Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Apendisitis

1. Definisi

Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang

± 10 cm (4 inci), lebar 0,3-0,7 cm yang melekat pada sekum tepat di

bawah katup ileosekal. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian

proksimal dan melebar pada bagian distal. Appendiks adalah tonjolan kecil

seperti jari di dasar sekum atau berbentuk kantung buntu di bawah tautan

antara usus halus dan usus besar di katup ileosekum (Sherwood, 2012).

Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal

di masyarakat awam sesungguhnya kurang tepat karena usus buntu yang

sebenarnya adalah sekum. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering

menimbulkan masalah kesehatan. Apendisitis adalah peradangan akibat

infeksi pada usus buntu atas umbai cacing (apendiks). Peradangan akut

apendiks memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi

yang berbahaya (Sjamsuhidajat, 2013).

Apendiktomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks,

dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi.

Apendiktomi dapat dilakukan di bawah anestesi umum atau spinal dengan

insisi abdomen bawah atau dengan laparaskopi, yang merupakan metode

terbaru yang sangat efektif (Smeltzer, 2002).


2. Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis berdasarkan klinik patologis adalah sebagai

berikut :

a. Apendisitis Akut

1) Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Apendisitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa

disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen

apendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang

mengganggu aliran limfe, mukosa apendiks jadi menebal, edema,

dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah

umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan.

Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan apendiks terlihat

normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.

2) Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema

menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks

dan menimbulkan trombosis.Keadaan ini memperberat iskemia

dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus

besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi

serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan

fibrin. Apendiks dan mesoapendiks terjadi edema, hiperemia, dan

di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan


rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di

titik Mc Burney, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.

3) Apendisitis Akut Gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri

mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain

didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren

pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau

keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa

terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang

purulen

b. Apendisitis Infiltrat

Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang

penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum,

kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon

yang melekat erat satu dengan yang lainnya.

c. Apendisitis Abses

Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah

(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal,

subcaecal, dan pelvic.

d. Apendisitis Perforasi

Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren

yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi


peritonitis umum.Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi

dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

e. Apendisitis Kronis

Apendisitis kronis merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif

sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme

dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen.

Diagnosa apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat

serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari 2 minggu,

radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara

histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis

propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan

eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa.

Menurut Smeltzer (2002) (cit Andra & Yessie, 2013), menyatakan

apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada

kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk

bedah abdomen darurat. Menurut Lindseth, 2006 (cit Andra & Yessie,

2013) apendisitis akut adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar

umbilicus berlangsung antara 1-2 hari. Beberapa jam nyeri bergeser

ke kuadran kanan bawah (titik Mc Burney) dengan disertai mual,

anoreksia dan muntah. Menurut Pieter (2005) (cit Andra & Yessie,

2013) apendisitis kronik adalah nyeri perut kanan bawah lebih dari 2

minggu, dan keluhan menghilang setelah apendektomi. Kriteria

mikroskopik apendiks kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding


apendiks adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan

infiltrasi sel inflamasi kronik.

3. Etiologi

Menurut Andra & Yessie ( 2013) penyebab apendisitis antara lain:

a. Ulserasi pada mukosa

b. Obstruksi pada colon oleh fecalit (feses yang keras)

c. Pemberian barium

d. Berbagai macam penyakit cacing

e. Tumor

f. Striktur karena fibrosis pada dinding usus

4. Manifestasi Klinis

Menurut Brunner & Suddarth (2017) tanda terjadinya apendisitis

antara lain :

a. Nyeri kuadran kanan bawah, biasanya disertai dengan demam ringan,

mual, dan terkadang muntah kehilangan nafsu makan kerap dijumpai

konstipasi dapat terjadi

b. Pada titik McBurney (terletak di pertengahan antara umbilikus dan

spina anterior ilium) terasa nyeri tekan lokal dan kekakuan pada bagian

bawah otot rektus kanan

c. Nyeri pantul dapat dijumpai lokasi apendiks menentukan kekuatan

nyeri tekan, spasme otot, dan adanya diare atau konstipasi.

d. Tanda Rovsing (muncul dengan memalpasi kuadran kiri bawah, tetapi

muncul rasa nyeri di kuadran kanan bawah)


e. Jika apendiks pecah, nyeri menjadi lebih menyebar abdomen menjadi

lebih terdistensi akibat ileus paralitik, dan kondisi memburuk.

5. Pemeriksaan

a. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive

protein (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah

leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan neutrofil diatas

75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.

CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan

meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat

melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan

spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

b. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed

Tomography Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan

bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks,

sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang

menyilang dengan fekalith dan perluasan dari apendiks yang mengalami

inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94%

dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%,

sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.

c. Pemeriksaan penunjang lainnya

1) Pada copy fluorossekum dan ileum terminasuk tampak irritable


2) Pemeriksaan colok dubur : menyebabkan nyeri bila di daerah infeksi,

bisa dicapai dengan jari telunjuk. Menurut Craig, (2009) (cit Arif &

Tutik, 2010, p. 505) pemeriksaan colok dubur diperlukan untuk

mengevaluasi adanya peradangan apendiks. Pertama-tama tentukan

diameter anus dengan mencocokkan jari. Apabila yang diperiksa

adalah pediatrik, maka jari kelingking diperlukan untuk melakukan

colok dubur. Pemeriksaan colok dubur dengan manifestasi nyeri

pada saat palpasi mencapai area inflamasi. Pemeriksaan juga

mendeteksi adanya feses atau masa inflamasi apendiks. Pada rectal

taoucher, apabila terdapat nyeri pada arah jam 10-11 merupakan

petunjuk adanya perforasi.

