Clarisa Aurellie Jihan - 11000118140333 - UAS HK Dan HAM Kelas H Kasus Tanjung Priok
Clarisa Aurellie Jihan - 11000118140333 - UAS HK Dan HAM Kelas H Kasus Tanjung Priok
DISUSUN OLEH :
11000118140333
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia atau HAM merupakan salah satu hal yang negara harus mewajibkan
adanya untuk menjamin di dalam negara tersebut. HAM lahir, tumbuh dan berkembang
seiring dengan kesadaran masyarakat tentang pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai
fundamental yang terkandung dalam HAM.
Hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan hak yang dimiliki oleh setiap umat
manusia, bahkan sejak manusia masih berada dalam kandungan ia telah memiliki hak
asasinya sendiri. 1 Sebagaimana dasar–dasarnya telah termuat di dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia atau Declaration of Human Rights (UDHR).2 Dan juga telah tercantum
di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, seperti pada Pasal
27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1).
Di Indonesia sendiri banyak sekali terjadi pelanggaran berat HAM, dan pemerintah
Indonesia juga masih minim menjamin atas pelanggaran HAM tersebut. Terjadinya
pelanggaran HAM yang meluas, memang seharusnya bukan merupakan pilihan, sekalipun
upaya menyelesaikan masa lalu tidaklah sederhana. 3 Dalam situasi tersebut, penyelesaian
melalui proses hukum merupakan satu kata kunci untuk menghapus praktek kekebalan
hukum. Mengadili para pelaku yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat merupakan
syarat suatu negara menuju kepada pemerintahan demokratis yang melindungi dan
menghormati pelaksanaan hak HAM. Upaya untuk memajukan perlindungan hak asasi
manusia tersebut tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik Indonesia pada masa lalu.
Berbagai kasus pelanggaran berat HAM masa lalu di Indonesia sering sekali
meninggalkan banyak persoalan, terutama untuk para korban. Hal ini karena posisi korban
yang lemah saat berhadapan dengan pemerintah sebagai pelaku dan fakta persolan tersebut.
Hal ini beranggapan bahwa hak-hak yang dimiliki para korban sangat tidak dihargai.
Salah satu kasus pelanggaran berat HAM yaitu kejadian Tanjung Priok tahun 1984,
yang mana semua terdakwa pada kasus Tanjung Priok 1984 dinyatakan bebas dari segala
1
Pasal 1 ayat (5) Undang–undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2
Pasal 1 DUHAM : “Semua orang dilahirkan merdeka dan memiliki martabat dan hak – hak yang sama. Mereka dikaruniai
akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”.
3
Karlina Leksono Supeli, Tidak Ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 3.
tuntutan hukum di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Hal ini membuat para korban
sangat kecewa terhadap keadilan di Indonesia.
Pada kasus Tanjung Priok 1984 ini mengadili pelaku pelanggaran berat HAM melalui
Melalui pengadilan ad hoc Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM dan Keppres Nomor 53 Tahun 2001 dibentuk pengadilan ad hoc. Upaya ini dilakukan
oleh Indonesia sebagai wujud tanggung jawab Indonesia dan upaya yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dalam rangka menyelesaikan kasus tersebut di tingkat nasional.
C. Tujuan Pembahasan
1. Agar mengetahui awal mula kasus Tanjung Priok 1984
2. Agar mengetahui hasil dari Komnas HAM sehingga kasus Tanjung Priok dikatakan
pelanggaran berat HAM
3. Agar mengetahui jika kasus Tanjung Priok 1984 diselesaikan dengan pengadilan
HAM Ad Hoc
4. Agar mengetahui analisa pada kasus Tanjung Priok 1984
BAB II
PEMBAHASAN
4
Shidiq, Rifai. Tragedi Berdarah Tanjung Priok 1984 https://wawasansejarah.com/tragedi-tanjung-priok-1984/ diakses 15
Desember 2020.
Pada tanggal 11 September 1984 Setelah peristiwa penangkapan empat pemuda.
Seorang tokoh setempat bernama Amir Biki, dia adalah orang terpercaya untuk menjadi
penengah jika terjadi permasalahan antara penguasa (Militer) dan Masyarakat. Amir Biki
menyampaikan tuntunan kepada pihak-pihak yang berwajib untuk membebaskan empat
orang pemuda tersebut yang ditahan oleh kodim, yang diyakini tidak bersalah. Namun
usaha Amir Biki untuk meminta keadilan hanya sia-sia.
