Anda di halaman 1dari 28

Produksi Biomassa P kudriavzevii Melalui Optimalisasi Nutrisi Fermentasi

Sebagai Bahan Baku Biodiesel

FIRQAH INDZAR
H41116 018

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bahan bakar merupakan salah satu kebutuhan terpenting bagi kehidupan

manusia. Secara umum kebutuhan bahan bakar masih diambil dari sumber alam yang

tidak terbarukan seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Sumber alam tersebut

akan mengalami penurunan yang diperkirakan sekitar 40-60 tahun kedepan habis jika

dieksploitasi secara besar besaran. Pertambahan populasi manusia telah

meningkatkan penggunaan transportasi dan aktivitas industri sehingga kebutuhan

penggunaan bahan bakar minyak (BBM) meningkat. Penggunaan BBM di Indonesia

sendiri setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Badan

Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tahun 2018, ada sekitar 75 juta

kilo liter penggunaan BBM nasional setiap tahunnya. Untuk mengurangi

ketergantungan terhadap bahan bakar tersebut, pemerintah telah mengembangkan

bahan bakar alternatif yang dapat diperbarukan, salah satu contohnya yaitu biodiesel.

Biodiesel secara umum dapat diartikan sebagai ester monoalkil yang berasal

dari minyak tanaman dan lemak hewan (Sulfahri et al., 2019). Minyak dari tanaman

dan lemak hewan tersebut telah diteliti sebelumnya dan memiliki sifat fisis yang sama

dengan minyak solar sehingga bisa digunakan sebagai pengganti bahan bakar diesel

(Putri et al., 2012). Biodiesel biasanya diperoleh melalui proses transesterifikasi

lemak hewan dan minyak nabati dengan alkohol menggunakan dua jenis katalis yaitu

ester asam lemak metil (James) dan ester asam lemak etil (FAEEs). Biodiesel ini
berperan sebagai alternatif bahan bakar diesel, tidak beracun dan biodegradable yang

dapat digunakan dalam infrastruktur kendaraan tanpa memberikan efek pada mesin

kendaraan tersebut. Berbagai jenis bahan baku seperti minyak sayur, limbah minyak

goreng, lemak hewan yang memiliki asam lemak bebas dan atau trigliserida dapat

dikonversi menjadi biodiesel (Roufli & Gargeri, 2018).

Penggunaan tanaman sebagai penghasil minyak nabati untuk bahan baku

biodiesel memiliki banyak permasalahan lingkungan maupun sosial tentang

keterbatasan lahan, dan penggunaan tanaman pangan sebagai bahan bakar. Salah satu

alternatif untuk menghasilkan biodiesel secara ramah lingkungan dan berkelanjutan

tanpa bersaing dengan tanaman pangan adalah menggunakan mikroba sebagai bahan

baku (Sankh et al., 2013). Menurut Rangaswamy et al., (2017) dibandingkan dengan

minyak nabati dan lemak hewani lainnya produksi minyak mikroba memiliki banyak

keunggulan, diantaranya adalah (1) mikroba memiliki siklus hidup yang pendek

sehingga waktu panen lebih singkat, dan (2) produksi minyak mikroba kurang

dipengaruhi oleh tempat, musim dan iklim jika dibandngkan dengan tanaman.

Terdapat banyak jenis mikroba yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel.

P. kudriavzevii merupakan jenis ragi yang berpotensi dalam pembuatan biodiesel

(Chan, 2012). Morfologi P. kudriavzevii memiliki bentuk yang bulat, elips atau

memanjang, dan secara kimiawi P kudriavzevii mengandung 29,3% palmitat, 8,89%

stearat dan asam oleat 41,9% (Sulfahri et al., 2019). Komposisi minyak yang

terkandung dalam P. kudriavzevii semunya terdiri dari asam lemak yang juga

dikandung dalam minyak jarak yang dikenal luas sebagai sumber untuk memproduksi
biodiesel. Oleh karena itu, minyak dari P.kudriavzevii dianggap cocok untuk produksi

biodiesel (Rangaswamy et al., 2017).

Terdapat banyak cara yang dapat digunakan dalam proses pembuatan

biodiesel, salah satunya yaitu dengan cara fermentasi. Proses fermentasi dipengaruhi

oleh beberapa faktor, diantaranya adalah nutrisi dan durasi fermentasi. Nutrisi

merupakan faktor yang sangat penting terhadap mikrobia pelaku fermentasi, hal

tersebut disebabkan karena selain membutuhkan sumber karbon, mikroba tersebut

juga membutuhkan sumber nitrogen, fosfor, kalium dan unsur mineral. Nutrisi

tersedia pada medium fermentasi yang berfungsi untuk pertumbuhan dan pembelahan

sel mikroba (Kelbert et al., 2015).

Salah satu nutrisi yang dapat menunjang pertumbuhan mikroorganisme yaitu

air kelapa tua (Sathiyavimal, et al., 2014). Menurut Fonseca et al (2009) dan

Pachori et al (2017) air kelapa mengandung protein, lemak, kaya akan karbohidrat,

antioksidan, enzim dan fitonutrien lainnya. Air kelapa juga kaya akan asam amino

esensial (lisin, histidin, tirosin dan triptofan), asam lemak, glukosa, fruktosa, selulosa,

sukrosa dan asam organik seperti tartarat, sitrat dan asam malat (Sathiyavimal, et al.,

2014). Mineral juga terkandung dalam air kelapa seperti kalium, kalsium,

magnesium, besi, natrium, fosfor, seng, mangan, tembaga, belerang, aluminium,

boron, selenium dan klorin (Appaiah et al., 2014) tetapi yang paling utama yaitu

kalium (Jean et al., 2009). Nutrisi-nutrisi yang ada pada air kelapa tersebut sudah

cukup mendukung pertumbuhan mikroorganisme baik itu bakteri maupun ragi

(Sathiyavimal, et al., 2014).


Alga spirogya merupakan makroalga yang mengandung karbohidrat tinggi.

