Aryos Nivada
Aktivis CARe Aceh
Aceh begitu sensasional dan fenomenal dengan sejarahnya, mulai dari konflik yang mendera
berkepanjangan, tsunami yang meluluhlantakan daratan bumi serambi mekah ini, hingga baru-baru ini
kehadiran kelompok teroris. Kejadian itu kembali membuat penjuru mata nasional dan internasional
tertuju pada provinsi ini. Menariknya apa sudah dilakukan evaluasi terhadap operasi yang dilakukan
Detasemen Khusus 88 (densus 88) dari kalangan masyarakat sipil di Aceh? Tidak menutup kemungkinan
adanya penyimpangan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga kondisi riil menunjukan tindakan
represif aparat penegak hukum (polisi) dalam memberantas tindakan teroris di Aceh. Bagaimana bentuk
represifnya? Mengapa muncul teroris di tanah rencong? Dan mengapa tindakan represif dilegalkan,
sehingga berpengaruh pada kondisi HAM di Aceh? Beberapa pertanyan itu menjadi panduan untuk
mengulas dalam tulisan ini.
Mengaitkan dengan pemberantasan terorisme di Aceh dan nasional, Pemerintah Indonesia
menggunakan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Mekanisme untuk penyelesaian kasus-kasus tindak pidana terorisme, hukum acara yang
berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang
khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang
telah ada. Fakta menunjukan isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang
merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Jika memang diperlukan
suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu
berkaitan erat dengan HAM.
Ditambah lagi Pasal 26 Ayat 1 UU No. 15 Tahun 2003 terdapat kerancuan dan juga telah
mencederai semangat penegakan HAM. Indikatornya, polisi dalam pergerakan untuk memerangi tindakan
terorisme hanya berbasiskan sumber laporan dari intelijen semata saja. Anehnya langsung dijadikan bukti
permulaan yang otentik (valid), tanpa melakukan pengecekan mendalam terhadap pelaku yang dicurigai
sebagai teroris. Secara tegas pasal ini memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk
melakukan perampasan kemerdekaan, yaitu penangkapan terhadap orang yang dicurigai telah melakukan
Tindak Pidana Terorisme. Oleh karena itu, kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar
tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara
sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Page | 1
Lain halnya kejadian di Jalin, dimana pemberitaan surat kabar menunjukan adanya ketidakjelasan
kontrol operasi yang dilakukan pihak kepolisian dalam meredam sekaligus menangani keberadaan
kelompok radikal/teroris. Maksudnya adanya kontradiksi instruksi dan koordinasi yang tidak jelas dari
satuan di lapangan. Bangunan logika berpikir saya ketika adanya beberapa unit tim yang memiliki fungsi
berbeda, seperti pengintaian (tim Polres Aceh Besar) dan tim penyergapan (gabungan Brimob Polda Aceh
dan tim Polres Aceh Besar). Pembagian dan dukungan ini sendiri tidak menjelaskan alasan-alasan
dibaliknya. Apakah diperlukan tim gabungan yang cukup besar untuk menangkap puluhan orang yang
belum teridentifikasi dengan jelas atau siapa yang bertanggungjawab sebagai pengendali
operasi. Kejadian itu seharusnya dilakukan evaluasi atas sebuah sistem operasi yang tidak berbasiskan
informasi yang tepat, target, dan dampak di lapangan.
Ditambah lagi penembakan di tempat tanpa adanya perlawanan dari pihak pelaku di Padang Tiji
ini menunjukan bahwa kepolisian bertindak sudah sangat represif. Kronologisnya dari media Serambi
Indonesia (4/3/2010), ketika bus itu berhenti, tiba-tiba tiga penumpang terlihat turun dari pintu belakang
dan secepatnya melarikan diri. Sumber-sumber di lokasi kejadian menyebutkan ketiga laki-laki yang
turun dari bus dan melarikan diri itu menjinjing tas yang tak bisa dipastikan isinya. Salah seorang
diantaranya disebut-sebut sempat mengeluarkan senjata dari dalam tasnya, sehingga langsung
dilumpuhkan dengan tembakan oleh aparat. Merujuk pada informasi media itu, bisa dinilai perilaku polisi
tidak mengedepankan pola – pola pendekatan persuasif dalam menumpas kelompok radikal/teroris.
Menurut hemat saya, pelaku teroris di Aceh maupun di daerah (provinsi) lain bisa dilumpuhkan tanpa
menembak mati pelakunya. Bilamana tindakan ini tetap di pertahankan akan mencerderai semangat
reformasi di kepolisian bahkan tidak ubahnya dengan kondisi kepolisian sebelum UU No. 2 Tahun 2002
di sahkan.
Ternyata tidak hanya dalam operasi memberantas teroris tindakan represif dilakukan pihak
kepolisian. Berdasarkan data KontraS Aceh tahun 2009 perilaku polisi khususnya pembunuhan berjumlah
7 orang dan penganiayaan 5 orang. Di perkuat lagi dari data yang di lansir Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Banda Aceh dari bulan Januari – September 2009, berjumlah 7 orang yang terbagi ke dalam
beberapa kasus. Diantaranya penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan,
penangkapan dan pengancaman, dan penangkapan dan penahanan diluar prosedur hukum, dan ancaman.
Seharusnya dengan menangkap sasaran dalam keadaan hidup, Polri ((Densus 88) dan Polda Aceh
memperoleh keuntungan yang sangat besar, antara lain tidak perlu repot mengidentifikasi dengan
mencocokan DNA. Pelaku yang masih hidup dapat memberikan keterangan dan informasi yang sangat
berharga untuk mengembangkan investigasi. Sayangnya, Densus 88 memilih menghabisi orang-orang
yang diduga sebagai anggota jaringan teroris, sehingga proses pengungkapan jaringan teroris pun gagal
total. Terbersit dibenak pikiran mengapa perilaku itu acap kali di lakukan?, karena dengan tetap
menjunjung HAM dan rule of law, maka dukungan terhadap operasi CT (counter terrorism) bisa terus di
pertahankan oleh Pemerintah.
Pada dasarnya, tindakan eksekusi mati tanpa melalui putusan pengadilan yang sah dan
berketetapan hukum tetap sebagaimana yang terjadi pada operasi pembekuan dan penuntasan teroris di
Aceh tanpa menutup dengan kasus-kasus lainnya dalam perspektif hukum HAM dapat dikategorikan
sebagai pelanggaran HAM berat. Ini tertuang pada bagian penjelasan Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM. Pasal ini secara eksplisit menyebutkan unsur pelanggaran HAM berat adalah pembunuhan
secara sewenang-wenang di luar Hukum (arbitrary/extra judicial killing). Seharusnya Densus 88 dalam
operasinya menjunjung tinggi HAM dan asas praduga tak bersalah, istilahnya "higher moral ground".
Pasal 5 KUHAP menyatakan bahwa polisi karena kewajibannya berwenang mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab, dimana yang dimaksud dengan "tindakan lain"
adalah tindakan untuk kepentingan penyelidikan yang tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
dilakukan atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; dan menghormati hak asasi
manusia.
“Tindakan lain” inilah yang salah satu bentuk pengejawantahannya adalah kekerasan terhadap
orang yang dicurigai atau tersangka. Pasal tersebut memiliki implikasi bahwa sebuah tindakan
(kekerasan) yang dilakukan terhadap tersangka bisa dianggap sah pada satu situasi, tapi bisa pula
Page | 2
dianggap sebagai tindak pelanggaran hukum pada situasi yang lain. Dan di sini penilaian atas sah atau
tidaknya tindak kekerasan yang dilakukan baru bisa dilakukan post-factum.
Page | 3