Pada tanggal 12 September 1984 malam diselenggarakan tabligh akbar di Jalan
Sindang yang dihadiri oleh ribuan orang. Mereka juga memenuhi lorong-lorong disekitar
Jalan Sindang. Pada tabligh akbar tersebut Amir Biki ikut berbicara, disamping mengecam
dengan keras para pejabat pemerintah dan ABRI. Amir Biki juga meminta kepada pejabat
untuk membebaskan keempat pemuda tersebut dan diantar kepanggung dengan dikasihnya
waktu. Apabila keempat pemuda sampai jam 23:00 malam itu tidak dibebaskan dan tidak
diantar ke panggung Jalan Sindang, maka massa mendatangi pejabat pemerintah dan siap
membuat banjir darah di Tanjung Priok.
Karena keempat pemuda tersebut tidak dilepaskan di Kodim Jakarta Utara, maka
menjelang jam 23:00 malam Amir Biki mengerahkan massa dengan membagi dua
rombongan. Satu dipimpin rombongan oleh Amir Biki bergerak ke Kodim Jakarta Utara,
sedangkan satu rombongan lagi di pimpin oleh Salim Qadar menuju kearah Pasar Koja.
Sesampai di depan Polres Metro Jakarta Utara, massa yang bergerak ke arah Kodim
Jakarta Utara dihambat oleh satu regu Arhanud yang dipimpin oleh Sersan Dua Sutrisno
Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto kodim Jakarta Utara. Kapten Sriyanto pada
saat itu melaporkan kepada Dandim Jakarta Utara bahwa aparat diserang massa yang
berjumlah ribuan. Damdin Jakarta Utara menginstruksikan agar pasukan tetap bertahan dan
mencegah jangan sampai massa memasuki wilyah yang dikhawatirkan. Oleh karena itu
massa diajak berunding di polres Metro Jakarta Utara sesuai instruksi Dandim Jakarta Utara
tersebut, kapten Sriyanto mengajak massa untuk berdamai dan berunding, tetapi massa
marah dan tetap beringas dan ada yang maju menyerang Kapten Sriyanto. Mengetahui
kapten Sriyanto diserang dan terdesak, seorang anggota Prada Prayogi melakukan
menghalangi massa dan menembak keatas sebagai peringatan. Karena massa mendesak
terus-menerus, Prayogi menembak kebawah dan mengenai beberapa orang. Tembakan
tersebut memicu anggota lainnya untuk menembak, sehingga korban kena tembakan cukup
banyak. Dalam persitiwa tersebut, senjata Prada Muhson direbut oleh massa, tetapi berhasil
direbut kembali. Senjata tersebut sempat meletus. Karena situasi dan melihat korban yang
demikian, maka Kapten Sriyanto memerintahkan kepada anak buahnya untuk meminta
bantuan kepada Polres Metro Jakarta Utara. Tetapi Polres Metro Jakarta Utara tidak ada
bantuan, karena anggota hanya ada 13 orang.