Karbohidrat pada umumnya menumpuk di pirenoid sebagai bahan cadangan (yaitu

pati), atau konstituen utama dari dinding sel (Chen et al., 2011). Alga spirogyra

berpotensial sebagai subtrat fermentasi untuk mendapatkan biomassa sel dari proses

fermentasi tersebut. Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian

tentang produksi biomassa sel P. Kudriavzevii sebagai bahan baku pembuatan

biodiesel dengan penambahan nutrisi fermentasi berupa air kelapa tua.

B. Rumusan Masalah

1. Bagimana pengaruh konsentrasi nutrisi air kelapa tua hasil hidrolisis alga

Spyrogyra peipingensis terhadap produksi biomassa sel Pichia kudriavzevii.

2. Bagimana pengaruh durasi fermentasi hasil hidrolisis alga Spyrogyra peipingensis

terhadap produksi biomassa sel Pichia kudriavzevii.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui pengaruh konsentrasi nutrisi hasil hidrolisis alga Spyrogyra

peipingensis terhadap produksi biomassa sel Pichia kudriavzevii.

2. Mengetahui pengaruh durasi fermentasi hasil hidrolisis alga Spyrogyra

peipingensis terhadap produksi biomassa sel Pichia kudriavzevii.

D. Manfaat Penelitian

1. Memanfaatkan biomassa sel Pichia kudriavzevii sebagai bahan dasar pembuatan

biodiesel yang sekarang masih belim optimal pemanfaatannya.


2. Sebagai sumber informasi atau referensi dalam upaya mengembangkan penelitian

selanjutnya yang terkait dengan pemanfaatan biomassa sel Pichia kudriavzevii

sebagai sumber energi terbarukan.

3. Memberikan solusi kepada pemerintah untuk mengatasi masalah ketergantungan

bahan bakar dari minyak bumi yang keterediannya di alam semakin berkurang

dengan memproduksi biodiesel dari biomassa sel Pichia kudriavzevii.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biofuel

Dalam arti luas, biofuel diartikan sebagai sumber bahan bakar yang berasal

dari bahan organik berupa lemak hewan, minyak goreng, arang, DUNGS hewan, dan

minyak sayur. Sementara ini biofuel telah menjadi sumber bahan bakar yang cukup

umum dan meluas digunakan manusia. Munculnya relative baru ini disebabkan

karena penggunaan bahan bakar fosil sangat pesat untuk pemenuhan kebutuhan

aktivitas manusia sehingga untuk pemenuhannya selanjutnya akan didukung oleh

sumber sumber biofuel. Sebagai realitas deplesi bahan bakar fosil nanti dan efek

terhadap lingkungan global kita akan lebih mempertimbangkan penggunaan biofuel

sebagai alternative untuk bahan bakar fosil. Dalam waktu dekat ini, biofuel akan lebih

dikembangkan lagi dan disesuaikan baik secara kinerja maupun sifat fisisnya dengan

bahan bakar fosil (Huynh et al.. 2019).

Keuntungan utama biofuel adalah sifatnya yang tertutup dalam siklus karbon

ketika menggunakan biofuel untuk pembakaran dimana banyak karbon yang akan

mungkin dipancarkan ke lingkungan. Sehingga dari pernyataan itu bisa disimpulkan

bahwa biofuel ini dapat mengurangi emisi karbon hampir sebesar 80%. Biofuel yang

cocok dengan apa yang dijelaskan di atas itu dapat diproduksi dari minyak nabati,

lemak hewan, dan ganggang. Walaupun banyak sumber sumber biofule yang

memiliki banyak kegunaan, beberapa diantaranya telah diketahui sangat baik untuk

digunakan dalam mesin tanpa adanya yang dimodifikasi yaitu ester asam lemak metil
atau biodiesel yang dihasilkan melalui proses transesterifikasi yang melibatkan

metanol. Ini adalah turunan dari minyak nabati, dan cukup mirip dengan dari

karakteristik fisik bahan bakar diesel fosil (Huynh et al.. 2019).

2.2 Biodiesel

Dalam beberapa tahun terakhir ini, hampir seluruh peneliti dari pelosok dunia

menjelajahi sumber energi baru seperti bahan bakar. Lebih dari 100 tahun yang lalu,

seorang penemu brilian bernama Rudolph Diesel yang merancang mesin diesel

dengan menggunakan bahan bakar dari minyak nabati. Dr. Rudolph Diesel

menggunakan minyak kacang sebagai bahan bakar pada salah satu mesinnya di Paris

Exposition 1900. Dari hal tersebut, salah satu biodiesel yang dihasilkan dari minyak

nabati (kedelai dan bunga matahari) memiliki banyak keunggulan dan terdapat

berbagai hal menarik sehingga perkembangnnya cukup pesat (Bosbaz, 2005).

Biodiesel ini dapat digunakan secara langsung atau dapat dicampurkan dengan

produk minyak bumi, seperti minyak diesel (Sankh et al., 2013).

Biodiesel memiliki beberapa kelebihan di antaranya mengurangi emisi

gas-gas beracun seperti CO, HC, NO, SO, mengurangi senyawa karsinogenik dan

meningkatkan pelumasan mesin. Keuntungan komparatif dalam penggunaan

biodiesel ini dapat menyeimbangkan antara pertanian, pengembangan ekonomi dan

lingkungan (Aunillah&Dibyoh, 2012). Kelebihan lain dari biodiesel yaitu dapat

menggantikan minyak diesel di boiler dan mesin pembakaran internal tanpa

dilakukan penyesuaian besar, hampir nol emisi sulfat, sumbangannya kecil pada

penghasilan karbon dioksida (CO2) ketika dilihat dari secara keseluruhan siklusnya
(termasuk budidaya, produksi minyak dan konversi ke biodiesel). Karena alasan ini,

beberapa usaha untuk mengkampanyekanl telah direncanakan di banyak negara untuk

memperkenalkan dan mempromosikan penggunaan biodiesel (Bosbaz, 2005).

