
berbagi profit secara langsung apabila mereka pemilik atau investor layanan tersebut, atau
mereka memperoleh penghargaan berupa kenaikan honorarium atau tunjangan apabila
mereka hanya berstatus pegawai atau pelaksana. Tidak disangkal lagi bahwa peran positive
gatekeeper telah membudaya bagi para dokter di kota-kota besar di Indonesia. Transaksi
antara pasien dengan dokter menjadi transaksi komiditi biasa. Dokter menjadi entrepreneur
atau sebagai agen dari sang entrepreneur. Etik para profesional kesehatan menjadi
menurun hingga ke bottom line ethics dan bukan lagi menjunjung nilai-nilai keutamaan
(virtue ethics). Pertanyaan apa yang harus saya lakukan agar pasien memperoleh manfaat
dan layanan profesi yang optimal. Orang yang sakit, dependen, gelisah, kurang
pengetahuan, dan vulnerable dieksploitasi untuk keuntungan pribadi orang-orang tertentu.

Etik pada Awal Kehidupan Persoalan yang berkaitan dengan awal kehidupan telah
lama diperbincangkan dari sisi bioetiknya, namun bukannya terselesaikan bahkan semakin
menumpuk dan bertambah oleh karena semakin tinggi dan rumitnya iptek di bidang
kedokteran. Apabila pada mulanya hanya dipersoalkan tentang kapan seseorang dinyatakan
telah hidup dikaitkan dengan issue aborsi, maka sekarang bertambah dengan issue cloning
pada manusia., status gamet dan embrio serta seleksi embrio hasi teknologi bayi tabung,
diagnosis pra natal untuk mendeteksi kecacatan atau penyakit herediter tertentu dikaitkan
denganissue eugenetik, dll. Teknologi kedokteran memang dapat diharapkan memenuhi
harapan pasangan yang kebetulan infertile, namun dapat juga dimanfaatkan untuk tujuan-
tujuan yang melanggar etika. Oleh karena standard etik harus ditegakkan, yaitu bahwa
orangtua genetik, orangtua gestasi dan orangtua sosial haruslah identik dan bahwa
orangtua tersebut saat itu masih hidup, berada dalam waktu yang tepat dari siklus
kehidupan dan memiliki sumber daya sosial dan psikologis yang adekut. Hukum semakin
lama semakin tidak mampu menampung dan menyelesaikan seluruh masalah etik di bidang
ini. Sewaktu masalah masih hanya diseputar boleh atau tidaknya dilakukan pengguguran
kandungan saja, hukum di Indonesia dapat memberikan solusi. Apalagi saat sekarang,
dengan pertanyaan etik yang semakin banyak dan rumit. Etik pada Akhir Kehidupan
Persoalan yang dihadapi para professional kesehatan pada akhir kehidupan tidak kalah
pelik disbanding dengan persoalan di awal kehidupan. Persoalan dapat berupa masalah
sederhana seperti bolehkah kita menghentikan terapi cairan dan nutrisi pada pasien? hingga
ke persoalan yang lebih rumit, seperti seberapa jauh peran keluarga dalam membuat
keputusan medis terhadap pasien?, apa sikap dokter bila pasien meminta terapi minimal?
yang kemudian dihubungkan dengan issue tentang letting die naturaly physician assisted
suicide, physician assisted death, euthanasia, masalah utility dan brain death. Tindakan
medis yang diketahui sebagai tindakan sia-sia (utile) saat ini dipertimbangkan untuk tidak
lagi dilanjutkan secara moral dapat dibenarkan apabila tindakan tersebut dihentikan.
Pertimbangan ini sebenarnya bukan pertimbangan baru, melainkan pertimbangan yang
telah ada pada zaman Hippocrates, yang dikenal sebagai  anjuran to refuse to treat those
who ar overmastered by their diseases, realizing that in such cases medicine is powerless.
Namun demikian keputusan bahwa sesuatu tindakan medis adalah tindakan sia-sia haruslah
diambil dengan melalui pertimbangan yang ketat. Sebagai contoh tindakan CPR, yang pada
mulanya hanya ditujukan untuk henti jantung yang akut dan reversible, namun dalam
prakteknya CPR diterapkan pada setiap kasus henti jantung di rumah sakit, seolah-olah
menjadi prosedur baku, Bahkan keluarga pasien masih dapat menuntut dokter apabila
melihat dokter tidak melakukan CPR, meskipun sebenarnya oleh dokter telah
dipertimbangkan utilitasnya. Berkaitan dengan itu Asosiasi Dokter Amerika (AMA)
memutuskan bahwa dokter tidak memiliki kewajiban untuk memperoleh consent DNR (do
not resuscitate) bila CPR di nilai sudah merupakan tindakan sia-sia.

