Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

RUANG LINGKUP DINAMIKA EKSEKUTIF LEGISLATIF

Oleh :
AHMAD NUR ANSARI
E052202002

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
A. Pendahuluan

Berbicara tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara


di Indonesia, manjadi suatu kajian yang menarik. Hal ini karena saat ini
Indonesia berada pada era kebabasan berpolitik setelah melampaui masa
kelam berpolitik. Seiring dengan datangnya era reformasi pada pertengahan
tahun 1998, Indonesia memasuki masa transisi dari era otoritarian ke era
demokrasi. Dalam masa transisi itu, dilakukan perubahan-perubahan yang
bersifat fundamental dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk membangun
tatanan kehidupan politik baru yang demokratis. Namun dalam perjalanannya,
tatanan kehidupan politik yang demokratis ini, lambat laun tergerus oleh
kepentingan pribadi dan kelompok. Ini dapat terlihat bagaimana saat ini para
elit berkuasa lebih mudah menghalalkan segala cara apapun untuk
mewujudkan kepentingannya. Mereka sudah tidak lagi mengindahkan nilai-
nilai etik dan moralitas berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tentu saja, bukan hal baru bahwa politik sering dilihat dari sudut
pandang negative, istilah politik telah lama digunakan sebagai sebuah kata
kotor mengimplikasikan sebuah aktivitas yang dianggap buruk bahkan rendah
tetapi kritik tampak semakin meningkat melebihi perkiraan di dekade-dekade
terakhir ini. Para politisi mengalami banyak dari serangan-serangan ini, dan
status politisi sering diasosiasikan dengan sifat-sifat seperti pembohong,
koruptor, haus kekuasaan dan tidak dapat dipercaya.1

Etika berpolitik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita harus


mengakui bahwa saat ini banyak kalangan elite politik cenderung berpolitik
dengan melalaikan etika kenegarawanan. Banyak sekali kenyataan bahwa
mereka berpolitik dilakukan tanpa rasionalitas, mengedepankan emosi dan
kepentingan kelompok, serta tidak mengutamakan kepentingan berbangsa.

1
Andrew Heywood, Politik, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014), hal. 783
Hal ini sangat menghawatirkan karena bukan hanya terjadi pembunuhan
karakter antarpemimpin nasional dengan memunculkan isu penyerangan
pribadi, namun juga politik kekerasan pun terjadi. Para elite politik yang saat
ini cenderung kurang peduli terhadap terjadinya konflik masyarakat dan
tumbuhnya budaya kekerasan. Elite bisa bersikap seperti itu karena mereka
sebagian besar berasal dari partai politik atau kelompok-kelompok yang
berbasis primordial sehingga elite politik pun cenderung berperilaku yang
sama dengan perilaku pendukungnya. Bahkan elite seperti ini merasa halal
untuk membenturkan massa atau menggunakan massa untuk mendukung
langkah politiknya. Elite serta massa yang cenderung berpolitik dengan
mengabaikan etika, mereka tidak sadar bahwa sebenarnya kekuatan yang
berbasis primordial di negeri ini cenderung berimbang.

Carut marut perpolotikan nasional hari ini adalah bukti pentingnya


etika politik dalam menjalan sistem pemerintahan di negeri ini. Ada banya
kasus di pentas politik nasional yang seakan menghina moral dan etika publik
mulai dari kasus korupsi E-KTP sampai yang paling tidak manusiawi yaitu
kasus korups dana bansos Covid-19 yang dilakukan oleh Menteri Sosisal
sendiri. Di pentas politik, etika politik sudah lama tiarap. Barangkali, seperti
pernah dikatakan oleh Franz-Magnis Suseno, etika politik itu hanya academic
exercise, hanya menarik dibicarakan dalam konteks akademis di bangku-
bangku kuliah. Senyatanya, terutama di waktu sekarang ini, etika politik
sekedar pemanis bibir saja. Kompetisi politik terreduksi hanya pada persoalan
kalah dan menang dalam meraih jabatan politik dan kekuasaan. Padahal jelas,
politik tanpa etika melahirkan sinetron demokrasi, yang hanya menyuguhkan
kebohongan dan janji-janji kosong para demagog yang jelas-jelas mengancam
demokrasi. Padahal, etika dalam politik akan memberikan jaminan bahwa
politik itu ada untuk meningkatkan harkat martabat sekaligus meninggikan
akhlak bangsa.
Membangun aktor politik yang santun dan beretika menjadi suatu
keharusan untuk mengembalikan citra politik yang baik di negeri ini.
Indonesia membutuhkan figur yang mampu mengayomi dan mensejahterakan
rakyat. Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap
pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani,
berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari
jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral
kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku
politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik
serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai
tindakan yang tidak terpuji lainnya.