3) Uji psoas dan uji obturator

Pemeriksaan fisik menurut Deden &Tutik (2010, p. 85) ada 2

cara pemeriksaan, yaitu:

a) Psoas Sign

Penderita terlentang, tungkai kanan harus lurus dan ditahan oleh

pemeriksa. Penderita disuruh aktif memfleksikan articulatio coxae

kanan, akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara aktif).

Penderita miring ke kiri, paha kanan di hiperektensi oleh

pemeriksa, akan terasa nyeri di perut kanan bawah (cara pasif).


b) Obtrutor Sign

Gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi supine

akan menimbulkan nyeri. Bila nyeri berarti kontak dengan

Obturator internus, artinya apendiks terletak di pelvis.

6. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks

yang dapat diakibatkan oleh fekalit/apendikolit, hiperplasia limfoid, benda

asing, parasit, neoplasma, atau struktur karena fibrosis akibat peradangan

sebelumnya.

Obstruksi lumen yang terjadi mendukung perkembangan bakteri dan

sekresi mukus sehingga menyebabkan distensi lumen dan peningkatan

tekanan dinding lumen. Tekanan yang meningkat akan menghambat aliran

limfe sehingga menimbulkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi

mukosa. Pada saat tersebut, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai

oleh nyeri periumbilikal.

Sekresi mukus yang terus berlanjut dan tekanan yang terus

meningkat menyebabkan obstruksi vena, peningkatan edema, dan

pertumbuhan bakteri yang menimbulkan radang. Peradangan yang timbul

meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga timbul nyeri di

daerah kanan bawah. Pada saat ini terjadi apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan timbul infark dinding dan

gangren. Stadium ini disebut apendisitis gangrenosa yang bila rapuh dan
pecah menjadi apendisitis perforasi. Meskipun bervariasi, biasanya

perforasi terjadi paling sedikit 48 jam setelah awitan gejala.

Bila semua proses diatas berjalan dengan imunitas yang cukup baik,

omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks

sebagai mekanisme pertahanan sehingga timbul massa lokal yang disebut

infiltrat apendikularis. Peradangan yang terjadi dapat menjadi abses atau

menghilang. Pada anak, omentum lebih pendek dan apendiks lebih

panjang dengan dinding lebih tipis sehingga mudah terjadi perforasi.

Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena ada gangguan

pembuluh darah (Kapita Selekta Kedokteran, 2016).


7. Pathway

Sumber :
8. Penatalaksanaan

Menurut Andra & Yessi (2013) penatalaksanaan apendiksitis antara

lain :

a. Sebelum operasi

1) Observasi

Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala

apendisitis seringkali belum jelas, dalam keadaan ini observasi

ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan

dipuasakan.Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan

darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik, foto

abdomen dan thoraks dilakukan untuk mencari kemungkinan

adanya penyulit lain. Kebanyakan kasus diagnosa ditegakkan

dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam

setelah timbulnya keluhan.

2) Antibiotik

Apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan

antibiotik, kecuali apendisitis gangrenosa atau apendisitis

perporasi. Penundaan tindakan pembedahan sambil memberikan

antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

b. Operasi

Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks)

dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi.

Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum dengan insisi


abdomen bawah atau dengan laparoscopy, yang merupakan metode

terbaru yang sangat efektif. Apendiktomi dapat dilakukan dengan dua

metode pembedahan, yaitu secara tehnik terbuka/pembedahan

konvensional (laparatomi) atau dengan tehnik laparaskopi yang

merupakan tehnik pembedahan minimal invasif dengan dua metode

terbaru yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2001).

1) Laparatomi

Laparotomi adalah prosedur yang membuat irisan vertikal

besar pada dinding perut ke dalam rongga perut. Prosedur ini

memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ dalam dalam

membuat diagnosa apa yang salah. Adanya teknik diagnosa yang

tidak invansif, laparotomy semakin kurang digunakan

dibandingkan masa lalu. Prosedur ini hanya dilakukan jika semua

prosedur lainnya yang tidak membutuhkan operasi, seperti

pemeriksaan sinar X atau tes darah atau urine, gagal mengungkap

penyakit penderita.Teknik laparoskopi yang seminimal mungkin

tingkat invansifnya juga membuat laparotomi tidak sesering di

masa lalu. Bila laparotomi dilakukan, begitu organ-organ dalam

dapat dilihat dalam masalah teridentifikasi, pengobatan bedah

yang diperlukan harus segera dilakukan.

Laparotomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan

perut.Operasi laparotomi dilakukan apabila terjadi masalah

kesehatan yang berat pada area abdomen, misalnya trauma


abdomen. Perawatan post laparotomi adalah bentuk pelayanan

perawatan yang diberikan kepada penderita-penderita yang telah

menjalani operasi pembedahan perut. Bila penderita merasakan

nyeri perut hebat dan gejala-gejala lain dari masalah internal yang

serius dan kemungkinan penyebabnya tidak terlihat usus buntu,

tukak peptik yang berlubang atau kondisi ginekologi, perlu

dilakukan operasi untuk menemukan dan mengoreksinya sebelum

terjadi kerusakan lebih lanjut. Sejumlah operasi yang membuang

usus buntu berawal dari laparotomi. Beberapa kasus laparotomi

mungkin hanyalah prosedur kecil. Pada kasus lain, laparotomi

bisa berkembang menjadi pembedahan besar, diikuti oleh

transfusi darah dan masa perawatan intensif.

2) Laparoscopi

Laparoscopi berasal dari kata lapara yaitu bagian dari badan

mulai iga paling bawah sampai dengan panggul. Teknologi

laparoscopi ini bisa digunakan untuk melakukan pengobatan dan

juga untuk melakukan diagnosa terhadap penyakit yang belum

jelas.

Keuntungan bedah laparoscopi:

1) Luka operasi yang kecil berkisar antara 3-10 mm.

2) Medan penglihatan diperbesar 20 kali, tentunya hal ini lebih

membantu ahli bedah dalam melakukan pembedahan.