Biodiesel adalah campuran dari ester asam lemak alkil atau ester monoalkil

dari minyak nabati atau lemak hewan (Sulfahri et al., 2019; Putri et al., 2012).

Minyak yang berasal dari tumbuhan dan lemak hewan serta turunannya mempunyai

kemungkinan sebagai pengganti bahan bakar diesel (Putri et al., 2012). Biodiesel

adalah solusi ramah lingkungan untuk permasalah pemanasan global, krisis energi

dan persediaan bahan bakar fosil yang semakin menipis. Saat ini, biodiesel (Ester

metil asam lemak “FAMEs) adalah nama yang diberikan sebagai bahan bakar

alternatif, yang dihasilkan dari sumber daya hayati yang terbarukan yang dapat terurai

secara hayati dan tidak beracun (Rangaswamy et al., 2017).

Biodiesel yang dihasilkan dari minyak nabati dapat dibuat dari berbagai

macam tanaman baik itu dihasilkan secara langsung untuk penggunaan bahan bakar

maupun didaur ulang terlebih dahulu sehingga minyak nabatinya dapat digunakan.

produksi minyak secara langsung dapat dilakukan dengan menggunakan minyak

nabati seperti mustard, jarak, jagung, kelapa, kacang tanah, kedelai, bunga matahari,

rami, dan minyak biji kapas atau dengan minyak nabati yang didaur ulang terlebih

dahulu sebelum digunakan sebagai sumber bahan bakar seperti kacang nahor, susu

semak, surga, dan minyak jojoba. Saat ini ada lebih dari 350 tanaman diketahui dapat

memproduksi minyak pembuatan biodiesel dimana sebagian besar sumber yang

digunakan berasal dari tanaman pangan (Huynh et al., 2019).

Sumber alternatif lainnya yang menghasilkan biodiesel dengan cara ramah


lingkungan dan berkelanjutan tanpa bersaing dengan tanaman pangan adalah dengan

menggunakan mikroba. Minyak mikroba juga disebut minyak sel tunggal yang

diproduksi oleh beberapa mikroorganisme oleaginous seperti ragi, jamur, bakteri, dan

mikroalga. Beberapa mikroba ini memiliki kemampuan untuk menumpuk atau

menyimpan minyak/lemak hingga 60% dari berat kering mereka, ketika tumbuh di

bawah kondisi nitrogen terbatas. Lipid ini biasanya terdiri dari 80-90% triasilgliserol

dengan komposisi asam lemak mirip dengan minyak biji tanaman

(Sankh et al., 2013).

Dibandingkan dengan minyak nabati dan lemak hewani lainnya, produksi

minyak mikroba memiliki banyak keuntungan seperti siklus hidup mikroba yang

lebih pendek dibandingkan dengan tanaman pangan sehinnga produksinya tidak

memakan waktu lama. Dapat menghemat tenaga kerja serta pertumbuhan mikrobanya

tidak terlalu di pengaruhi oleh cuaca dan iklim (Sankh et al., 2013).

Oleh karena itu, minyak mikroba memiliki potensi yang luar biasa untuk

menjadi salah satu bahan baku minyak utama untuk produksi biodiesel di masa

depan. Saat ini mikroba yang telah dipelajari kandungan minyaknya yaitu ragi

oleaginous, Yarrowia, Candida, Rhodotorula, Rhodosporidium, Cryptococcus,

Trichosporon dan Lipomyces. Contohnya pada Cryptococcus curvatus yang

mengandung minyak hingga 60% dari berat kering sel. Dimana dia memanfaatkan

sumber karbon murah seperti whey permeate dan limbah pertanian atau pengolahan

makanan kaya karbohidrat lainnya. Keseluruhan minyak ragi berupa trigliserida yang

didominasi oleat, linoleat, stearat, palmitat atau asam palmitoleat (Sankh et al., 2013).
Sementara itu sumber-sumber minyak nabati yang didapatkan untuk produksi

biodiesel belum tentu memiliki komposisi. Asam lemak dan profil hidrokarbon yang

merupakan minyak nabati tetapi memiliki kualitas yang bervariasi, tergantung dari

tanaman dan bagian dari tanaman yang digunakan. Misalnya, komposisi asam lemak

dari minyak yang diekstraksi dari kernel zaitun berbeda dari komposisi minyak yang

diekstraksi dari pomace tersebut. Serta dalam pembuatan biodiesel ada berbagai

metode (menggunakan etanol bukan metanol) sehingga karakteristik fisik biodiesel

juga berbeda beda (Huynh et al., 2019).

Salah satu permasalahan minyak nabati tidak dapat digunakan langsung

sebagai pengganti minyak diesel karena viskositasnya tinggi. Viskositas bahan bakar

yang tinggi dapat mengakibatkan daya atomisasi rendah dan membuat mesin

kehilangan tenaga (Rodrigues et al., 2006). Oleh karena itu mesin diesel harus

dipikirakan rancangannya agar bisa menggunakan bahan bakar minyak nabati. Hal

tersebut dianggap sangatlah rumit, sehingga inovasinya yaitu membuat biodiesel yang

karakteristik fisiknya hampir sama dengan bahan bakar fosil standar. Caranya yaitu

produksi biodiesel dari minyak nabati melibatkan transtesterifikasi dengan katalis

asam. Katalis dan jumlah bervariasi dengan setiap resep tertentu. Tujuan utama dari

proses transesterifikasi adalah untuk mengurangi viskositas minyak sumber nabati

seperti bahwa secara fisik mirip dengan bahan bakar fosil (Huynh et al., 2019).