Setelah banyak korban berjatuhan, massa panik dan melarikan diri. Sementara itu
datang tenaga bantuan yang dipimpin oleh Letda M. Syachrudin yang hampir tertikam oleh
salah seorang anggota massa. Letda. Syachrudin turut membantu mengangkat korban ke
atas truk yang ada di situ, yaitu truk yang digunakan untuk mengakut pasukan korban
Sriyanto. Sebagian korban ada yang dibawa ke Rumah Sakit Koja dan sebagiannya lagi
dibawa ke Rumah Sakit Suka Mulya dan Rumah Sakit Tugu. Sesuai perinta Dandim Jakarta
Utara agar korban diobati dan di rawat dengan baik. Saat Pangdam V Jaya dan Pangab
datang ke lokasi, Pangdam V Jaya memerintahkan agar semua korban dibawa ke Rumah
Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Di RSPAD Gatot Subroto para
Korban mendapatkan perawatn medis dan untuk korban meninggal dunia diperlakukan
sesuai dengan aqidah agama.5
B. Hasil Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Pada Kasus Tanjung
Priok 1984
Proses hukum atas kasus Tanjung Priok berawal dari penanganan Komnas
HAM pada tahun 1998 dengan membentuk tim khusus. Pada bulan Maret 1999 Komnas
Ham menyatakan, telah terjadi penembakan dengan peluru tajan yang dilakukan oleh
apparat keamanan kepada masyarakat yang melakukan unjuk rasa dan mengakibatkan
korban berjatuhan mulai dari luka-luka, hilang, cacat hingga meninggal dunia. Oleh sebab
itu Komnas HAM melakukan rekomendasi agar; 1) Pemerintah menjelaskan kepada
masyarakat secara luas mengenai peristiwa Tanjung Priok; 2) Pemerintah membantu
memberikan santunan dan bantuan kepada korban peristiwa Tanjung Priok; 3) pelaku dan
tanggungjawab pelanggaran HAM diselesaikan dengan tuntas melalui jalur hukum. 6
Pada tahun 2000, setelah didesak oleh korban dan masyarakat, Komnas
membentuk Komisi Penyelidik dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM Tanjung Priok
(KP3T). KP3T bertugas melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap
pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan Agustus hingga
September 1984.
5
Ringkasan Eksekutif Laporan Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjung Priok, akses 15
Desember 2020.
6
Pernyataan Komnas HAM tentang Peristiwa Tanjung Priok 1984, 9 Maret 1999.
KP3T bertugas di Tanjung Priok pada bulan Agustus sampai dengan September
1984, kemudian selesai pada Juni 2000 dan menyerahkan hasil penyelidikan kepada
Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti. Hasil penyeldikan ini merupakan kumpulan
dari berbagai fakta yang bersumber dari beberapa saksi mulai dari saksi korban, saksi
anggota TNI, saksi anggota Polri dan saksi lain. Akan tetapi, Kejaksaan Agung
mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kemudian meminta Komnas HAM untuk
melengkapi laporan KP3T dalam rangka penyelidikan dan penyidikan pro justicia.
Selanjutnya, Komnas HAM membentuk Tim Tindak Lanjut untuk melanjutkan
rekomendasi KP3T melalui penggalian kuburan (tinjauan lapangan) dan pemeriksaan
dokumen RSPAD serta melengkapi kesaksian dan bukti jatuhnya korban keluarga Tan
Keu Lim. 7
Pada Oktober 2000, KP3T dalam laporannya menyimpulkan, telah terjadi
pelanggaran HAM berat dan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak terbatas hanya
pada pembunuhan kilat, penagkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan
dan penghilangan orang secara paksa. Seluruh rangkaian tindakan tersebut merupakan
tanggungjawab pelaku baik dilapangan, komando operasional dan pemegang komando.
Dalam laporannya, KP3T juga menyimpulkan bahwa latar belakang kejadian
seblum peristiwa 12 September 1984 adalah adanya kebijakan politik nasional dengan
dikeluarkannya Tap MPR No. IV Tahun 1978 tentang Pedoma, Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4). Kebijakan ini mendapat tanggapan dari sebagian umat
Islam yang melihatnya sebagai suatu gejala mengecilkan Islam dan mengagamakan
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Kondisi inilah yang kemudian memperuncing perbedaan antara sebagian
umat Islam dengan apparat yang akan “menegakkan” ideology negara dan kebijakan
politik nasional pada saat itu.8
Namun perlu diketahui, dari hasil penyelidikan terhadap beberapa saksi terdapat
beberapa diantaranya menjadi sebuah hal kontradiksi atau saling bertentangan antara
yang satu dengan yang lainnya, diantaranya :
1. Sebelum terjadinya peristiwa, menurut saksi korban menyatakan bahwa selama
kurang lebih empat bulan terakhir sering diadakan tabligh akbar oleh para mubaligh
7
Catatan Dokumentasi KontraS. Bagian III : Menjaring Teri, Melepas Kakap dalam “Reproduksi Ketidakadilan Masa lalu :
Catatan Perjalanan Membongkar Kejahatan HAM Tanjung Priok 1984. Jakarta : KontraS. 2008.