3) Secara kosmetik bekas luka sangat berbeda dibandingkan

dengan luka operasi pasca bedah konvensional. Luka bedah

laparoscopi berukuran 3 mm sampai dengan ukuran 10 mm

akan hilang atau tersembunyi kecuali penderita mempunyai

bakat keloid (pertumbuhan jaringan parut yang berlebihan).

4) Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga

penggunaan obat-obatan dapat diminimalkan, masa pulih

setelah pembedahan jauh lebih cepat dan masa rawat di

rumah sakit menjadi lebih pendek, sehingga penderita bisa

kembali beraktivitas normal lebih cepat.

5) Banyaknya keuntungan yang diperoleh penderita dengan

laparoscopi menyebabkan teknik ini lebih diminati dan

bersahabat kepada penderita.

c. Pasca Operasi

Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui

terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan

pernapasan, baringkan penderita dalam posisi fowler. Penderita

dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama itu

penderita dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari

pasca operasi penderita dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur

selama 2 x 30 menit. Hari kedua dapat dianjurkan untuk duduk di luar

kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan penderita

diperbolehkan pulang.
B. Nyeri Pada Post Apendiktomi

The International Association of the Study of Pain (IASP)

mendefinisikan nyeri sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan, bersifat

subjektif dan berhubungan dengan panca indera, serta merupakan

pengalaman emosional yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan baik

aktual maupun potensial, atau digambarkan sebagai suatu

kerusakan/cedera dimana penatalaksanaannya tidak hanya pada

pengelolaan fisik semata, namun penting juga untuk melakukan

manipulasi (tindakan) psikologis mengatasi nyeri (Potter & Perry, 2010)

1. Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri secara umum terbagi menjadi dua, yakni nyeri

akut dan nyeri kronis. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara

mendadak atau tiba-tiba dan umumnya terjadi kurang dari 6 bulan

ditandai dengan adanya peningkatan tegangan otot (Brunner &

Suddart, 2013). Nyeri akut bersifat melindungi, memiliki penyebab

yang dapat diidentifikasi, berdurasi pendek, dan memiliki sedikit

kerusakan jaringan serta respons emosional (Potter & Perry, 2010).

Nyeri akut dapat mengancam proses pemulihan seseorang yang

berakibat pada bertambahnya waktu rawat, peningkatan risiko

komplikasi karena imobilisasi dan tertundanya proses rehabilitasi.

Kemajuan secara fisik atau psikologis menjadi tertunda bersamaan

dengan menetapnya nyeri tersebut, dikarenakan klien memfokuskan

energinya terhadap proses penyembuhan nyeri. Proses penyembuhan


nyeri secara menyeluruh tidak selalu dapat dicapai, tetapi mengurangi

rasa nyeri sampai dengan tingkat yang dapat ditoleransi mungkin

dilakukan (Potter & Perry, 2010).

Ditinjau dari sifat terjadinya, nyeri dapat dibagi kedalam beberapa

kategori, diantaranya nyeri tertusuk dan terbakar. Selanjutnya menurut

(Long, 2006) terdapat jenis-jenis nyeri berdasarkan lokasi nyeri,

yaitu : nyeri somatik, nyeri visceral, nyeri menjalar (referent nyeri),

nyeri psikogenik, nyeri phantom dari ektremitas, nyeri neurologist,

dan lain-lain. Nyeri post apendiktomi termasuk nyeri somatik dan

nyeri visceral karena cenderung menyebar dan sering kali terasa

seperti terbakar, tertusuk-tusuk, nyeri tumpul atau merasa tertekan.

Nyeri viseral sering kali disebabkan oleh peregangan jaringan,

iskemia, dan spasme otot. Nyeri menjalar adalah nyeri yang terasa

pada bagian tubuh yang lain, umumnya terjadi akibat kerusakan pada

cedera organ visceral. Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak

diketahui secara fisik yang timbul akibat psikologis. Nyeri phantom

adalah nyeri yang disebabkan karena salah satu ekstrimitas di

amputasi. Nyeri neurologist adalah bentuk nyeri yang tajam karena

adanya spasme di sepanjang atau dibeberapa jalur syaraf.

2. Fisiologi Nyeri

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku

dimana energi dari stimulus berupa suhu, kimia, atau mekanik dapat

diubah menjadi energi listrik. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan


impuls melalui serabut saraf perifer . Serabut nyeri memasuki medulla

spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya

sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis.

Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor,

mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau

ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus nyeri

mencapai korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri

dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang

lalu serta assosiasi kebudayaan dalam upaya mempersepsikan nyeri

(Potter & Perry, 2005).

Proses fisiologis yang berhubungan dengan persepsi nyeri

digambarkan sebagai sistem nosiseptif; transduksi, transmisi, persepsi,

dan modulasi (Potter & Perry, 2010). Selanjutnya menurut Kozier

(2011) selama fase transduksi, nyeri diawali sebagai pesan yang

diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin,

prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer,

membantu menghantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke

otak. Setelah fase transduksi selesai kemudian fase transmisi nyeri

dimulai yang meliputi tiga segmen (McCaffery & Pasero, 1999).

Segmen pertama sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai

impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord

(daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh).

Segmen kedua pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat


sensoris di otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan

sentuhan pertama kali dipersepsikan. Segmen ketiga pesan lalu

dihantarkan ke korteks, ketika stimulus nyeri sampai korteks serebral,

maka otak akan menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses

informasi dari pengalaman yang telah lalu, pengetahuan serta faktor

budaya yang berhubungan dengan persepsi nyeri. Persepsi merupakan

salah satu point dimana seseorang sadar akan timbulnya nyeri.

Bersamaan dengan seseorang menyadari adanya nyeri, maka reaksi

kompleks mulai terjadi. Faktor-faktor psikologis dan kognitif

berinteraksi dengan neurofisiologi dalam mempersepsikan rasa nyeri.

