Anda di halaman 1dari 8

NAMA : ANDIKO JEROHDI

NIM : 309421001

KELAS : B-REGULER

SEJARAH KEBUDAYAAN ACEH

BAB I. PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki suku dan budaya
yang beraneka ragam. Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang
berasal dari luar Indonesia. Salah satu kebudayaan tersebut adalah
kebudayaan Aceh. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga
menarik perhatian para antropolog seperti Snouck Hurgronje. Dilihat dari
sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam.
Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu,
karena letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka
masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang
adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh
sendiri.

Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-


orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang
Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem
kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar
masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang.
Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom
yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.

Agama Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh


karena itu Aceh mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur
masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya.
Tetapi pada saat-saat sekarang ini upacara ceremonial yang besar-besaran
hanya sebagai simbol sehingga inti dari upacara tersebut tidak tercapai.
Pergeseran nilai kebudayaan tersebut terjadi karena penjajahan dan fakttor
lainnya.

Dari hal-hal yang telah diuraikan diatas menurut saya menarik, maka
saya mengangkat makalah ini dengan judul ”Kebudayaan Suku Aceh”.
BAB II. PEMBAHASAN

Metodologi Sejarah

Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting


sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat.
Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau
Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh
dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negen. Aceh
sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh
para pedagang dari berbagai negara.

Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke


nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang
beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai
komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran
internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia
Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah
kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting
bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik
ke Nusantara maupun luar negeri.

Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509


mengunjungi Kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra.
Kemudian dalam tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka (sekarang
Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian
mengirim armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan
penjajah, namun tidak berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang
gugur dan dikebumikan di sana. Menurut sumber yang dapat dipercaya
Syech Syamsuddin Assumatrani yaitu salah seorang ulama besar Aceh
tewas dalam suatu peperangan dengan Portugis di Malaka dan kuburannya
ada disana. -

Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), barulah


Malaka bisa dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur
perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh
Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang
erat sehingga banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang
serta menetap di Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu
dan batu nisan orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda
Aceh).

Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang


dipimpin oleh Cornelis De Houteman dan adiknya Frederick De Houteman
mendarat di Aceh. Namun karena orang Aceh mengira bahwa Belanda
tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis De
Houteman serta menawan Frederick De Houteman.
Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang
dipimpin oleh Gerald De Roy dikirim ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam
usaha menjalin hubungan kerjasama dengan Kerajaan Aceh. Utusan tersebut
disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan kerjasama
itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh
mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu
Abdul Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di
Belanda dan kuburannya ada di Middleburg, Belanda.

Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh


oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan.
Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani
hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun
kemudian.

Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda


memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya
pada tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh merupakan
yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873
-1942) yang telah menelan jutaan nyawa.

Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh
orang Aceh karena pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating
bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan membantu
mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa
Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh
Jepang dan mengangkat senjata memerangi Jepang.

Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran


yang terjadi antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang
yang terjadi, ada dua pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena
banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan
di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan Aceh
dari belenggu perang yang mengenaskan.

A. LETAK

Kelompok etnik Aceh adalah salah satu kelompok "asal" di daerah


Aceh yang kini merupakan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Orang
Aceh yang biasa menyebut dirinya Ureueng Aceh, menurut sensus
penduduk tahun 1990 mencatat jumlah sebesar 3.415.393 jiwa, dimana
orang Aceh tentunya merupakan kelompok mayoritas. Orang Aceh
merupakan penduduk asli yang tersebar populasinya di Daerah Istimewa
Aceh. Mereka mendiami daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh,
Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, dan
Aceh Barat. Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun
bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek
Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang. Di Propinsi D.I. Aceh terdapat
pula sedikitnya tujuh sukubangsa lainnya, yaitu : Gayo, Alas, Tamiang,
Aneuk Jamee, Simeuleu, Kluet, dan Gumbok Cadek. Identitas bersama
berdasarkan ikatan kebudayaan dan agama mencerminkan kesatuan suku-
suku bangsa di propinsi ini. Dalam pergaulan antarsuku bangsa jarang sekali
penduduk asli Aceh menyebut dirinya orang Gayo, Alas, Tamiang, dan
seterusnya. Mereka lebih suka menyebut diri sebagai "Orang Aceh",
sehingga Aceh patut dipandang sebagai suatu sukubangsa besar yang
didukung oleh sejumlah sub-sukubangsa dengan identitas masing-masing.
Ciri-ciri ini pula yang mengukuhkan propinsi Aceh sebagai Daerah
Istimewa.

B. KEHIDUPAN MASYARAKAT

1. Mata Pencaharian

Mata pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani di sawah dan


ladang, dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa, dan
lain-lain. Masyarakat yang bermukim_ di sepanjang pantai pada umumnya
menjadi nelayan.

Sebagian besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah atau


ladang, terutama yang bermukim di kampung (kute). Tanam Alas
merupakan lumbung padi di Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu
penduduk beternak kuda, kerbau, sapi, dan kambing, untuk dijual atau
dipekerjakan di sawah.

Mata pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah,


berkebun, dan berladang, serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di
daerah pantai. Di samping itu ada yang melakukan kegiatan berdagang
secara tetap (baniago), salah satunya dengan cara menjajakan barang
dagangan dari kampung ke kampung (penggaleh). Matapencaharian pada
masyarakat Gayo yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi.