Membangun sistem politik yang santun dan beretika juga sangat


penting tidak hanya aktor politik, sistem politik juga sangat penting, Sebelum
dibahas lebih lanjut perlu dipertegas bahwa control masyarakat terhadap
kebijakan public sangat diperlukan karena masyarakat menguasai kebijakan
public dan memiliki kewenangan untuk mengelola objek kebijakan tertentu.
Kontrol masyarakat untuk mencegah serta mengeliminasi penyalahgunaan
kewenangan dalam keputusan politik. Kontrol masyarakat dalam kebijakan
public adalah mengemukakan ekspresi politik, memberikan aspirasi atau
masukan tanpa intimidasi merupakan problem dan harapan rakyat, untuk
meningkatkan kesadaran kritis dan keterampilan masyarakat melakukan
analisisserta pemetaan terhadap persoalan actual dalam merumuskan agenda
tuntutan mengenai pembangunan.

B. Carut Marut Perpolitik Nasional

Krisis mata uang yang melanda negara-negara Asia termasuk


Indonesia pada pertengahan 1977 telah membawa implikasi politik bagi
proses penguatan peran-peran sosial politik warga, yakni terciptanya suatu
tatanan politik baru yang terbuka, transparan dan demokratis. Krisis tersebut
berkembang menjadi krisis pada berbagai bidang, hingga memaksa presiden
Soeharto untuk berhenti dari jabatannya pada 21 mei 1998. Kejatuhan
Soeharto melalui gerakan reformasi 1998 merupakan titik awal bagi reformasi
seluruh sistem politik dan birokrasi Negara, sistem lama tidak lagi merespon
arus deras perubahan, maka diperlukan sistem baru dan aktor baru.2

Salah satu agenda reformasi yang dicanangkan oleh reformis adalah


pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme atau biasa disingkat KKN. Pada
waktu digulirkannya reformasi ada suatu keyakinan bahwa peruturan
perundang-undangan yang dijadikan landasan untuk memberantas korupsi
dipandang tidak sesuai lagi dengan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat
dalam Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dari
beban korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang rekomendasi arah
kebijaksanaan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusindan nepotisme
butir c konsideran undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi yang dinyatakan sebagai berikut bahwa
undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang tindak pidana korupsi sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat,
karena itu perlu digantikan dengan undang-undang pemberantasan tindak
pidana korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah
dan memberantas tindak pidana korupsi.

Dewasa ini, akibat politisasi di beberapa lini oleh para elite politik
yang tidak mengedepankan lagi profesionalisme dalam memegang dan

2
Syarifuddin Jurdi, Kekuatan-keuatan Politik Indonesia Kontestasi Ideologi dan
Kepentingan, (Makassar : Laboratorium Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar, 2014), hal. 171
mengendalikan pemerintahan tetapi lebih mengedepankan kolegial partai
politik yang berkuasa dan tidak menutup kemungkinan akan selalu berubah
setiap saat bergantung pada partai yang berkuasa, sebagai imbasnya, sistem
politikpun akan berganti mengikuti penguasa yang memegang kekuasaan.
Padahal siapapun yang berkuasa, partai apapun dan dari golongan manapun,
sistem politik Indonesia harus tetap sama selama masih pro terhadap rakyat.