Persepsi memberikan seseorang sadar dan memaknai nyeri sehingga

membuat bereaksi. Reaksi terhadap nyeri merupakan respons

fisiologis dan respons perilaku yang terjadi setelah seseorang

merasakan nyeri. Sesaat setelah otak menerima adanya stimulus nyeri,

terjadi pelepasan neurotransmitter inhibitor seperti opiod endogenus

(endorfin dan enfekalin), serotonin (SHT), norepinefrin, dan asam

aminoutirik gamma (GABA) yang bekerja untuk menghambat

transmisi nyeri dan membantu menciptakan efek analgesik.

Terhambatnya (McCaffery & Pasero, 1999). Terhambatnya transmisis

impuls nyeri merupakan fase keempat dari proses nosiseptif yang

dikenal sebagai modulasi (Potter & Perry, 2010).


3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Nyeri

Rasa nyeri merupakan suatu hal yang bersifat kompleks,

mencangkup pengaruh fisiologis, sosial, spiritual, psikologis, dan

budaya Banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang

terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-

faktor tersebut dalam menghadapi klien dengan masalah nyeri hal ini

sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi

nyeri yang efektif.. Menurut Porry & Potter (2010) beberapa faktor

yang memperngaruhi nyeri tersebut antara lain :

a. Faktor Fisiologis

1) Usia

Perbedaan tahap perkembangan yang ditemukan diantara

kelompok umur mempengaruhi bagaimana anak-anak dan

dewasa akhir berspons terhadap nyeri.

2) Kelemahan (fatigue)

Kelemahan meningkatkan persepsi terhdap nyeri dan

menurunkan kemampuan untuk mengatasi masalah, apaila

kelemahan terjadi disepanjang waktu istirahat, persepsi terhdap

nyeri akan lebih besar.

3) Gen

Riset terhadap orang yang sehat mengungkapkan bahwa

informasi genetik yang diturunkan dari orang tua

memungkinkan danya peningkatan atau penurunan sensitivitas


seseorang terhadap nyeri. Pembentukan sel-sel genetik

kemungkinan dapat menentukan ambang nyeri seseorang atau

toleransi terhadap nyeri.

b. Fungsi Neurologis

Fungsi neurologis klien mempengaruhi dapat mengganggu dan

mempengaruhi penerimaan atau persepsi nyeri yang normal

(mis. cedera medula spinalis).

c. Faktor Sosial

1) Perhatian

Tingkatan dimana klien memfokuskan perhatiannya terhadap

nyeri yang dirasakan mempengaruhi persepsi nyeri.

2) Pengalaman Sebelumnya

Pengalaman nyeri di masalalu dapat mengubah sensitivitas

klien terhadap nyeri. Individu yang mengalami nyeri secara

pribadi atau yang melihat penderitaan orang terkadang sering

kali lebih terancam dibandingkan individu yang tidak memiliki

pengalaman nyeri.

3) Keluarga dan Dukungan Sosial

Orang dengan nyeri terkadang bergantung pada dukungan

keluarga, seorang yang kesepian dapat mempersepsikan nyeri

sebagai sesuatu yang berat, sementara orang yang memiliki

dukungan anggota keluarga dan sekitarnya dapat

mempersepsikan nyeri sebagai sesuatu yang lebih ringan.


d. Faktor Psikologis

1) Kecemasan

Ansietas, keletihan sering kali menyertai nyeri. Ancaman dari

sesuatu yang tidak diketahui dan ketidakmampuan mengontrol

nyeri atau peristiwa yang mnyertai nyerisering kali

memperburuk persepsi nyeri.

2) Teknik Koping

Teknik koping mempengaruhi kemampuan untuk mengatasi

nyeri, seorang yang memiliki kontrol terhadap situasi internal

merasa bahwa mereka dapat mengontrol nyeri sementara

seorang yang memiliki kontrol terhadap situasi eksternal

merasa bahwa faktor lain dalam hidupnya dapat

bertanggungjawab terhadap nyeri yang dirasakan.

e. Faktor Budaya

Latar belakang etnik dan warisan budaya telah lama dikenal

sebagi faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi seseorang

terhadap nyeri dan ekspresi nyeri tersebut.

Selanjutnya Menurut Brunner & Suddart (2013), pengkajian yang

dapat dilakukan pada pasien dengan masalah nyeri antara lain :

f. Riwayat Nyeri

1) Lokasi nyeri

Untuk memastikan lokasi nyeri spesifik, minta individu

menunjuk tempat ketidaknyamanan.


2) Intensitas Skala Nyeri

Seseorang dalam mengekspresikan nyeri mereka mampu

menilai suatu intensitas descriptor scale (Verbal Descriptor

Scale, VDS) skala ini menggunakan daftar kata-kata untuk

mendeskripsikan perbedaan tingkat intensitas nyeri, mudah dan

sangat sederhana dalam menggunakannya sebagai contoh tidak

ada nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat.

Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat

keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsian

verbal merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai

lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama

di sepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak

terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan” (Potter &

Pery, 2005).

Gambar 2.2 Skala Nyeri

3) Kualitas Nyeri

PQRST digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada

pasien yang meliputi


a. Provokes/palliates : Apa yang menyebabkan nyeri? Apa

yang membuat nyerinya lebih baik? apa yang

menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda

lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda

terbangun saat tidur?

b. Quality : Bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?

apakah seperti diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa

terbakar, kram, kolik, diremas?

c. Radiates: Apakah nyerinya menyebar? Menyebar

kemana? Apakah nyeri terlokalisasi di satu titik atau

bergerak?

d. Severity: Seberapa parah nyerinya?  Dari rentang skala 0-

10 dengan 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat

e. Time: Kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau

lambat? Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus

menerus atau hilang timbul?

4) Pola

Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan kekambuhan

nyeri atau interval tanpa nyeri.

