Materi Pertemuan Ketiga
Materi Pertemuan Ketiga
Etik adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari moralitas. Etik harus dibedakan
dengan sains yang mempelajari moralitas, yaitu etik deskriptif. Etik deskriptif mempelajari
pengetahuan empiris tentang moralitas atau menjelaskan pandangan moral yang saat itu
berlaku tentang issue-issue tertentu. Etik terbagi ke dalam etik normative dan metaetik (etik
analitik). Pada etik normative para filosof mencoba menegakkan apa yang benar secara
moral dan mana yang salah secara moral.dalam kaitannya dengan tindakan manusia. Pada
metaetik para filosof, memperhatikan analisis kedua konsep moral di atas. Pada dasarnya
manusia memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu (a) kebutuhan fisiologis yang dipenuhi dengan
makanan dan minuman, (b) kebutuhan psikologis yang dipenuhi dengan rasa kepuasan,
istirahat, santai, dll, (c) kebutuhan sosial yang dipenuhi melalui keluarga, dan komunitas,
serta (d) kebutuhan kreatif dan spiritual yang dipenuhi dengan melalui pengetahuan,
kebenaran, cinta, dll. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dipenuhi secara berimbang.
Apabila seseorang memilih untuk memenuhi kebutuhan tersebut secara tidak berimbang,
maka ia telah menentukan secara subyektif apa yang baik bagi dirinya, yang belum tentu
baik secara obyektif. Baik disebabkan oleh ketidaktahuan atau akibat kelemahan moral,
seseorang dapat saja tidak mempertimbangkan semua kebutuhan tersebut dalam membuat
keputusan etik, sehingga berakibat terjadinya konflik di bidang keputusan moral. Bioetika
adalah salah satu cabang dari etik normatif di atas.
Bioetik atau Biomedical ethics adalah etik yang berhubungan dengan praktek
kedokteran dan atau penelitian di bidang biomedis. Beberapa contoh pertanyaan di
dalam bioetika adalah: Apakah seorang dokter berkewajiban secara moral untuk
memberitahukan kepada seorang yang berada dalam stadium terminal bahwa ia
sedang sekarat? Apakah membuka rahasia kedokteran dapat dibenarkan secara
moral? Apakah aborsi ataupun euthanasia dapat dibenarkan secara moral?
Pertanyaan bioetik juga dapat menyangkut tentang dapat dibenarkan atau tidaknya
suatu hukum dilihat dari segi etik, seperti: Apakah dapat dibenarkan membuat suatu
peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seseorang untuk menerima
tindakan medis yang bersifat life-saving, meskipun bertentangan dengan
keinginannya? Apakah dapat dibenarkan secara etik apabila dibuat suatu hukum yang
mengharuskan memasukkan seseorang sakit jiwa ke dalam rumah sakit, meskipun
bertentangan dengan keinginan pasiien? Apakah dapat dibenarkan membuat suatu
peraturan yang membolehkan tindakan medis apa saja yang diminta oleh pasien
kepada dokternya, meskipun sebenarnya tidak ada indikasi?
Dalam contextual features dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang
mempengaruhi keputusan, seputar faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan,
alokasi sumber daya dan factor hukum. Etik dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Di dalam praktek, peran profesional kesehatan khususnya dokter dapat terbagi kedalam 3
model penjaga gawang, yaitu peran tradisional, peran negative gatekeeper dan peran positif
gatekeeper. Dalam peran tradisionalnya, dokter menmikul beban moral sebagai penjaga
gawang penyelenggaraan layanan kesehatan dan medis. Mereka harys menggunakan
pengetahuan mereka untuk berpraktek secara kompeten dan rasional ilmiah. Petunjuknya
harus diagnostic elegance (termasuk menggunakan cara yang memiliki tingkat ekonomi
yang sesuai dalam mendiagnosis) dan therapeutic parsimony (memberikan terapi hanya
yang secara nyata bermanfaat dan efektif). Mereka harus mencegah adanya resiko yang
tidak diperlukan kepada pasien yang berasal dari terapi yang meragukan dan menjaga
sumber daya financial pasien. Dalam peran negative gatekeeper, yaitu pada sistem
kesehatan pra-bayar atau kapitasi, dokter diharapkan untuk membatasi akses pasien ke
layanan medis. Pada peran ini jelas terjadi konflik moral pada dokter dengan tanggung
jawab tradisionalnya dalam membela kepentingan pasien (prinsip beneficence) dengan
tanggung jawab barunya sebagai pengawal sumber daya masyarakat / komunitas. Meskipun
demikian, peran negative gatekeeper ini secara moral mungkin masih dapat di justifikasi.
Tidak seperti peran negatif yang banyak dideskripsikan secara terbuka, peran positive
gatekeeper dokter sangat tertutup dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara moral.