8
Catatan Dokumentasi KontraS. Bagian III : Menjaring Teri, Melepas Kakap dalam “Reproduksi Ketidakadilan Masa lalu :
Catatan Perjalanan Membongkar Kejahatan HAM Tanjung Priok 1984. Jakarta : KontraS. 2008.
yang menyampaiakan mengenai penolakan kebijaksanaan Pemerintah antara lain
mengenai azas tunggal Pncasilam keluarga berencana, larangan pemakaian jilbab,
integrasi WNI keturunan Cina dan lain-lain. Sedangkan, menurut saksi TNI isi
tabligh tersebut tidak hanya sebatas itu melainkan selalu bernada keras hingga ada
kata-kata penghinaan kepada Presiden Soeharto dan nyonya Tien Soeharto.
2. Menurut saksi korban, pada tanggal 8 September 1984 seorang Babinsa bernama
Sertu Hermanu memasuki Mushola As Sa’adah tanpa membuka sepatu dan
mencabuti pampflet-pamflet yang melekat di dinding Mushola As Sa’adah. Oleh
karena ada pamflet yang sulit dicabut/dilepaskan, maka Hermanu menggunakan
kertas yang dibasahi dengan air got untuk menghapus pamflet tersebut atau dengan
maksud untuk mempermudah pencabutannya. Sedangkan, dari saksi TNI, Sertu
Hermanu memasuki Mushola dengan melepas sepatunya untuk mencoba
memberikan himbauan. Namun karena pamflet-pamflet tersebut tidak dilepas, maka
ia menggunakan air dari aliran bekas kucuran air wudhu dengan maksud agar tulisan
di pamflet-pamflet tersebut tidak terbaca lagi.
3. Pada saat terjadinya peristiwa, menurut saksi korban, apparat langsung menembak
massa dengan senjata otomatis. Sehingga berakibat banyak massa yang luka-luka
bahkan meninggal dunia, khususnya bagian barisan depan. Sedangkan menurut
kesaksian Kapten Sriyanto, Kasi II Ops Kodim Jakarta Utara menyatakan bahwa,
pihaknya sebelumnya telah mendapatkan telepon yang berisi ancaman dari Amir
Baki pada pukul 22.00 pada malam kejadian tanggal 12 September 1984 yang pada
intinya apabila keempat orang yang ditahan tidak dilepaskan, maka akan diambil
sendiri ke Kodim Jakarta Utara, kemudian ancaman ini dialporkan kepada Dandim
Jakarta Utara. Selanjutnya, gerkana massa telah sangat ramai, kemudian Kapten
Sriyanto menemui kerumunan masssa untuk mengajak pimpinan massa berunding di
Polres Metro Jakarta Utara, namun ajakan tersebut dihiraukan. Justru keadaan
menjadi sebaliknya, yaitu Kapten Sriyanto diserang massa hingga ia tersudut dengan
mobil dibelakangnya, bahkan samapi nyaris terkena parang oleh salah satu anggota
massa. Melihat keadaan tersebut, Prada Prayogi menembakkan senjatanya ke atas
kemudian ke bawah arah kaki tanpa perintah dari siapaun, dimana tembakan tersebut
disusul oleh tembakan beberapa anggota regu yang lain.
Melalui beberapa kesaksian tersebut yang saling bertentangan antara satu sama
lain, kemudia KP3T menyimpulkan dalam analisis hasil penyelidikannya bahwa :
1. Terkait dengan tabligh akbar, memang benar terdapat tabligh-tabligh akbar yang
bernada keras yang pada intinya menolak dan seruan untuk memprotes kebijakan
dari pemerintah. Keadaan ini ditambah dengan kondisi massa yang mudah dihasut
karena situasi sosial ekonomi, kepadatan, solidaritas keagamaan termaasuk tabligh-
tabligh bernada keras tersebut semakin mempermudah terjadinya tindak kekerasan
oleh massa
2. Terkait dengan penembakan, benar adanya bahwa Kapten Sriyanto ditengah-tengah
kerumunan massa, ia mengajak berunding namun dihiraukan. Justru kemudian
kapten Sriyanto terdesak ke belakang akibat massa yang semakin brutal. Melihat hal
demikian, tanpa adanya perintah Prada Prayogi menembak ke atas sebagai tanda
peringatan, namun massa tetap maju, untuk kedua kalinya Prada Prayogi menembak
kea rah bawah. Tembakan Prada Prayogi, tanpa komando diikuti oleh tembakan
anggota regu yang lain ke arah massa sehingga menimbulkan korban.