4. Efek Nyeri Pada Klien

Efek nyeri post operasi menurut Potter & Perry (2006) :

1) Tanda dan gejala fisik


Respon fisiologis terhadap nyeri dapat menunjukan

keberadaan dan sifat nyeri dan ancaman yang potensial terhadap

kesejahteraan klien. Apabila klien merasakan nyeri , perawat harus

mengkaji tanda-tanda vital, melakukan pemeriksaan fisik terfokus,

dan mengobservasi keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri

akut, denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan

meningkat. Perubahan tanda-tanda vital merupakan hal yang

bermakna, tetapi perawat harus mempertimbangkan semua tanda

dan gejala sebelum menetapkan bahwa nyeri merupakan penyebab

perubahan tersebut. Nyeri yang terjadi sepanjang waktu dan

berlangsung dalam waktu lama, sering mengakibatkan seseorang

menjadi depresi dan ketidakmampuan atau ketidakberdayaan

dalam melakukan aktivitasnya.

2) Efek perilaku

Apabila seseorang klien mengalami nyeri, maka perawat

mengkaji kata-kata yang diucapkan seperti respon vocal, gerakan

wajah dan tubuh serta interaksi sosial. Merintih, mendengkur, dan

menangis nmerupakan contoh vokalisasi yang digunakan untuk

mengekspresikan nyeri. Ekspresi wajah yang menunjukan

karakteristik seperti perasaan gelisah, imobilisasi,ketegangan otot,

gerakan melindungi bagian tubuh yang nyeri.

3) Pengaruh pada aktivitas sehari-hari


Klien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu

berpartisipasi dalam aktivitas rutin. Pengkajian pada perubahan ini

menunjukan sejauh mana kemampuan dan proses penyesuaian

klien diperlukan untuk membantunya berpartisipasinya dalam

perawatan diri. Klien mungkin menemukan kesulitan untuk dapat

tidur, pil tidur atau obat-obatan lian mungkin diperlukan untuk

membantu klien dapat tertidur dan klien dapat mengalami kesulitan

dalam hygyne normal.

C. Pengelolaan Nyeri pada Post Apendiktomi

Nyeri post apendiktomi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari

hasil pembedahan pada abdomen. Lokasi pembedahan mempunyai efek

yang sangat penting yang hanya dapat dirasakan oleh klien yang

mengalami nyeri post apendiktomi. Nyeri post apendiktomi biasanya

ditemukan dalam pengkajian klinikal (Suza, 2007)

Menurut Potter & Perry (2006) teknik yang diterapkan dalam

mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam dua kelompok utama, yaitu

tindakan pengobatan (farmakologis) dan tindakan tanpa pengobatan

(nonfarmakologis). Beberapa agens farmakologis digunakan untuk

menangani nyeri. Penatalaksanaan nyeri akut, perawat memberikan asuhan

keperawatan kepada klien yang menjalani pembedahan dan prosedur

medis. Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi

nyeri, ada tiga jenis analgesic, yakni : (1) non-narkotik dan obat anti

inflamasi nonsteroid (NSAID), (2) analgesik narkotik atau opiat, dan (3)
obat tambahan (adjuvan) atau koanalgesik. NSAID narkotik umumnya

menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang. Terapi pada nyeri

pascaoperasi ringan sampai sedang harus dimulai dengan menggunakan

NSAID. Kebanyakan nonsteroid bekerja pada reseptor saraf parifer untuk

mengurangi tranmisi dan resepsi stimulus nyeri. Tidak seperti opiat

nonsteroid ini tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan juga

tidak mengganggu fungsi berkemih atau defeksi. Analgesic opiat atau

narkotik umunya diresepkan untuk nyeri yang sedang samapai berat,

seperti nyeri pascaoperasi dan maligna. Adjuvan, seperti sedative

anticemas, dan relaksan otot meningkatkan kontol nyeri atau

menghilangkan gejala lain yang terkait dengan nyeri seperti depresi dan

mual.

Penatalaksanaan nyeri secara nonfarmakologis untuk mengurangi

nyeri terdiri dari beberapa teknik diantaranya adalah:

1) Teknik Relaksasi Nafas Dalam

a) Definisi

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk

asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan

kepada klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat

(menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana

menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan

intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat


meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah

(Smeltzer, et al., 2002).

b) Tujuan dan Manfaat Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Tujuan dari teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk

meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas,

mencegah atelektasi paru, meningkatkan efisiensi batuk

mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu

menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.

Sedangkan manfaat yang dapat dirasakan oleh klien setelah

melakukan teknik relaksasi nafas dalam adalah dapat

menghilangkan nyeri, ketenteraman hati, dan berkurangnya rasa

cemas (Smeltzer, et al., 2002). Relaksasi otot skeletal dapat

menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang

menunjang nyeri. Tekhnik relaksasi mungkin perlu diajarkan

beberapa kali agar mencapai hasil yang optimal. Tindakan relaksasi

dapat dipandang sebagai upaya pembebasan mental dan fisik dari

tekanan dan stress. Dengan relaksasi, klien dapat mengubah

persepsi terhadap nyeri (Tamsuri, 2007)

c) Adapun langkah-langkah teknik relaksasi nafas dalam adalah

sebagai berikut :

1) Usahakan rileks dan tenang

2) Menarik nafas yang dalam melalui hidung dengan hitungan 1,

2, 3, kemudian tahan sekitar 5-10 detik


3) Hembuskan nafas melalui mulut secara perlahan-lahan.

4) Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan lagi

melalui mulut secara perlahan-lahan.

5) Anjurkan untuk mengulangi prosedur hinga nyeri terasa

berkurang.

6) Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat 5 kali.