Biodiesel dihasilkan melalui proses transesterifikasi minyak atau lemak

dengan alkohol. Gugus alkil dalam alkohol akan menggantikan gugus hidroksil pada

struktur ester minyak dengan dibantu katalis. NaOH dan KOH adalah katalis yang

umum digunakan. Alkohol yang dapat digunakan antara lain metanol, etanol,
propanol, butanol dan amil alkohol. Adapun tahapan mekanisme transesterifikasi

minyak nabati menurut Putri et al., (2017) sebagai berikut;

1. Tahap pertama adalah reaksi antara basa dengan alkohol menghasilkan alkoksida

dan katalis terprotonasi.

2. Tahapan kedua Serangan nukleofilik dari alkoksida pada gugus karbonil dari

trigliserida menghasilkan sebuah intermediet,

3. tahapan ketiga yaitu alkil ester dan anion trigliserida terbentuk.

4. tahapan keempat adalah terjadinya deprotonasi dari katalis, yang selanjutnya

menghasilkan katalis aktif yang baru. katalis tersebut bereaksi kembali dengan

molekul alkohol lainnya, sampai terbentuk monogliserida dan mengalami reaksi yang

sama hingga menghasilkan alkil ester dan gliserol. Keseluruhan proses tersebut

merupakan suatu rangkaian tiga urutan reaksi dan merupakan reaksi reversibel,

dimana di- dan monogliserida dihasilkan sebagai intermediate. (Putri et al., 2014).

Gambar 1. Mekanisme Reaksi Transesterifikasi dengan katalis basa


(Sumber: Putri et al.,. 2014)

2.3 P kudriavzevii

Pichia kudriavzevii adalah teleomorfh dari Candida krusei. Teleomorph

adalah tahap reproduksi seksual suatu organisme, artinya P. kudriavzevii


bereproduksi secara seksual melalui fusi sel haploid. Sedabgkan reproduksi aseksual

dari fungi biasa disebut "anamorph". Ragi ini pertama kali bernama Issatchenkia

orientalis oleh V.I. Kudryavtsev pada tahun 1960 dan diubah menjadi P. kudriavzevii

pada tahun 1965 (Foster & Sloncswezki, 2018).

Bentuk sel P. kudriavzevii bisa berbentuk oval, bulat atau memanjang. Ukuran

sel sekitar 1.3-6 µm x 3.3-14 µm sel P. kudriavzevii dibangun dengan sitoplasma,

nukleus, membran sel, dinding sel, mitokondria dan vakuola. Ragi tersebut

menggunakan glukosa, sukrosa, galaktosa, fruktosa, dan mannosa sebagai sumber

makanan, meskipun glukosa adalah sumber daya yang paling banyak

didokumentasikan (Foster & Sloncswezki, 2018).

A B

Gambar 2. (A) Morfologi strain P. Kudreavzevii perbesaran (662 × 495 pixels), dan
(B) strain P.kudreavzevii. Sumber (Sankh et al., 2012 & Foster 2018).

Adapun klasifikasi dari P. Kudreavzevii menurut NCBI (2018) yaitu;

Domain: Eukaryota

Phylum: Ascomycota

Class: Saccharomycetes

Order: Saccharomycetales
Family: Pichiaceae

Genus: Pichia

Ragi ini sangat berlimpah dan mudah ditemukan di lingkungan seperti di

tanah, pada kulit buah-buahan dan bahkan dalam minuman fermentasi. P. kudriavzeii

dapat tetap aktif secara metabolik pada suhu setinggi 45 °C dan dalam pH yang

paling rendah adalah 2. Sehingga bisa menghasilkan etanol dengan konsentrasi tinggi,

yang sangat berguna untuk industri biofuel (Kurtzman et al., 2011).

Sesuatu yang unik untuk P. kudriavzevii adalah kemampuannya untuk

menghidrolisis asam fitat dari phytase. Asam fitat tidak dapat dicerna oleh sebagian

besar mamalia sehingga asam ini sangat membantu pencernaan manusia. Disamping

itu P. kudriavzevii juga memiliki 3 enzim yang dapat menghidrolisis xilosa. Xilosa

adalah molekul gula yang ditemukan dalam kayu dan tidak banyak ragi yang mampu

memetabolisme gula jenis ini. Adapun jalur hidrolisisnya yaitu xylulose-5-fosfat

kemudian dapat dimasukkan ke jalur pentosa fosfat (PPP) untuk dikonversi menjadi

fruktosa 6-fosfat yang dapat diteruskan ke jalur glikolisis. Dalam kondisi yang tepat,

strain P. kudriavzevii M12 dapat digunakan untuk membentuk alkohol dari kayu

melalui cara yang sangat kompleks menghasilkan bioetanol (Chan, 2012).

Seperti kebanyakan ragi, P. kudriavzeii juga terlibat dalam fermentasi anggur

dan bir dan ragi ini dapat memfermentasi glukosa Kurtzman et al., (2011). Gula yang

dapat difermentasi oleh ragi ini sangat terbatas dimana hanya dapat

memfermentasikan gula glukosa, tidak dapat memfermentasi galaktosa, maltosa,

laktosa, sukrosa, raffinosa. Sehingga tentunya tidak cocok untuk memfermentasi


seluruh batch bir yang mengandung banyak maltosa yang tidak dapat dimanfaatkan

oleh P. kudriavzevii (Kurtzman et al., 2011).

2.4 Air Kelapa Tua

Air kelapa adalah minuman alami yang menyegarkan berasal dari buah kelapa

(Pachori, dkk., 2014) dan banyak dikonsumsi di daerah tropis di dunia (Sathiyavimal,

dkk., 2014). ). Air kelapa ini tidak berwarna, manis, dan sedikit kecut (Sathiyavimal,

dkk., 2014) dimana memiliki pH berkisar antara 4,2-6,0 (Appaiah, et al., 2014).

Banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa air kelapa dapat digunakan sebahai

bahan baku untuk minuman isotonik, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh

Langkong et al., (2016). Menurut Langkong et al., (2016) air kelapa tua memiliki

manfaat yaitu untuk menggantikan ion yang hilang dalam tubuh akibat aktifitas fisik

yang dilakukan. Cairan dalam minuman isotonik, memiliki tekanan yang sama

dengan dinding pembuluh darah yang menyebabkan minuman ini lebih mudah

diserap oleh tubuh daripada air biasa (Pachori, dkk., 2014).