Kondisi politik kita tak lama sebelum pandemi Covid-19 dapat


dikatakan mengalami turning point bagi demokrasi, ini sebenarnya hanya
kelanjutan dari situasi yang secara umumtengah terjadi. Kondisi ini tercermin
dari upaya pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan kontroversial yang
kemudian ramai disoroti dan dikritisi oleh masyarakat. Kebijakan yang
dimaksud adalah revisi UU KPK atau dikalangan pegiat demokrasi dikenal
sebagai UU pelemahan KPK, kemudian RUU KUHP yang membuka peluang
intervensi kepentingan Negara dalam ranah privat, selanjutnya RUU Cipta
Kerja atau Omnibus Law yang dalam banyak aspek lebih memberikan
keuntungan kepada kaum pebisnis besar atau investor ketimbang pekerja atau
buruh dan yang terbaru dan mencoreng wajah etika politik kita adalah kasus
korupsi dana bantuan sosial oleh Menteri Sosial sendiri, hal ini bisa dibilang
sangat tidak manusiawi dan tidak berperi kemanusiaan, betapa tidak, ditengah
kondisi ekonomi yang sulit rakyat sangat membutuhkan bantuan dana dari
pemerintah tetapi justru dikorupsi oleh orang yang seharusnya menjadi
penolong dan penyelamat rakyat, sungguh sangat ironis.

Masa depan demokrasi demokrasi kita tampaknya belum akan pulih


dalam waktu dekat, memang kita tidak akan mengarah pada model
pemerintahan otoriter, namun juga belum akan mengarah pada bentuk
pemerintahan demokrasi seutuhnya. Berbagai indikasi menjelang dan saat
terjadinya pandemic Covid-19, tidak menunjukkan tanda-tanda yang
mengarah pada dukungan bagi perbaikan demokrasi. jika tidak ada sebuah
terobosan politik yang berarti, bisa jadi kualitas perpolitikan nasional semakin
memburuk pasca pandemic ini. Munculnya berbagai regulasi yang bernuansa
sentralisasi kekuasaan, selain itu juga situasi politik yang tengah berjalan saat
pandemi menjadi persoalan-persoalan pokok demokrasi kita saat ini. Belum
lagi kondisi ekonomi yang makin melemah dan potensi renggangnya kohesi
social yang dapat memperburuk situasi.

Disatu sisi kita harus mulai waspada agar resesi dan konflik seperti
yang terjadi di Lebanon ketika rakyat semakin lapar dan prustasi, tidak terjadi
di tanah air. Namun pemulihan stabilitas sosial politik yang tidak tepat dapat
berujung pada carut marut berkepanjangan yang tidak menguntungkan bagi
perkembangan demokrasi. sebuah situasi yang menyebabkan pegiat
demokrasi harus meluakan tidur nyenyaknya lebih panjang lagi. Oleh karena
itu, tidak ada pilihan bagi kalangan civil society untuk bangkit kembali
memainkan peran asasinya dalam melindungi dan menyuburkan kehidupan
demokrasi kita, baik pada masa pandemic Covid-19 maupun sesudahnya.
Kerja kolektif para pihak yang peduli terhadap kualitas kehidupan demokrasi
harus makin digiatkan, sebagai bentuk tanggung jawab moral dan
konstitusional anak bangsa.