Berdasarkan hasil kajian dari komnas ham, kasus Tanjung Priok masuk kedalam
pelanggaran berat HAM karena Pada bulan Maret 1999 Komnas HAM menyatakan,
telah terjadi penembakan dengan peluru tajam yang dilakukan oleh aparat keamanan
kepada masyarakat yang melakukan unjuk rasa dan mengakibatkan korban berjatuhan
mulai dari luka-luka, hilang, cacat hingga meninggal dunia dan dilakukan dengan
secara sistematis dan meluas.
Yang mana jika dilakukan sistematis peristiwa ini sudah terencana, bagian dari
kebijakan organisasi tertentu, adapun bangunan-bangunan yang ikut rusak karena
peristiwa ini. Karena warga Tanjung Priok menolak kebijakan pemerintah mengenai
Pancasila satu-satunya asas tunggal, yang dapat menimbulkan keresahan pada warga
setempat. Peristiwa ini dipicu adanya politik, sosial yang berakibat tokoh-tokoh
menghasut massa untuk melawan pemerintah dan aparat. Dan banyak juga bangunan-
bangunan yang rusak akibat peristiwa ini, terbukti beberapa bangunan seperti tempat
ibadah gereja GPIB dan Nazaret, bahkan 14 toko buah rusak 2 diantaranya terbakar.
Sedangkan kasus Tanjung Priok dikatakan meluas karena peristiwa tersebut
berada di wilayah yang luas. Akibat peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa ini
menyebar sampai wilayah Jakarta timur, Jakarta pusat, Jakarta selatan dll dan tidak
hanya di wilayah Jakarta saja. Selain itu Terlihat juga banyaknya koban yang jatuh saat
peristiwa tersebut. Bahkan ada korban yang hanya lewat jalan saja tetapi menjadi salah
satu korban dari peristiwa Tanjung Priok 1984 tersebut.
Dalam laporan penyelidikan KP3T, salah satu hasil penyelidkan KP3T terhadap
Dokumen berupa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, kaset rekaman pidato para
nubaligh tanggal 12 September 1984 di Jalan Sindang dan kliping berita berbagai
media cetak serta penjelasan Pangab di depan DPR-RI.9 yaitu :
- 9 (Sembilan) orang meninggal dunia akibat dibakarnya Apotik Tanjung, Koja, yaitu
delapan orang dari keluarga Tan Kio Liem beserta satu orang pembantunya.
- 2 (dua) buah rumah di RT 003/006 terbakar.
- 14 (empat belas) buah toko rusak, 2 buah terbakar
- Sebuah apotik terbakar
- 2 (dua) buah rumah ibadah/gereja yaitu GPIB dan Nazareth rusak.
- 8 (delapan) buah kendaran roda empat terbakar.
- 4 (empat) buah kendaraan roda dua terbakar.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang dilakukan oleh petugas keamanan
lapangan dan komando adalah sebagai berikut :
- Penghilangan nyawa di luar putusan pengadilan sebanyak 24 (dua puluh empat) orang,
antara lain 23 (dua puluh tiga) meninggal dan semua ini pemakamannya dilakukan
oleh petugas keamanan dan 1 (satu) orang ditemukan, dirawat dan dimakamkan oleh
keluarganya.
- Menyebabkan luka berat sebanyak 36 (tiga puluh enam) orang.
- Penyiksaan selama dalam pemeriksaan dan penahanan.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh petugas keamanan lapangan dan komando,
diantaranya :
- Menimbulkan rasa takut.
- Penghilangan kebebasan beribadah sholat Jumat.
- Proses pemeriksaan yang tidak sesuai KUHAP.
- Penghilangan hak untuk memperoleh informasi.