Penelitian telah menunjukkan bahwa air kelapa mengandung protein, lemak,

dan kaya akan karbohidrat dan merupakan sumber yang kaya asam amino esensial

(lisin, histidin, tirosin dan triptofan), asam lemak, glukosa, fruktosa, selulosa,

sukrosa, dan asam organik seperti tartarat, sitrat dan asam malat

(Sathiyavimal, dkk., 2014). Air kelapa ini bebas lemak dan rendah kalori serta

mengandung banyak mineral seperti kalium, kalsium, magnesium, besi, natrium,

fosfor, seng, mangan, tembaga, belerang, aluminium, boron, selenium dan klorin

(Appaiah et al., 2014). Menurut Pachori, et al., (2014) mineral utama yang dikandung

air kelapa yaitu kalium dan natrium sehingga baik untuk pertumuhan
mikroorganisme. Enzim yang ditemukan pada air kelapa mencakup reduktase

selektif, polyphenol oxidase (PPO) and peroxidase (POD) (Sathiyavimal, dkk., 2014).

2.5` Alga Spirogyra Peipingensis

Alga merupakan salah satu produsen primer di ekosistem perairan laut

bersama dengan fitoplankton, lamun, dan mangrove. Alga tersebut ada yang bersifat

autotrofik atau heterotrofik. Alga autotrofik memanfaatkan sinar matahari untuk

berfotosintesis dan menggunakan bahan anorganik karbon (CO2) di atmosfer yang

kemudian berasimilasi dalam bentuk bahan makanan cadangan seperti karbohidrat.

Ada banyak spesies alga yang heterotrofik dan mereka mengambil molekul organik

dari organisme lain dan mengubahnya menjadi lemak dan protein. Ada spesies alga

tertentu yang tidak dapat menggunakan karbon anorganik (CO2) dari atmosfer

maupun karbon organik dari lingkungan sebagai sumber karbonnya dan proses ini

disebut mixotrophy. Melalui salah satu dari tiga proses ini, alga dapat menghasilkan

karbohidrat, lipid, dan protein (Eshaq et al., 2010).

Alga termasuk mikroorganisme fotosintetik yang memiliki kemampuan

menggunakan sinar matahari dan karbon dioksida untuk reproduksi sel-sel tubuhnya

menghasilkan biomassa dan menghasilkan sekitar 50% oksigen yang ada di atmosfir

(Abdurrachman et al., 2013). Alga juga memiliki nilai ekonomis sebagai penghasil

hidrokoloid (alginat, agar dan karagenan) yang secara luas digunakan dalam industri

makanan dan farmaseutika. Alga secara luas digunakan sebagai makanan, bahan

penting bagi industri kosmetik serta penghasil hidrokoloid (alginat, agar dan

karagenan) yang digunakan sebagai pengental dan gelling agents. Alga telah banyak
dibudidayakan karena ketersediaan di alam tidak lagi mencukupi untuk berbagai

kebutuhan manusia (Basir et al., 2017)

Indonesia menjadi pemasok utama rumput laut dunia dengan pangsa pasar

sebesar 26,50% dari total permintaan dunia (Kemendag, 2015). Alga juga digunakan

untuk pengobatan berbagai penyakit. Penelitian telah banyak dilakukan untuk

mengkaji senyawa bioaktif berbagai jenis alga di antaranya rumput laut hijau sebagai

antibakteri (Mishra et al., 2016), alga merah sebagai antikanker

(Duraikannu et al., 2014) dan rumput laut coklat sebagai antiinflamasi dan

antidiabetes (Ji-Hyun et al., 2016). Komponen bioaktif yang dihasilkan alga di

antaranya termasuk dalam kelompok polisakarida, lemak dan asam lemak, pigmen,

serta metabolit sekunder seperti fenol, alkaloid, terpen, dan lektin

(Perez et al., 2016).

Manfaat lainnya dari Spirogyra sp. yaitu sebagai agen bioremediasi logam

berat (Singh et al., 2007; Kaonga et al., 2008). Agen fitoremediasi limbah budidaya

sidat (Apriadi et al., 2014). Alga spirogyra juga banyak dijadikan sebagai bahan baku

pembuatan etanol (Sulfahri et al., 2011; Salim 2012; Ge et al., 2017).

Spirogyra sp. merupakan alga berfilamen (filamentous algae) yang hidup

mengapung bebas pada habitat air tawar. Penggunaan alga berfilamen dalam

mengolah bahan organik limbah budidaya didasarkan atas capaian perkembangan

biomassa yang cepat sebagai asumsi dari pemanfatan nutrien yang optimal

(Bishnoi et al., 2007). Berdasarkan hasil penelitian Ge et al (2017) alga spirogyra ini

dapat diaplikasikan sebagai penangan limbah air perkotaan dengan menyerap unsur

nitrogen dan posfor yang ada dalam air hingga 50%. Alga Spirogyra juga memiliki
kemapuan mengadsorbsi Cu dan Pb dan digunakan sebagai sumber nutrisi dan

mempengaruhi peningkatan produksi biomassanya (Lee & Chang, 2011).

Menurut Stancheva et al., (2013) pertumbuhan dan perkembangan alga sangat

dipengaruhi dengan ketersediaan nutrisi yang diserap serta kondisi lingkungan yang

menunjang pertumbuhannya. Nutrien yang berasal dari N dan P merupakan

persyaratan yang dibutuhkan alga secara umum, dalam hal ini termasuk alga

berfilamen Spirogyra sp. untuk melangsungkan pertumbuhannya. Telah diketahui

bahwa keberadaan nutrien tersebut merupakan faktor pembatas untuk pertumbuhan

alga. Adanya keterbatasan pemanfaatan nutrien N dan P menyebabkan perbedaan

jumlah nuterien N dan P yang diserap oleh Spirogyra sp. Amonium (NH4+)

merupakan nutrien yang paling berpengaruh terhadap peningkatan bobot dan

pertumbuhan Spirogyra sp. (Apriadi et al., 2014). Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Hmaidan et al., (2011) diperoleh informasi bahwa Spirogyra sp.

memiliki pertumbuhan yang lebih baik pada perairan dengan kandungan nitrogen

yang cukup tinggi. Hasil serupa juga didapatkan dari penelitian Brubaker et al.,

(2011) bahwa keberadaan N pada konsentrasi yang cukup akan memberikan

pertumbuhan Spirogyra sp. yang optimal.