C. Membangun Aktor Politik yang Santun dan Beretika


Etika pemerintahan harus berpegang pada kekuatan dan otoritas,
kekuatan ada setelah adanya otoritas. Kekuatan berhubungan dengan faktor
wibawa. Dalam etika pemerintahan harus ada partisipasi yang intensif dengan
masyarakat. Partisipasi yang intensif sangat penting karena yang diperhatikan
bukan yang memimpin melainkan yang dipimpin. Inti dari etika pemerintahan
adalah penggunaan kekuasaan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Untuk itu
harus ada pedoman, yaitu UUD dan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah yang baik harus mendahulukan kepentingan masyarakat, bukan
semata-mata bersifat koreksi. Pemerintah memiliki skill antara kecerdasan dan
perasaan. Kehancuran pemerintahan disebabkan oleh tidak adanya fungsi-
fungsi koordinasi. Dalam kenyataan kita tidak boleh melihat formalitas, tetapi
juga harus memperhatikan hal-hal yang materil dan yang informal. Dalam
etika pemerintahan, semua unsur ideal, real, formal,dan materil, diperlukan
rasionalisasi sedemikian rupa dengan masyarakat yang ada, serta diusakan
penciptaan aparatur Negara yang bersih dan berwibawah.3
Cara-cara berpolitik santun harus dikembangkan dan disampaikan
kepada masyarakat , terutama pada generasi muda agar nilai ke-
Indonesiaannya tidak hilang. Untuk itu pemerintah telah membentuk Unit
Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila dan mengeluarkan perpres
nomor 87 tahun 2017 tentang penguatan pendidikan karakter agar generasi
muda tidak tergerus nilai-nilai keindonesiaannya. Nilai-nilai ke-Indonesiaan
yang dimaksud adalah nilai kesopanan, kesantunan, semua terkandung dalam
ideology Pancasila harus terus disampaikan kepada generasi muda, bagaimana
kerukunan, persaudaraan, dan toleransi.
Oleh karena itu, politik santun dan beretika merupakan gambaran
demokrasi yang baik. Demokrasi yang substansi perlu etika, lebih dari tata
cara dan prosedur. Perkembangan kehidupan demokrasi yang santun dan
beretika akan memberikan kontribusi pada pengembangan kehidupan
bernegara dan berbangsa. Kemajuan demokrasi akan runtuh jika tidak diikuti
kehidupan demokrasi yang santun dan beretika. Fenomena kebebasan yang
kebablasan terlihat jelas ketika dalam konteks pertarungan politik terlihat
adanya pembunuhan karakter diantara pasangan calon yang ada. Tentu hal
tersebut menimbulkan efek yang negative khususnya kepercayaan public di
negeri ini. Untuk menghindari efek negative tersebut setiap politisi haruslah
mengedepankan politik secara santun.
Mengedepankan politik secara santun sejatinya memiliki pengertian
saling berlomba menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan setiap
3
Ayi Sofyan, Etika Politik Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2012), hal. 346.
kebenaranyang dipercaya. Tentunya, kebenaran tersebut seharusnya bukan
mengenai jabatan atau kedudukan, tetapi sebuah kemaslahatan bersama, entah
siapa saja yang menjadi pemimpin. Politik santun merupakan salah satu cara
dalam meredam konflik tingkat elite politik maupun konflik pada masyarakat
akar rumput.
Dalam rangka menuju arah pembangunandan medernisasi suatu
masyarakat akan menempuh jalan yang berbeda antara satu masyarakat
dengan yang lain, dan itu terjadi karena peranan kebudayaan sebagai salah
satu faktor. Budaya politik dapat membentuk aspirasi, harapan, preferensi, dan
prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh
perubahan social politik. Pada gilirannya disimpulkan bahwa peran budaya
politik santun, bersih dan beretika dalam rangka memperkokoh kehidupan
berbangsa dan bernegara menuju Indonesia baru adalah :
Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap
pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani,
berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari
jabatan public apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral
kebijakannya bertentangan dengan hokum dan rasa keadilan masyarakat.
Perlu dilakukan upaya penanaman suatu kesadaran bahwa politik yang
hendak kita perjuangkan bukan semata politik kekuasaan, melainkan suatu
politik yang mengedepankan panggilan pangabdian demi kesejahteraan
masyarakat luas, dialektika antara partai dan politikus serta masyarakat yang
kritis.
Budaya politik santun, bersih dan beretika ini diperlukan karena dapat
membuat para elite politik menjauhi sikap dan perbuatan yang dapat
merugikan bangsa Indonesia.4

Wahyu Widodo, Mewujudkan Budaya Politik Santun, Bersih Dan Beretika, (2014,
4

Humanika Vol. 19 No. 1,) hal. 114


D. Membangun Sistem Politik yang Santun dan Beretika

Etika Politik adalah sarana yang diharapkan mampu menciptakan


suasana harmonis antar pelaku dan antar kekuatan sosial politik serta antar
kelompok kepentingan lainnya untuk mencapai sebesar-besar kemajuan
bangsa dan negara dengan mendahulukan kepentingan bersama dari pada
kepentingan pribadi dan golongan. Etika politik mutlak diperlukan bagi
perkembangan kehidupan politik. Etika politik merupakan prinsip pedoman
dasar yang dijadikan sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda
pemerintahan yang biasanya dinyatakan dalam konstitusi negara.