Rekomendai KP3T dalam hasil penyelidaknnya adalah merekomendasi 23 nama
yang seharusnya menjadi terdakwa. Dari 23 (dua puluh tiga) nama yang
direkomendasikan oleh Komnas Ham untuk disidik lebih lanjut keterlibatannya, hanya 14
nama tersangka yang diajukan ke pengadilan. Nama-nama tersebut rerata merupakan
9
Ringkasan Eksekutif Laporan Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjung Priok, 13 Oktober
2003.
personel tingkat rendah pada saat peristiwa terjadi. Jaksa sengaja mengabaikan fakta
keterlibatan petinggi keamanan dan pengambil keputusan tertinggi. Sehingga penanggung
jawab hanya dibebankan komandan kodim.10
Dalam hasil penyelidikannya, rekomendai KP3T dibagi menjadi beberapa bagian
sesuai dengan sarsaran rekomendasi tersebut,11 diantaranya :
1. Kepada Pemerintah :
- Menyelesaikan secara tuntas terhadap keseluruhan perkara dalam peristiwa 12
September 1984 mulai dari meminta maaf, merehabilitasi nama baik hingga
memberi kompensasi kebapa para korban dan keluarga korban yang meinggal.
- Peristiwa ini harus dijadikan cerminan untuk tidak selalu campur tangan langsung
terhadap permasalahan mendasar mengenai nilai-nilai dalam kehidupan beragama,
- Lebih memusatkan perhatian kepada pelaksanaan empat tugas pokok Pemerintahan
negara menurut Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial. Untuk memungkinkan terlaksananya empat tugas di atas perlu diberikan
perhatian secara khusus kepada masalah demokrasi, penegakan hukum dan hak
asasi manusia.
2. Kepada Panglima TNI :
- Demi kejernihan hukum dan sejarah, memeriksa seluruh personil yang terlibat
dengan hukum yang berlaku.
- Melanjutkan dan meningkatkan pendidikan serta sosialisasi seluruh instrument
baik nsional maupun internasional mengenai pemajuan dan perlindungan Hak
Asasi Manusia kepada seluruh personil militer.
- Menginstruksikan para komandan untuk lebih intensif melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan instruksi dan prosedur tetap yang telah dikeluarkan sebagai
petunjuk pelaksanaan tugas, sehingga tidak terjadi lagi pengalaman pahit tanggal
12 - 13 September 1984 ini. Terdapat indikasi kuat bahwa regu yang ditugaskan ke
10
Catatan Dokumentasi KontraS. Bagian III : Menjaring Teri, Melepas Kakap dalam “Reproduksi Ketidakadilan Masa lalu :
Catatan Perjalanan Membongkar Kejahatan HAM Tanjung Priok 1984. Jakarta : KontraS. 2008.
11
Ringkasan Eksekutif Laporan Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan dan Pemeriksaan Pelanggaran HAM di Tanjung Priok, 13
Oktober 2003.
lapangan tidak mendapatkan petunjuk yang jelas serta latihan yang memadai
mengenai tugas yang harus dilaksanakannya.
3. Kepada Tokoh Pimpinan Masyarakat :
- Lebih menjaga dan berhati-hati dalam memberikan arahan kepada warga
masyarakat sehingga tidak mengakibatkan mudah melakukan pelanggaran hukum.
- Menghindarkan diri sejauh mungkin dari pengerahan massa untuk melakukan aksi
secara langsung, yang dikahwatirkan akan terjadi keberingasan serta terlanggarnya
Hak Asasi Manusia dari warga masyarakat lainnya.
- Mengushakan penyelesaian berbagai konflik kemsyarakatan melalui mediasi
internal dan/atau jalur hukum serta melalui lembaga perwakilan yang berwenang.
4. Kepada Jajaran Pers dan Media Massa :
- Meminta jajaran pers dan media massa agar tetap memperhatikan serta
memperhitungkan dampak sosial dari pemberitaannya mengingat demikian
banyaknya masalah peka dalam masyarakat Indonesia yang majemuk ini.
Pada kasus Tanjung Priok tahun 1984 Komnas HAM menyimpulkan adanya
pelanggaran berat HAM yang berdasarkan hasil penyelidikan dari KP3T. Hasil
penyelidikan tersebut bukti adanya korban berjatuhan mulai dari luka-luka, hilang, cacat
hingga meninggal dunia. Hal ini berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor
26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, yang mana pembunuhan, penyiksaan masuk
kekategori kejahatan terhadap manusia.