2) Teknik Distraksi

a) Definisi

Distraksi adalah sistem aktivasi yang kompleks

menghambat stimulasi nyeri apabila seseorang menerima input

sensorik yang cukup atau berlebih. Dengan stimulus sensorik yang

cukup, seseorang dapat mengabaikan atau tidak menyadari akan

adanya nyeri, misalnya pada klien post apendiktomi mungkin tidak

merasakan nyeri saat perawat mengajaknya bercerita tentang

hobbinya dan mendengarkan musik (Perry & Potter, 2010)

b) Tujuan dan Manfaat Teknik Distraksi

Tujuan penggunaan teknik distraksi dalam intervensi

keperawatan adalah untuk pengalihan atau menjauhkan perhatian

klien terhadap sesuatu yang sedang dihadapi, misalnya rasa nyeri.

Sedangkan manfaat dari penggunaan teknik ini, yaitu agar

seseorang yang menerima teknik ini merasa lebih nyaman, santai,

dan merasa berada pada situasi yang lebih menyenangkan.


c) Prosedur Teknik Distraksi

Prosedur teknik distraksi berdasarkan jenisnya, antara lain :

1) Distraksi visual

Pengalihan perhatian selain nyeri yang diarahkan ke

dalam tindakan-tindakan visual atau melalui pengamatan.

Misalnya melihat pertandingan olahraga, menonton televisi,

membaca koran, melihat pemandangan, dan yang indah

(Sulistyo, 2013)

2) Distraksi audio/pendengaran

Pengalihan perhatian selain nyeri yang diarahkan ke

dalam tindakan-tindakan melalui organ pendengaran.

Misalnya, mendengarkan music yang disukai, suara burung,

atau gemercik air. Klien dianjurkan untuk memilih music yang

disukai dan music yang tenang, seperti musik klasik. Klien

diminta untuk berkonsentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien

juga diperbolehkan untuk menggerakan tubuh mengikuti irama

lagu, seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki (Sulistyo,

2013).

3) Distraksi intelektual

Pengalihan perhatian selain nyeri yang diarahkan ke

dalam tindakan-tindakan dengan menggunakan daya

intelektual yang pasien miliki. Misalnya dengan mengisi teka-


teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (ditempat

tidur) seperti mengumpulkan perangko atau menulis cerita.

Pada anak-anak dapat pula digunakan teknik menghitung

benda atau baarang yang ada disekeliling (Sulistyo, 2013).

3) Tirah Baring

Tirah baring merupakan suatu intervensi dimana klien dibatasi

untuk tetap berada ditempat tidur untuk tujuan teraupetik. Tujuan tirah

baring yaitu mengurangi aktivitas fisik dan kebutuhan oksigen untuk

tubuh, mengurangi nyeri meliputi nyeri pasca operasi , memungkinkan

klien sakit atau lemah untuk beristirahat dan mengembalikan

kekuatan, member kesempatan pada klien yang letih untuk beristirahat

tanpa terganggu (Potter & Perry, 2006).

4) Masase

Masase atau pijatan adalah melakukan tekanan tangan pada

jaringan lunak, biasanya otot, tendon, atau ligamentum, tanpa

menyebabkan gerakan atau perubahan posisi sendi untuk meredakan

nyeri, menghasilkan relaksasi, dan/atau memperbaiki sirkulasi

(Sulistyo, 2013).

Mander (2003) sebagaimana dikutip dalam (Sulistyo, 2013),

merinci enam gerakan dasar yang dilakukan dalam masase. Gerakan

tersebut adalah effleurage (gerakan tangan mengurut), petrissage

(gerakan tangan mencubit), tapotement (gerakan tangan melakukan


perkusi), hacking (gerakan tangan mencincang), kneading (gerakan

tangan meremas), dan cupping (tangan membentuk seperti mangkuk).

Setiap gerakan ditandai dengan perbedaan tekanan, arah, kecepatan,

posisi tangan, dan gerakan untuk mencapai pengaruh yang berbeda

pada jaringan dibawahnya.

Tindakan utama masase dianggap “menutup gerbang” untuk

menghambat perjalanan rangsang nyeri pada pusat yang lebih tinggi

pada sistem saraf pusat. Selanjutnya, rangsangan taktil dan perasaan

positif, yang berkembang ketika dilakukan bentuk sentuhan yang

penuh perhatian dan empatik, bertindak memperkuat efek masase

untuk mengendalikan nyeri (Mander, 2003 dalam Sulistyo, 2013).

D. Asuhan Keperawatan dengan Nyeri pada Post Apendiktomi

1. Pengkajian

Menurut Doengoes (2000) pengkajian adalah proses dimana

data yang berhubungan dengan klien dikumpulkan secara sistematis.

Proses ini merupakan proses yang dinamis dan terorganisiryang

meliputi tiga aktivitas dasar, yaitu mengumpulkan secara sistematis,

menyortir dan mengatur data yang dikumpulkan serta

mendokumentasikan data dalam format yang bisa dibuka kembali.

Pengkajian digunakan untuk mengenali dan mengidentifikasi

masalah dan kebutuhan kesehatan klien serta keperawatan baik fisik,

mental, sosial dan lingkungan. (Doengoes, 2000)

Pengkajian ini berisi :


a. Identitas

1) Identitas klien

Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,

agama, alamat, diagnosa medis, tindakan medis, nomor rekam

medis, tanggal masuk, tanggal operasi dan tanggal pengkajian.

2) Identitas penanggung jawab

Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,

agama, alamat, hubungan dengan klien dan sumber biaya.

b. Lingkup masalah keperawatan

Berisi keluhan utama saat dikaji. Klien post operasi

apendisitis biasanya mengeluh nyeri pada luka operasi dan

keterbatasan akivitas.

c. Riwayat penyakit

1) Riwayat penyakit sekarang

Riwayat penyakit sekarang ditemukan saat pengkajian,

yang diuraikan dari mulai masuk tempat perawatan sampai

dilakukan pengkajian. Keluhan sekarang dikaji dengan

menggunakan PQRST (Paliatif and Provokasi, Quality and

Quantity, Region and Radiasi, Severity scale and Timing).