Di Indonesia Eika Politik dan Pemerintahan diatur dalam Ketetapan


MPR RI No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam
Ketetapan tersebut diuraikan bahwa etika kehidupan berbangsa tidak
terkecuali kehidupan berpolitik merupakan rumusan yang bersumber dari
ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir,
bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa. Dalam TAP MPR
tersebut juga dinyatakan bahwa Etika Politik dan Pemerintahan dimaksudkan
untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan efektif serta
menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan,
rasa bertanggungjawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan,
jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih benar,
serta menjunjung tinggi hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan
kewajiban dalam kehidupan berbangsa.5

Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara


memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik,

Wahyu Widodo, Mewujudkan Budaya Politik Santun, Bersih Dan Beretika, (2014,
5

Humanika Vol. 19 No. 1,) hal. 117


siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai
ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan
negara. Masalah potensial yang dapat menimbulkan permusuhan dan
pertentangan diselesaikan secara musyawarah dengan penuh kearifan dan
kebijaksanaan sesuai dengan nilainilai agama dan nilai-nilai luhur budaya,
dengan tetap menjunjung tinggi perbedaan sebagai sesuatu yang manusiawi
dan alamiah. Ini mengamanatkan kepada seluruh warga negara untuk
mengamalkan etika kehidupan berbangsa. Untuk berpolitik dengan etika dan
moral dalam berbangsa dan bernegara, paling tidak dibutuhkan dua syarat,
yaitu Ada kedewasaan untuk dialog dan Dapat menomorduakan kepentingan
pribadi atau kelompok.

Dulu, reformasi dilakukan antara lain untuk memperbaiki hukum dan


politik yang kurang memberikan makna bagi kemaslahatan rakyat. Setelah
reformasi, bukannya tambah baik, hukum dan politik tetap lebih sering
dibelokkan menjadi instrumen untuk mencapai atau melanggengkan
kekuasaan. Hukum dengan segenap institusinya juga tak mampu meredam
kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan praktikpraktik kotor
lainnya. Politik dipraktikkan dengan perilaku yang minim kesantunan.
Praktiknya, politik direduksi untuk alasan kekuasaan bukan sebuah proses
mewujudkan kebaikan bersama. Politik identitas semakin menguat
mengalahkan visi kebersamaan sebagai bangsa seiring rasa saling percaya
diantara sesama warga bangsa yang memudar pelanpelan. Distrust itu telah
menimbulkan disorientasi, tak ada pegangan bagi rakyat mengenai hendak
dibawa kemana bangsa ini dijalankan. Pada gilirannya, disorientasi itu pun
berpeluang mencetak pembangkangan (disobedience), yang dalam skala kecil
atau besar, sama-sama membahayakan bagi integrasi bangsa dan Negara.6

Wahyu Widodo, Mewujudkan Budaya Politik Santun, Bersih Dan Beretika, (2014,
6

Humanika Vol. 19 No. 1,) hal. 124


Setelah segala cara memperbaiki sistem, baik hukum, sosial, politik,
dan ekonomi dilakukan dan tak juga menunjukkan hasil, maka banyak yang
kemudian meyakini bahwa problem sebenarnya bukanlah soal sistem belaka,
melainkan berkaitan dengan soal etika berbangsa dan bernegara yang
meredup. Betapapun sistem diubah dan diganti, tetap saja problem tak
kunjung tuntas teratasi selama kita belum mampu membenahi etika berbangsa
dan bernegara. Jadi, inti persoalannya sekarang ialah soal melemahnya etika
berbangsa dan bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan
kondisi bangsa ini haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian
erat dengan krisis etika dan moralitas. Untuk itu, upaya menemukan solusi
harus disertai upaya mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip
fundamen etis-moral dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan
hidup bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, UUD
1945.