Kasus Pelanggaran berat HAM pada kasus Tanjung Priok 1984 banyak korban yang
dilakukan oleh petugas keamanan lapangan dan komando yang diperlakukan penyiksaan
selama dalam pemeriksaan dan penahanan. Hal ini berdasarkan pasal 28 G ayat (2)
Undang-undang Dasar 1945 Amandemen yang mana korban memiliki hak untuk bebas dari
penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
Dilihat Pasal 4 UDHR (Universal Declaration of Human Right) dan Pasal 8 ICCPR
(International Covenant on Civil and Political Right) yaitu hak untuk tidak dianiaya namun
pada kasus Tanjung Priok 1984 banyak korban yang dianiya, cacat bahkan sampai
meninggal dunia. Dari hasil KP3T adanya penembakan dari aparat bahkan sampai
banyaknya korban yang meninggal.
Teori hukum yang sesuai berdasarkan pada kasus Tanjung Priok 1984 adalah teori
Universal. Teori Universal berkaitan dengan HAM, kasus Tanjung Priok ini merupakan
pelanggaran berat HAM karena adanya kebijakan politik nasional yang dikeluarkannya.
Sehingga banyak masyarakat yang tidak menerima kebijakan politik tersebut sehingga
menimbulkan kesalah pahaman dan masyarakat sekitar juga mudah dihasut. Maka kasus
ini banyak menimbulkan korban antara masyarakat dan aparat.
Prinsip HAM pada kasus Tanjung Priok 1984 yaitu prinsip Universal dan tidak
dapat dicabut. Pada prinsipnya HAM dimiliki oleh semua umat manusia di dunia karena
HAM merupakan prinsip yang diterima secara umum sebagai hak yang sifatnya melekat
tanpa dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin, agama, etnis dan pandangan politik, asal usul
sosial maupun kebangsaan.12 Kasus Tanjung Priok ini dimulai karena adanya penerapan
Pancasila sebagai satu-satunya asas. Yang mana masyarakat sekitar tidak menerima
kebijakan politik tersebut.
12
Rahayu,2016, Hukum Hak Asasi Manusia. Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal 34.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sebelum peristiwa 12 September 1984 adalah adanya kebijakan politik nasional dengan
dikeluarkannya Tap MPR No. IV Tahun 1978 tentang Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4). Sebelum terjadi peristiwa, 4 bulan sebelum peristiwa Tanjung Priok 1984
terjadi masyarakat Tanjung Priok melakukan tabligh akbar untuk menolak kebijakan
pemerintah mengenai Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal.
Pada tanggal 12 September 1984 malam diselenggarakan tabligh akbar di Jalan Sindang
yang dihadiri oleh ribuan massa. Pada tabligh akbar tersebut Amir Biki ikut berbicara di depan
pejabat dan ABRI agar 4 pemuda tersebut dibebaskan. Jika tidak dibebaskan massa langsung
ke Kodim Jakarta Utara untuk membebaskan 4 pemuda tersebut. Setibanya di depan Mapolres
Metro Jakarta Utara, massa dicegat oleh satuan aparat dan Arhanud yang diperbantukan kepada
kodim Jakarta Utara. Menurut pengakuan korban, aparat langsung menembak massa dengan
senjata otomatis. Sebagai akibatnya massa yang berada dibarisan depan jatuh bergelimpangan
dan berlumuran darah.
Berdasarkan hasil kajian dari komnas ham, kasus Tanjung Priok masuk kedalam
pelanggaran berat HAM karena Pada bulan Maret 1999 Komnas Ham menyatakan, telah terjadi
penembakan dengan peluru tajam yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada masyarakat
yang melakukan unjuk rasa dan mengakibatkan korban berjatuhan mulai dari luka-luka, hilang,
cacat hingga meninggal dunia dan dilakukan dengan secara sistematis dan meluas. Yang mana
jika dilakukan sistematis peristiwa ini sudah terencana, bagian dari kebijakan organisasi
tertentu, adapun bangunan-bangunan yang ikut rusak karena peristiwa ini. Karena warga
Tanjung Priok menolak kebijakan pemerintah mengenai Pancasila satu-satunya asas tunggal,
yang dapat menimbulkan keresahan pada warga setempat. Sedangkan kasus Tanjung Priok
dikatakan meluas karena peristiwa tersebut berada di wilayah yang luas. Akibat peristiwa
Tanjung Priok 1984, peristiwa ini menyebar sampai wilayah Jakarta timur, Jakarta pusat,
Jakarta selatan dll dan tidak hanya di wilayah Jakarta saja. Selain itu Terlihat juga banyaknya
koban yang jatuh saat peristiwa tersebut.