Matapencaharian utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi


di sawah atau di ladang. Penduduk yang berdiam di daerah pantai
menangkap ikan dan membuat aran dari pohon bakau. Adapula yang
menjadi buruh perkebunan atau pedagang.

2. Sistem Kekerabatan

Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting


adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap
sesudah menikah bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri
selama beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah
sepenuhnya.
Pada orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip
patrilineal atau menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang
berlaku adalah eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge
sendiri. Adat menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal, yang
terpusat di kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa
keluarga luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk bergabung
membentuk suatu federasi adat yang disebut belah (paroh masyarakat).

Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara


budaya Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan
berdasarkan prinsip bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah
uxorilikal (tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak
ayah mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian,
sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok
kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumah tanggo.
Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban
memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang
utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.

Pada masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip


patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah
eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal
(juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut
saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur.
Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah
panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang
bergabung ke dalam satu belah (klen).

Dalam sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip


patrilineal, yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat
menetap sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu
bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.

3. Sistem Pelapisan Sosial

Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial.


Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga
sultan, golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa.
Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang
pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah
ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang
adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerah-
daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku.
Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau
Tengku.

Pada masa lalu orang Aneuk Jamee dibedakan atas tiga lapisan
masyarakat, yaitu golongan datuk sebagai lapisan atas; golongan hulubalang
dan ulama, yang terdiri atas tuangku, imam, dan kadi sebagai lapisan
menengah; dan rakyat biasa sebagai lapisan bawah. Sekarang ini sistem
pelapisan sosial tersebut sudah tidak diberlakukan lagi dalam masyarakat.
Yang kini dianggap sebagai orang terpandang adalah orang kaya, terdidik,
dan pemegang kekuasaan.

Pada masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan masyarakat


atas tiga lapisan sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan
ughang bepake. Golongan pertama terdiri atas raja beserta keturunannya.
yang menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk
perempuan; golongan kedua adalah orangÂorang yang memperoleh hak dan
kekuasaan tertentu dari raja, yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan
golongan ketiga merupakan golongan orang kebanyakan.

C. SISTEM KEMASYARAKATAN

Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong


(kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam
setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang
imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang
dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada
sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh
pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib,
tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).

Pada masa lalu Tanah Alas terbagi atas dua daerah kekuasaan yang
dipimpin oleh dua orang kejerun, yaitu daerah Kejerun Batu Mbulan dan
daerah Kejerun Bambel. Kejerun dibantu oleh seorang wakil yang disebut
Raje Mude, dan empat unsur pimpinan yang disebut Raje Berempat. Setiap
unsur pimpinan Raje Berempat membawahi beberapa kampung atau desa
(Kute), sedangkan masing-masing kute dipimpin oleh seorang Pengulu.
Suatu kute biasanya dihuni oleh satu atau beberapa klen (merge). Masing-
masing keluarga luas menghuni sebuah rumah panjanga.

Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut


kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan
beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem
pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak
opat, terdiri dari : reje, petue, imeum, dan sawudere. Pada masa sekarang
beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan
unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imeum, dan
cerdik pandai yang mewakili rakyat.

D. AGAMA

Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama
Islam. Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah",
maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan
tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan
asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan
setempat mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam.
Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak
kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih
terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.

E. BAHASA

Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa


Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh
Besar, Meulaboh, serta Matang.

Sebagai alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan


bahasa sendiri, yaitu bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas
beberapa dialek, seperti dialek Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir.
Dengan demikian orang Alas dibedakan berdasarkan penggunaan dialek
bahasa tersebut.

Dilihat dari segi bahasa, kosa kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal
dari bahasa Minangkabau lebih dominasi daripada kosa kata bahasa Aceh.
Penggunaan bahasa Aneuk Jamee dibedakan atas beberapa dialek, antara
lain dialek Samadua dan dialek Tapak Tuan.

Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan


bahasa Gayo dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut yang
terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret, dan dialek Gayo Luwes yang
meliputi sub-dialek Luwes, Kalul, dan Serbejadi.

Orang Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang,


yang kebanyakan kosa katanya mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada
yang mengatakan, bahwa bahasa Tamiang merupakan salah satu dialek dari
bahasa Melayu. Bahasa Tamiang ditandai oleh mengucapkan huruf r
menjadi gh, misalnya kata "orang" dibaca menjadi oghang. Sementara itu
huruf t sering c, misalnya kata "tiada" dibaca "ciade".

F. KESENIAN

Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan


Islam, namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang
berlaku. Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong,
dan seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi
Arab, seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat,
alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni sastra
dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat Perang Sabil.

Bentuk-bentuk kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang


berasimilasi.. Orang Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus
(dabuih), dan ratoh yang memadukan unsur tari, musik, dan seni suara.
Selain itu dikenal kaba, yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang
dibumbui dengan dongeng.

Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat


Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan
bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara
lain tan saman dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan
rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan,
penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan
dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian
bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat), yang
juga tidak terlupakan dari masa ke masa.

PAKAIAN ADAT ACEH

G. PERALATAN

Persenjataan

Orang Aceh terkenal sebagai prajuri-prajurit tangguh penentang


penjajah, dengan bersenjatakan rencong, ruduh (kelewang), keumeurah
paneuk (bedil berlaras pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng).
Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.

Anda mungkin juga menyukai