Spirogyra adalah salah satu ganggang hijau paling umum di musim semi.

Alga ini berwarna hijau terang dan ditemukan mengambang di kolam air tawar yang

tenang, kolam, danau dan parit dan juga di aliran sungai. Menurut Randhawal genus

mencakup sekitar 289 spesies dan 94 di antaranya telah dilaporkan dari India. Tubuh

tanaman alga spirogyra berupa talus yang terdiri dari benang silinder hijau panjang

sekitar 1/10 mm dan panjang beberapa sentimeter. Tekstur alga ini halus seperti
rambut, tidak bercabang dan sering disebut filamen. Setiap sel terdiri dari dinding sel

yang menutupi protoplas, dinding sel terdiri dari dua lapisan konsentris. Bagian

dalam mengandung selulosa sedangkan bagian luar ditutupi oleh lapisan pektosa

(Eshaq et al., 2010). Tubuh alga S. peipingensis memiliki lebar 104-57 mm dan

panjang 156-200 mm yang mengandung kloroplas dan lima sampai tujuh di dalam

sel. Alga spirogyra bereproduksi secara vegetatif dengan berfragmentasi sedangkan

secara generatif dengan melalui konjugasi (Sulfahri et al., 2016).

A B

Gambar 1. Alga Spirogyra : (a) Morfologi S. peipingensis pada ukuran mikroskopis,

dan (b) Morfologi S. peipingensis pada ukuran makroskopis.

Adapun klasifikasi alga Spirogyra peipingensis menurut Zarina et al., (2012),

adalah sebagai berikut :

Regnum: Eukaryota

Divisio: Chlorophyta

Clasis : Zygnematophyceae

Ordo : Zygnematales
Familia: Zygnema

Genus : Spirogyra

Spesies: Spirogyra peipingensis


BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Waktu dan Tempat Penelitian

III.2 Alat dan Bahan

III.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah fermentor,

bioreaktor, autoclave, laminair air flow, spektrofotometer, jarum ose, jarum tanam

tajam, pipet mikro, tabung reaksi, pH meter, hot plate, blender, thermometer, vortex

mixer, rotary shaker, Glucose refraktometer, hummer mill, Alcohol refractometer,

destilator, kertas saring, dan lain-lain.

III.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah Alga S.

peipingensis, kultur yeast (Trichoderma harsianum Rifai dan P. kuadriavzevii ),

medium SDA (Sabouraud Dextrosa Agar), aquades, buffer Na-citrate 0,1 M, dan lain-

lain.

III.3 Prosedur Kerja

III.3.1 Kultur Alga Spirogyra

Alga Spirogyra peipingensis dikultur pada medium cair tanpa aerasi dengan

menggunakan medium Sulfahri-01. Lama waktu inkubasi 20 hari pada aquarium 30

L. Inkubasi di8lakukan pada suhu 30oC dengan pencahayaan 12:12 intensitas cahaya

3.000 Lux (Kegaya et al., 2011; Gallego et al., 2013; Zwirn et al., 2013).
III.3.2 Pretreatment dan Hidrolisis Alga Spirogyra peipingensis

Alga Spirogyra peipingensis dikeringkan dan diblender hingga hancur dan

diayak dengan ukuran ayakan 80 mesh. Alga Spirogyra peipingensis yang lolos

ayakan ditambahkan air 10% dan dipanaskan selama 2 jam dengan suhu 100 oC

kemudian didinginkan hingga suhu mencapai ±30ºC (Zhang & Feng, 2010) dan

diinkubasi selama 80 menit (Bascar et al., 2008; Sulfahri et al., 2017).

III.3.3 Pembuatan Starter Pichia kudreavzevii

Pichia kudreavzevii diambil 1 ose yang sebelumnya telah dikultur pada

medium SDA pada tabung reaksi diinokulasi ke dalam Erlenmeyer 50 ml yang berisi

5 ml substrat Spirogyra peipingensis steril yang telah diatur pH menjadi 4 dengan

penambahan buffer Na-citrate 0,1 M, diinkubasi dalam rotary shaker dengan

kecepatan agitasi 15 rpm pada suhu 30ºC selama 24 jam (aktivasi I). Sebanyak 1 ml

dari aktivasi I dan diinokulasi kembali kedalam Erlenmeyer 50 ml yang berisi 9 ml

substrat S. peipingensis, diinkubasi dalam rotary shaker dengan kecepatan agitasi 15

rpm pada suhu 30ºC selama 24 jam (aktivasi II). Sebanyak 5 ml (10%) dari aktivasi II

(OD600nm = 0,5) diinokulasi kembali ke Erlenmeyer 100 ml yang berisi 45 ml substrat

S. peipingensis, diinkubasi dalam rotary shaker dengan kecepatan agitasi 15 rpm

pada suhu 30ºC selama 8 jam (aktivasi III). Hasil aktivasi III kemudian ditambahkan

dengan konsentrasi inokulum dengan konsentrasi 10% ke dalam botol fermentor 100

ml yang berisi 45 ml substrat alga S. peipingensis yang telah diperkaya dengan nutrisi

lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu kamar (±30ºC).