Untuk itu perlu diketahui tentang bagaimana sesungguhnya Carut


marut politik nasional, bagaimana Membangun politik etis dan berakhlak
mulia, dan bagaimana Membangun politik social.

E. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikemukakan kesimpulan


pokok sebagai berikut

Carut marut perpolitikan nasional saat ini sangat memprihatinkan,


Kondisi ini tercermin dari upaya pemerintah mengeluarkan berbagai
kebijakan kontroversial yang kemudian ramai disoroti dan dikritisi oleh
masyarakat. Kebijakan yang dimaksud adalah revisi UU KPK atau dikalangan
pegiat demokrasi dikenal sebagai UU pelemahan KPK, kemudian RUU
KUHP yang membuka peluang intervensi kepentingan Negara dalam ranah
privat, selanjutnya RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang dalam banyak
aspek lebih memberikan keuntungan kepada kaum pebisnis besar atau
investor ketimbang pekerja atau buruh dan yang terbaru dan mencoreng wajah
etika politik kita adalah kasus korupsi dana bantuan sosial oleh Menteri Sosial
sendiri, hal ini bisa dibilang sangat tidak manusiawi dan tidak berperi
kemanusiaan, betapa tidak, ditengah kondisi ekonomi yang sulit rakyat sangat
membutuhkan bantuan dana dari pemerintah tetapi justru dikorupsi oleh orang
yang seharusnya menjadi penolong dan penyelamat rakyat, sungguh sangat
ironis.

Pada akhirnya disimpulkan bahwa peran budaya politik santun, bersih


dan beretika dalam rangka memperkokoh kehidupan berbangsa dan bernegara
menuju Indonesia baru adalah. Pertama etika politik dan pemerintahan
mengandung misi kepada setiap pejabat dan elite politik untuk bersikap jujur,
amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah
hati, dan siap untuk mundur dari jabatan public apabila terbukti melakukan
kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hokum dan
rasa keadilan masyarakat. Kedua Perlu dilakukan upaya penanaman suatu
kesadaran bahwa politik yang hendak kita perjuangkan bukan semata politik
kekuasaan, melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan
pangabdian demi kesejahteraan masyarakat luas, dialektika antara partai dan
politikus serta masyarakat yang kritis. Ketiga Budaya politik santun, bersih
dan beretika ini diperlukan karena dapat membuat para elite politik menjauhi
sikap dan perbuatan yang dapat merugikan bangsa Indonesia.

Setelah segala cara memperbaiki sistem, baik hukum, sosial, politik,


dan ekonomi dilakukan dan tak juga menunjukkan hasil, maka banyak yang
kemudian meyakini bahwa problem sebenarnya bukanlah soal sistem belaka,
melainkan berkaitan dengan soal etika berbangsa dan bernegara yang
meredup. Betapapun sistem diubah dan diganti, tetap saja problem tak
kunjung tuntas teratasi selama kita belum mampu membenahi etika berbangsa
dan bernegara. Jadi, inti persoalannya sekarang ialah soal melemahnya etika
berbangsa dan bernegara. Hal ini mengisyaratkan bahwa upaya perbaikan
kondisi bangsa ini haruslah memperhatikan fakta bahwa krisis ini bertalian
erat dengan krisis etika dan moralitas. Untuk itu, upaya menemukan solusi
harus disertai upaya mengingat dan memperkuat kembali prinsip-prinsip
fundamen etis-moral dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan
hidup bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam konstitusi kita, UUD
1945.

DAFTAR PUSTAKA

Heywood, Andrew. 2014. Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Jurdi, Syarifuddin. 2014. Kekuatan-keuatan Politik Indonesia Kontestasi Ideologi dan


Kepentingan, Makassar : Laboratorium Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar

Sofyan, Ayi. 2012. Etika Politik Islam Bandung : Pustaka Setia

Widodo, Wahyu. 2014. Mewujudkan Budaya Politik Santun, Bersih Dan Beretika.,
Humanika Vol. 19 No. 1.

Anda mungkin juga menyukai