Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ummul Khaeriyah

Nim : 19.1100.061

1. Jelaskan perbedaan antara as-sunnah dan hadis?

Kata Hadis secara bahasa berarti al-Jadid (sesuatu yang baru) yang
merupakan awan dari kata al-Qadim (sesuatu yang lama), juga bisa berarti at-
Thariq (jalan), al-Khabar (berita), dan as-Sunnah (perjalanan). Menurut Abdul
Baqa sebagaimana dikutip Subhi as-Shalih, kata Hadis adalah isim dari kata
ahadist yang berarti pembicaraan.Para ulama hadis dan ulama ushul fiqih berbeda
pendapat dalam mendefinisikan hadis secara istilah, sebagaimana
berikut:Pertama, ulama hadis berpendapat bahwa hadis adalah segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan, maupun sifat beliau. Mereka juga memandang hadis
sebagai sifat-sifat yang melekat pada Nabi Muhammad Saw baik berupa fisik
maupun psikis dan akhlak kesehariannya, sebelum atau sesudah diangkat menjadi
Rasul.Kedua, ulama ushul fiqih berpendapat bahwa hadis adalah segala
perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad Saw yang berkaitan dengan
hukum-hukum syara’ dan ketetapannya. Mereka memandang Nabi Muhammad
Saw sebagai manusia pembuat undang-undang disamping Allah Swt.Dalam
bahasa sederhananya, ulama hadis memandang segala sesuatu yang melekat pada
Nabi Muhammad SAW, sekalipun berbentuk kebiasaan yang bersifat
kemanusiaan adalah hadis. Sedangkan ulama ushul fiqih memandang kebiasaan
Nabi Muhammad Saw yang bersifat kemanusiaan adalah bukan hadis.

Adapun kata Sunnah secara bahasa berarti jalan, aturan, cara berbuat. Menurut al-
Jurjani, Sunnah berarti kebiasaan, jalan yang diridhoi maupun tidak diridhoi. Kata
Sunnah dapat juga diartikan sebagai sebuah tradisi yang telah biasa dikerjakan, baik
terpuji maupun tercela.

Para ulama hadis dan ulama ushul fiqih juga berbeda pendapat dalam mendefinisikan
sunnah secara istilah, sebagaimana berikut:
 Pertama, ulama hadis berpendapat bahwa sunnah adalah segala perkataan,
perbuatan, ketetapan, sifat maupun perjalanan hidup yang bersumber dari Nabi
Muhammad Saw, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah diangkat menjadi
Rasul.

 Kedua, ulama ushul fiqih berpendapat bahwa sunnah adalah segala perkataan,
perbuatan, ketetapan yang bersumber dari Nabi Muhammad Saw selain dari al-
Qur’an yang berkaitan dan layak dijadikan sebagai dalil hukum syara’.

 Dalam bahasa sederhananya, ulama hadis memandang sunnah sebagai segala


kebiasaan Nabi Muhammad Saw, baik yang berkaitan dengan hukum syara’
maupun tidak. Dengan kata lain, mereka memandang sunnah sama dengan hadis.
Sedangkan ulama ushul fiqih memandang sunnah sebagai segala perkataan,
perbuatan, ketetapan yang bersumber pada Nabi Muhammad Saw, akan tetapi
hanya yang berhubungan dengan hukum syara’.

2. Jelaskan pengertian antara hadis mutawir, hadis masyur dan hadis ahad!

1) Hadis Mutawir

Mutawatir dalam segi bahasa adalah isim fa’il musytaq dari At-


tawatur artinya At-tatabu atau berturut-turut. Memiliki arti yang sama
dengan kata“mutataabi’,artinya: ” beruntun atau beriring-iringan”,
maksudnya beriring-iringan antara satu dengan yang lain tanpa ada
jaraknya”. sedang menurut istilah ialah hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar perawi yang menurut adat, mustahil mereka bersepakat
lebih dahulu untuk berdusta.Hadits mutawatir ialah hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat, mustahil mereka
sepakat untuk berdusta, mulai awal sampai akhir mata rantai sanad,pada
setiap tabaqat atau generasi.
            Jadi, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar perawi, yang menurut adat, pada umumnya dapat
memberikan keyakinan yang mantap, terhadap apa yang telah mereka
beritakan, dan mustahil sebelumnya mereka bersepakat untuk berdusta,
mulai dari awal matarantai sanad sampai pada akhir sanad.

2) Hadis Masyhur
Hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang
atau lebih, selama tidak mencapai tingkatan mutawatir.
Dalam menanggapi masalah ini, sebagian ulama mengatakan bahwa
hadits masyhur itu sama dengan hadits mustafidl.sedang yang lain
mengatakan berbeda, jikamustafidl perawinya berjumlah tiga orang atau
lebih sedikit,mulai dari generasi pertama sampai terakhir. Dan
hadits masyhur lebih umum dari pada mustafidl, artinya jumlah perawi
dalam tiap-tiap genarasi tidak harus sama atau seimbang, sehingga jika
generasi pertama sampai generasi ketiga perwinya hanya seorang, tetapi
generasi terakhir jumlah perawinya beanyak, maka hadits ini dinamakan
hadits masyhur, sebagai contoh:
Hadits masyhur, ditakhrij imam Bukhari dari Ibnu ‘Umar:
 