III.3.6 Proses Fermentasi

Starter hasil aktivasi III ditambahkan dengan konsentrasi inokulum 10%

((OD600nm = 0,5) ke dalam botol fermentor 100 ml yang berisi 45 ml substrat alga yang

telah diperkaya dengan matur coconat water dengan jumlah yang bervariasi lalu

diinkubasi dengan variasi durasi fermentasi, yaitu; 0 jam, 12 jam, 24 jam, 36 jam, dan

48 jam pada suhu 30ºC. Proses fermentasi dilakukan pada kondisi anaerob

(Zhang & Feng, 2010; Sulfahri et al., 2017).

III.3.7 Produksi Biodiesel

Perlakuan terbaik yang telah diperoleh pada tahapan fermentasi kemudian

diaplikasikan pada tahapan produksi biodiesel. Produksi biodiesel dilakukan dengan

menggunakan fermentasi sistem batch. Hasil hidrolisis alga S.peipingensis

ditambahkan starter P.kudreavzevii yang telah diaktivasi. Fermentasi dilakukan

selama 48 jam pada suhu 30ºC. Biomassa sel P.kudreavzevii diperoleh dengan

menggunakan teknik sentrifugasi. Biomassa sel P.kudreavzevii diekstraksi kandungan

minyaknya dengan metode maserasi (Barros et al., 2006; Hogg, 2005).

III.3.8 Rancangan penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah RAL (rancangan acak lengkap)

dengan pola faktorial dengan perlakuan jenis yeast, jenis nutrisi dan lama waktu

fermentasi. Penelitian ini dilakukan dengan ulangan sebanyak tiga kali. Parameter

yang diamati adalah biomassa sel, kadar gula total (%), dan kadar etanol (%).

Berdasarkan dengan metode penelitian yang akan digunakan, berikut adalah

rancangan penelitian yang disajikan pada Tabel 3.1.


Nutrisi Waktu
Fermentasi 0 jam 24 jam 48 jam 72 jam 96 jam

MCW 0 g/L

MCW 10 g/L

MCW 20 g/L

MCW 30 g/L

MCW 40 g/L

MCW 50 g/L

III.8 Analisis Data

Data yang berupa biomassa sel, kadar gula total (%), dan kadar etanol (%)

dianalisis secara statistik dengan menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) pada

taraf kepercayaan 95% (α=0,05) untuk mengetahui pengaruh variasi nutrisi

fermentasi dan lama waktu fermentasi terhadap produksi biomassa sel. Jika terdapat

pengaruh maka dilanjutkan dengan uji Duncan atau biasa disebut Duncan Multiple

Range pada taraf kepercayaan 95% (α=0,05) untuk mengetahui perbandingan

pengaruh disetiap perlakuan dengan jumlah perlakuan yang besar.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Basir, Kustiariyah Tarman, D. (2017). AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN


ANTIOKSIDAN ALGA HIJAU Halimeda gracilis from Seribu Island District.
Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 20(AKTIVITAS
ANTIBAKTERI DAN ANTIOKSIDAN ALGA HIJAU Halimeda gracilis
DARI KABUPATEN KEPULAUAN SERIBU), 211–218.
Anorganik, O. D. A. N. (2017). Fermentasi alga.
Appaiah, P., Sunil, L., Prasanth, P, K., Kumar & Gopala, A, G., 2014, Physico-
chemical characteristics and stability aspects of coconut water and kernel at
different stages ofmaturity, https://doi 10.1007/s13197-014-1559-4.
Apriadi, T., Pratiwi, N. T. M., & Hariyadi, S. (2014). Fitoremediasi limbah budidaya
sidat menggunakan filamentous algae ( Spirogyra sp .) Fitoremediation of eel
culture wastewater using filamentous algae ( Spirogyra sp .). Depik Journal,
3(April), 46–55.
ARIANDI, YOPI, & MERYANDINI, A. (2017). Enzymatic Hydrolysis of Copra
Meal by Mannanase from Streptomyces sp. BF3.1 for The Production of
Mannooligosaccharides. HAYATI Journal of Biosciences, 22(2), 79–86.
https://doi.org/10.4308/hjb.22.2.79
Aunillah, A., & Pranowo, D. (2012). Karakteristik Biodiesel Kemiri Sunan [Reutealis
trisperma ( Blanco ) Airy Shaw] Menggunakan Proses Transesterifikasi Dua
Tahap. Buletin RISTRI, 3, 193–200.
Bombardelli, E., Data, R. U. S. A., Book, J. T. H., Tebib, K., Bombardelli, E.,
Application, F., … Weber, P. E. P. (2001). ( 12 ) United States Patent ( 10 )
Patent No .: 1(12), 4–6.
Bozbas, K. (2008). Biodiesel as an alternative motor fuel: Production and policies in
the European Union. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 12(2), 542–
552. https://doi.org/10.1016/j.rser.2005.06.001
Chen, X., Cao, X., Sun, S., Yuan, T., Wang, S., Shi, Q., & Sun, R. (2019).
Hydrothermal acid hydrolysis for highly efficient separation of lignin and xylose
from pre-hydrolysis liquor of kraft pulping process. Separation and Purification
Technology, 209, 741–747. https://doi.org/10.1016/j.seppur.2018.09.032.
Chan GF, Gan HM, Ling HL, Rashid NA. (2012) Genome sequence of P
kudriavzevii M12, a potential producer of bioethanol and phytase. Eukaryot Cell,
11(10)

de Souza, I. A., Orsi, D. C., Gomes, A. J., & Lunardi, C. N. (2019). Enzymatic
hydrolysis of starch into sugars is influenced by microgel assembly.
Biotechnology Reports. https://doi.org/10.1016/j.btre.2019.e00342.
Duraikannu K, Shameem RK, Anithajothi R, Umagowsalya G, Ramakritinan CM.
2014. In-vivo anticancer activity of red algae (Gelidiela acerosa and
Acanthophora spicifera). Pharmaceutical Sciences and Research. 5(8): 3347-
3352.