Pada kasus Tanjung Priok 1984 ini diselesaikan dengan pengadilan HAM Ad Hoc, yang
mana pengadilan yang dibentuk untuk memeriksa dan mengadili pelanggaran berat HAM, yang
dilakukan sebelum adanya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000. Mekanisme yang pertama
adalah pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc, setelah itu dilakukannya upaya penyelidikan,
jika penyelidikan sudah diterima maka lanjut proses upaya Penyidik, setelah diterima
kejaksaan Agung lanjut ke upaya penuntutan, setelah itu berlanjut upaya proses pengadilan,
setelah itu dilakukan upaya acara pemeriksaan setalah ada keputusan dari Pengadilan Negeri,
banding dan Kasasi, maka lanjut ke upaya perlindungan saksi dan korban dikarenakan jaksa
gagal memberi perlindungan kepada korban dan saksi, maka setelah itu adanya upaya
kompensasi korban setelah permasalahan kompensasi, lanjut ke upaya ketentuan Pidana jika
ada terdakwa yang bersalah.
Berdasarkan hasil komnas HAM kasus Tanjung Priok 1984 termasuk pelanggaran berat
HAM yang mana melanggar Pasal 7 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000
Tentang Pengadilan HAM, yang mana pembunuhan, penyiksaan masuk kekategori kejahatan
terhadap manusia. Dan juga dalam kasus Tanjung Priok 1984 ini korban seprti tidak memiliki
hak hak untuk tidak dianiaya namun pada kasus Tanjung Priok 1984 banyak korban yang
dianiya, cacat bahkan sampai meninggal dunia. Hal ini berdasarkan pasal 4 UDHR dan pasal
8 ICCPR.
Kasus Tanjung Priok 1984 ini masuk keteori HAM yaitu Teori Universal kasus Tanjung
Priok ini merupakan pelanggaran berat HAM karena adanya kebijakan politik nasional yang
dikeluarkannya. Sehingga menimbulkan keresahan kepada masyarakat Tanjung Priok. Dan
termasuk Prinsip HAM yaitu Prinsip Universal dan Tidak Dapat dicabut kasus Tanjung Priok
ini dimulai karena adanya penerapan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Yang mana
masyarakat sekitar tidak menerima kebijakan politik tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Catatan Dokumentasi KontraS. Bagian III : Menjaring Teri, Melepas Kakap dalam
“Reproduksi Ketidakadilan Masa lalu : Catatan Perjalanan Membongkar Kejahatan
HAM Tanjung Priok 1984. Jakarta : KontraS. 2008.
Peraturan
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Universal Declaration of Human Right (UDHR)
International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR)
Jurnal
Hastuti, Lina. 2012. Pengadilan Hak Asasi Manusia Sebagai Upaya Pertama dan Terakhir
Dalam Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM Ditingkat Nasional. Jurnal Dinamika
Hukum. Vol 12, No 3.
Rahayu, Ayu. 2018. Kasus Tanjung Priok 1984. Jurnal Ilmu Hukum.
Sobarnapraja, Agus. 2020. Penegakan Hukum Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Jurnal Ilmu Kepolisian. Vol 14, No 1.
Urfan. 2019. Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Melalui Mekanisme
Pengadilan Nasional dan Pengadilan Pidana Internasional. Jurnal Ilmu Hukum. Vol 7,
No 1.
Yusuf, Muhammad Putra dan Irwansyah. 2018. Penyelesaian Non Yudisial Terhadap
Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu : Tinjauan Sosiologi Peradilan. Jurnal Ilmu
Hukum. Vol 1, No 2.
Internet
Amenestya Internasional Indonesia, IKOHI, dan KontraS. Siaran Pers Bersama 35 Tahun
Peristiwa Tanjung Priok, Keadilan Tak Kunjung Datang
https://kontras.org/2019/09/12/siaran-pers-bersama-35-tahun-peristiwa-tanjung-priok-
keadilan-tak-kunjung-datang/ diakses 15 Desember 2020.
Shidiq, Rifai. Tragedi Berdarah Tanjung Priok 1984 https://wawasansejarah.com/tragedi-
tanjung-priok-1984/ diakses 15 Desember 2020.