Etika pada Penelitian Kedokteran Berkaitan dengan penelitian yang melibatkan


subyek manusia world medical association (WMA) telah mengeluarkan Deklarasi Helsinki,
yang terakhir kali disempurnakan di Edinburgh tahun Deklarasi ini mendasarkan
pertimbangannya kepada Deklarasi Jeneva (sumpah dokter) yang berbunyi kesehatan
pasien saya akan menjadi pertimbangan pertama saya dan etik kedokteran yang berbunyi
dokter harus bertindak untuk kepentingan pasien dalam menjalankan profesi kedokterannya
yang mungkin mengakibatkan melemahnya keadaan fisik dan mental pasien. Deklarasi ini
memberikan 18 prinsip dasar bagi penelitian medis dan 5 prinsip tambahan bagi penelitian
medis yang dikombinasikan dengan perawatan medis. Pada dasarnya penelitian medis
haruslah benar-benar ilmiah, memiliki tujuan yang bermanfaat, menggunakan subyek yang
suka rela dan mengetahui segala sesuatu tentang penelitian tersebut, mengutamakan
kehidupan dan kesehatan subyek, mencegah atau mengantisipasi resiko yang berbahaya,
serta menghormati privasi dan martabat subyek. Mikro Alokasi Pelayanan Kedokteran Dasar
dari persioalan etis ini adalah slah satu prinsip etik kedokteran, yaitu distributive justice, bila
dokter dipaparkan kepada banyak pasien yang membutuhkan sesuatu layanan medis atau
fasilitas medis dengan keterbatasan sumber daya yang dimilikinya. Keterbatasan ventilator,
keterbatasan fasilitas bedah, keterbatasan donor dan berbagai keterbatasan sumber daya
lain dapat menjadi masalah yang sukar dipecahkan oleh dokter.

Rescher mengusulkan tata laksana pemilihan siapa yang berhak memperoleh


sumber daya tersebut. Ia mengajukan 2 jenis kriteria, yaitu kriteria inklusi dan kriteria
seleksi. Pada tahap pertama digunakan kriteria inklusi, dengan mempertimbangkan factor
konstituen, faktor progress of sign, dan factor prospect of sucsess. Melalui kriteria ini dapat
diharapkan terjadi penyaringan dan hanya mereka yang eligible saja yang lulus dari kriteria
ini. Pada tahap berikutnya dilakukan pemilihan siapa diantara mereka yang akan menerima
layanan, dengan melakukan seleksi menggunakan kriteria seleksi. Pada tahap ini
dipertimbangkan fakto-faktor: Relative likely hood of sucsess, life expectancy, family role,
potential future contibution (prospektif service) dan past service rendered (retrospective
service). 2 faktor di depan adalah masih dilingkungan medis, sedangkan 3 faktor terakhir
bersifat sosial. Apabila dengan menggunakan kedua kriteria tersebut masih diperoleh lebih
dari satu calon penerima layanan, maka dilakukan undian secara acak. Komite Etik Rumah
Sakit Kebijakan di bidang kerumah sakitan di Indonesia telah menuju kembali ke arah
penegakkan etik dengan akan dibentuknya komite etik rumah sakit di setiap rumah
sakit

. Komite ini diharapkan akan berperan di dalam : pendidikan bagi seluruh staf
rumah sakit tentang pembuatan keputusan etik; tempat dilakukannya diskusi multi
disiplin dalam upaya mengklarifikasi sesuatu nilai atau pemecahan konflik; penentuan
alokasi sumber daya guna mencapai kualitas pelayanan dalam upaya cost
containtment; menemukan dan menjaga komitmen institusi sebagaimana tertulis
dalam visi, misi, filosofi dan image; memformulasikan kebijakan yang berkaitan
dengan issue etik; dan menjadi tempat berkonsultasinya para dokter dalam
memecahkan persoalan etis yang sulit. Komite etik RS juga berfungsi dalam memberikan
analisis etik dan rekomendasi kepada pimpinan rumah sakit dalam menghadapi berbagai
permasalahan etik. Tidak hanya permasalahan etik profesi-profesi di lingkungan rumah
sakit, melainkan juga masalah etika bisnis dan etik institusi lainnya.

Anda mungkin juga menyukai