Eshaq, F. S., Ali, M. N., & Mohd, M. K. (2010). Spirogyra biomass a renewable
source for biofuel ( bioethanol ) Production. International Journal of
Engineering Science and Technology, 2(12), 7045–7054.
Fonseca AM, Monte FJQ, da Conceic M, de Oliveiraaão F, Coconut water
(Cocosnucifera L.) – A new biocatalyst system for organic synthesis, Journal of
Molecular Catalysis B: Enzymatic, 57, 2009, 78-82.
Ge, S., Madill, M., & Champagne, P. (2018). Use of freshwater macroalgae
Spirogyra sp. for the treatment of municipal wastewaters and biomass
production for biofuel applications. Biomass and Bioenergy, 111, 213–223.
https://doi.org/10.1016/j.biombioe.2017.03.014
Gozan, M., Fatimah, I., Nanda, C., & Haris, A. (2014). Produksi Biosurfaktan oleh
Pseudomonas aeruginosa dengan Substrat Limbah Biodiesel Terozonasi untuk
Peningkatan Perolehan Minyak Bumi. Journal of Agro-based Industry, 31(2),
39–44.
Huynh, L. H., Kasim, N. S., & Ju, Y. H. (2011a). Biodiesel production from waste
oils. Biofuels, 375–396. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-385099-7.00017-6
Huynh, L. H., Kasim, N. S., & Ju, Y. H. (2011b). Biodiesel production from waste
oils. In Biofuels (1 ed.). https://doi.org/10.1016/B978-0-12-385099-7.00017-6
Jaya, D., Setiyaningtyas, R., & Prasetyo, S. (2018). Pembuatan Bioetanol Dari Alga
Hijau Spirogyra sp Bioethanol Production From Green Algae Spirogyra sp.
15(1), 16–19.
Ji-Hyun O, Kim J, Lee Y. 2016. Antiinflammatory and anti-diabetic effects of brown
seaweeds in high-fat diet-induced obese mice. Nutrition Research and Practice.
10(1): 42-48.
Kurtzman CP, Fell JW, Boekhout T (2011) The Yeasts, a Taxonomic Study. Volume
1. Fifth edition. Elsevier (Link to sciencedirect)

[KEMENDAG]. 2015. Siaran Pers Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.


Tiongkok dan Singapura borong rumput laut Indonesia Rp 850,19 miliar.
[diunduh 2016 Des 15]. Tersedia pada: http://www. kemendag.go.id/
id/news/2015/08/02/ t iongkok-dan-singapura-borongrumput-laut-indonesia-rp-
78271-miliar.
Li, Q., Du, W., & Liu, D. (2008). Perspectives of microbial oils for biodiesel
production. Applied Microbiology and Biotechnology, 80(5), 749–756.
https://doi.org/10.1007/s00253-008-1625-9
Mishra JK, Srinivas T, Madhusudan T, Sawhney S. 2016. Antibacterial activity of
seaweed Halimeda opuntia from the coasts of South Andaman. Global Journal of
Bio-science and Biotechnology. 5(3): 345-348.
Pachori, R., Lahoti, D., Kulkarni, N., Sadar, K., 2017, Studies on Development of
Probioticated Coconat Water. Online International Interdisciplinary Research
Journal, ISSN 2249-9598, 07.
Putri, S. K., Supranto, & Sudiyo, R. (2012). Studi Proses Pembuatan Biodiesel dari
Minyak Kelapa ( Coconut Oil ) dengan Bantuan Gelombang Ultrasonik. Jurnal
Rekayasa Proses, 6(1), 20–25.
Rachman, S. A., K, A., & Septian, R. (2013). PEMBUATAN BIODIESEL DARI
MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN KATALIS CaO DISINARI DENGAN
GELOMBANG MIKRO. Teknik Kimia, 19(4), 45–52.
Raoufi, Z., & Mousavi Gargari, S. L. (2018). Biodiesel production from microalgae
oil by lipase from Pseudomonas aeruginosa displayed on yeast cell surface.
Biochemical Engineering Journal, 140, 1–8.
https://doi.org/10.1016/j.bej.2018.09.008.
Rochelle, D., & Najafi, H. (2019). A review of the effect of biodiesel on gas turbine
emissions and performance. Renewable and Sustainable Energy Reviews,
105(June 2018), 129–137. https://doi.org/10.1016/j.rser.2019.01.056
Sankh, S., Thiru, M., Saran, S., & Rangaswamy, V. (2013). Biodiesel production
from a newly isolated P kudriavzevii strain. Fuel, 106, 690–696.
https://doi.org/10.1016/j.fuel.2012.12.014
Sathiyavimal, Vasantharaj, Jagannathan, Senthilkumar, R., Vijayaram, 2014, Natural
Sources of Coconut Component Used for Microbial Culture Medium (NSM),
International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research, ISSN
0976 – 044X, 26(2), 28-32.
Sulfahri, Nurfadillah, Taufan, W. L., & Aska, M. S. (2019). Biodiesel production
from P kudriavzevii using Algae Kappaphycus Alvarezii as a fermentation
substrate. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 243,
012095. https://doi.org/10.1088/1755-1315/243/1/012095
Sulfahri, S., Amin, M., Sumitro, S. B., & Saptasari, M. (2017). Comparison of
biomass production from algae Spirogyra hyalina and Spirogyra peipingensis.
Biofuels, 8(3), 359–366. https://doi.org/10.1080/17597269.2016.1231954
Sulfahri, Ni’matuzahroh & Manuhara, S.W. 2012. Optimization of the Bioconversion
of Spirogyra hyalina Hydrolysates to Become Ethanol Using Zymomonas
mobilis. Journal of Applied Envoronmental and Biological Science. 2(8) : 374 –
379.
Zarina, A., Hasana, M.U., & Shameel, M. 2012. Diversity of the Genus Spirogyra
(Zygnemophyceae Shameel) in the North-Eastern Areas of Pakistan. Proceedings
of The Pakistan Academy of Sciences. 44(4) : 225 – 248.

Anda mungkin juga menyukai