Oleh :
AHMAD NUR ANSARI
E052202002
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
A. Pendahuluan
Tentu saja, bukan hal baru bahwa politik sering dilihat dari sudut
pandang negative, istilah politik telah lama digunakan sebagai sebuah kata
kotor mengimplikasikan sebuah aktivitas yang dianggap buruk bahkan rendah
tetapi kritik tampak semakin meningkat melebihi perkiraan di dekade-dekade
terakhir ini. Para politisi mengalami banyak dari serangan-serangan ini, dan
status politisi sering diasosiasikan dengan sifat-sifat seperti pembohong,
koruptor, haus kekuasaan dan tidak dapat dipercaya.1
1
Andrew Heywood, Politik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014), hal. 783
Hal ini sangat menghawatirkan karena bukan hanya terjadi pembunuhan
karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu penyerangan
pribadi, namun juga politik kekerasan pun terjadi. Para elite politik yang saat
ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan
tumbuhnya budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka
sebagian besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang
berbasis primordial sehingga elite politik pun cenderung berperilaku yang
sama dengan perilaku pendukungnya. Bahkan elite seperti ini merasa halal
untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung
langkah politiknya. Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan
mengabaikan etika, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang
berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang.
Dewasa ini, akibat politisasi di beberapa lini oleh para elite politik
yang tidak mengedepankan lagi profesionalisme dalam memegang dan
2
Syarifuddin Jurdi, Kekuatan-keuatan Politik Indonesia Kontestasi Ideologi dan
Kepentingan, (Makassar : Laboratorium Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar, 2014), hal. 171
mengendalikan pemerintahan tetapi lebih mengedepankan kolegial partai
politik yang berkuasa dan tidak menutup kemungkinan akan selalu berubah
setiap saat bergantung pada partai yang berkuasa, sebagai imbasnya, sistem
politikpun akan berganti mengikuti penguasa yang memegang kekuasaan.
Padahal siapapun yang berkuasa, partai apapun dan dari golongan manapun,
sistem politik Indonesia harus tetap sama selama masih pro terhadap rakyat.
Disatu sisi kita harus mulai waspada agar resesi dan konflik seperti
yang terjadi di Lebanon ketika rakyat semakin lapar dan prustasi, tidak terjadi
di tanah air. Namun pemulihan stabilitas sosial politik yang tidak tepat dapat
berujung pada carut marut berkepanjangan yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan demokrasi. sebuah situasi yang menyebabkan pegiat
demokrasi harus meluakan tidur nyenyaknya lebih panjang lagi. Oleh karena
itu, tidak ada pilihan bagi kalangan civil society untuk bangkit kembali
memainkan peran asasinya dalam melindungi dan menyuburkan kehidupan
demokrasi kita, baik pada masa pandemic Covid-19 maupun sesudahnya.
Kerja kolektif para pihak yang peduli terhadap kualitas kehidupan demokrasi
harus makin digiatkan, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan
konstitusional anak bangsa.
Wahyu Widodo, Mewujudkan Budaya Politik Santun, Bersih Dan Beretika, (2014,
4
Wahyu Widodo, Mewujudkan Budaya Politik Santun, Bersih Dan Beretika, (2014,
5
Wahyu Widodo, Mewujudkan Budaya Politik Santun, Bersih Dan Beretika, (2014,
6
E. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Widodo, Wahyu. 2014. Mewujudkan Budaya Politik Santun, Bersih Dan Beretika.,
Humanika Vol. 19 No. 1.