Klien yang telah menjalani operasi pada umumnya mengeluh

nyeri pada luka operasi yang akan bertambah saat digerakkan

atau ditekan dan umumnya berkurang setelah diberi obat dan


istirahat. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dengan skala

nyeri lebih dari lima (1-10).

Untuk membantu pasien mengutarakan masalah atau

keluhan secara lengkap, pengkajian yang dapat dilakukan untuk

mengkaji karakteristik nyeri bisa menggunakan pendekatan

analisis symptom. Komponen pengkajian meliputi (PQRST). P

(Paliatif/Provocatif) = yang menyebabkan timbulnya masalah,

Q (Quality dan Quantity) = kualitas dan kuantitas nyeri yang

dirasakan, R (Region) = lokasi nyeri, S (Severity) = keparahan

dan T (Timing) = waktu. Nyeri akan terlokalisasi diarea operasi

dapat pula menyebar di seluruh abdomen dan paha kanan dan

umumnya menetap sepanjang hari. Nyeri mungkin dapat

mengganggu aktivitas sesuai dengan rentang toleransi masing-

masing klien.

2) Riwayat kesehatan dahulu

Berisi pengalaman penyakit sebelumnya, apakah

memberi pengaruh pada penyakit yang di derita sekarang serta

apakah pernah mengalami pembedahan sebelumnya.

3) Riwayat kesehatan keluarga

Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya

yang menderita sakit yang sama seperti klien, dikaji pula

mengenai adanya penyakit keturunan atau menular dalam

keluarga.
4) Riwayat psikologis

Secara umum klien dengan post operasi apendisitis tidak

mengalami penyimpangan dalam fungsi psikologis. Namun

tetap perlu dilakukan mengenai kelima konsep diri klien (citra

tubuh, identitas diri, fungsi peran, ideal diri dan harga diri).

5) Riwayat sosial

Klien dengan post operasi apendisitis tidak mengalami

gangguan dalam hubungan sosial dengan orang lain, akan

tetapi tetap harus dibandingkan hubungan sosial klien antara

sebelum dan sesudah menjalani operasi.

6) Riwayat spiritual

Pada umumnya klien yang menjalani perawatan akan

mengalami keterbatasan dalam aktivitas, begitu juga dalam

kegiatan ibadah. Perlu dikaji keyakinan klien terhadap keadaan

sakit dan motivasi auntuk kesembuhannya.

7) Kebiasaan sehari-hari

Setelah klien menjalani operasi apendisitis pada

umumnya mengalami kesulitan dalam beraktivitas karena nyeri

dan kelemahan. Klien dapat mengalami gangguan dalam

perawatan diri (mandi, gosok gigi, perawatan rambut, gunting

kuku dan lainnya), karena adanya toleransi aktivitas yang

mengalami gangguan. Klien akan mengalami pembatasan

masukan oral sampai fungsi pencernaan kembali kedalam


rentang normal nya. Kemungkinan klien akan mengalami mual

muntah dan konstipasi pada periode awal post operasi karena

pengaruh anastasi. Intake oral dapat mulai diberikan setelah

fungsi pencernaan kembali normal. Klien juga dapat

mengalami penurunan keluaran urin karena adanya pembatasan

masukan oral. Keluaran urin akan berangsur normal setelah

peningkatan masukan oral. Pada pola istirahat klien dapat

terganggu ataupun tidak terganggu, tergantung toleransi klien

terhadap nyeri yang dirasakan.

8) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik mencakup :

a) Keadaan umum

Klien post operasi apendisitis mencapai kesadaran

penuh setelah beberapa jam kembali dari meja operasi,

penampilan menunjukkan keadaan sakit ringan sampai

berat tergantung pada periode akut rasa nyeri. Tanda vital

pada umumnya stabil kecuali akan mengalami

ketidakstabilan pada klien yang mengalami perforasi

apendiks.

b) Sistem pernafasan

Klien post operasi apendisitis akan mengalami

penurunan atau peningkatan frekuensi nafas (takipneu)


serta pernafasan dangkal, sesuai yang dapat ditoleransi oleh

klien.

c) Sistem kardiovaskuler

Umumnya klien mengalami takikardi (sebagai respon

terhadap stres dan hipovolemia), mengalami hipertensi

(sebagai respon terhadap nyeri), hipotensi (kelemahan dan

tirah baring). Pengisian kapiler biasanya normal, dikaji pula

keadaan konjungtiva, adanya sianosis dan auskultasi bunyi

jantung.

d) Sistem pencernaan

Adanya nyeri pada luka operasi di abdomen kanan

bawah saat dipalpasi. Klien post operasi apendisitis

biasanya mengeluh mual muntah, konstipasi pada awitan

awal post operasi dan penurunan bising usus, akan tampak

adanya luka operasi di abdomen kanan bawah bekas

sayatan operasi. Inspeksi abdomen untuk memeriksa perut

kembung akibat akumulasi gas. Memantau asupan oral

awal klien yang beresiko menyebabkan aspirasi atau

adanya mual dan muntah. Kaji pula kembalinya peristaltik

setiap 4-8 jam. Auskultasi perut secara rutin untuk

mendeteksi suara usus kembali normal, 5-30 bunyi keras

per menit pada masing-masing kuadran menunjukkan gerak

peristaltik yang telah kembali. Tanyakan apakah klien


membuang gas (flatus), ini merupakan tanda penting yang

menunjukkan fungsi usus normal.

e) Sistem perkemihan

Awal post operasi klien akan mengalami penurunan

jumlah output urin, hal ini akan terjadi karena adanya

pembatasan intake oral selama periode awal post operasi

apendisitis.

f) Sistem muskuloskeletal

Secara umum, klien dapat mengalami kelemahan

karena tirah baring post operasi dan kekakuan. Kekuatan

otot berangsur membaik seiring dengan peningkatan

toleransi aktivitas.

g) Sistem integumen

Akan tampak adanya luka operasi diabdomen kanan

bawah karena insisi bedah disertai kemerahan (biasanya

pada awitan).

h) Sistem persarafan

Umumnya, klien tidak mengalami penyimpangan

dalam persarafan. Pengkajian fungsi persarafan meliputi

tingkat kesadaran, saraf kranial dan reflek.

i) Kenyamanan

Nyeri insisi akut menyebabkan penderita menjadi

cemas dan mungkin bertanggungjawab atas perubahan


sementara tanda vital. Kaji nyeri penderita dengan skala

nyeri.