Dalam peran ini dokter diperdayakan untuk menggunakan fasilitas medis dan jenis layanan
high-tech demi kepentingan profit. Bagi mereka yang mampu membayar disediakan fasilitas
diagnostik dan terapi yang paling mahal dan mutakhir, layanan didasarkan kepada keinginan
pasar dan bukan kepada kebutuhan medis. Upaya meningkatkan demand atas layanan
yang sophisticated dijadikan tujuan yang implisit, dan dokter menjadi salesmannya. Mereka
berbagi profit secara langsung apabila mereka pemilik atau investor layanan tersebut, atau
mereka memperoleh penghargaan berupa kenaikan honorarium atau tunjangan apabila
mereka hanya berstatus pegawai atau pelaksana. Tidak disangkal lagi bahwa peran positive
gatekeeper telah membudaya bagi para dokter di kota-kota besar di Indonesia. Transaksi
antara pasien dengan dokter menjadi transaksi komiditi biasa. Dokter menjadi entrepreneur
atau sebagai agen dari sang entrepreneur. Etik para profesional kesehatan menjadi
menurun hingga ke bottom line ethics dan bukan lagi menjunjung nilai-nilai keutamaan
(virtue ethics). Pertanyaan apa yang harus saya lakukan agar pasien memperoleh manfaat
dan layanan profesi yang optimal. Orang yang sakit, dependen, gelisah, kurang
pengetahuan, dan vulnerable dieksploitasi untuk keuntungan pribadi orang-orang tertentu.
Etik pada Awal Kehidupan Persoalan yang berkaitan dengan awal kehidupan telah
lama diperbincangkan dari sisi bioetiknya, namun bukannya terselesaikan bahkan semakin
menumpuk dan bertambah oleh karena semakin tinggi dan rumitnya iptek di bidang
kedokteran. Apabila pada mulanya hanya dipersoalkan tentang kapan seseorang dinyatakan
telah hidup dikaitkan dengan issue aborsi, maka sekarang bertambah dengan issue cloning
pada manusia., status gamet dan embrio serta seleksi embrio hasi teknologi bayi tabung,
diagnosis pra natal untuk mendeteksi kecacatan atau penyakit herediter tertentu dikaitkan
denganissue eugenetik, dll. Teknologi kedokteran memang dapat diharapkan memenuhi
harapan pasangan yang kebetulan infertile, namun dapat juga dimanfaatkan untuk tujuan-
tujuan yang melanggar etika. Oleh karena standard etik harus ditegakkan, yaitu bahwa
orangtua genetik, orangtua gestasi dan orangtua sosial haruslah identik dan bahwa
orangtua tersebut saat itu masih hidup, berada dalam waktu yang tepat dari siklus
kehidupan dan memiliki sumber daya sosial dan psikologis yang adekut. Hukum semakin
lama semakin tidak mampu menampung dan menyelesaikan seluruh masalah etik di bidang
ini. Sewaktu masalah masih hanya diseputar boleh atau tidaknya dilakukan pengguguran
kandungan saja, hukum di Indonesia dapat memberikan solusi. Apalagi saat sekarang,
dengan pertanyaan etik yang semakin banyak dan rumit. Etik pada Akhir Kehidupan
Persoalan yang dihadapi para professional kesehatan pada akhir kehidupan tidak kalah
pelik disbanding dengan persoalan di awal kehidupan. Persoalan dapat berupa masalah
sederhana seperti bolehkah kita menghentikan terapi cairan dan nutrisi pada pasien? hingga
ke persoalan yang lebih rumit, seperti seberapa jauh peran keluarga dalam membuat
keputusan medis terhadap pasien?, apa sikap dokter bila pasien meminta terapi minimal?
yang kemudian dihubungkan dengan issue tentang letting die naturaly physician assisted
suicide, physician assisted death, euthanasia, masalah utility dan brain death. Tindakan
medis yang diketahui sebagai tindakan sia-sia (utile) saat ini dipertimbangkan untuk tidak
lagi dilanjutkan secara moral dapat dibenarkan apabila tindakan tersebut dihentikan.
Pertimbangan ini sebenarnya bukan pertimbangan baru, melainkan pertimbangan yang
telah ada pada zaman Hippocrates, yang dikenal sebagai anjuran to refuse to treat those
who ar overmastered by their diseases, realizing that in such cases medicine is powerless.
Namun demikian keputusan bahwa sesuatu tindakan medis adalah tindakan sia-sia haruslah
diambil dengan melalui pertimbangan yang ketat. Sebagai contoh tindakan CPR, yang pada
mulanya hanya ditujukan untuk henti jantung yang akut dan reversible, namun dalam
prakteknya CPR diterapkan pada setiap kasus henti jantung di rumah sakit, seolah-olah
menjadi prosedur baku, Bahkan keluarga pasien masih dapat menuntut dokter apabila
melihat dokter tidak melakukan CPR, meskipun sebenarnya oleh dokter telah
dipertimbangkan utilitasnya. Berkaitan dengan itu Asosiasi Dokter Amerika (AMA)
memutuskan bahwa dokter tidak memiliki kewajiban untuk memperoleh consent DNR (do
not resuscitate) bila CPR di nilai sudah merupakan tindakan sia-sia.
. Komite ini diharapkan akan berperan di dalam : pendidikan bagi seluruh staf
rumah sakit tentang pembuatan keputusan etik; tempat dilakukannya diskusi multi
disiplin dalam upaya mengklarifikasi sesuatu nilai atau pemecahan konflik; penentuan
alokasi sumber daya guna mencapai kualitas pelayanan dalam upaya cost
containtment; menemukan dan menjaga komitmen institusi sebagaimana tertulis
dalam visi, misi, filosofi dan image; memformulasikan kebijakan yang berkaitan
dengan issue etik; dan menjadi tempat berkonsultasinya para dokter dalam
memecahkan persoalan etis yang sulit. Komite etik RS juga berfungsi dalam memberikan
analisis etik dan rekomendasi kepada pimpinan rumah sakit dalam menghadapi berbagai
permasalahan etik. Tidak hanya permasalahan etik profesi-profesi di lingkungan rumah
sakit, melainkan juga masalah etika bisnis dan etik institusi lainnya.