        ‫ﻘﺎﻝ ﺭﺴﻭﻝ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ ﺍﻨﻤﺎ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﺒﺎﻠﻨﻴﺎﺕ ﻭ ﺇﻨﻤﺎ ﻟﻜﻝ ﺍﻤﺭﺉ ﻤﺎ ﻨﻭﻯ‬ 

3) Hadis Ahad
Ahad adalah bahasa arab yang berasal dari kata dasar ahad (‫ )ﺍﺤﺩ‬,
artinya satu (‫ﻭﺍﺤﺩ‬ ,atau wahid ), Jadi khabar wahid adalah suatu
habar yang diriwayatkan oleh orang satu. sedang menurut istilah
hadits ahad ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadits mutawatir.

3. Apa hubungan antara Al-Qur’an dengan As-sunnah?

Ditinjau dari hukum yang ada maka hubungan As-Sunnah dengan Al


Qur-an, sebagai berikut:

1) As-Sunnah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam


Al-Qur-an. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber
dan terdapat pula dua dalil. Yaitu dalil-dalil yang tersebut di dalam Al-
Qur-an dan dalil penguat yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Berdasarkan hukum-hukum tersebut banyak kita dapati
perintah dan larangan. Ada perintah mentauhidkan Allah, berbuat baik
kepada kedua orang tua, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di
bulan Ramadhan, ibadah haji ke Baitullah, dan disamping itu dilarang
menyekutukan Allah, menyakiti kedua orang tua, serta banyak lagi yang
lainnya.
Terkadang As-Sunnah itu berfungsi sebagai penafsir atau pemerinci hal-
hal yang disebut secara mujmal dalam Al-Qur-an, atau memberikan
taqyid, atau memberikan takhshish dan ayat-ayat Al-Qur-an yang
muthlaq dan ‘aam (umum). Karena tafsir, taqyid dan takhshish yang
datang dari As-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang
dimaksud di dalam Al-Qur-an.
Dalam hal ini Allah telah memberi wewenang kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan penjelasan terhadap
nash-nash Al-Qur-an dengan firman-Nya :

2) ‫س َما نُزِّ َل إِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُرون‬ ِّ َ‫ت َوالزُّ بُ ِر ۗ َوأَن َز ْلنَا إِلَيْك‬
ِ ‫الذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلنَّا‬ ِ ‫بِا ْلبَيِّنَا‬
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami
turunkan kepadamu Al-Qur-an, agar kamu menerangkan kepada ummat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.” [An-Nahl/16: 44]
 Di antara contoh As-Sunnah mentakhshish Al-Qur-an
adalah:
3) ‫لذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ اأْل ُنثَيَ ْي ِن‬ َّ ِ‫صي ُك ُم هَّللا ُ فِي أَ ْواَل ِد ُك ْم ۖ ل‬
ِ ‫يُو‬
“Allah berwasiat kepada kamu tentang anak-anak kamu, bagi laki-laki
bagiannya sama dengan dua orang perempuan…” [An-Nisaa’/4: 11]
Ayat ini ditakhshish oleh As-Sunnah sebagai berikut:
• Para Nabi tidak boleh mewariskan apa-apa untuk anak-anaknya dan apa
yang mereka tinggalkan adalah sebagai shadaqah,
• Tidak boleh orang tua kafir mewariskan kepada anak yang muslim atau
sebaliknya, dan
• Pembunuh tidak mewariskan apa-apa.[1]

As-Sunnah mentaqyid kemutlakan al-Qur-an:

4) ‫سا ِرقَةُ فَا ْقطَ ُعوا أَ ْي ِديَ ُه َما‬


َّ ‫ق َوال‬
ُ ‫سا ِر‬
َّ ‫َوال‬
“Pencuri laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong kedua
tangannya…” [Al-Maa-idah/5: 38]
Ayat ini tidak menjelaskan sampai di manakah batas tangan yang akan
dipotong. Maka dari as-Sunnahlah didapat penjelasannya, yakni sampai
pergelangan tangan.[2]

As-Sunnah sebagai bayan dari mujmal Al-Qur-an:


• Menjelaskan tentang cara shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ُ‫ص ُّل ْوا َك َما َرأَ ْيتُ ُم ْونِي أ‬.


5) ‫صلِّي‬ َ
“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat.”[3]
Menjelaskan tentang cara ibadah haji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:

ِ ‫لِتَأْ ُخ ُذ ْوا َعنِّي َمنَا‬.


6) ‫س َك ُك ْم‬

“Ambillah dariku tentang tata cara manasik haji kamu sekalian.”[4]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang perlu penjelasan dari As-Sunnah
karena masih mujmal.
Terkadang As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum yang tidak
terdapat di dalam Al-Qur-an. Di antara hukum-hukum itu ialah tentang
haramnya memakan daging keledai negeri, daging binatang buas yang
mempunyai taring, burung yang mempunyai kuku tajam, juga tentang
haramnya mengenakan kain sutera dan cincin emas bagi kaum laki-laki.
Semua ini disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.

Anda mungkin juga menyukai