2. Diagnosa

Diagnosa keperawatan dengan post apendiktomi menurut Nanda (2015) :

a. Nyeri akut

1) Definisi :

Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan yang

muncul akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau

potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti (International

Association for the Study of Pain), awitan yang tiba-tiba atau

perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang

dapat diantisipasi atau diprediksi.

2) Batasan Karakteristik

a) Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri

untuk pasien yang tidak dapat mengungkapkannya (mis.,

Neonatal Infant Pain Scale, Pain Assessment Checklist for

Senior with Limited Ability to Communicate)

b) Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan nyeri

c) Dilatasi pupil

d) Ekspresi wajah nyeri (mis., mata kurang bercahaya, tampak

kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu fokus,

meringis, menyeringai menahan nyeri)


e) Fokus menyempit (mis., persepsi waktu, proses berpikir,

interaksi dengan orang dan lingkungan)

f) Fokus pada diri sendiri

g) Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri

(mis., skala Wong-Baker FACES, skala analog visual, skala

penilaian numerik)

h) Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan

standar instrumen nyeri (mis., McGill Pain Questionnaire, Brief

Pain Inventory)

i) Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas (mis.,

anggota keluarga, pemberi asuhan)

j) Mengekspresikan perilaku (mis., gelisah, merengek, menangis,

waspada)

k) Perilaku distraksi

l) Perubahan pada parameter fisiologi (mis., tekanan darah,

frekuensi jantung, frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, dan

endtidal karbon dioksida

m) Perubahan posisi untuk menghindari nyeri

n) Perubahan selera makan

o) Putus asa

p) Suka melindungi area nyeri

q) Sikap tubuh melindungi

3) Faktor yang Berhubungan


a) Agen cedera biologis (mis., infeksi, iskemia, neoplasma)

b) Agen cedera fisik (mis., abses, amputasi, luka bakar, terpotong,

mengangkat berat, prosedur bedah, trauma, olahraga

berlebihan)

c) Agen cedera kimiawi (mis., luka bakar, kapsaisin, metilen

klorida, agens mustard)

3. Perencanaan

Intervensi keperawatan adalah petunjuk penanganan, dan tindakan

yang membantu klien dalam mencapai hasil yang diharapkan (NANDA,

2015). Adapun intervensi untuk klien, sesuai dengan diagnosa adalah

a. Nyeri Akut

1) NOC :

a) Pain Level,

b) Pain control,

c) Comfort level

2) Kriteria Hasil :

a) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu

menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,

mencari bantuan).

b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan

manajemen nyeri

c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda

nyeri)
d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

e) Tanda vital dalam rentang normal

3) NIC:

a) Pain Management

(1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk

lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor

presipitasi

(2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

(3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui

pengalaman nyeri pasien

(4) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

(5) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau

(6) Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang

ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau

(7) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan

dukungan

(8) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti

suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

(9) Kurangi faktor yang dapat mencetuskan atau meningkatkan

nyeri

(10) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non

farmakologi dan inter personal)

(11) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi


(12) Ajarkan tentang teknik non farmakologi

(13) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

(14) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri

(15) Tingkatkan istirahat

(16) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan

tindakan nyeri tidak berhasil

(17) Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

b) Analgesic Administration

(1) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri

sebelum pemberian obat

(2) Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi

(3) Cek riwayat alergi

(4) Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari

analgesik ketika pemberian lebih dari satu

(5) Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya

nyeri

(6) Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis

optimal

(7) Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri

secara teratur

(8) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian

analgesik pertama kali

(9) Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat


(10) Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek

samping)

4. Implementasi

a. Nyeri Akut

1) Pain Management

a) Melakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk

lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor

presipitasi

b) Mengobservasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

c) Menggunakan teknik komunikasi terapeutik untuk

mengetahui pengalaman nyeri pasien

d) Mengkaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri

e) Mengevaluasi pengalaman nyeri masa lampau

f) Mengevaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang

ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau

g) Membantu pasien dan keluarga untuk mencari dan

menemukan dukungan

h) Mengontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri

seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

i) Mengurangi faktor presipitasi nyeri

j) Memilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non

farmakologi dan inter personal)

k) Mengkaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi


l) Mengajarkan tentang teknik non farmakologi

m) Memberikan analgetik untuk mengurangi nyeri

n) Mengevaluasi keefektifan kontrol nyeri

o) Meningkatkan istirahat

p) Mengkolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan

tindakan nyeri tidak berhasil

q) Memonitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

2) Analgesic Administration

a) Menentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri

sebelum pemberian obat

b) Mengecek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan

frekuensi

c) Mengecek riwayat alergi

d) Memilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari

analgesik ketika pemberian lebih dari satu

e) Menentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya

nyeri

f) Menentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis

optimal

g) Memilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan

nyeri secara teratur

h) Memonitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian

analgesik pertama kali


i) Memberikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat

j) Mengevaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek

samping)

5. Evaluasi

a. Nyeri Akut

1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu

menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,

mencari bantuan)

2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan

manajemen nyeri

3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda

nyeri)

4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

5) Tanda vital dalam rentang normal

Anda mungkin juga menyukai